Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy
05:58
Wisteria
Land: Another Story of Hwaseong Academy
It's
about rainbow, love, hate, glory, loyalty, betrayal and destiny.......
. Judul: “Wisteria Land: Another Story of
Hwaseong Academy”
. Author: shytUrtle_yUi
. Rate: Serial/Straight/Fantasy-Romance.
. Cast:
-
Song Hyu Ri (송휴리)
-
Rosmary Magi
-
Han Su Ri (한수리)
-
Jung Shin Ae (정신애)
-
Song Ha Mi (송하미)
-
Lee Hye Rin (이혜린)
-
Park Sung Rin (박선린)
-
Song Joongki, L,Joe Teen Top, L Infinite, Jung
Daehyun B.A.P, Jo Jonghwan 100%, Baro B1A4, Jang Geunsuk, Yoo Seungho, Kim
Sunggyu Infinite, Choi Joonghun FT.Island, Cho Kyuhyun Super Junior, and many
other found it by read the FF.
...Ketika kau melihat pelangi, apa yang ada di
benakmu? Tujuh warnanya yang indah atau...? Di sini, Wisteria Land, kami
percaya jika pelangi adalah jelmaan sang Naga. Naga arif dan bijaksana yang
selalu mengawasi dan menjaga tanah Wisteria Land. Naga yang pada suatu waktu
muncul dengan keelokan wujudnya dengan tujuh warna pelangi. Apa kau juga
percaya akan hal ini...?
***
Land #14
Magi diam sepanjang perjalanan
pulang. Hyuri dan Suri yang berjalan menuntun sepeda di belakang Magi saling
menuding untuk memulai obrolan. Suri menghela napas lalu berjalan cepat
menyusul Magi. Suri berjalan di samping kiri Magi.
“Sepertinya ia tak akan mundur,”
Suri memulai obrolan. “Tindakannya semakin nyata setelah kau menolaknya. Ia
bisa memainkan alat musik, memainkan piano. Ia merasa itu satu nilai plus
untuknya, ya walau dia memang tak terlalu tinggi.”
Hyuri yang sudah berjalan di
samping kanan Magi was-was. Ia khawatir Magi marah karena Suri menyinggung
urusan pribadi Magi.
“Masa iya kau hanya menilainya
dari segi fisik saja? Tidak takut menyesal?” imbuh Suri penasaran.
Hyuri masih menunjukan ekspresi
sama, khawatir sambil sesekali melirik Magi.
Magi menghela napas dan
tersenyum. “Ini pertama kalinya aku mendapat perhatian khusus dari seorang
pria,” ungkapnya.
“Ah, masa...? Tak mungkin.
Snapdragon begitu tenar di club Golden Rod. Jangan-jangan ini bukan yang
pertama kau mendapat perhatian, tapi yang pertama kau merespon perhatian
laki-laki,” sanggah Suri. “Apa kau tak
menyadarinya? Betapa cantiknya dirimu saat tak dalam balutan penampilan seperti
ini. Pria normal pasti tertarik padamu. Tapi itu umum. Mungkin yang membuatmu
tertarik dan meresponnya adalah karena ia selalu hadir dalam pertunjukanmu di
jalan Elder Flower. Apa analisisku kali ini benar?”
“Entahlah. Namun di sanalah ia
mengatakan pertama kali tak sengaja melihatku...”
“Dan tertarik padamu,” potong
Suri. “Hebat. Bukan fisik yang ia jadikan tolok ukur. Pemuda seperti itu
langka.”
“Hey! Kau ini seolah memaksa
Magi untuk mau saja bersama pemuda itu,” sahut Hyuri.
“Hanya berharap Magi
mempertimbangkannya. Ah, atau kau takut pada Oppa-oppamu yang super
overprotected itu? Pemuda ini sepertinya sangat bertanggungjawab. Tenang. Nanti
aku carikan info tentangnya.”
“Han Suri!” Hyuri tegas.
“Ini tak akan mudah. Selain
keluargaku, hanya kalianlah yang aku berani menjalin hubungan intens.”
Hyuri dan Suri tercengang
mendengar pengakuan Magi. Dari yang keduanya perhatikan selama ini, Suri dan
Hyuri sama-sama menyimpulkan jika Magi adalah sosok terkenal yang banyak
disukai orang. Tapi kenapa justeru pernyataan minder ini yang terlontar dari
mulut Magi? Itu mustahil menurut Suri juga Hyuri.
“Bersama kalian aku merasa
benar-benar hidup di dunia luar ini. Tak kesepian lagi.”
“Hey! Egois! Lalu bagaimana
dengan para pendukung Snapdragon dan penggemar setiamu di jalan Elder Flower?
Apa mereka semua tak ada artinya bagimu? Tanpa mereka kau tak ada artinya. Aku
benar kan?” Suri kembali mengoceh.
“Elang pink ini dari tadi terus
berkhutbah,” gumam Hyuri.
“Elang pink...? Ya!”
Magi dan Hyuri terkekeh melihat
reaksi Suri.
“Ish! Kalian. Tapi, Magi,
keluargamu seolah tak senang dengan kehadiran kami dalam hidupmu. Jujur ini
benar tak nyaman.”
“Seperti yang kau katakan,
mereka terlalu super overprotected padaku. Takut kalian akan benyak menyeretku
dalam masalah, terlebih setelah mencari tahu tentang kalian. Padahal aku yang
telah membuat kalian menderita dengan ulah-ulahku.”
“Keberanianmu membuatku malu.
Aku yang tak berani berkutik tanpa keempat rekanku di sini,” sahut Hyuri.
“Ah, Chrysaor hanya akan menjadi
sejarah. Tapi itu lumayan daripada Cypress yang lebih dulu tenggelam sebelum
dikenal orang,” sesal Suri. “Apa Lee Junki Sonsaengnim mencarimu usai peristiwa
tadi?”
“Belum. Padahal aku dengar
beliau dipanggil ke kantor Kepala Sekolah.”
“Bukannya Lee Junki Sonsaengnim
absen hari ini?” sela Hyuri.
“Entahlah,” jawab Magi.
“Saat kembali, Lee Junki
Sonsaengnim mungkin akan memarahimu lagi. Kami sama-sama penakutnya.”
“Tapi kau terlihat senang ketika
Jung Ilhoon Sunbaenim jatuh menimpa Jung Daehyun Sunbaenim,” sela Suri.
