Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy

07:09

Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy
It's about rainbow, love, hate, glory, loyalty, betrayal and destiny.......
 
 
. Judul: “Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy”
. Author: shytUrtle_yUi
. Rate: Serial/Straight/Fantasy-Romance.
. Cast:
-                  Song Hyu Ri (송휴리)
-                  Rosmary Magi
-                  Han Su Ri (한수리)
-                  Jung Shin Ae (정신애)
-                  Song Ha Mi (송하미)
-                  Lee Hye Rin (이혜린)
-                  Park Sung Rin (박선린)
-                  Song Joongki, L,Joe Teen Top, L Infinite, Jung Daehyun B.A.P, Jo Jonghwan 100%, Baro B1A4, Jang Geunsuk, Yoo Seungho, Kim Sunggyu Infinite, Choi Joonghun FT.Island, Cho Kyuhyun Super Junior, and many other found it by read the FF.
 
 
...Ketika kau melihat pelangi, apa yang ada di benakmu? Tujuh warnanya yang indah atau...? Di sini, Wisteria Land, kami percaya jika pelangi adalah jelmaan sang Naga. Naga arif dan bijaksana yang selalu mengawasi dan menjaga tanah Wisteria Land. Naga yang pada suatu waktu muncul dengan keelokan wujudnya dengan tujuh warna pelangi. Apa kau juga percaya akan hal ini...?
***
 
Land  #11

                Hyuri merasakan tangan kekar itu menekan erat kedua bahunya. Hyuri meringis menahan sakit. Ia terpejit, di tekan pada tembok oleh sosok yang tak bisa ia lihat wajahnya itu. Hyuri hanya tahu pelaku ini adalah seorang laki-laki. Hyuri yang tadinya berusaha berontak kini memilih pasrah. Tubuhnya gemetar karena takut.

                “Lepaskan dia!” tiba-tiba lampu dapur menyala. Magi muncul.

                Pemuda yang masih menekan bahu Hyuri dengan tangan kirinya itu mengangkat tangan kanan untuk menutupi wajahnya. “Dia, siapa?!” tanyanya tegas.

                “Gadis yang kau tolong kemarin malam. Temanku, Song Hyuri,” terang Magi.

                Hyuri terbelalak mendengar penjelasan Magi. Ia mengangkat kepala menatap pemuda di hadapannya. “Dia yang menolongku kemarin...?” batin Hyuri.

                Perlahan pemuda ini; L-Kim/Kim Myungsoo melepas tangan kirinya dari menahan Hyuri. Nafasnya yang tadi memburu berubah tenang secara perlahan.

                Hyuri masih penasaran menatap pemuda di hadapannya. Ia mengenali sorot mata itu. Sorot mata sosok misterius yang tiba-tiba muncul dan meonlongnya kemarin malam. Ia tersenyum. Benar pemuda ini yang menolongnya kemarin malam.

                “Kenapa menyerangnya? Pikirkan, bagaimana mungkin orang asing bisa masuk ke dalam rumah kita ini? Eiy... kau membuat istirahatku terganggu,” Magi berajalan mendekat.

                “Jeosonghamnida,” nada bicara pemuda ini masih saja demikian. Cepat dan tegas.

                “Dan kau, kenapa keluar malam-malam begini?” Magi beralih bertanya pada Hyuri.

                “Aku haus,” terang Hyuri.

                “Aku melihatnya, hampir saja mengambil botolku!” protes Myungsoo.

                Hyuri menatap keberatang pada Myungsoo.

                Magi menatap Myungsoo lalu Hyuri. “Benarkah?” tanya Magi kemudian menatap pintu kulkas yang masih terbuka. “Duduklah, kalian berdua,” pintanya sembari berjalan mendekati kulkas.

                Myungsoo langsung duduk. Hyuri masih menatap heran pada Myungsoo sambil bergerak pelan menarik kursi yang berada tepat di depan Myungsoo. Hyuri duduk dan mengamati Myungsoo. Pemuda itu duduk, terlihat gusar dengan kepala tertunduk. Tatapannya lurus pada meja di depannya.

                “Dia ini yang namanya L-Kim, panggil saja L atau Myungsoo, nama aslinya Kim Myungsoo,” terang Magi sambil mengambil botol berisi cairan merah di dalam kulkas dan mengambil tiga buah gelas. “Dia juga yang menolongmu dan Suri malam itu,” Magi bergabung ke meja. Meletakan tiga buah gelas di tangannya pada meja dan menuangkan isi botol yang berwarna merah itu ke dalam gelas. “Suri menelfon, terdengar begitu ketakutan, posisiku terlalu jauh, aku memberi tahu keempat saudaraku dan Myungsoo yang terdekat dengan lokasi kalian. Dia yang datang,” Magi membagikan dua gelas ke depan Hyuri dan Myungsoo. Ia pun duduk.

                “Walau Myungsoo tak bisa keluar di siang hari dan terkesan takut cahaya, dia bukan vampir. Minumlah,” Magi meneguk isi dari gelas di depannya.

                Myungsoo langsung meneguk habis isi dari gelas di depannya. Hyuri masih menatapnya. Keheranan. Usai minum, Myungsoo kembali seperti semula. Duduk dan tampak gusar dengan tak mengangkat kepala, tatapannya fokus pada meja.

                “Kamsahamnida, jongmal kamsahamnida karena sudah meonlongku,” ucap Hyuri masih menatap Myungsoo.

                “Tak akan melakukannya jika bukan perintahnya,” tangan kanan Myungsoo terangkat emnuding Magi.