“Orang menyebalkan itu?” Hyuri
tersenyum kecil mengenangnya.
“Mau balas dendam atau
membuatnya jatuh hati padamu?” tanya Magi.
“Eits! Jangan buat masalah lagi
Rosmary Magi. Kita belum tahu efek dari apa yang kau perbuat hari ini esok,”
cegah Hyuri.
“Memangnya Jung Daehyun
Sunbaenim salah apa padamu hingga kau ingin balas dendam padanya?” tanya Suri.
“Aku tak suka ia selalu menyebut
kutukan sial yang mengikat SMA Maehwa dan seluruh muridya. Dia pelanggan
Swallow DVD’s Rental,” terang Hyuri.
“Wah, pasti sangat menyebalkan
punya pelanggan seperti itu. Yasudah. Kita balas dendam bersama-sama,” Suri
mendukung.
“Ish! Anak ini!”
Tiga gadis ini tertawa bersama.
***
Hyuri kembali terbangun di
tengah malam. Ia mendesah kesal melihat botol air di meja di dekat ranjangnya
kosong. Hyuri lupa tak mengisinya padahal setiap malam Hyuri pasti terbangun
untuk minum. Hyuri menggaruk kepalanya dengan frustasi sambil kemudian melirik
ke arah ranjang Suri. Hyuri bangkit dari duduknya dan berjalan malas mendekati
ranjang Suri.
“Suri, bangun. Suri...” Hyuri
menggoyang pelan badan Suri. Suri diam. Tak bergerak sedikit pun. “Aish! Anak
ini. Kalau sudah tidur begini ada bom jatuh pun aku yakin dia tak akan bangun.
Ck!” Hyuri kembali mengacak frustasi rambutnya. “Haruskah aku ke dapur sendiri?
Hah...” keluh Hyuri membayangkan lorong yang panjang dan sedikit gelap serta
ruang yang luas dan gelap usai menuruni tangga.
Hyuri mengacak rambutnya untuk
yang ketiga kali, kemudian berjalan menjauhi ranjang Suri dan meraih botol
kosong miliknya. Perlahan Hyuri membuka pintu kamar dan mengintip keluar. Hyuri
bergidik mengamati lorong panjang dengan cahaya lilin remang-remang di beberapa
tempat di sisi kiri lorong. Hyuri menelan ludah. Tenggorokannya yang kering
benar-benar tak bisa disanggupi untuk menunggu esok tiba atau Suri terbangun.
Hyuri tak bisa menunggu lagi. Ia memantabkan langkah keluar kamar ,
mengumpulkan keberanian berjalan menuju dapur.
Hyuri terkejut ketika sampai di
dapur. Ia menemukan pintu kulkas terbuka dan Myungsoo berdiri sedikit
membungkuk di depannya. Hyuri kembali menelan ludah sambil memegang erat botol
di tangannya.
Myungsoo
yang kesal tak bisa membuka tutup botol yang berisi minuman favoritnya tak
menyadari kedatangan Hyuri. Beberapa saat kemudian baru ia menyadari jika ada
yang memperhatikannya. Myungsoo baru menyadari kehadiran orang lain di dapur
malam ini. Myungsoo sigap menoleh dan menatap tajam pada Hyuri.
Hyuri
tercekat. Sedikit ketakutan mengingat bagaimana pertemuan pertamanya dengan
Myungsoo di dapur ini. Hyuri berubah was-was, takut Myungsoo kembali
menyerangnya seperti waktu itu. Dan bagi Hyuri percuma saja beramah tamah pada
pemuda ini.
Hyuri
semakin was-was karena tiba-tiba saja Myungsoo menghilang dari depan kulkas
yang masih terbuka ketika ia sibuk memikirkan segala kemungkinan yang akan
dilakukan Myungsoo padanya kali ini. Dalam pencahayaan yang minim ini Hyuri
benar-benar tak bisa menjangkau keseluruhan sisi dapur untuk menemukan
keberadaan Myungsoo. Apakah pemuda garang itu masih di sana atau telah pergi
meninggalkan dapur.
“Hagh!”
Hyuri benar dibuat terkejut hingga botol plastik di tangannya jatuh ketika
Myungsoo tiba-tiba muncul tepat di depannya. Hyuri mengatur kembali nafasnya
yang terengah-engah karena terkejut oleh ulah Myungsoo. Pemuda ini tetap saja
bersikap demikian. Berdiri di depan Hyuri namun dengan wajah tertunduk.
Myungsoo mengulurkan botol di tangannya.
“Aku
tak bisa membukanya!” Myungsoo dengan suara beratnya. Cukup membuat Hyuri
merinding. “Tolong!” imbuhnya tegas.
Hyuri
meraih botol di tangan kiri Myungsoo dan mencoba membuka tutupnya sedang
Myungsoo bergerak turun mengambil botol plastik milik Hyuri yang terjatuh di
lantai. Myungsoo dan Hyuri saling bertukar botol.
“Terima
kasih...” ucap keduanya hampir bersamaan.
Hyuri
tersenyum lega. Baginya momen hampir bersamaan mengucapkan terima kasih adalah
kebetulan yang menandakan Myungsoo menerima kehadiarannya. Tiba-tiba lampu
dapur menyala.
“Duduklah!”
pinta Myungsoo.
Hyuri
kembali merasa kaku. Ia tak berani menolak dan segera duduk.
Myungsoo
meletakan satu gelas di meja dan menuangkan isi dari botol di tangannya lalu
menyodorkan gelas ke hadapan Hyuri. “Minumlah!” perintah Myungsoo.
Lagi-lagi
Hyuri tak berani menolak. Ia segera meneguk habis isi dari gelas yang baru saja
diberikan Myungsoo.
Myungsoo
masih berdiri dengan kepala tertunduk. Setelah melihat gelas di depan Hyuri
kosong, ia pergi begitu saja tanpa mengucap sepatah kata pun pada Hyuri.
Hyuri
bernapas lega. Merebahkan punggungnya pada punggung kursi yang ia duduki.
“Tuhan...” bisiknya lirih meluapkan kelegaannya selamat dari Myungsoo yang
garang.
***
“Anak-anakmu
ini benar-benar membuatku pusing! Kemarin aku mencarimu dan ternyata kau izin.
Hah! Bagaimana tugas yang kuberikan padamu agar mengawasi mereka dengan ketat?