                “Ada apa dengannya?” bisik Hyuri. “Benarkah ia menderita vampire syondrome?”

                “Aniyeyo. Mungkin kutukannya demikian,” jawab Magi santai. “Botol ini bukan berisi darah, tapi ramuan dari rempah-rempah. Aku sendiri yang membuatnya. Ini memang khusus untuk Myungsoo karena ia selalu terjaga sepanjang malam. Ini akan membuatnya tetap hangat. Kau tak ingin mencobanya?”

                Hyuri menatap gelas di depannya lalu kembali menatap Myungsoo.

                “Maaf jika sikapnya demikian. Ia paling jarang, hampir tak pernah berinteraksi dengan orang asing. Hanya melakukan sesuai perintah saja,” imbuh Magi.

                “Arasho,” Hyuri meraih gelas di hadapannya.

                “Aku pergi!” Myungsoo bangkit dari duduknyua menyaut botol di depan Magi dan meninggalkan dapur.

                Hyuri masih menatapnya dengan tangan mengangkat gelas. Magi tersenyum melihatnya.

                “Ah, mianhae,” Hyuri menyadari ekspresi Magi.

                “Myungsoo pasti membuatmu benar ketakutan. Apa kau terluka?”

                “Anee,” Hyuri tersenyum lalu meminum isi dari gelas di tangannya. “Eum! Ini enak sekali!” Hyuri kembali mencumbu aroma minuman di dalam gelasnya. “Kau sendiri yang membuatnya?” Hyuri segera meneguk habis isi dari gelas itu.

                “Hanya Myungsoo dan kini kau yang memuji minuman ini enak. Yang lain tak doyan.”

                “Benarkah...?”

                Magi tersenyum geli.
***

                Pagi ini alarm pada ponsel Hyuri tak lagi berdering, namun Suri sudah terbangun. Suri menguap, duduk menggeliat lalu menatap Hyuri yang masih terlelap.  Suri kembali mencium aroma dupa. Ini lebih pagi dari ia terbangun kemarin. Suri bergegas turun dan keluar kamar. Ia mengendus aroma wangi lotus ini dan berjalan menyusuri koridor.

                Sesampainya di ujung koridor, Suri tak menemukan siapapun di sana. Magi juga tak muncul. Suri menatap sayap kanan yang menyorotkan cahaya terang. Diam memperhatikan, ada rasa penasaran yang mendorong Suri untuk melangkah ke sayap kanan. Mencari tahu ada apa sebenarnya di sana. Selangkah maju, Suri kembali berhenti. Ia teringat peringatan Sungjeong tentang larangan menyentuh sayap kanan.

                “Ya Tuhan. Hampir saja aku melanggar aturan,” bisik Suri menyadari kesalahannya.

                Suri berajalan menuruni tangga. Sayup-sayup ia mendengar suara seperti seseorang yang sedang bekerja. Suri menajamkan indera pendengarannya sambil berjalan mencari sumber bunyi berasal. Langkah Suri terhenti di ujung lorong di sebelah kiri tangga. Sedikit gelap, namun Suri penasaran. Ia pun akhirnya menyusuri lorong itu. Mencari sumber bunyi berasal.

                Suri menemukan sebuah ruangan di ujung lorong ini. Pintunya sedikit terbuka. Cahaya terang muncul dari celah pintu yang sedikit terbuka itu. Suri mengerutkan dahi, kembali dibuat penasaran. Suri menoleh ke belakang, lalu berjalan pelan, mengendap-endap mendekati pintu itu. Suri merapat ke tembok ketika sampai di dekat pintu. Memastikan sekitarnya aman, tak ada orang lain yang mengetahui keberadaannya. Suri menggeser pelan tubuhnya yang masih merapat pada tembok mendekati pintu. Setelah tepat berada di samping pintu, Suri mengintip dari sisi kiri dimana ia berada, namun Suri tak bisa melihat apa-apa. Suri beralih ke depan pintu dan sedikit membungkukan badan, mengintip dari celah pintu yang sedikit terbuka.

                Tiba-tiba pintu terbuka. Baro terkejut menemukan Suri emmbungkuk di depan pintu. Suri terbelalak, pintu tiba-tiba terbuka dan ia dalam posisi membungkuk seperti ini. Suri merutuki kebodohannya. Suri menggigit bibirnya, malu dan kesal bercampur.

                “Jeosonghamnida, Baro-ssi,” ucap Suri sambil kembali menegakan badannya.

                “Gwaenchanna, hanya sedikit terkejut.”

                “Mendengar bunyi-bunyi sepagi ini dan penasaran, ketika mencarinya aku menemukan tempat ini. Benar-benar minta maaf, aku sangat tak sopan mengintip seperti ini,” Suri kembali membungkukan badan.

                “Untung bukan sayap kanan, jika ketahuan yang lain, mampuslah kau.”

                “Jongmal jeosonghamnida,” Suri benar menyesal.

                “Silahkan. Kau boleh masuk dan melihat-lihat,” undang Baro membuka pintu lebih lebar.

                “Nee...? Tapi bukankah Baro-ssi akan keluar tadi?”

                “Aku hampir selesai dan merasa ada yang aneh di luar sini, ternyata itu kau.”

                “Setajam itu...? Maksudku indera perasa, ah bukan...”

                “Masuklah!” potong Baro.

                Suri menyusul Baro memasuki ruangan itu. “Woa... ini tempat kerja Anda?” Suri terkagum-kagum mengamati isi dari ruangan itu. Ada botol-botol keramik dengan bentuk unik berjajar rapi di dalam sini.

                “Ekspresimu itu,” Baro geli memperhatikan Suri. “Ini hanya tempat produksi botol keramik kami. Sedikit panas di sini karena tungku pembakaran juga berada di sini.”

                “Ini semua Anda yang membuatnya? Mengerjakannya sendiri?”

                “Nee.”

                “Ini benar-benar hebat. Anda, kalian semua. Aku merasa beruntung bisa mengenal  kalian.”

                “Tapi rasa penasaranmu itu bisa membahayakanmu. Semoga kau selalu ingat semua yang dikatakan Sungjeong. Hanya Sungjeong yang benar-benar terlelap di kala malam.”

                “Nee...? Jongmalo? Magi pun tak tidur...? Pantas saja ia memiliki kantong mata seperti panda.”

                Baro tersenyum mendengarnya.

                “Aku akan selalu mengingat perkataan Lee Sungjeong-ssi.”

                Baro mengangguk. “Sebaiknya kau pergi sekarang. Kalau Sungjeong melihatmu berekeliaran sendiri sepagi ini, ia bisa benar-benar mencurigaimu daan bukan tak mungkin akan marah besar.”

                “Algesseumnida. Kamsahamnida Baro-ssi, sudah memaafkan aku dan mengijinkan aku masuk kemari untuk melihat-lihat,” Suri pamit.

                Baro mengangguk mengijinkan Suri pergi.
***

                Hari ketiga bagi trio Maehwa di Hwaseong Academy. Hari ini Magi lebih banyak diam. Menerima olokan dan bullying kecil dari murid-murid Hwaseong Academy yang lain. Hari ini Magi benar-benar menahan diri. Tak melawan sedikit. Hyuri yang kesal dan hendak membalas pun di tahan oleh Magi yang segera menenangkannya. Saat pulang, trio Maehwa kembali menemukan ban sepeda mereka kempes.

                Hari keempat bagi trio Maehwa di Hwaseong Academy. Magi masih bersikap sama seperti kemarin. Lebih banyak diam, menerima segala olokan dan perlakuan tak adil dari murid lain. Bahkan Magi pasrah saja ketika ia terkunci di dalam toilet kamar ganti siswi usai jam olah raga. Bukan hanya Suri dan Hyuri yang dibuat heran oleh perubahan drastis Magi. Jonghwan, Seungho dan Sungrin pun sama. Hami yang diam-diam memperhatikan juga penasaran apa yang terjadi pada Magi hingga gadis itu berubah total di hari ketiga.

                “Aku kesal! Ada apa denganmu? Pasrah saja menerima itu semua. Melarang Hyuri membelamu. Meminta kita sabar dan menerima itu semua. Ish! Kau ini kenapa Rosmary Magi?” Suri meluapkan kekesalannya saat pulang bersama malam ini.

                “Apa ini karena Lee Junki Sonsaengnim? Semakin kita diam dan pasrah, semakin kita diinjak-injak oleh mereka. Terutama para senior. Asal tak salah tak mengapa kan membela diri?” Hyuri menimpali.

                “Kau pikir aku tahan dengan itu semua? Mehanan diri itu lebih melelahkan daripada membuat kekacauan seperti tempo hari. Lelah sekali, membuatku tak bersemangat,” jawab Magi.

                “Lalu kenapa kau tetap melakukannya?” tanya Suri.

                “Aku tak ingin Lee Junki Sonsaengnim juga kalian turut menimba imbasnya. Imbas dari semua ulahku. Benar adanya, yang kaya dan berkedudukan pasti akan selalu menang.”

                “Jadi benar ini karena Lee Junki Sonsaengnim melarangmu? Orang itu, dari dulu aku tak begitu suka padanya. Terlalu lembek!” Hyuri kesal. “Mantan guru tertampan di SMA Maehwa itu, aku yakin dia tak begitu menderita. Sangat jauh dibandingkan dengan kita yanag setiap harinya harus melawan perlakuan murid-murid itu. Bisa-bisanya ia meminta kita diam menahan diri.”

                “Tapi... mengambil tindakan salah juga. Ah, posisi kita ini!” Suri tak kalah kesal seperti Hyuri.

                “Chingu, apa kalian masih tertarik pada pekerjaan tambahan usai jam delapan malam?” tanya Magi melencong dari bahasan.

                Suri dan Hyuri menatap heran pada Magi. Gadis ini selalu saja begitu. Kalau tidak pergi secara tiba-tiba, pastilah sesuka hati merubah topik obrolan.

                “Malam ini aku akan mengambil bagianku di sana. Jika kalian berminat, kalian boleh ikut denganku.”
***

                Suri terbelalak ketika sampai di depan Club Golden Rod. Salah satu tempat hiburan malam terbaik di Ambrosia. Walau demikian ia menurut saja, mengikuti langkah Magi bersama Hyuri.

                Sesampainya di dalam suasana masih lumayan sepi. Magi meminta Hyuri dan Suri duduk menunggu sedang ia segera menghampiri Jaesuk. Suri dan Hyuri menurut. Duduk menunggu Magi.

                “Jebal, Ajushi. Hanya sebentar saja dan beri mereka uang saku. Anggap saja demikian. Mereka teman-temanku, jika tak dapat penghasilan, bagaimana mereka akan mendapat tempat tinggal yang layak? Atau Ajushi lebih memilih memberi mereka suaka? Tempat tinggal seadanya. Aku benar-benar meminta tolong padamu, Ajuhsi,” Magi merayu Jaesuk agar mau menerima Hyuri dan Suri untuk bekerja di club miliknya.