Meminta mereka tak berulah, ha?!” Hyunjoo berceramah di depan Junki. “Bukannya
kami tak peduli, kalian berasal dari tempat yang sama, aku rasa mereka akan
lebih mendengarmu. Bukannya aku membenci kau dan mereka, tapi...”
“Saya
paham, Tuan,” potong Junki.
“Baguslah.
Jika mereka berulah lagi, maka aku akan mengajukan surat langsung ke Departemen
Pendidikan Istana agar mereka dikeluarkan dari sekolah ini. Mereka benar-benar
mengganggu ketenangan sekolah ini.”
Junki
mengangkat kepala dan menatap keberatan pada Hyunjoo.
“Apakah
benar yang banyak dibicarakan orang? SMA Maehwa dan seluruh penghuninya terkena
kutukan sial secara turun-temurun?” gumam Hyunjoo.
“Anak-anakku
yang di bully tapi kenapa mereka yang diancam dikeluarkan? Beginikah cara
sekolah ini membimbing kami? Semua ini bukan keinginan kami, tapi keputusan
Kementrian Pendidikan. Tolong, bersikaplh adil, Tuan.”
“Mwo...?”
“Sekolah
ini adalah sekolah nomer satu di Wisteria Land. Sangat terpandang di luar sana.
Sangat di puja karena kesempurnaannya, namun ketika masuk di dalam sini... semua
pandanganku sedikit bergeser. Sekolah ini memperlakukan kaum minoritas seperti
kami dengan tidak adil. Semua bullying itu, kenapa Anda tak mengambil tindakan
pada para pelaku dan meletakan semua kesalahan pada anak-anakku?”
“Lee
Junki Sonsaengnim, Anda sadar dengan ucapan Anda?”
“Pendapatku,
SMA Maehwa yang di cap sebagai sekolah dengan reputasi terburuk di Wisteria
Land jauh lebih baik dari Hwaseong
Academy ini.”
“Sonsaengnim!”
“SMA
Maehwa memberikan hukuman yang setimpal pada murid yang terbukti melakukan
kesalahan. Apa pun itu dan siapa pun itu. Tapi di sini. Melakukan bullying pada
murid yang tak melakukan tindakan salah sedikitpun dibiarkan begitu saja.
Kenapa? Apa karena mereka anak-anak para bangsawan terkenal? Karena itu
kesalahan hanyalah milik kaum minoritas seperti kami apa pun alasannya?”
“Lee
Junki Sonsaengnim!”
“Tak
perlu begini membentakku Tuan. Jika Anda marah dengan nada meninggi seperti
ini, bukankah ini sama artinya dengan Anda membenarkan protes yang baru saja
kulayangkan?”
Hyunjoo
bungkam. Hanya bisa menghela napas kesal.
“Aku
meminta anak-anakku bersikap baik dan tak membuat gara-gara seperti di hari
pertama mereka datang ke sekolah ini. Aku berharap mereka bisa tahan dengan ini
semua. Namun aku pun tak ingin mereka mengalah jika mereka terlalu
diinjak-injak. Kami juga manusia. Bukankah kita semua ini sama di mata Sang
Pencipta Alam? Maaf, bukan maksudku menggurui Tuan. Jika bagi Anda memang perlu
mengeluarkan kami dari sini, itu tak mengapa. Tapi perlu Anda ingat, kami masuk
ke sekolah ini bukan karena kehendak kami.”
“Aku
tahu. Dan aku punya kuasa. Perlindungan kerajaan atau Tuan Putri sekalipun tak
akan berguna jika kami mengadakan voting untuk menendang kalian keluar dari
sekolah ini. Kau paham kan?”
Junki
menatap geram pada Hyunjoo. “Nee, algesseumnida.”
“Hah!
Aku paham sekarang. Sebaiknya kita nikmati saja yang ada. Aku akan menunggu
sampai kapan kalian kuat bertahan.”
***
Junki
menghela nafas panjang saat keluar dari kantor Kepala Sekolah. Ia dilema,
apakah tindakannya kali ini benar atau salah. Junki kembali menghela napas dan
berjalan pergi.
“Bagaimana
kalau kita menjaganya bersama-sama?” Shihoo muncul menghadang langkah Junki.
“Apa
maksud Sunbaenim?” Junki menghentikan langkahnya.
“Aku
tak akan membiarkan gadis-gadis itu dikeluarkan dari sekolah ini, Shihoo
berhenti tepat di depan Junki.
“Setelah
semua itu? Hahg! Apa Sunbaenim mabuk pagi ini? Mereka itu, anak-anakku adalah
mantan murid SMA Maehwa. Sunbaenim tahu sendiri bagaimana ulah mereka hingga
kemarin bukan?”
“Terdengar
tak masuk akal memang dan aku yakin kau pasti akan mengatakan hal ini, tidak
percaya padaku. Tapi setelah peristiwa itu... hasil panahan Magi, aku jadi
tertarik pada gadis-gadis ini. Aku ingin mereka tetap tinggal.”
“Agar
lebih mudah memantau mereka? Mengawasi mereka? Memata-matai mereka?”
“Apa
pun itu tuduhanmu, aku terima. Untuk saat ini aku hanya memberi alasan jika
mereka pantas dibimbing di sekolah ini. Aku yakin kelak mereka akan menjadi
orang-orang hebat.”
“Lebih
banyak yang menentang. Sebaiknya Sunbaenim tak turut andil.”
“Aku
pun termasuk salah satu pihak penentang. Saat ini dengan adanya dukungan
perlindungan dari Tuan Putri, posisi mereka aman. Aku tak menyangka Tuan Putri
juga memiliki rasa penasaran pada mereka.”
Junki
diam menatap Shihoo. Tatapan menelisik. Ia penasaran pada siapa sebenarnya Park
Shihoo ini. Apakah dia utusan istana? Atau yang lain?
“Sama
seperti siapa kau ini sebenarnya, begitu pula aku. Tak penting untuk saling
bertanya hal ini bukan?”
Junki
terperanjat kaget mendengar ungkapan Shihoo.
“Dukung
mereka agar mereka tetap kuat bertahan,” Shihoo menepuk pundak Junki lalu
berjalan pergi meninggalkan Junki mematung di tempat ia berdiri.