                “Coba perhatikan mereka, cantik dan menarik bukan? Hanya perlu memperbaiki sedikit saja penampilan mereka. Atau jadikan saja mereka tukang cuci piring dan gelas di belakang, aku yakin mereka mau. Ajushi... jebal tolong aku,” rengek Magi.

                Jaesuk memperhatikan Hyuri dan Suri. “Aku terkejut. Kau memohon padaku seperti ini demi orang lain. Kenapa mereka kabur dari rumah?”

                “Satu di depak dari rooftop yang ia sewa karena tunggakan terlalu banyak, yatim piatu yang kabur dari rumah orang tua adopsinya. Satu lagi tak betah dengan pertengakaran ayah dan ibu tirinya.”

                “Kenapa jadi begitu perhatian pada mereka?”

                “Entahlah.”

                Jaesuk menoleh. Heran menatap Magi.

                “Hatiku ingin melakukannya, itu saja. Apa ini artinya aku mulai sayang pada mereka?” Magi balas menatap Jaesuk.

                “Hah. Coba kita lihat. Aku akan urus mereka, kau sebaiknya bersiap-siap,” Jaesuk bangkit dari duduknya dan berjalan menuju meja dimana Hyuri dan Suri duduk.

                “Nee!” seru Magi semangat. Ia tersenyum lebar dan pergi.

               
                “Teman-teman Magi?” sapa Jaesuk.

                Suri segera berdiri diikuti Hyuri. “Nee,” jawab Suri sopan.

                “Membawakan pesanan para pengujung yang datang, apaa kalian bisa melakukannya? Aku Yoo Jaesuk, pemilik club ini. Magi banyak memohon untuk kalian.”

                Suri dan Hyuri terkejut mendengarnya.

                Jaesuk memanggil salah satu karyawannya. “Berikan seragam pada mereka. Mulai malam ini mereka akan bergabung bersama kita. Ajari dan jelaskan apa yang harus mereka lakukan,” perintah Jaesuk pada gadis yang berdiri di dekatnya.

                “Nee,” jawab gadis itu sopan. “Ayo ikut aku!” ajak gadis itu pada Suri dan Hyuri.

                “Kamsahamida, Ajushi,” Suri membungkuk sopan sebelum pergi dari hadapan Jaesuk. Sedang Hyuri hanya menundukan kepalanya.

                “Hah... Rosmary Magi, ada apa dengannya?” gumam Jaesuk  seraya berjalan pergi.
***

                “Magi banyak memohon untuk kita? Ya, menurutmu kenapa ia bekerja di tempat hiburan seperti ini?” Suri merapikan seragamnya usai ia ganti.

                “Setelah kastil megah itu lalu toko parfum dan sekarang club ini. Jangan-jangan Magi juga pemiliknya,” respon Hyuri.

                “Ey! Aku tahu club ini milik Yoo Jaesuk. Pria yang mengajak kita ngobrol tadi.”

                “Bisa jadi dia hanya menerima atas nama saja kan? Maksudku Magi tak mau terlihat terlampau kaya.”

                “Hahaha ulasanmu konyol Song Hyuri, walau masuk akal juga.”

                “Aku dengar ada seniman Kampung Lupin yang sering tampil di sini juga kan?”

                “Iya. Kampung Lupin, kampung seniman dan juga kampung Gisaeng. Tapi yang aku dengar di sini terkenal baik dan jauh dari pria-pria genit. Tak menyediakan gisaeng.”

                “Tapi menyediakan Lady Escort untuk menemani minum. Apa bedanya?”

                “Ey! Tak semua Lady Escort mau diajak kencan atau tidur bersama pria-pria genit itu.”

                “Tak semua gisaeng mau diajak kencan atau tidur bersama. Hanya beda istilah.”

                Suri menggaruk kepala mendengarnya.

                “Mengambil bagianku di sana... Magi sudah begitu kaya, lalu untuk apa dia bekerja di tempat hiburan seperti ini?”

                “Aku juga penasaran akan hal itu. Dia kaya raya dan cantik, untuk apa lagi bekerja di sini?”

                Hyuri menghela napas panjang. “Mungkin kita akan tahu jika kita segera keluar dari ruang ganti ini.”

                Suri mengangguk paham.
***

                Hyuri dan Suri kembali usai mengganti baju seragam sekolah mereka dengan seragam waiters Club Gloden Rod. Gadis yang tadi diberi perintah oleh Jaesuk memberi pengarahan. Hyuri dan Suri menyimaknya. Kemudian keduanya mengangguk paham. Gadis itu pun meminta Hyuri dan Suri memperhatikan bagaimana rekan-rekannya bekerja karena ini hari pertama bagi keduanya. Gadis itu meninggalkan Hyuri dan Suri setelahnya. Hyuri dan Suri patuh. Keduanya berdiri mengamati apa saja yang dilakukan waiters di tempat ini.

                Pengunjung mulai memadati Club Golden Rod. Setengah jam berlalu dihabiskan Hyuri dan Suri berdiri mengamati seperti ini. Jika Suri benar mengamati bagaimana para waiters bekerja, Hyuri justeru terfokus pada beberapa Lady Escort Club Golden Rod. Wanita-wanita dengan fisik sempurna di mata pria.

                “Ternyata pengunjung wanita juga banyak ya,” Suri menoleh, menatap Hyuri. Kemudian ia mengikuti kemana arah pandangan Hyuri tertuju. “Ya! Kau tak berkedip melihat gadis-gadis itu,” Suri menyikut Hyuri.

                “Benar-benar sempurna. Aku tak punya harapan.”