***
Gahee
menemani Junki di taman belajar. Ia membawakan coklat hangat untuk sahabatnya
itu. Setelah diam selama beberapa saat, akhirnya Junki buka mulut menceritakan
kejadian di kantor Kepala Sekolah beserta pertemuannya dengan Shihoo yang cukup
membuatnya bingung hingga kini.
“Tentang
dukungan Tuan Putri benar adanya. Beliau mengatakan jika trio Maehwa ada di
bawah perlindungannya. Sekolah tak bisa bertindak macam-macam, akan tetapi jika
sampai ada voting dan pihak sekolah banyak yang mendukung, bukan tidak mungkin
kalian akan ditendang keluar dari sekolah ini,” komentar Gahee usai mendengar
cerita Junki. “Tapi... apa maksud Park Shihoo Sunbaenim dengan memberikan
dukungan pada kalian? Karena dia ketua dari tim Tata Tertib Sekolah, aku rasa
ini sangat janggal. Apa tujuannya?”
“Apa
kau juga mendengar desas-desus itu?”
“Tentang
apa?”
“Murid
SMA Maehwa di transfer agar lebih mudah diawasi. Pihak pemerintah sudah
menyebar mata-mata dimana-mana.”
“Rumor
itu? Kau percaya? Hagh! Aku tak habis pikir juga tentang itu. Memecah belah
kalian bukankah lebih sulit dibandingkan ketika kalian masih ada dalam satu
wadah di SMA Maehwa dulu? Apa pun alasannya, pemerintahan ini bertindak semakin
konyol.”
Junki
terdiam.
“Pantas
mendapat bimbingan di sekolah ini? Apa mereka mencoba mengendalikan kalian?”
“Itulah
tujuan asalnya kan?”
“Hah...
apalah ini semua,” Gahee menggeleng pelan. “Tapi terkadang masih sering muncul
di benakku tentang kemunculan kalian di sekolah ini. Kementrian Pendidikan tahu
bagaimana SMA Maehwa dan Hwaseong Academy yang seperti langit dan bumi ini.
Sabotase ini untuk apa? Apakah ini akan menjadi permainan menarik bagi mereka?
Dan kenapa kalian?”
“Entahlah.
Ini semua membuat kepalaku seolah mau pecah.”
“Bersabarlah
teman. Kalau kau tak kuat bertahan, bagaimana kau menemukan jawaban dari
teka-teki ini?”
Junki
tersenyum dan mengangguk pelan lalu meminum coklat hangat pemberian Gahee.
***
Magi
berjalan sendiri. Ia baru saja kembali dari taman di belakang sekolah.
“Rosmary
Magi!” teriakan ini menghentikan langkah Magi.
Magi
mendongak. Kedua mata Magi terbelalak.
Byur!
Magi
terlambat menghindar. Kantong plastik berisi air berwarna hitam keruh itu jatuh
menimpanya, pecah dan membuat tubuh Magi basah kuyup. Magi berdiri mematung
dengan tubuh basah kuyup mendengar murid-murid lain menertawakannya. Tubuh Magi
gemetaran karena menahan emosi.
Prok!
Magi
memejamkan mata ketika sebuah telur mendarat di kepalanya dan pecah. Serangan
lanjutan dimulai. Seseorang sengaja melempar sebuah telur ke kepala Magi. Kedua
tangan Magi mengepal. Bergetar lebih kencang dari sebelumnya ketika kantong
plastik jatuh menimpanya dan membuatnya basah kuyup air berwarna hitam dan
berbau tak sedap itu. Magi berusaha keras menahan emosinya. Ia tak mau
menimbulkan masalah baru dan memilih menerima perlakuan para senior itu. Kepala
Magi tertunduk demi menahan emosinya yang makin memuncak.
Serangan
lanjutan bertubi-tubi menyerang tubuh Magi. Lemparan tomat busuk bercampur
telur dan tepung bergantian menghujani tubuh Magi. Tubuh Magi yang basah
semakin dibuat buruk rupa oleh serangan lanjutan itu. Getaran di tubuh Magi
semakin hebat. Ia tak akan sanggup lagi menahan emosinya menerima perlakuan
kejam ini juga mendengar olokan dan tawa para senior yang berkumpul
menyerangnya.
Magi
merasakan seseorang tiba-tiba meraih tubuhnya dan memeluknya erat. Magi membuka
mata dan menemukan L.Joe telah mendekapnya erat. Seketika itu getaran di tubuh
Magi berkurang. Lalu lenyap begitu saja.
L.Joe
menyentuh tengkuk Magi dan membawa kepala gadis itu bersandar di dadanya.
Mengamankan Magi dalam pelukannya. “Jangan takut. Aku akan melindungimu,” bisik
L.Joe saat kepala Magi menyentuh dadanya.
Magi
merasa hangat dan aman dalam pelukan L.Joe. Dapat ia dengar dengan jelas detub
jantung L.Joe. Magi terharu dan menitikan air mata. Bersamaan dengan jatuhnya
air mata Magi, serangan kantung plastik kedua jatuh menimpa keduanya
disusul lemparan tomat busuk, telur dan
tepung secara bertubi-tubi. L.Joe kukuh memeluk Magi. Melindungi Magi.
Hyuri,
Suri, Jonghwan dan Seungho baru sampai di tempat kejadian usai mendengar
bullying massal pada Magi dari teman sekelas mereka. Keempatnya terkejut
melihat Magi berada dalam pelukan seorang siswa dan menerima serangan
bertubi-tubi dari beberapa murid yang berkerumun. Suri mengamati sekitar. Ia
heran pada murid lain yang memilih diam menonton bullying massal itu. Tanpa
berkata apa pun Hyuri bergegas maju mendekati kerumunan. Ia tak bisa diam saja
melihat seseorang yang telah menolongnya di keroyok seperti itu.
“Song
Hyuri!” Suri menyusul Hyuri, menarik tangan kiri Hyuri. “Kita lakukan
sama-sama.”
Hyuri
mengangguk. Kedua gadis itu maju bersama dan dengan kompak mendorong
murid-murid yang berkerumun menyerang Magi. Beberapa murid roboh akibat ulah
Hyuri dan Suri. Situasi semakin kacau. Pengeroyokan beralih pada Hyuri dan
Suri. Jonghwan dan Seungho segera memberi bantuan, walau usaha mereka sia-sia
melawan murid-murid senior itu. Benar-benar kacau situasi di halaman dekat
jalan menuju taman belakang sekolah itu.
“Andwae!”
Shin Ae tiba-tiba muncul di dekat L.Joe yang masih memeluk Magi.
Siswi
dengan rambut terurai yang keseluruhan menutupi wajahnya itu menghentikan
langkahnya di depan Shin Ae.
Shin
Ae yang biasa tenang terlihat sedikit tegang. “Jika kau mengambil tindakan
lagi, ini akan semakin mempersulit Rosmary Magi dan teman-temannya. Apa ini
yang kau inginkan? Bantuanmu tak akan memudahkan mereka. Aku mohon, hentikan.”
Pinta Shin Ae.
Siswi
dengan rambut panjang terurai dan menutupi seluruh wajahnya itu diam tak
memberikan respon apa pun.
Shin
Ae masih menatap siswi ini dengan was-was. “Percayalah padaku. Kali ini biarkan
kami menyelesaikan ini semua sendiri. Kita bicarakan tentangmu nanti,”
janjiShin Ae agar siswi di hadapannya itu bersedia mundur.
Siswi
dengan rambut panjang terurai dan menutupi seluruh wajahnya itu perlahan
mundur. Berhenti di dekat Magi dan menggenggam tangan kanan Magi yang masih
berada dalam pelukan L.Joe.
Shin
Ae bernapas lega.
Suara
sirine terdengar seiring dengan munculnya Hyungbum yang datang terburu-buru
membawa megaphone di tangannya. Shihoo, Junki, Gahee dan beberapa guru juga
turut dalam rombongan itu untuk melerai kekacauan di halaman dekat jalan menuju
taman belakang sekolah.
***
Semua
murid yang terlibat kekacauan dikumpulkan di lapangan olah raga indoor. Kubu
penyerang dan korban sama-sama dikumpulkan di ruangan luas ini. L.Joe dan Shin
Ae yang berada di tempat kejadian juga tertahan di ruangan itu. Keduanya berada
dalam kelompok korban, kelompok Magi.
Kwanghee
yang notabene otak dari kekacauan turut di seret masuk ke dalam lapangan indoor
ditemani tiga member Flower Season Boys yang lain. Sungkyu, Jonghoon dan
beberapa petinggi Dewan Senior juga turut berkumpul di lapangan indoor memenuhi
panggilan guru tim Tata Tertib Sekolah.
Hyunjoo
Sang Kepala Sekolah pun turut hadir. Ia berpidato, mengomel di depan anak-anak
didiknya itu dan benar menyesalkan insiden bullying massal di jam istirahat
tadi. Hyunjoo tak hanya menyalahkan para pelaku bullying dan korban, dalam
pidatonya Hyunjoo juga menyalahkan tim Tata Tertib Sekolah dan Dewan Senior. Semua
diam mendengarkan ocehan Hyunjoo.
Beberapa
saat kemudian Hami hadir dalam lapangan indoor ditemani Hyerin dan dua
bodyguard wanita yang biasa mengawal Hami. Hyunjoo yang tadinya penuh amarah
berubah berseri-seri melihat Hami datang. Ia menyambut ramah kedatangan Hami
dan menanyakan maksud kedatangan Hami. Hyerin menyampaikan maksud kedatangan
Hami pada Hyunjoo. Setelah mendengar penjelasan Hyerin, Hyunjoo mempersilahkan
Hami untuk bicara di depan para murid yang terlibat kekacauan.
Hami
maju ke tengah dan berdiri di depan murid-murid yang terlibat kekacauan massal.
Hami iba menatap kubu Magi yang terlihat sangat kotor usai menerima penyerangan
berupa air berwarna hitam keruh juga lemparan tomat busuk, telur dan tepung.
Tatapan Hami berubah geram ketika menatap kubu pelaku bullying massal.
“Inikah
yang kalian namakan sebagai gerakan melindungi Yang Mulia Tuan Putri Wisteria
Land?” Hami memulai pidatonya. “Sugguh ini membuatku malu. Apakah cara ini yang
aku minta dari kalian untuk melindungi aku?”
Kwanghee
tertunduk mendengarnya.
“Aku
benar-benar menyesalkan hal ini harus terjadi di dalam lingkungan sekolah yang
dielu-elukan sebagai sekolah terbaik nomer satu di Wisteria Land ini. Tindakan
brutal ini justeru terjadi di dalam Hwaseong Academy. Jika begini apa bedanya
kita dnegan SMA Maehwa yang terkenal dengan reputasi sekolah paling buruk di
Wisteria Land ? Tindakan kalian tak jauh beda dari tindakan preman-preman di
pasar yang banyak aku temui dalam berita di televisi.”
Para
pelaku bullying menunduk semakin dalam mendengar pidato Hami.
“Harus
aku tegaskan hingga berapa kali di sini jika aku sama sekali tak mengalami
intimidasi dari trio Maehwa? Jika pernyataanku itu tak cukup untuk meyakinkan
kalian, apalagi yang harus aku lakukan? Apakah kalian lupa jika tujuan kita
datang ke sekolah ini adalah untuk belajar, menuntut ilmu? Bertindak layaknya
preman dengan dalih membalas tindakan trio Maehwa padaku, apa kalian benar tahu
apa yang mereka lakukan padaku? Dengan begini apakah kalian ingin menyematkan
gelar Putri Preman bagiku?”
Kwanghee
menggeleng antusias mendengarnya masih dengan kepala tertunduk.
“Di
sini aku tegaskan kembali pada kalian. Trio Maehwa tak melakukan tindakan
intimidasi padaku. Dan perlu kalian garis bawahi jika trio Maehwa ada di bawah
lindunganku. Setelah ini siapapun yang membuat masalah dengan trio Maehwa
berarti dia siap berurusan denganku,” Hami menegaskan.
Para
pelaku bullying keberatan mendengarnya namun tak berani protes. Sedang Suri
tersenyum lega walau Hyuri dan Magi bereaksi datar pada pengumuman Hami.
“Terima
kasih untuk pertunjukan yang benar-benar membuatku kecewa pada kalian hari
ini.” Hami kemudian pergi diikuti Hyerin dan kedua bodyguard wanita.
***
Hukuman
telah ditentukan pada semua pelaku bullying. Mereka diharuskan menuliskan kata
“Aku menyesal telah melakukan ini. Aku berjanji tak akan melakukannya lagi”
sebanyak 500x.