                “Bukan Lady Escort jika tak memiliki fisik sempurna. Belakangan otak pun jadi kriteria untuk pekerjaan ini.” Suri kembali mengedarkan pandangannya. “Apa club ini juga menyediakan Boy Escort?” gumamnya.

                “Boy Escort...?” Hyuri menoleh pada Suri.

                “Untuk para pengunjung wanita.”

                “Mungkin saja. Aku pernah pergi ke sebuah club malam yang menyediakan Boyfriend, yaitu pria-pria tampan untuk menemani tamu wanita yang datang.”

                “Omo! Pemuda itu!” tuding Suri pada tamu yang baru nasuk; L.Joe.

                Hyuri turut memperhatikan L.Joe. “Kenapa dengan pemuda itu?”

                “Dia selalu ada dalam pertunjukan jalanan Magi. Beberapa kali aku melihatnya saat menonton pertunjukan jalanan Magi.”

                “Kau yakin itu dia?”

                “Yakin sekali. Dia selalu menonton di sisi yang sama dan membawa kamera tergantung di lehernya, lalu sesekali memotret Magi. Apa artinya malam ini Magi akan tampil di sini? Mendongeng? Bukan tak mungkin kan jika pemuda itu penggemar setia Magi.”

                “Dalam wujud Magi yang seperti itu...?” Hyuri sangsi.

                “Ey! Kau sudah melihatnya kan? Kerumunan penoton di jalan Elder Flower saat Magi mendongeng di sana.”

                “Kebanyakan orang tua yang menemani anak-anak mereka. Jika pemuda seperti dia, bisa lain lagi ceritanya.”

                “Benar juga. Rasa kagum itu terkadang tak karena fisik semata kan? Jika benar pemuda itu penggemar Magi, ia memilih orang yang tepat untuk dikagumi.”

                “Ya, apakah masuk akal jika Magi tampil mendongeng di sini...?” Hyuri mengedarkan pandangan mengamati kursi-kursi yang mulai penuh.

                Suri turut mengedarkan pandangan, “entahlah,” bisiknya dengan tatapan heran. Tak paham.
***

                Jaesuk naik ke atas panggung. Bertindak sebagai MC seperti yang sesekali ia lakukan sebelumnya. Ia memberi sambutan hangat diiringi rasa terima kasihnya untuk para pengunjung yang setia datang ke club miliknya ini. Suasana Kamis malam yang selalu hampir sama dari Senin malam dimana Snapdragon tampil. Di hari Senin dan Kamis malam, pengunjung rata-rata adalah penikmat setia pertunjukan Snapdragon.

                Hyuri dan Suri mulai disibukan dengan permintaan mengantar pesanan ke meja-meja tamu. Tak bisa lagi bersama-sama sejenak karena fokus pada tugas masing-masing.

                Di atas panggung seorang penyanyi solo sedang memeberikan penampilan terbaiknya untuk menghibur para pengunjung yang datang.

                Tepuk tangan riuh pengunjung ketika nama Snapdragon disebut mengusik konsentrasi Hyuri dan Suri. Keduanya dibuat penasaran dan segera menatap panggung menghentikan sejenak aktifitas mereka. Suri menemukan Hyuri. Ia buru-buru menghampiri Hyuri. Bergabung dengan rekannya itu. Berdiri menatap panggung yang kembali gelap usai Jaesuk turun.

                Tirai merah panggung bergerak membelah, terbuka. Sedang lampu panggun belum menyala. Masih gelap di atas panggung namun masih bisa terlihat jika di atas sana ada beberapa alat musik beserta orang-orang yang siap memainkannya. Lampu panggung pun menyala dan pengunjung kembali bertepuk tangan.

                “Omo! Itu... itu Magi...?” tuding Suri ke arah panggung.

                Hyuri mengerutkan dahi menatap panggung. Ia dan Suri tak salah lihat. Gadis dalam balutan gaun berwarna oranye itu adalah Magi.

                “Snapdragon itu Magi juga...?” bisik Suri.

                Snapdragon memainkan sebuah instrumental sebagai pembuka penampilan mereka. Perpaduan biola Minchi, keyboard Songeun, gitar Yeonmi, tabuhan drum Sori dan petikan kecapi Magi. Alunan syahdu bernuansa modern, klasik dan tradisional ini membius para pengunjung.
               
                Usai memainkan beberapa instrumental, Snapdragon menutup penampilan mereka dengan membawakan lagu You’ve  Got Away-Shania Twain dimana Magi kembali mengisi posisi vokal.

                Hyuri tersenyum masih menatap panggung. Baginya Magi benar-benar sosok yang tak pernah bisa di duga. Selalu penuh kejutan.

                Sepanjang pertunjukan Snapdragon senyum menghiasi wajah ayu Suri yang fokus menatap panggung. Melihat Magi bernyanyi seperti ini Suri tiba-tiba teringat pada pemuda berambut pirang yang biasa menonton pertunjukan Magi yang juga hadir malam ini; L.Joe. Suri segera mengalihkan pandangan ke meja no.8 dan menemukan L.Joe duduk di sana. L.Joe yang duduk tenang fokus menatap panggung dengan ekspresi penuh kekaguman. Suri memiringkan kepala, berpikir menganalisis tentang arti tatapan pemuda itu lalu ia tersenyum sendiri kembali menatap panggung.
***

                “Setelah ini apalagi? Kastil, toko parfum lalu Snapdragon,” Suri memecah kebisuan saat ketiganya berjalan pulang bersama menuntun sepeda masing-masing.

                “Kejutan apa lagi yang akan kau berikan pada kami?” sambung Hyuri.

                “Tidak ada,” jawab Magi singkat.

                “Dibalik penampilan ini... aigo. Aku benar-benar tak habis pikir. Bukankah lebih baik tampil sebagai dirimu yang asli?” Suri menggelengkan kepala.

                “Kau suka musik tapi kenapa kau malah mengambil club agraria sebagai kegiatan eskul?” tanya Hyuri.


                “Di sana kemampuanku tak akan berarti apa-apa. Terlebih melihatku yang soperti ini,” jawab Magi.

                “Jika kau mau tampil dengan dirimu yang asli, aku rasa mereka tak akan menolak,” dukung Suri.

                “Musikku hanya untuk Snapdragon dan Club Golden Rod,” tegas Magi. “Kalian dengar tentang kami?”

                “Iya. Lumayan. Kalian punya banyak penggemar. Apa selalu demikian? Menemani tamu usai tampil? Tapi aku tak melihatmu juga gadis pemain gitar it,” jawab Suri.

                “Sering kali pengunjung mengirim pesan ingin berinteraksi. Sampai detik ini aku belum bisa melakukannya.”

                “Membuatmu merasa seperti Gisaeng atau Lady Escort?” tanya Hyuri. “Dulu aku pernah memiliki cita-cita ingin menjadi pemain biola,” Hyuri tersenyum mengenang impiannya.

                “Kau tak pantas jadi pemain biola. Pantasnya menjadi pemain bola. Kau kan kuat sekali,” olok Magi.

                “Ish!” Hyuri kesal.

                “Bisa-bisa tali senar biola patah semua sebelum kau memainkannya. Bahkan mungkin hanya dengan menatapnya, biola itu sudah remuk,” Magi melanjutkan olokannya.

                Suri terkekeh geli. “Impian Hyuri keren. Aku tak menyangka dibalik itu semua kau masih punya sisi lembut, Song Hyuri,” Suri menambahi.

                “Puas-puaskan saja mengolokku,” Hyuri kesal dan berjalan mendahului.

                Magi dan Suri tersenyum bersama melihatnya.
***

                Dua sosok bergerak cepat di tengah kegelapan malam. Satu sosok lainnya bergerak di depan. Menghindari kejaran dua sosok lain di belakangnya. Dua sosok yang bergerak hampir bersamaan itu berhasil menyusul satu sosok yang sama-sama mereka kejar. Terjadi pertarungan. Sosok berkostum serba merah bercadar dan sosok berkostum jingga bertopeng bersama melawan sosok berkostum serba hitam menyerupai ninja. Sosok menyerupai ninja itu berhasil kabur setelah meledakan senjata yang menimbulkan asap tebal yang menghalau pandangan kedua lawannya.

                Asap tebal itu perlahan lenyap. Dua ksatria yang tersisa bisa mulai bisa memandang satu sama lain. Setelah asap benar-benar hilang, kedua ksatria wanita ini sama-sama siaga. Siap saling menyerang.

                “Buruanmu lepas. Apakah kau akan menuduhnya karena aku?” ksatria berkostum jingga dan bertopeng memulai dialog.

                “Iya. Andai kau tak mengacaukannya,” ksatria wanita berkostum merah dan bercadar membenarkan.

                “Andai kau mau sedikit mengalah. Kau terlalu terburu-buru,” ksatria berkostum jingga kembali menyarungkan pedangnya. “Tujuanku adalah ninja itu, bukan melawanmu di sini. Sekarang buruanku lepas.”

                Ksatria berkostum merah turut menyarungkan pedangnya.

                “Kau pasti seorang Reed.”

                “Seyakin itu?”

                “Reed memiliki bau tersendiri. Percaya atau tidak.”

                Ksatria bercadar terdiam.

                “Gaya bertempur Reed itu bisa ditebak.”

                “Siapa kau sebenarnya?!”

                “Achillea.”

                “Achillea...?”

                “Nee. Aku bukan Reed.”

                “Kau... seorang Eagle Fly Free...?”

                Achillea mengangguk.

                “Aku Windflower.”

                “Red Anemone.”

                “Nee...?”

                “Simbol di kostummu itu, Red Anemone. Lebih memilih Windflower pasti karena kau terkenal dengan kecepatan gerakan serangan.”

                Windflower tersenyum.

                “Senang bisa bertemu dan mengobrol sejenak denganmu di sini. Semoga kita berjodoh suatu hari nanti.”

                Windflower mengangguk kemudian membiarkan Achillea pergi.
***

                Magi tertidur pulas di dalam kelas. Hyuri menendang-nendang kursi Magi agar gadis itu segera bangun ketika menyadari Park Shihoo menemukan Magi sedang tertidur. Shihoo  yang terkenal killer geram melihat ada murid tertidur di dalam kelasnya. Shihoo kesal. Ia mengambil penghapus dan melemparnya pada Magi.

                Semua tercengang. Dengan gesit Suri menangkap penghapus itu. Menyelamatkan Magi dari serangan Shihoo.

                “Han Suri!” Shihoo menatap geram pada Suri.

                “Sonsaengnim bisa menegurnya dengan kata-kata, bukan dengan melempar penghapus seperti ini. Di SMA Maehwa, tak ada guru yang melakukan ini,” protes Suri.

                “Itu kenapa kalian jadi anak-anak yang begini bandel!” Shihoo membela diri.

                “Sonsaengnim mengincar kepala Magi. Ini tindakan ilegal bukan? Sonsaengnim tahu bagaimana seorang ibu bertaruh nyawa ketika mengeluarkan satu kepala? Jangan memukul kepala orang sembarangan.”