Satu
per satu mulai meninggalkan lapangan indoor lengkap dengan gerutuan lirih
mereka merespon hukuman yang diberikan serta singkatnya waktu tenggang untuk
hukuman.
“Kamsahamndia
Sunbaenim telah melindungi teman kami,” Suri membungkukan badan di depan L.Joe.
L.Joe
tersenyum dan mengangguk lalu kembali menatap Magi yang duduk dirangkul Hyuri.
“Apa dia akan baik-baik saja?”
“Dia
itu orangnya moody. Sebentar begini, sebentar lagi begitu. Sunbaenim jangan
khawatir,” Suri dengan tersenyum manis.
“Kalian
tunggu di sini. Aku akan mengambil baju
ganti untukmu, juga Rosamary Magi. Kalian tak apa kan bertahan dengan seragam
itu?” sela Shin Ae.
“Tak
apa Sunbaenim. Seragam kami kering. Terima kasih sudah membantu Magi,” Suri
gantian membungkuk di depan Shin Ae.
Shin
Ae mengangguk dan berjalan pergi. Tiba-tiba tali sepatu Shin Ae lepas. Ia pun
berhenti dan jongkok untuk membenahi tali sepatunya.
Seungho
yang sedang mengobrol dengan Jonghwan tak sengaja menoleh dan menangkap seorang
gadis yang sedang jongkok membelakangi dirinya. Seungho sempat mengabaikannya
sejenak lalu kembali memperhatikan gadis yang sedang jongkok itu. Kedua mata
Seungho melebar. Ada binar merona bahagia di wajahnya.
“Jonghwan-ya!
Aku menemukannya. Chajatta!” seru Seungho riang sembari memegang kedua lengan
Jonghwan.
“Ya!
Seungho-ya! Lepaskan!” Jonghwan risih.
“Chajatta!
Chajatta! Chajatta!” Seungho masih memegang kedua lengan Jonghwan dan
menggoyangnya karena terlampau antusias.
“Aish!
Apa yang kau temukan hingga kau segirang ini ha?!”
Seungho
tersenyum lebar dan kembali menoleh. Gadis itu sudah kembali berdiri dan
berjalan keluar meninggalkan lapangan indoor.
“Seungho-ya!”
“Ah,
aku hanya butuh memastikannya lagi. Tapi aku yakin aku telah menemukannya,”
Seungho melepas pegangannya pada kedua lengan Jonghwan.
“Apa
pun itu, jika menemukannya lagi jangan peluk erat kedua lenganku seperti tadi.
Ara?!”
“Hehehe.
Mianhae.”
***
Magi
selesai mengganti seragamnya dengan seragam olah raga pemberian Shin Ae. Ia
kembali ke lapangan indoor dan mencari Shin Ae untuk berterima kasih. Magi
tersenyum lebar dan buru-buru mendekati Shin Ae.
“Sunbaenim.
Jongmal kamsahamnida untuk seragamnya,” Magi membungkuk sopan di depan Shin Ae.
“Sunbaenim membelikannya untukku.”
Shin
Ae tersenyum, “Sayangnya yang ready stock hanya seragam olah raga.”
“Ini
sangat membantu. Walau tetap saja aku harus berendam untuk menghilangan bau di
tubuhku ini.”
Kedua
gadis ini tersenyum bersama.
“Sunbaenim,
terima kasih untuk menahannya.” Magi kembali berterima kasih.
Shin
Ae tersenyum sambil mengangguk pelan.
“Setidaknya
kini bukan hanya aku yang bisa melihatnya. Aku harap Sunbaenim percaya padaku.
Apa yang terjadi selama ini adalah ulahnya, bukan aku. Aku bukanlah penyihir
seperti yang mereka tuduhkan.”
“Mian.
Aku terlambat menyadarinya dan tak bisa membantu banyak.”
“Dijelaskan
pun mereka tak akan percaya dan tetaplah aku penyihirnya,” Magi tersenyum
getir.
“Kenapa
kau membiarkan dia terus mengikutimu seperti itu?”
“Aku
bersikap acuh berharap ia pergi. Dia kuat juga bertahan.”
“Arwah
penasaran itu berbeda dengan kita manusia. Karena tak semua orang bisa melihat
keberadaan mereka, ketika mereka bertemu seseorang yang bisa melihat mereka,
maka mereka tak akan menyerah begitu saja. Coba kau ajak dia bicara baik-baik.”
“Mengajaknya
bicara...?”
“Em.
Arwah orang yang sudah meninggal masih terjebak di dunia fana ini bisa terjadi
jika kematian mereka belum sempurna. Karena itu mereka mencoba berkomunikasi
dengan manusia yang bisa melihat mereka untuk meminta bantuan.”
“Sunbaenim
pasti sudah melihat gadis ini sebelumnya bukan?”
“Nee?”
“Sunbaenim
mengatakan maaf aku terlambat menyadarinya, berarti sebelumnya Sunbaenim tahu
tentang gadis ini. Apa tebakanku benar?”
Shin
Ae terdiam. Gadis ini lumayan cerdas.
Batinnya.
“Kenapa
Sunbaenim tak mencoba membantuku? Apakah sebelumnya ia juga melakukan ini pada
Sunbaenim?”
Shin
Ae tersenyum simpul, “Layaknya manusia memilih teman, begitulah arwah penasaran
memilih orang yang dikehendaki untuk diajak berkomunikasi. Mereka memilih orang
yang mereka rasa cocok. Aku rasa dia memilihmu. Tak ada pilihan. Kau harus
membantunyaa.”
Magi
menghela napas panjang dan menunduk lesu. “Bagaimana jika tuntutannya sulit?
Apa aku sanggup membantunya sendiri?”
“Menurut
yang aku lihat, kau bukanlah orang yang lemah. Kau bukan gadis biasa. Aku rasa
kau sanggup membantunya.”
“Tanpa
petunjuk sedikit pun?”
Gantian
Shin Ae yang menghela napas. “Kau bisa menghubungi aku. Semoga aku bisa
membantumu walau sedikit.”
Secepat
kilat Magi mengangkat wajahnya kembali dan tersenyum lebar. “Benarkah...?”
Shin
Ae mengangguk.
“Ah!
Aku tahu kalau Sunbaenim ini orang baik. Kamsahamnida Sunbaenim!” Magi kembali
bersemangat.
Shin Ae kembali tersenyum sambil menganggukan
kepala.
***
“Kamsahae.
Mian kalian jadi turut terlibat,” Magi saat berjalan bersama Seungho, Hyuri,
Jonghwan dan Suri.
“Dari
awal kita memang ditakdirkan untuk bersama-sama. Kalian sadar tidak?” Seungho
antusias. “Kalau aku tak ada bersama kalian, mungkin aku tak akan menemukannya
hari ini.”
“Menemukannya?
Nugu? Nugu?” Suri penasaran.
“Entahlah.
Saat ‘menemukannya’ dia memeluk erat kedua lenganku.” Sahut Jonghwan kesal.
“Aih...
aku rasa Putra Walikota Poinsettia sedang jatuh cinta,” goda Suri.
“Aniya...”
Seungho menggeleng dan tersipu. “Mwo...?” Seungho menoleh dan melotot pada
Suri. “Kak-kau tahu...?”
“Tahu
yang mana? Kau jatuh cinta atau...?”
“Aku
anak Walikota Poinsettia...” Seungho berbisik.
“Kami
tahu kau putra Walikota Poinsettia, tapi kami tak tahu kau sedang jatuh cinta.
Sepertinya... kau baru saja menjawab semuanya,” sahut Magi sambil melempar
senyum pada Suri. Suri membalas senyum dan mengangguk.
“Kalian
ini penelisik ya? Mata-mata?” Seungho menggaruk kepalanya.
“Duo
anak Walikota bergaul dengan trio preman Maehwa, ini skandal besar,” gumam
Hyuri.
“Kak-kalian
juga tahu tentangku...?” Jonghwan menuding hidungnya sendiri.
“Kau
anak Walikota Salvia kan?” tanya Suri. “Bau anak bangsawan itu khas.”
“Dasar
Maria Sanderson!” olok Jonghwan.
“Lalu...
siapa gadis itu?” Magi menatap penasaran pada Seungho.
“Sunshine
Girl Lee Hyerin apa Yang Mulia Tuan Putri?” imbuh Suri tak kalah penasaran.
“Yang
pasti bukan kalian berdua!” tegas Seungho. “Sebaiknya kita kembali ke kelas.”
“Kalian
kembali saja. Bauku seperti ini, lebih baik aku pergi ke suatu tempat dan
menghindari keramaian.” Magi menghentikan langkah. “Katakan saja pada Guru
pengajar jika aku syok usai di bully dan memilih istirahat di klinik sekolah,
ya.”
“Kau
ini selalu saja bertingkah aneh.” Jonghwan menggeleng pelan.
“Aku
sayang kalian!” Magi mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi , membentuk hati
kemudian berlari pergi.
***
Magi
bertahan di dalam kediaman kecil nan lusuh milik Sukjin di salah satu sudut
sekolah. Berulang kali Sukjin membujuk Magi untuk pergi namun gadis itu
menolak.
“Tempat
ini sama baunya dengan badanku saat ini, Paman pelit sekali untuk berbagi,”
ungkap Magi kesal.
Sukjin
hanya bisa menghela napas kesal.
“Baiklah.
Aku tak akan basa-basi lagi. Aku minta bantuan Paman.”
“Bantuan...?”
“Aku
mohon ceritakan semua padaku, ini benar-benar menyiksaku. Eum... bagaimana aku
memulainya ya...” Magi menggaruk kepalanya. “Apa yang sebenarnya terjadi di
sini? Di sekolah ini?”
Sukjin
kembali menghela napas dan duduk berhadapan dengan Magi. “Kau sudah cukup
membuat banyak masalah sejak kau datang ke sekolah ini. Hari ini kau hampir
celaka, beruntung Yang Mulia Tuan Putri bermurah hati padamu. Kau pantas
bersyukur atas ini semua.”
“Bukankah
itu memang kewajibannya? Melindungi rakyatnya yang lemah. Aku tak meminta belas
kasihannya. Dari awal pun demikian.”
“Lalu
apa yang kau inginkan dari pria tua ini?
Kenapa kau memilih datang kemari dan mengusikku?”
“Ceritakan
padaku tentang taman belakang sekolah dan gadis yang sering terlihat duduk
sendiri di tepi danau.”
Sukjin
tersentak kaget mendengar permintaan Magi.
Magi
menyadari ekspresi Sukjin yang berubah drastis. “Ada apa? Paman tahu sesuatu?”
“Aa-anee,”
Sukjin terbata.
“Bohong!”
Sukjin
menatap Magi sejenak lalu kembali menundukan kepala. Ia tak kuasa membalas
tatapan Magi.
“Gadis
itu... mengikutiku kemanapun aku pergi saat aku berada di sekolah ini.”
Sukjin
kembali mengangkat kepala dan menatap Magi. Ada keharuan yang mendalam di balik
tatapan Sukjin.
“Ada
apa sebenarnya, Paman? Paman tahu sesuatu kan? Aku mohon ceritakan padaku apa
yang Paman tahu.”
***
Magi
sampai di bawah pohon rindang di tepi danau. Berdiri diam menatap danau yang
tenang. Desiran angin semi menyapa wajah pucat Magi.
“Mianhae.
Baru aku tahu tentangmu,” ucap Magi.
Gadis
dengan rambut terurai dan menutupi seluruh wajahnya itu bergeming. Tetap dalam
posisinya. Duduk diam di bawah pohon rindang dan menghadap danau.
“Tiga
tahun yang lalu seorang siswi meninggal tenggelam di danau itu. Sejak saat itu
taman belakang sekolah semakin tak terjamah. Semua takut kesana. Taman belakang
sekolah berubah menjadi sudut angker dari sekolah ini bagi hampir keseluruhan
murid. Hal ini dikarenakan beberapa rumor yang beredar. Ada yang melihat penampakan
seorang gadis muncul berdiri di atas rakit di tengah danau. Seorang gadis duduk
dan menangis di tepi danau.” Sukjin dengan mata berkaca-kaca mulai bercerita.
“Dia
gadis yang baik bernama Lizzy Park. Dari seluruh bangunan di sekolah ini, hanya
taman belakang sekolah yang menjadi tempat favoritnya. Dia anak yatim piatu
dari sebuah panti asuhan dan mendapat beasiswa di sekolah ini karena
kepandaiannya. Lizzy yang cantik dan pintar tak pandai bergaul, karenanya ia
gemar menyendiri di taman belakang sekolah. Suatu ketika aku melihatnya
menangis tersedu di tepi danau. Ia duduk di bawah pohon rindang di tepi danau.