                Shihoo benar-benar dibuat geram. Berusaha keras meredam emosinya. Menatap kesal Suri.

                “Magi-ya... bangun!” Suri membangunkan Magi.
***

                Magi melangkah malas keluar kelas. Terlihat jelas jika ia masih ngantuk berat. “Ess... membersihkan lantai lapangan olah raga indoor lagi...? Aigo. Guru satu ini favorit sekali menghukum murid dengan cara ini,” gerutu Magi sambil berjalan menuju gedung olah raga.

                Magi sampai di gedung olah raga. Mengedarkan pandangan ke seluruh ruang yang luas itu. “Ok, Magi. Inilah obat untuk penghilang ngantukmu. Cepat selesaikan dan kau bisa kembali tidur tanpa kembali ke kelas. Huft! Hwaiting!” Magi menyemangati dirinya sendiri dan mulai bekerja. Mengepel lantai gedung olah raga.

                45 menit bekerja Magi pun selesai mengepel seluruh lantai gedung olah raga. Ia berjalan menuju pintu. Hendak pergi. Kurang beberapa langkah dari pintu, murid-murid kelas XI-G berdatangan memasuki gedung indoor. Mayoritas terkejut melihat Magi berada di dalam gedung olah raga ini sendirian. Magi memilih minggir namun ia terkepung di antara senior kelas XI-G dimana geng Flower Season Boys dan Nymphs berada.

                “Coba lihat siapa ini,” kata Kwanghee menghampiri Magi diikuti ketiga rekannya.

                Magi memilih menghindar namun belum bisa melepaskan diri dari kepungan para senior ini. Hyerin mengamati dari jauh sembari membantu Bora menyiapkan peralatan olah raga. Nana dan Suzy berdiri menonton tak jauh dari kepungan yang mengitari Magi.

                “Apa yang kau lakukan di sini...? Sebelum kami memulai jam olah raga?” tanya Kevin.

                “Menjalankan hukuman dari Park Shihoo Sonsaengnim. Harus membersihkan gedung ini karena aku tidur di kelas,” jawab Magi jujur.

                “Ige mwoya...? Kau membawa penyakit malasmu kemari...? Hagh! Kau lupa ini dimana...?” Taemin ikut angkat bicara.

                Shihoo baru sampai. Melihat Magi terkepung seperti itu, ia tak jadi memasuki gedung olah raga. Memilih bersembunyi namun tetap mengawasi.

                “Kita lihat. Apakah dia ini benar-benar penyihir,” Kwanghee memulai aksinya. Melempar bola voli pada Magi namun Magi berhasil menghindar. “Wow! Dia gesit juga.”

                “Jebal, geumanhae,” Magi lirih. Memohon.

                “Wae...? Tak tahan lagi...? Luapkan saja. Bukankah itu dirimu yang sebenarnya? Pemberontak!” Kwanghee menekankan pada kata “pemberontak”.

                “Aku bukan pemberontak,” Magi dengan suara lirih.

                “Setelah dua hari menahan diri, apa kau akan mengeluarkan sihirmu sekarang?” lanjut Kwanghee.

                “Aku bukan penyihir,” bantah Magi.

                Kwanghee memberi kode pada teman-temannya. Mereka menyebar. Melingkar mengepung Magi sambil memegang beberapa bola voli. Kwanghee memulai, melempar bola voli pada Magi. Bola voli yang dilempar Kwanghee mengenai lengan kanan Magi namun gadis itu tak melawan. Murid yang lain turut menyerang bergantian. Magi tak melawan. Membiarkan serangan bola voli itu bergantian menghujani tubuhnya. Magi hanya mengangkat kedua tangannya yang ia gunakan sebagai tameng untuk menutupi wajahnya.

                Shihoo khawatir, namun tetap menahan diri di tempat pesembunyiaannya. Memperhatikan murid-murid yang melakukan bullying pada Magi.

                “Ige mwoya...?” Bora usai kembali dari mengambil peralatan panahan. “Ya! Geumanhae!” teriak Bora sambil berjalan mendekat. “Apa kalian tak malu melakukan ini pada seorang gadis?” Bora berdiri di samping Magi.

                “Minggir kau! Penghianat pantas mendapatkan ini!” Kwanghee meminta Bora pergi.

                “Penghianat...? Hagh! Penghianat apa...?”

                “Dia pantas mendapatkan semua ini usai mengintimidasi Tuan Putri. Minggir kau Bora!” Kevin menyambung peringatan Kwanghee.

                “Bukan tidak mungkin jika dia termasuk salah satu calon pemberontak yang dibentuk SMA Maehwa. Jadi lebih baik kau minggir,” sambung Taemin.

                “Siapapun dia, saat ini dia adalah junior kita di sini.” Bora beralih menatap Magi. Gadis itu terlihat menahan sakit di tubuhnya akibat lemparan bola voli yang bertubi-tubi menyerangnya. “Gwaenchannayo?”

                Magi mengangguk.

                “Kau masih dalam hukuman?”

                Lagi-lagi Magi hanya mengangguk.

                “Bantu aku menyiapkan peralatan panahan,” Bora hendak membawa Magi pergi.

                “Hey!” Ren menahan bahu Magi. “Sebelumnya bereskan bola-bola itu, baru kau bantu Bora,” peruntah Ren datar.