Aku menghampirinya dan bertanya ada apa gerangan hingga ia menangis tersedu. Ia
mengatakan teman-temannya mengambil buku agenda kesayangannya dan membacakan
isinya di depan yang lain. Tentang semua impian dan khayalannya di ungkap oleh
anak-anak nakal itu. Lizzy yang cantik dan pandai namun tak pandai bergaul ini
hanya bisa menangis. Aku tak bisa mendiamkannya. Tak bisa melihat gadis
ini menangis. Karena setiap kali
melihatnya, aku teringat pada putri kecilku yang hilang entah kemana,” Sukjin
menyeka air matanya yang meleleh.
“Lizzy
yang cantik dan pandai kembali riang ketika aku berhasil merebut buku agenda
kesayangannya. Sejak saat itu ia memanggilku ‘appa’. Panggilan yang lama aku
rindukan. Bagiku Lizzy adalah putri kecilku yang hilang. Sejak saat itu aku
selalu menjaganya. Baginya tak masalah lagi ia terasing karena ia memiliki aku
sebagai ayahnya di sini. Suatu ketika saat kami menikmati bekal makan siang
buatan Lizzy di bawah pohon rindang di tepi danau, Lizzy mengatakan, ‘Di tengah
danau buatan ini, pusatnya seperti apa ya? Aku pensaran ingin melihat pusat
danau ini di tengah-tengah sana.’ Demi putriku aku membuat sebuah rakit bambu.
Untuk memenuhi keinginannya melihat titik tengah dari danau buatan. Lizzy
begitu senang ketika melihat rakit itu jadi. Kami menaikinya bersama-sama dan
mencapai tengah danau. Senyum paling bahagia yang pernah aku lihat terkembang
lepas di wajah ayu Lizzyku.” Sukjin melepas kacamatanya kembali mengusap air
matanya yang terus meleleh bak es mencair di tengah musim panas.
“Naas
hari itu. Lizzy menaiki rakit itu sendiri. Aku kurang kontrol pada alat yang
aku buat. Sampai di tengah danau salah satu tali rakit lepas. Bambu-bambu itu
berpencar. Lizzy... Lizzy yang tak bisa berenang jatuh ke danau. Tak ada yang
tahu. Tak ada yang tahu... Lizzy yang tak bias berenang tenggelam. Kami baru
menemukannya keesokan harinya ketika ibu panti asuhan itu datang ke sekolah dan
mengatakan Lizzy semalam tak pulang. Kami menemukannya... menemukan Lizzyku
yang cantik sudah mengapung tak bernyawa di tengah danau di teman belakang
sekolah,” air mata Sukjin tumpah bak air bah. Ia menutup kedua matanya dan
menangis tersedu. Magi hanya bisa diam dan menunggu. Menunggu Sukjin kembali
tenang.
Sukjin
mengusap-usap wajahnya yang basah akibat luapan bah air matanya sendiri. “Andai
saja hari itu aku tak sibuk. Andai aku tak mengacuhkannya dan menemaninya
menaiki rakit seperti biasa. Hari itu aku disibukan dengan lampion-lampion
buatan tanganku sendiri. Aku ingin memberinya kejutan. Aku ingin membuat pesta
lampion sederhana di tepi danau untuk merayakan Festival Gardenia. Karena aku
tak bisa mengajaknya datang secara langsung untuk men0nton Festival Gardenia di
Ambrosia. Aku hanya ingin kembali membuatnya tersenyum bahagia. Tapi... tapi
apa yang aku perbuat justeru berakibat buruk pada Lizzyku yang malang,” Sukjin
kembali menutup wajahnya dan menangis. Lagi-lagi Magi hanya bisa diam dan
menunggu.
“Sampai
saat ini, aku tak bisa memaafkan diriku sendiri atas insiden yang menimpa
Lizzyku yang malang. Terus menyesalinya. Andai aku tak membuat rakit itu pasti
Lizzy masih hidup. Andai aku tak mengacuhkannya hari itu, pasti Lizzyku masih
hidup hingga kini. Aku telah membuat Lizzyku mati tenggelam di danau itu,”
Sukjin menangis menjadi-jadi. Menyesali kematian Lizzy Park yang menurutnya
adalah karena ulahnya.
Magi
menarik napas dan menghembuskannya pelan mengingat obrolannya bersama Sukjin
sebelum ia kemari, ke danau buatan di taman belakang sekolah. Magi duduk di
bawah pohon rindang di tepi danau. Memangku buku agenda berwarna coklat yang ia
bawa.
Suasana
lebih tenang di bangunan kecil yang dibuat oleh pihak sekolah sebagai tempat
tinggal untuk Sukjin. Sukjin tak menangis lagi. Ekspresinya terlihat lebih
tenang usai membagi cerita bersama Magi.
“Ini
adalah buku agenda kesayangan Lizzyku. Setiap pagi ia meninggalkannya bersamaku
agar aku bisa membaca apa saja yang ia tulis di sini. Sebagai ayah haruslah
tahu apa yang dilakukan anaknya ketika di luar rumah dan segala apa yang
diinginkan anaknya. Begitu kata Lizzy ketika aku menolak membaca buku agenda
miliknya. Sangat menghiburku ketika aku membaca semua yang ia tulis di sana.
Dia benar-benar putriku yang kembali. Lizzy membawa kehidupanku kembali. Aku
pinjamkan buku ini padamu. Semoga bisa membantu.” Sukjin mendorong buku di
hadapannya lebih dekat pada Magi. Magi terkejut mendapati buku agenda bersampul
kulit coklat yang sangat mirip dengan miliknya.
“Hanya
ini yang bisa aku lakukan untuk membantumu,” Sukjin membetulkan letak
kacamatanya.
Magi
mengelus buku dalam pangkuannya. “Sekarang, apa yang kau inginkan dariku? Lizzy
Park!” Magi menoleh menatap siswi dengan rambut panjang terurai yang menutupi
seluruh wajahnya.
***
Dan cinta akan menciptakan jalan sendiri untuk
menyatukan dua hati yang berbeda.
-------TBC--------
Keep on Fighting
shytUrtle
0 comments