                Tangan Magi mengepal. Menahan emosinya. Demi Junki, demi Suri, demi Hyuri. Magi melangkahkan kaki mulai memungut bola voli yang berserakan. Mengumpulkan dan memasukannya ke dalam keranjang, Usai memungut bola voli, Magi segera menghampiri Bora. Membantu menyiapkan peralatan panahan. Magi membawa busur dan anak panah terakhir. Tiba-tiba ada yang memukul kepalanya. Magi sontak menoleh.

                “Ups! Mianhae!” ucap Taemin enteng masih memegang pedang kayu di tangannya. Kwanghee dan Kevin tersenyum puas melihatnya.

                Magi penuh amarah menatap Taemin.

                “Wae...? Aku kan sudah minta maaf padamu,” Taemin menyincingkan senyum dan berlalu pergi.

                Kedua tangan Magi gemetar memegang busur dan anak panah. Magi berusaha keras menekan emosinya yang makin memuncak. Tubuh Magi gemetaran karenanya.

                “Taemin awas!” seru Suzy.

                Taemin menoleh dan terbelalak hingga pedang kayu di tangannya jatuh. Magi mengangkat panah membidik Taemin. Sontak semua yang ada di dalam gedung olah raga panik. Shihoo yang masih bersembunyi pun sama.

                “Magi-ya... geumanhae...” Bora mendekati Magi. Berdiri agak jauh di belakang Magi. “Anak panah itu benar-benar tajam. Turunkan busurmu,” Bora berusaha meredam amarah Magi.

                Taemin benar-benar ketakutan. Namun ia tak bisa beranjak dari tempat ia berdiri walau Kwanghee dan Kevin meneriaki Taemin untuk lari. Taemin pun ingin pergi, lari sejauh mungkin. Akan tetapi kakinya terasa terpaku di tempat ia berdiri.

                “Rosmary Magi! Hentikan ini!” Hyerin berdiri di samping Bora. Ia khawatir Magi benar-benar anak memanah Taemin.

                Magi masih mengangkat busurnya. Menatap lurus Taemin yang berdiri ketakutan. Shihoo bergegas keluar dari tempat persembunyiaannya. Langkahnya terhenti dan ia terbelalak.

                Taemin jatuh terduduk di lantai. Seketinya ia tak bisa menahan berat tubuhnya sendiri. Suzy, Kwanghee dan Kevin segera menghampiri Taemin.

                Magi terengah-engah. Membanting busur di tangannya dan berjalan pergi. Ia berhenti di dekat Shihoo sejenak. Melirik tajam Shihoo yang juga menunjukan ekspresi syok,. Magi melangkah keluar meniggakan gedung dengan langkah kesal.

                Bora menghampiri papan panahan dan dibuat ternganga. Hyerin dan Nana mengikuti dibelakangnya turut mengamati papan panahan. Ren mendekati papan panahan dan menyentuh anak panah yang sebelumnya di lepaskan Bora terbelah menjadi dua oleh anak panah yang baru saja dilepaskan Magi. Semua dibuat ternganga oleh perbuatan Magi ini.
***

                Magi duduk di bangku di taman belakang sekolah. Ia merasakan sakit di kedua lengan, punggung dan kedua kakinya. Magi melepas jasnya dan menyincing lengan. Tampak beberapa lebam menghitam di kedua lengan Magi. Bukti betapa kerasnya murid-murid melempar bola voli pada tubuh Magi. Magi menghela napas panjang melihat lebam-lebam menghitam di kedua lengannya.

                “Di luar cukup dingin, kenapa kau melepas jasmu?”

                Suara itu mengejutkan Magi yang segera menoleh ke arah kiri. Magi terbelalak menadapati L.Joe sudah berdiri tak jauh dari bangku tempat Magi duduk.

                L.Joe mengalihkan pandangannya pada lengan Magi. “Omo! Apa yang mereka lakukan padamu?” spontan L.Joe menghampiri Magi. Khawatir melihat lebam-lebam di lengan Magi.

                “Aniya. Gwaenchanna,”Magi bergerak cepat menggeser duduknya sedikit menjauhi L.Joe. Segera ia raih jas miliknya dan mengenakannya kembali.

                L.Joe iba menatap Magi yang sibuk mengenakan jasnya kembali. “Kenapa kau diam saja menerima ini semua? Kenapa tak melawan?”

                “Karena aku pantas menerimanya,” Magi merapikan jasnya.

                “Kau berhak melawan jika kau tak salah.”

                “Hagh! Jangan pura-pura berempati. Aku muak dengan itu semua.”

                “Aku tak pura-pura. Aku benar peduli padamu.”

                Magi diam. Menatap danau.

                “Apa kau sama sekali tak meningatku?”

                Magi masih diam menatap danau. Di dalam benaknya bermunculan segala sesuatu tentang pemuda ini. Teringat cerita Sungrin. Teringat waktu dimana Magi tiba-tiba meninggalkan pemuda ini di area parkir Club Golden Rod.

                “Aku Lee Byunghun, namun biasa dipanggil L,Joe,” L.Joe memperkenalkan diri.

                “Mianhae. Untuk malam itu,” Magi lirih.

                L.Joe tersenyum masih menatap Magi yangduduk di samping kanannya.

                “Untuk semuanya... terima kasih banyak. Tapi kenapa Sunbaenim melakukan ini?” Magi menoleh ke arah L.Joe. Ia menemukan L.Joe sedang tersenyum menatapnya.

                “Karena aku menyukaimu,” ungkap L.Joe.

                Magi terkejut mendengar pengakuan L.Joe.

                “Karena aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu di taman di jalan Elder Flower,” tegas L.Joe.
***

Sang Naga menghembuskan nafas cinta...?

-------TBC--------

Keep on Fighting
                shytUrtle

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews