Wisteria
Land: Another Story of Hwaseong Academy
It's
about rainbow, love, hate, glory, loyalty, betrayal and destiny.......
. Judul: “Wisteria Land: Another Story of
Hwaseong Academy”
. Author: shytUrtle_yUi
. Rate: Serial/Straight/Fantasy-Romance.
. Cast:
-
Song Hyu Ri (송휴리)
-
Rosmary Magi
-
Han Su Ri (한수리)
-
Jung Shin Ae (정신애)
-
Song Ha Mi (송하미)
-
Lee Hye Rin (이혜린)
-
Park Sung Rin (박선린)
-
Song Joongki, L,Joe Teen Top, L Infinite, Jung
Daehyun B.A.P, Jo Jonghwan 100%, Baro B1A4, Jang Geunsuk, Yoo Seungho, Kim
Sunggyu Infinite, Choi Joonghun FT.Island, Cho Kyuhyun Super Junior, and many
other found it by read the FF.
...Ketika kau melihat pelangi, apa yang ada di
benakmu? Tujuh warnanya yang indah atau...? Di sini, Wisteria Land, kami
percaya jika pelangi adalah jelmaan sang Naga. Naga arif dan bijaksana yang
selalu mengawasi dan menjaga tanah Wisteria Land. Naga yang pada suatu waktu
muncul dengan keelokan wujudnya dengan tujuh warna pelangi. Apa kau juga
percaya akan hal ini...?
***
Land #13
Kyuhyun mengembangkan senyum
manis di wajahnya. Jonghoon pun membalas senyum.
“Kebetulan sekali. Padat di
sana-sini dan hanya satu meja ini yang tersisa,” Kyuhyun memulai dialog.
“Beda berapa detik? Bukankah
bersamaan?” respon Jonghoon.
“Bagaimana kalau kita berbagi
meja saja? Cukup adil kan?”
“Apa kau merasa pantas?”
“Di sini tak ada yang
diperlakukan beda. Menurut perhitungan, aku lebih cepat satu detik darimu.”
Sungrin risih. Tapi ia tahu
Kyuhyun tak akan menyerah begitu saja. Terlebih ia pun tahu Kyuhyun unggul satu
detik dari Jonghoon. Sementara Hyerin tetap bersikap dingin. Tiba-tiba Kyuhyun
dan Jonghoon tertawa bersama usai bersitegang membuat Hyerin dan Sungrin heran.
“Mengejutkan, tapi senang bisa
berjumpa denganmu di sini, Hyung,” nada bicara Jonghoon lebih bersahabat.
“Ah, kita membuat gadis-gadis
ini bingung. Ayo duduk!” Kyuhyun mempersilahkan. Ia menarik kursi untuk Sungrin
duduk. Jonghoon juga melakukan hal yang sama untuk Hyerin. Keempatnya pun duduk
berhadapan di meja yang sama.
“Ritual kencan di Sabtu malam
berlaku juga pada anggota Reed?” Jonghoon kembali memulai obrolan.
“Kebetulan luang Sabtu ini. Aku
pikir kencan anak para menteri di tempat mewah, bukan mall seperti ini,” balas
Kyuhyun.
“Apa hebatnya tempat mewah? Jadi
ini kekasih dari Reed dengan nilai tes tertinggi?”
“Nee. Ini kekasihku, Park
Sungrin,” Kyuhyun sembari merangkul Sungrin. “Dia bersekolah di Hwaseong
Academy juga.”
Hyerin melirik Sungrin. Masih
dengan sinis.
“Dan inikah Nona Lee Hyerin? Ah,
kalian pasangan yang sempurna,” puji Kyuhyun.
“Nee. Ini gadis terbaikku,
kekasihku,” Jonghoon tersenyum bangga menatap Hyerin. “Kalian pun sama.
Terlihat serasi. Sempurna.”
“Tunggu! Kalian ini saling
kenal?” sela Hyerin.
“Nee. Kami bertemu saat ujian
negara untuk seleksi masuk Reed. Cho Kyuhyun Hyungnim peraih nilai tes
tertinggi,” terang Jonghoon.
“Oh, begitu. Maaf. Aku hanya
merasa heran, bingung melihat kalian tiba-tiba begini akrab.”
Sungrin bungkam. Duduk sebagai
pendengar sambil menikmati hidangan di depannya. Sebenarnya ia merasa tak
nyaman harus duduk berbagi meja dengan dua pesohor di sekolahnya ini. Beberapa
saat kemudian Sungrin pamit pergi sejenak.
Melihat Sungrin menuju toilet,
Hyerin turut pamit. Buru-buru menyusul Sungrin.
***
Hyerin dan Sungrin bersanding
mencuci tangan di wastafel di toilet. Sungrin tertunduk, fokus mencuci kedua
tangannya. Sedang Hyerin memperhatikan bayangan Sungrin di dalam cermin.
“Park Sungrin, ternyata itu
kau,” Hyerin memecah kebisuan.
Sungrin tetap tertunduk bungkam.
Mempercepat proses pencucian kedua tangannya.
“Aku dengar kala itu kau memberi
dukungan pada Rosmary Magi ketika ia memojokan Yang Mulia Tuan Putri di kelas,”
lanjut Hyerin.
Gerak tangan Sungrin berhenti.
Ia mematikan kran dan mengeringkan tangannya. “Maaf, aku meralatnya. Bukan
memberi dukungan, tapi mengungkapkan keberatan yang sama. Iya, bisa diartikan
memberi dukungan bagi sebagian orang.”
“Sepertinya kau mengenal
gadis-gadis itu dengan baik.”
“Kaum minoritas hanya bisa
bergaul dengan kaum minoritas. Bukankah demikian peraturannya? Kami telah
mematuhi hal itu ketika nasib mempertemukan kami di kelas yang sama di Hwaseong
Academy.”
“Karena ulahnya, gadis itu
menjadi sorotan di sana-sini. Berada dekat dengannya tak akan membuatmu aman.
Walau Yang Mulia Tuan Putri menepis tuduhan intimidasi, bukan berarti istana
mendiamkan hal ini. Sebaiknya kau menjaga jarak agar posisimu aman.”
“Apa ini ancaman?” Sungrin
menghadap Hyerin sepenuhnya kini. Menatap kakak seniornya itu tanpa ragu.
“Hanya mengingatkan. Demi
keselamatanmu sendiri. Di samping pengawasan istana, kau pasti tahu bagaimana
reaksi murid lain yang menolak keberadaan mereka bukan?”
“Hanya mengingatkanku? Sedang
Sunbaenim tahu jika diam-diam Tuan Putri juga menaruh perhatian. Apa ini yang
menjadi kekhawatiran kalian? Kalian para kaum mayoritas yang berkedudukan.”
Hyerin geram. Hanya bisa diam
menatap Sungrin yang penuh percaya diri.
“Setiap kaum punya cara sendiri
untuk mengatasi masalah mereka. Walau yang berkuasa selalu menindas, kaum lemah,
kaum minoritas tetap punya cara untuk bertahan. Daripada memberi peringatan
padaku, bukankah sebaiknya Sunbaenim memberi peringatan pada rekan-rekan
Sunbaenim itu? Padahal Sunbaenim punya kuasa untuk menghentikannya. Atau
mungkin benar ingin menikmati situasi
ini? Kalau begitu mari kita bersama-sama menikmatinya dalam wilayah
masing-masing. Tanpa harus memberi peringatan satu sama lain. Pada dasarnya ini
hanya permainan mereka. Kita hanyalah penonton,” Sungrin tersenyum tipis lalu berjalan keluar
toilet.
Hyerin kesal. Ia menghentakan
kedua kakinya lalu menyusul langkah Sungrin keluar toilet.
***
“Kau banyak diam. Pasti kesal
dengan perjalanan kali ini,” Kyuhyun memulai obrolan saat berjalan pulang.
“Ini dia kekasihku? Oppa apa
maksudnya? Terlebih di depan dua senior pesohor di sekolah. Apa Oppa sudah
dengar semua tentang kejadian di sekolah belakangan ini? Benar kami diawasi?
Oppa tak perlu khawatir tentangku hingga harus mengakui aku sebagai kekasih
dengan harapan Choi Jonghoon Sunbaenim yang mengenal Oppa mau memberiku suaka
perlindungan.”
Kyuhyun tersenyum kecil.
“Kesalmu bukan karena sebutan kekasih itu kan? Dia tiba-tiba menyusulmu ke
toilet. Ada sesuatu yang ia sampaikan?”
“Lupakan saja.”
Kyuhyun menarik bahu Sungrin
membawa gadis itu menghadap lurus padanya. Kyuhyun memperhatikan dengan seksama
wajah gadis cantik di hadapannya. “Aku melihat kemarahan berapi-api di matamu.
Ada apa sebenarnya?”
Sungrin tersenyum manis. “Semua
baik saja Oppa. Mianhae membuat Oppa khawatir.”
“Dasar moody!” olok Kyuhyun.
“Hehehe,” Sungrin terkekeh.
“Kau tak mau menjadi kekasihku?”
“Nee...?” Sungrin merasa salah
dengar. Sejenak kemudian Sungrin kembali tersenyum. Walau terkesan malu-malu
dan kaku. “Hentikan candaan ini Oppa.”
“Kau tak mau? Atau tak percaya?
Selama ini kau pikir kau hanya adik bagiku?”
“Bukan begitu, Oppa. Tapi…”
Kyuhyun menangkup wajah Sungrin
dengan kedua tangannya lalu mengecup lembut kening Sungrin. “Aku menyukaimu
lebih dari rasa suka seorang kakak pada
adiknya. Apa ini salah? Kau tak suka? Kau memiliki tambatan hati yang lain?”
Sungrin terdiam dengan wajah
masih berada dalam tangkupan kedua tangan Kyuhyun. Ia merasakan jantungnya
berdetub begitu kencang bertatapan begini dekat dengan Kyuhyun.
“Apa artinya diam ini,
Sungrin~aa…”
“Oppa… aku… aku…”
Kyuhyun mengecup cepat bibir
pink Sungrin.
Sungrin
terkejut menerima perlakuan Kyuhyun. Ia terdiam.
Kyuhyun
melepas kecupannya, tersenyum menatap lembut Sungrin. “Aku menyukaimu. Sangat
menyukaimu. Aku mencintaimu, Park Sungrin,” bisik Kyuhyun. “Apakah kau marah
padaku? Ini yang membuatmu kesal?”
Sungrin
hanya bisa menggeleng.
Kyuhyun
tersenyum lalu mendekap Sungrin dalam pelukannya sembari mengelus lembut rambut
panjang Sungrin.
Sungrin
pun tersenyum. Nyaman dalam pelukan hangat Kyuhyun.
***
Minggu
pagi yang cerah. Suri sengaja bangun lebih awal di hari libur ini. Semalam ia
sudah merencanakan hal ini bersama Hyuri. Setelah membasuh muka, Suri
membangunkan Hyuri. Menggoyang pelan badan Hyuri.
“Ck!
Anak ini! Kau akan menyesal Song Hyuri. Padahal ini kesempatan baik untuk
berkeliling kastil,” Suri ngomel sambil menatap Hyuri yang lelap dalam
tidurnya. “Baiklah. Aku pergi!” Suri menyambar baju hangatnya dan keluar kamar.
Saat
Suri berjalan menuruni tangga, Baro muncul dari lorong sisi kanan di bawah
tangga. Keduanya saling menatap. Baro tersenyum manis menyambut Suri.
“Selamat
pagi,” sapa Baro ramah. “Bangun sepagi ini di hari Minggu?”
“Sayang
kalau bangun siang. Menikmati pemandangan di sekitar kastil ini pasti
menyenangkan. Baro-ssi...”
“Panggil
saja Baro,” potong baru.
Suri
tersenyum sungkan dan mengangguk paham.
“Aku
akan ke hutan,” kata Baro.
Suri
melotot. Menatap tak paham pada Baro.
“Mencari
kayu bakar.”
“Hutan...?
Kayu bakar...?”
Baro
tersenyum kecil. “Penasaran sekali. Apa sebaiknya aku mengajakmu pergi?”
Suri
lebih terkejut mendengar ajakan Baro. Haruskah ia menerima ajakan ‘manusia
berbulu seperti serigala’ ini? Suri
terdiam antara takut dan penasaran.
***
Akhirnya
Suri memutuskan pergi bersama Baro. Ia mengikuti langkah Baro menuju bagian
belakang kastil untuk menuju hutan yang dimaksud. Sesampainya di belakang
kastil, Suri menemukan satu bagian dari kastil
yang baru pertama kali ini ia melihatnya. Saat Magi memperkenalkan
kastil ini padanya, Suri tak melihat sisi ini.
“Baro-ssi,
itu apa?” tuding Suri pada salah satu sudut tembok yang ditumbuhi bunga
Wisteria ungu yang menjulang tinggi hingga ke dekat jendela sebuah ruangan di
lantai atas.
“Itu
kamar Nona Besar,” jawab Baro seraya tersenyum.
“Magi...?”
“Nee.”
“Menghadap
bagian belakang kastil? Itu sayap kanan kan?”
“Nee.”
“Hah.
Dia itu benar berselera tinggi. Pastilah sangat menyenangkan ketika membuka
jendela di pagi hari sudah disambut wangi bunga Wisteria. Lalu hamparan pemandangan
indah ini,” Suri melayangkan pandangan ke kebun di bagian belakang kastil penuh
kekaguman. “Pantas saja ia selalu ceria. Pagi yang menyambutnya sudah mengatur
mood-nya dengan baik.”
Baro
hanya tersenyum menanggapi ocehan Suri dan kembali berjalan memimpin. Beberapa
langkah berjalan, Baro kembali menghentikan langkahnya.
“Itu
juga tempat favorit Nona Besar,” tuding Baro pada sebuah gazebo dengan empat
tiang kayu yang dililit tanaman Wisteria ungu hingga menjulang ke atap gazebo.
“Woa...”
Suri terkesima. “Wisteria lagi? Magi suka sekali bunga Wisteria?”
“Sudah
seperti ini sejak kami bersama-sama datang dan tinggal di kastil ini.”
“Bunga
Wisteria dimana-mana, apa karena kita tinggal dan hidup di Wisteria Land?”
“Salah
satunya iya. Bunga Wisteria adalah simbol keteguhan hati dan kepercayaan.
Dengan adanya bunga Wisteria Land di hampir seluruh wilayah kastil ini adalah
agar kita selalu ingat dimana kita berpijak, di Wisteria Land dan berpegang
teguh pada prinsip-prinsip dasar negeri ini yang semakin kemari semakin
luntur.”
“Magi
yang mengatakan itu semua?”
“Ini
diajarkan pada kami secara turun temurun oleh Tuan Besar, mendiang kakek Nona.”
Suri
tertunduk. Merenungi ulasan yang baru saja disampaikan Baro. “Miris memang,
mendapati negeri kita sekarang ini. Korupsi dimana-mana dan tak mempedulikan
rakyat yang menderita.”
“Itu
urusan mereka dan tanggung jawab mereka pula,” Baro kembali berjalan. “Lakukan
apa yang menurutmu benar untuk dirimu dan lingkunganmu. Jangan memusingkan diri
dengan pemerintahan. Tak ada untungnya.”
“Kau
benar, Baro-ssi,” Suri tersenyum lebar.
***
Usai
menyusuri kebun belakang kastil yang sangat luas, keduanya sampai diujung
terjauh dari kastil Asphodel ini. Suri kembali dibuat terkesima. Kastil ini
dilindungi tembok usang yang menjulang tinggi penuh keangkuhan. Dari sini
terlihat urutan tembok ini membentengi seluruh kastil. Tembok yang menegaskan
penjagaan ketat pada siapapun yang berada di dalam kastil ini.
Suri
masih berjalan di belakang Baro yang kemudian berhenti di depan sebuah pintu
pagar besi di tengah kokohnya tembok pelindung kastil. Tak setinggi di bagian
depan kastil namun sama-sama lusuh dan angkuh. Suri mengusuk tengkuknya yang
bergidik. Ia buru-buru menyusul Baro yang sudah berdiri dekat di depan gerbang
dan sibuk membuka gembok berantai yang mengunci rapat gerbang ini.
Baro
membuka pintu pagar besi itu. Setelah pintu itu terbuka Suri tak bisa melihat
apa-apa kecuali kabut tebal di sana-sini. Semakin bergidik dibuatnya. Baro
tersenyum dan mengulurkan tangan pada Suri. Suri terkejut menatap Baro. Baro
masih tersenyum menatap Suri dengan tangan terulur. Perlahan Suri menggerakan
tangan kanannya meraih uluran tangan Baro. Baro tersenyum manis dan menggenggam
tangan kanan Suri, menuntunya berjalan melewati pintu pagar besi yang telah
terbuka seluruhnya. Suri memejamkan mata ketika Baro membawanya menembus kabut
tebal dan melewati pintu pegar besi itu.
“Buka
matamu,” suara lembut Baro menyentuh telinga Suri yang masih berdiri memejamkan
mata.
Di
sini hawa di sekitar Suri terasa lebih hangat. Perlahan Suri membuka kedua
matanya. “Woa...” Suri terkagum-kagum berjalan gontai mengamati sekelilingnya.
Danau
nan tenang terhampar indah di depannya. Pepohonan hijau dan rindang, suara
kicuan burung dan sinar hangat mentari yang menembus rimbunya hutan ini. Suri
tersenyum lebar. Benar-benar sejuk,, damai dan indah. Melihat eksprei penuh
kekaguman Suri, Baro tersenyum manis.
“Baro-ssi,
apakah aku sedang bermimpi?” bisik Suri.
“Apa
perlu aku mencubitmu?” Baro balik bertanya.
Suri
kembali tersenyum lebar. ‘Ini surga, benar kan? Mirip seperti dalam film
Heavenly Forest yang aku tonton tempo hari dan sekarang aku di sini. Demi Naga
sang Pelindung Wisteria Land, ini benar-benar nyata di negeriku.”
“Hanya
berhenti di sini? Bukannya kau mau membantuku mencari kayu?” Baro mengusik
kekhusyukan Suri yang sedang menikmati dan memuji indahnya hutan ini.
“Ah,
maaf. Semua ini membiusku. Ayo! Kita mulai darimana?”
“Kaja!”
pimpin Baro.
Suri
mengikuti langkah Baro yang terus berjalan entah membawanya kemana. Suri
benar-benar menikmati perjalanan ini. Berkeliling di tengah hutan indah ini.
Lama berjalan barulah Suri menyadari jika ia telah berada jauh dari kastil.
Jauh dari Hyuri. Jauh dari Magi. Hanya berdua dengan ‘manusia berbulu seperti
serigala’. Mendadak Suri merasa ngeri. Kembali bergidik. Baru ia menyadari jika
Baro hanya mengajaknya berjalan entah kemana namun tak sekalipun memungut
ranting atau mematahkan ranting pohon untuk dijadikan kayu bakar. Pikiran buruk
menyusup ke dalam benak Suri. Ia teringat bagaimana ekspresi keberatan keluarga
Magi ketika ia datang bersama Hyuri malam itu.
“Tunggu!
Kita ini mau kemana?” Suri menghentikan langkahnya. “Kau mengatakan kita akan
mencari kayu, tapi kita hanya berjalan saja sejauh ini.”
Baro
menghentikan langkahnya. “Untuk apa mencari kayu? Sudah ada yang menyediakannya
untuk kami tanpa harus bersusah payah mencarinya.”
Suri
terbelalak. “Ap-apa maksud Anda, Baro-ssi!?” Tiba-tiba Suri merasa takut.
Tubuhnya gemetaran. Terlebih ketika Baro membalikan badan dan menatapnya.
Baro
menyadari perubahan ekspresi Suri. “Kau kenapa? Han Suri-ssi?”
“Akan
kau bawa kemana aku? Apa sebenarnya tujuanmu?!” tegas Suri sedikit membentak.
“Kau
berpikir buruk tentangku?” wajah polos Baro ini kembali muncul.
Suri
meragu. Pemuda ini tampak begitu polos. Bagaimana ia bisa berpikir buruk
tentangnya?
“Aku
tak bermaksud membuatmu takut. Ada sesuatu yang ingin aku tunjukan padamu.
Letaknya tak jauh lagi dari sini. Sebentar lagi sampai. Sebentar lagi,” Baro
dengan wajah mengiba.
Suri
masih terdiam. Perlahan rasa takutnya mulai sirna. Namun masih ada sedikit
was-was merubungnya.
“Han
Suri-ssi tak percaya padaku?”
Melihat
ekspresi memelas Baro membuat Suri luluh. “Mianhae. Aku pasti benar menyinggung
perasaanmu Baro-ssi.”
Baro
tersenyum, “Itu wajar. Karena penampilanku yang bak serigala ini. Tak apa,”
ucapnya menenangkan. “Masih ingin lanjut atau sebaiknya kita kembali?”
“Sudah
sejauh ini, aku penasaran pada apa yang ingin kau tunjukan padaku hingga nekat
membawaku sejauh ini.”
Baro
tersenyum lebar. “Ayo! Ayo! Sebentar lagi sampai!” ajaknya penuh atusias.
Suri
tersenyum kembali berjalan mengikuti Baro.
Sesuai
yang Baro janjikan, tak lama kemudian keduanya sampai di sisi danau yang lain.
Di sini lebih terang, lebih lapang. Jauh dari pepohonan rindang. Suri merasakan
kebebasan di sini. Ia menghadap danau, merentangkan kedua tangannya sambil
menutup mata. Merasakan semlilir angin musim semi di pagi ini.
“Indah
sekali. Kamsahamnida Baro-ssi,” Suri tersenyum tulus pada Baro.
“Kemarilah
sebentar,” panggil Baro yang berdiri tak jauh dari Suri.
Suri
menurut saja. Berjalan mendekati Baro.
“Ini
yang ingin aku tunjukan padamu,” Baro menggeser tubuhnya.
Suri
terbelalak. Kedua matanya berbinar mendapati segerombol tanaman mawar liar. Ia
menghampiri tanaman itu. Berlutut di dekatnya. Menatapnya riang. Teramat
senang. “Eglantine Rose...” bisik Suri sembari mengelus lembut kelopak pink
salah satu bunga mawar liar di hadapannya itu. Suri tersenyum kagum menatap
bunga-bunga kecil berwarna pink itu.
“Sekali
lagi, terima kasih banyak Baro-ssi,” Suri masih berlutut di depan gerombolan
bunga mawar liar berwarna pink itu.
“Aku
heran. Aku rasa mereka mekar terlalu cepat. Apa karena kehadiranmu?”
Suri
tersenyum tersipu.
***
Baro
dan Suri kembali dari jalan-jalan pagi di hutan. Suri menghentikan langkahnya,
berdiri diam menatap gazebo yang berhiaskan bunga Wisteria ungu di empat pilar
kayunya yang menjulang hingga ke atap gazebo. Magi duduk bersila di dalam
gazebo. Kedua mata Magi terpejam. Magi sedang bermeditasi ditemani dupa menyala
tak jauh darinya duduk bersila. Suri berdiri diam mengamatinya.
Selalu
ada rasa itu, sungkan dan penasaran ketika Suri bertemu Magi dalam penampilan
ini. Penampilan Magi yang sebenarnya. Bukan Magi berambut oranye dan berkepang
dua melainkan Magi berambut cokelat bergelombang itu. Ada pesona dan wibawa
yang begitu besar dirasakan Suri dari penampilan asli Magi. Bahkan ia merasa
harus sangat berhati-hati ketika bertutur di hadapan Magi yang berpenampilan asli.
Seperti bagaimana Sungjeong dan Baro bersikap. Suri tak tahu mengapa ia merasa
demikian. Masih ia cari jawaban dari apa yang ia rasakan itu.
Suri
tersentak. Sadar dari lamunannya sembari menatap Magi ketika Magi tiba-tiba
membuka mata dan tersenyum padanya. Magi tersenyum dan menganggukan kepala,
memberi isyarat agar Suri mendekat. Suri paham dan berjalan mendekati gazebo.
“Berminat
duduk bergabung?” Magi menawari dengan suara lembut dan nada bicara rendah.
Lagi-lagi
Suri dirubung rasa sungkan itu.
“Perjalanan
pagi ini apakah menyenangkan?” tanya Magi berikutnya. Masih dengan lembut dan
sopan.
“Nee.
Sangat menyenangkan,” Suri masih bertahan berdiri.
“Baro
mengatakan bunga Eglantine Rose di hutan mekar lebih cepat dari perkiraannya.
Ia mendapatkan info tentangmu setelah kau datang malam itu. Kau dan nama
Eglantine itu. Semalam ia meminta izin padaku ingin mengajakmu jalan-jalan ke
hutan melihat bunga itu. Ternyata pagi ini kalian telah memperoleh kesempatan
itu. Sungguh tak terduga. Begini cepat jodohmu bertemu bunga cantik itu.”
“Benar-benar
indah. Aku senang sekali. Terima kasih. Kalian benar-benar memberiku
perhatian.”
“Itu
Baro, bukan aku.”
Suri
hanya tersenyum. Ia benar-benar dibuat tak mampu bertindak cerewet seperti
biasa di depan Magi dengan penampilan asli ini. Suri kembali mengamati Magi. Ia
tetap terlihat cantik di balut kimono serba putih pagi ini.
“Kau
sudah kembali rupanya,” sela Sungjeong yang baru sampai di gazebo.
“Selamat
pagi, Sungjeong-ssi,” sapa Suri seraya sedikit menundukan kepala.
“Sarapannya
sudah siap. Song Hyuri bertanya tentang keberadaanmu. Sebaiknya kau segera
menemui temanmu itu,” Sungjeong ketus.
“Oh
, iye,” Suri kembali menunduk sopan.
“Nanti
malam, kita minum teh bersama di sini. Bagaimana Suri?” tanya Magi.
Suri
bingung menatap Magi lalu Sungjeong.
Magi
tersenyum, “Sampaikan pada Hyuri karena aku tak akan sarapan di meja makan pagi
ini,” pintanya.
“Oh,
nee. Aku permisi pergi,” pamit Suri
kemudian bergegas pergi.
“Setelah
matahari terbenam, pastikan semua berkumpul di sini. Tanpa terkecuali,” Magi
mengulang titahnya pada Sungjeong.
“Iya,
Nona.”
***
“Mwo...?
Hutan...? Di belakang kastil...?” Hyuri saat mendengar Suri bercerita usai
sarapan pagi.
“Em.
Hutan yang indah dan luas. Aku sudah membangunkanmu, tapi kau tak merespon. Kau
sendiri yang ingkar janji.”
“Kastil
ini berada di perbatasan, hampir tak terjamah, wajar jika ada hutan di belakang
sana.”
“Lalu
kenapa kau tadi begitu terkejut? Hutan perbatasan mayoritas didominasi satu
jenis tanaman, yang aku temui tadi sangatlah berbeda. Ada danau nan indah.
Benar-benar seperti surga.”
“Memangnya
kau pernah ke surga?”
“Ih!
Kau pernah nonton film Jepang Heavenly Forest?”
“Hah!
Dasar otak pecandu film!”
“Gambaran
hutan yang baru aku kunjungi pagi ini, mirip dalam film itu. Di sini lebih
indah. Mungkin karena real. Seperti bermimpi ketika mataku terbuka dan
melihatnya,” mata Suri berbinar kembali mengingat bagaimana ia tiba di hutan
pagi ini.
Hyuri
menghela napas. “Apa benar itu hutan tak terjamah?”
“Sebelumnya
iya,” sahut Nichkhun yang tiba-tiba muncul dan berjalan mendekat. Menghampiri
Suri dan Hyuri yang sedang ngobrol di dekat Wisteria Tunnel. “Kawasan ini juga
hutan itu adalah kawasan terlarang sebelumnya. Hingga kalian datang malam itu
bersama adikku, Magi. Aku heran bagaimana ia bisa begitu tersentuh pada apa
yang menimpa kalian.”
“Kami
tahu ini sangat membebani. Kami hanya menumpang sementara. Setelah mendapatkan
tempat tinggal, kami akan segera pergi dari sini.” Tegas Hyuri.
“Baguslah.
Aku harap itu terwujud secepatnya.” Nichkhun kemudian berjalan pergi.
“Hah...
sepertinya hanya Magi yang tak keberatan kita berada di sini. Atau dia juga
terpaksa?” Suri setelah Nichkhun pergi.
“Kau
pun curiga padanya?” Hyuri menatap serius pada Suri.
“Tidak
sih. Sorot matanya itu tulus. Kenapa mereka membentengi Magi sedemikian rupa?”
“Kau
penasaran pada Magi?”
“Makin.
Kau tahu aku begitu... begitu sungkan ketika harus berhadapan dengan Magi asli.
Maksudku Magi yang di sini. Magi yang sebenarnya. Bukan Magi berambut oranye
dan berkepang dua di sekolah. Kau juga?”
“Sedikit.”
“Menurutmu
semua ini janggal...?”
Hyuri
hanya diam. Berpikir.
***
Baro,
Nichkhun, Magi, Myungsoo dan Sungjeong duduk berkumpul di gazebo beberapa menit
setelah matahari terbenam. Beberapa saat kemudian Hyuri dan Suri datang. Magi
mempersilahkan keduanya duduk bergabung. Hyuri dan Suri menatap kagum pada Magi
yang malam ini terlihat cantik dan anggun dalam balutan hanbok berwarna peach.
Magi
tersenyum melihat Hyuri dan Suri canggung duduk bersama seperti ini. “Ini
kebiasaan dalam keluarga kami. Setelah matahari terbenam sempurna, sekali dalam
seminggu kami duduk berkumpul di sini menikmati teh lotus.” Terang Magi lembut.
“Teh
lotus....? Bukankah hanya para bangsawan yang meminum teh ini?” Batin Suri.
Hyuri
diam melirik Myungsoo yang tetap seperti itu. Seperti pertama kali ia melihat
pemuda itu. Duduk dengan kepala sedikit tertunduk. Tatapannya lurus ke bawah.
Tepat di depan ia duduk. Walau tak ada apa pun di meja di depannya, namun
Myungsoo tetap fokus menatapnya. Diam seperti itu. Sepertinya tak akan berubah
hingga seseorang memerintahnya untuk beranjak.
Magi
kembali tersenyum menyadari perhatian Hyuri terfokus pada Myungsoo. “Kim
Myungsoo selalu demikian. Sesungguhnya ia sangat tak nyaman berada bersama
orang asing. Makanya sesekali ia tampak gusar dalam duduknya.”
Hyuri
tersenyum sungkan dan segera megalihkan pandangan.
“Malam
ini aku menyajikan teh kamelia sinesis untuk kita nikmati bersama. Aku sendiri
yang menyeduhnya,” imbuh Magi.
“Karena
ada kami jadi teh lotus tak jadi disajikan. Karena kami bukan bangsawan. Ah,
Magi itu bangsawan? Eum, tapi sekarang ini teh
lotus bisa didapatkan dengan sedikit membayar mahal,” Suri masih
bergumam dalam hati.
Magi
mengaduk-aduk teh dalam wadah besar di depannya. Cawan keramik besar khas para
bangsawan menyeduh teh. Lalu menuangkannya pada cangkir-cangkir kosong dengan
jumlah sesuai dengan orang yang duduk berkumpul di gazebo ini.
“Semua
peralatan ini khas bangsawan. Apa mungkin dia masih keturunan bangsawan?” Suri
bergumam dalam hati penuh telisik tentang Magi.
Sungjeong
membantu Magi membagikan cangkir-cangkir berisi teh kamelia hangat pada setiap
orang yang duduk berkumpul di gazebo ini.
“Kalian
betah kan tinggal di sini? Tempat aneh ini? Maaf, ini semua pasti membuat
kalian tak nyaman.” Magi bertutur sopan.
“Aniya.
Di sini amat menyenangkan,” sahut Suri.
Nichkhun
dan Sungjeong kompak menatapnya tajam. Suri segera menarik senyumnya. “Tapi,
kami tak akan lama-lama di sini. Setelah uang kami terkumpul dan kami mendapat
tempat tinggal, kami akan pergi,” Suri menyanggupi.
“Selama
belum mendapatkan semua itu, aku harap kalian betah di sini,” Magi seraya
tersenyum manis.
Suri
tesenyum sembari mengangguk pelan. Rasa sungkan itu muncul lagi. Ia kembali
tertunduk tak kuasa beradu pandang dengan Magi.
***
Hoya
mengamati daftar peserta baru club botani . Peminat club botani tahun ini
kembali mengalami penurunan. Hoya menghela napas. Mendesah. Miris merasakan
penurunan jumlah peminat club yang ia ketuai ini.
Kening
Hoya berkerut ketika ia sampai di halaman kedua. Ia menemukan nama Han Suri,
Rosamary Magi dan Song Hyuri dalam daftar anggota baru club Foxglove club
botani yang ia ketuai.
Hoya
menyimpan kertas berisi daftar anggota
baru ketika rombongan anggota baru memasuki Rumah Hijau yang sekaligus menjadi
basecamp club Foxglove. Miris memang. Club Foxglove hanya mendapatkan rumah
kaca ini sebagai tempat kegiatan dan basecamp.
“Selamat
datang, selamat bergabung dalam club Foxglove. Club botani atau club agraria di
Hwaseong Academy ini. Sampai detik ini, di sinilah basecamp kita. Kami sedang
mengajukan pembangunan kantor basecamp untuk club Foxglove, namun belum kunjung
di acc. Alasan tentunya kalian tahu. Minimnya anggota club ini. Aku memberi
tahu kalian dari awal seperti ini agar kalian tak merasa menyesal telah
bergabung dalam club ini,” Hoya memberikan sambutan pada anggota baru.
“Aku
Hoya, ketua club Foxglove. Aku harap tak ada yang satu pun dari kalian yang
berniat mundur usai aku mengatakan kebenaran miris tentang club yang kalian
pilih ini. Golongan mayoritas menyebut club kita ini club buangan. Setelah
mendengar ini semua apa ada yang berniat mundur?” lanjut Hoya.
Semua
anggota baru saling berbisik. Entah kebetulan atau memang sengaja, Seungho dan
Jonghwan juga memilih bergabung club Foxglove bersama Magi, Suri dan Hyuri.
Siang ini saat jam istirahat seluruh anggota baru diundang datang ke Rumah Hijau
untuk menerima sambutan dan pengarahan singkat dari pengurus club Foxglove.
“Tak
ada yang mundur?” tanya Hoya mengamati anggota baru. Beberapa rekannya pun
melakukan hal yang sama. “1... 2... 3... Ok! Kalian semua ingin tinggal?”
“Ingi
tetap tinggal di rumah para peri ini!” seru Magi penuh semangat. Sontak semua
mata tertuju padanya. “Dalam dongeng, bunga Foxglove banyak digambarkan sebagai
rumah peri kan?” Terang Magi menjawab tatapan heran rekan-rekannya.
“Ah,
iya. Benar.” Hoya tersenyum lebar. “Mari kita belajar bersama-sama dalam club
Foxglove ini. Jadilah peri-peri yang selalu bersikap ramah pada tumbuhan dan
selalu menjaganya,” Hoya kembali
tersenyum, kali ini sembari melirik Magi.
Di
akhir pertemuan, seluruh anggota baru diberi sebuah polibek yang berisi benih
tanaman tertentu. Mereka diminta merawatnya. Memantau benih-benih itu tumbuh
berkembang.
***
Magi,
Hyuri, Suri, Seungho dan Jonghwan bersama meninggalkan Rumah Hijau dengan
membawa polibek masing-masing. Mereka berjalan sambil ngobrol. Kelimanya
terlihat akrab. Sesekali tertawa bersama sambil terus berjalan.
Suri
berjalan mundur sambil berbicara menghadap keempat temannya yang berjalan di
depannya. Saat berbalik, Suri tak sengaja menabrak seseorang hingga polibek di
tangannya terjatuh. Suri terbelalak. Polibek milik Suri jatuh dan menimpa
sepatu seseorang yang tak sengaja ia tabrak. Suri menatap iba polibek yang
jatuh berantakan di tanah dan memuntahkan isinya termasuk benih tanaman milik
Suri. Perlahan Suri mengangkat kepala. Suri kembali terperangah kaget mendapati
sosok yang ia tabrak. Suri menabrak Jung Ilhoon, rapper Elroy, boyband
kebanggaan Hwaseong Academy. Suri menggigit bibirnya menatap Ilhoon yang
menatapnya tajam.
Ilhoon
bersama keempat rekannya Daehyun, Yoseob, Woohyun dan Changjo berdiri
berhadapan dengan Suri. Di belakang Suri berdiri Magi, Jonghwan, Hyuri dan
Seungho. Ilhoon dan rekan-rekannya menatap sinis kelima junior mereka ini.
“Jeosonghamnida,
jongmal jeosonghamnida, Sunbaenim,” Suri membungkuk hingga 90© di depan Ilhoon
dan kawan-kawannya.
Ilhoon
tak menjawab. Ia menendang polibek milik Suri yang terjatuh menimpa kaki
kanannya hingga benih yang tertanam dalam polibek itu terlempar keluar.
Suri
melotot kaget melihat Ilhoon menendang polibek miliknya hingga tanah dalam
polibek itu makin berhambur keluar dan turut melempar benih yang tertanam di
dalamnya keluar jauh dari dalam polibek yang tergeletak di tanah. Suri
menatapnya dengan sedih namun tak berani memungut polibek itu.
“Temanku
sudah meminta maaf, kenapa Sunbaenim menendang tanaman miliknya?” protes Magi.
“Lekaslah meminta maaf. Tanaman itu tak bersalah. Ia tak sengaja jatuh menimpa
sepatu Sunbaenim atau ia akan marah dan balik menyerang Sunbaenim.”
“Mwo...?
Hagh! Kau mengancam?” Ilhoon mencibir.
“Hanya
mengingatkan. Tanaman juga punya nyawa. Apa pun yang bernyawa pasti punya
rasa.”
“Benar
kan yang aku katakan. Kutukan sial itu benar-benar menghinggapi SMA Maehwa dan
murid-muridnya,” komentar Daehyun seraya melirik sinis pada Hyuri. “Kita
bertemu di sini dan kau sial,” Daehyun merangkul Ilhoon.
Hyuri
hanya bisa diam dan menatap kesal pada Daehyun.
“Dia
ini yang Sabtu kemarin diundang naik ke atas panggung kan?” Yoseob mengamati
Magi.
“Iya,
itu dia. Dia yang merapalkan mantra dalam film Hocus Pocus. Lumayan menghibur
bukan?” Changjo membenarkan.
“Mereka
ini... Sanderson Sisters. Ada baiknya kita menghindar,” saran Woohyun namun
dengan nada meledek.
“Andai
Sabtu kemarin mereka maju bersama, apa jadinya aula pertunjukan ya?” Yoseob
dengan senyum yang sama. Senyum penuh cibiran untuk Suri dan kedua rekannya,
Magi dan Hyuri.
“Tapi
satu ini yang membuat kacau tali sepatu Flower Season Boys. Sebaiknya kau
berhati-hati Ilhoon. Dia sudah memperingatkanmu,” imbuh Woohyun masih dengan
ekspresi meledek.
“Hah!
Polibek ini benar-benar membuatku kesal!” Ilhoon mengangkat kaki kanannya
tinggi-tinggi. Siap menginjak polibek milik Suri dimana benih tanaman masih
tersembul keluar tak jauh dari polibek.
“Andwae...”
bisik Suri menggeleng.
Semua
terkejut. Kaki kanan Ilhoon yang terangkat tinggi tertahan di udara. Tak bisa
digerakan seolah ada yang memeganginya erat. Ilhoon tak bisa menggerakan
kakinya.
Keempat
rekan Ilhoon panik. Daehyun mengamati trio Maehwa. Tatapannya terhenti pada
Magi. Gadis itu berdiri diam dengan tatapan tanpa ekspresi pada kaki kanan
Ilhoon. Woohyun, Changjo dan Yoseob juga menyadari hal itu.
“Penyihir!
Hentikan!” bentak Daehyun.
Tiba-tiba
Ilhoon terjatuh seperti ada yang mendorongnya. Lebih tepatnya melepas pegangan
pada kaki kanannya yang terangkat hingga membuat Ilhoon jatuh. Rekan-rekan
Ilhoon membantunya sambil menatap sinis pada Magi yang tetap datar menatap
mereka.
***
Gosip
penyerangan yang dilakukan Magi pada Jung Ilhoon segera menyebar luas ke
seluruh jagad Hwaseong Academy. Trio Maehwa, khususnya Magi kembali menjadi
sorotan dan menjadi bahan obrolan murid lain.
Kepala
Sekolah kembali dibuat pusing dengan kekacauan yang ditimbulkan murid pindahan
dari SMA Maehwa itu. Sebentar lagi ia pasti mendapat telfon dari pihak istana
untuk memastikan keselamatan Tuan Putri lengkap dengan khotbah panjang agar ia
mengambil tindakan tegas pada murid pindahan itu. Tak lupa pula ancaman istana
akan turun tangan jika Son Hyunjoo sang Kepala Sekolah tak berhasil mengatasi
kenalakan murid itu. Hyunjoo segera memanggil Hyungbum, Shihoo dan Junki ke
kantornya.
Magi
tertunduk duduk di antara Hyuri dan Suri. Seungho dan Jonghwan sama-sama
mengerutkan dahi usai mendengar penjelasan Magi.
“Sungguh
bukan aku yang melakukannya. Tapi gadis itu. Gadis yang sama. Gadis yang juga
mengacaukan tali sepatu Flower Season Boys Sunbaenim,” Magi mengulangi
penjelasannya lagi. Ia menolak tuduhan tentang apa yang menimpa Ilhoon adalah
ulahnya. “Ia muncul dan mengelus benih tanaman milik Suri. Saat Ilhoon
Sunbaenim hendak menginjak benih itu
gadis itu menahan kaki kanan Ilhoon Sunbaenim lalu beberapa saat kemudian
melepaskannya hingga Ilhoon Sunbaenim terjatuh. Tepatnya saat Daehyun Sunbaenim
meneriakan kata penyihir. Aku menatapnya, meminta agar ia menghentikan itu
semua namun ia tak menggubrisnya.”
“Itu
kenapa terkesan seolah kau sedang memantrai Ilhoon Sunbaenim,” Jonghwan menarik
kesimpulan.
“Ya!
Kau percaya padanya?” Seungho sangsi.
“Entahlah.
Aku pun tak tahu kenapa aku bertahan di sini menemanimu,” Jonghwan kembali
menatap Magi.
“Itulah
kejadian yang sebenarnya. Aku tak mengada-ada. Andai aku bisa membuat kalian
untuk bisa melihat gadis itu juga. Sering ia mengikutiku belakangan ini,” Magi
kembali bersuara.
“Kalaupun
kami percaya, aku rasa tidak dengan yang lain,” komentar Seungho. “Sepertinya
Kepala Sekolah dan tim Tata Tertib juga telah bersiap. Mereka hanya akan menganggapmu
berkelit.”
“Hah...
mampuslah aku,” Magi menutup muka dengan kedua tangannya.
Suri
merangkulnya dan mengusuk lengan Magi.
Di
tengah keseriusan ini tiba-tiba Hyuri tertawa terpingkal-pingkal membuat
teman-temannya heran. Hyuri berusaha menghentikan tawanya. “Mianhae, mian,”
Hyuri di sela tawanya yang sulit berhenti.
“Hyuri!”
tegur Suri pada Hyuri yang mati-matian berusaha menghentikan tawanya.
“Mianhae.
Tapi ini benar lucu sekali. Mianhae. Lihatlah. Sebenarnya kita ini tak sedang
terasing, tapi sedang tenar. Menjadi tenar dan diamati oleh sasaeng fans kita.
Ah, begini ya menjadi seleb itu.”
“Seleb
dengan skandal besar!” protes Seungho.
“Apa
pun itu, tapi cukup menarik bukan?”
“Benar
juga. Walau tak nyaman juga,” Jonghwan membenarkan.
“Hah...
aku buat kacau lagi. Aku menyusahkan kalian lagi,” Magi merebahkan kepala di
atas meja kantin. “Kali ini mampuslah aku. Ini lebih parah. Sepertinya aku
harus segera berkemas.”
“Magi...”
Suri kembali merangkul Magi dan mengusuknya. “Tenanglah. Pada dasarnya bukan
kau yang salah. Walau tak akan baik-baik saja, tapi aku yakin tak akan separah
itu.”
“Aku
bukan penyihir, sungguh aku bukan penyihir walau aku begitu menyukai film Hocus
Pocus.” Magi masih dengan kepala tersandar di atas meja. “Benar kata Oppa, sebaiknya
aku tak keluar atau akan membuat masalah dimanapun aku berada. Seperti sekarang
ini.”
Semua
diam. Merasa iba pada rintihan Magi namun sama-sama tak tahu harus berbuat apa
untuk menenangkan gadis itu.
***
L.Joe
mengamati Magi dan teman-temannya dari tempat ia duduk di kantin. Shin Ae yang
duduk bersamanya turut mengamati meja Magi.
“Bukankah
dia telah menolakmu, untuk apa terus memberinya perhatian walau hanya seperti
ini?” tanya Shin Ae.
“Kenapa
mereka tertimpa masalah bertubi-tubi seperti ini?” L.Joe balik bertanya.
“Karena
tak ada yang menginginkan kehadiran mereka di sini.”
“Termasuk
kau?” L.Joe beralih menatap Shin Ae.
“Sebaiknya
kau jauhi gadis itu. Aku mengkhawatirkanmu. Ini tak akan berjalan baik.”
“Apa
karena ia mantan murid SMA Maehwa? Karena dia penyihir?”
“Dia
sudah menolakmu Lee Byunghun!”
“Kau
juga mempercayainya? Jika ia penyihir?”
Shin
Ae memilih bungkam.
“Peringatan
ini apakah berarti kau tahu sesuatu tentangnya dan enggan membaginya denganku?”
desak L.Joe.
Shin
Ae masih bungkam.
“Aku
tak yakin dia telah menolakku, Setidaknya itu belum pasti.”
“Jalan
yang akan kalian lewati bersama tidaklah mudah. Aku mengingatkanmu sebagai
sahabat. Mengesampingkan tuduhan penyihir itu. Aku tak banyak tahu tentangnya,
entah dia itu penyihir atau apa. Tapi ini tak akan baik bagimu. Energi yang ia
miliki terlalu kuat. Itu akan mengalahkanmu, Lee Byunghun.”
“Pernahkah
kau merasakan apa yang aku rasakan padanya?”
“Nee...?”
“Rasa
yang benar tak bisa dilukiskan dengan kata-kata pada seseorang. Perasaan sangat
bahagia ketika kau melihatnya walau hanya sejenak. Rasa rindu yang menggebu
saat ia jauh darimu. Saat dimana kau turut tersenyum ketika melihat senyumannya
dan turut sedih saat kau melihatnya bermuram diri. Keinginan untuk selalu berada
di dekatnya. Pikiran yang selalu dipenuhi oleh senyumnya, tingkahnya, tawanya,
segala tentangnya. Jantung yang berdetub kencang ketika bertatap muka
dengannya. Getaran yang tak tahu darimana asalnya ketika akan bertemu
dengannya. Setiap kali mengingatnya, aku selalu tersenyum dalam kesepianku. Dia
yang selalu hidup dalam pikiranku. Menyemangatiku. Menenangkanku. Semua ini
baru kali ini aku rasakan, pada gadis itu,” L.Joe kembali menatap Magi,
“Rosmary Magi,” bisiknya.
“Tahukah
kau betapa senangnya aku ketika melihatnya berada di sini. Tapi sekaligus juga
sedih karena aku tak mampu melindunginya. Melindungi gadis yang aku sukai. Lalu
kau memintaku mundur sebelum aku melakukan apa pun untuknya?” L.Joe kembali
menatap Shin Ae.
“Selama
tiga bulan aku mengawasinya diam-diam. Tiba-tiba aku muncul dan meracau di
depannya, bukankah wajar jika ia marah dan seolah menolakku? Itu karena aku
belum memberikan bukti apa-apa padanya. Bukti nyata tentang apa yang aku ungkap
padanya. Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan ini padaku, cinta itu tak
sekedar kata-kata, cinta itu membutuhkan tindakan nyata. Aku rasa itulah
kekurangan yang belum aku tunjukan padanya.”
“Lee
Byunghun! Kembalilah pada kesadaranmu!”
“Aku
100% sadar Jung Shin Ae. Aku menghargai apa yang kau khawatirkan padaku. Terima
kasih. Tapi maaf , aku tidak bisa mundur dari mengejar gadis ini. Dia yang
pertama kali menggetarkan hatiku, karena itu aku akan mengejarnya.”
“Jika
ia tetap menolak apa kau akan mengabaikan pikiran warasmu?”
“Sayangnya
keyakinanku tak mengatakan sebuah penolakan. Jika itu terjadi, akan aku
pikirkan nanti. Pasti ada jalan.”
“Byunghun-aa...”
***
Snapdragon menutup penampilan
mereka dengan membawakan cover sing My Lagan Love-The Corrs.
Seorang pelayan mengetuk pintu
ruang tunggu Snapdragon dan mengantar bingkisan untuk Magi. Songeun yang
menerima bingkisan itu langsung membawanya pada Magi. Atas dorongan keempat
onni-nya, Magi bergegas membuka kotak berukuran sedang itu. Magi menemukan
sebuah pita berwarna oranye beserta sebuah jepitan rambut berbentuk kupu-kupu.
“Klasik sekali. Si pengirim
pasti ingin melihatmu mengenakan pita dan jepit rambut ini saat kau mengenakan
hanbok,,” komentar Sori.
“Ini bukan sekedar kekaguman,
namun cinta sederhana dan tulus,” Songeun menimpali.
“L.Joe?” Minchi membaca nama
pengirim bingkisan itu. “Namanya L.Joe? Yang mana orangnya? Kalian tahu?”
Minchi penasaran.
Magi diam sejenak. Ia menyahut
kotak sekaligus isi dan surat yang menyertainya dan bergegas pergi meninggalkan
ruang tunggu. Keempat rekannya saling menatap heran.
Magi
masih mengenakan gaun pertunjukannya. Berlari kecil menuju tempat parkir.
Seperti yang ia duga L.Joe tengah menunggunya di sana. L.Joe tersenyum puas
menyambut kedatangan Magi.
“Tidakkah
kau menyadarinya jika perasaan kita ini telah tersambung oleh benang merah yang
tak tampak? Benang merah jodoh.” sambut L.Joe. “Tanpa melampirkan kata apa pun
kecuali namaku, kau bisa menemukan aku di sini.”
“Apa
maksud semua ini?” Magi menunjukan kotak di tangannya.
“Tanda
awal dariku. Tanda awal bahwa kau adalah milikku.”
Magi
terbelalak mendengar pernyataan penuh percaya diri L,Joe. Magi berdiri bungkam
menatap L.Joe. Melihat L.Joe berjalan mendekatinya, jantung Magi mendadak
berdetub kencang. L.Joe sampai jarak satu lengan saja di depan Magi. L.Joe
mencondongkan badannya agar lebih dekat pada telinga kanan Magi.
“Aku
memang bukan pria tinggi, namun bisa dipastikan aku lebih tinggi darimu kan,
Mogi?” bisik L.Joe. “Aku bisa memainkan alat musik, piano. Kau telah melihatnya
bukan? Aku yakin kau akan mempertimbangkan hal ini karena jauh di dasar hatimu
kau membenarkan tindakanku. Tindakanku yang menyukaimu tanpa aku tahu apa
alasannya. Aku yang melihatmu bukan dalam tampilan ini.”
Magi
masih berdiri diam. Sungguh ia tak bisa berkata apa-apa di depan pemuda ini.
Pemuda yang ia olok sebagai pria pendek tempo hari.
L.Joe
kembali menegakan badannya dan tersenyum menatap Magi yang terlihat syok.
“Inilah awal bagi kita, aku yakin itu,” bisik L.joe penuh keyakinan kemudian
berjalan pergi meninggalkan Magi yang berdiri mematung di area parkir.
Magi
membalikan badan, menatap L.Joe yang berjalan meninggalkannya.
***
Satu yang tak bisa lepas dari setiap sendi
kehidupan, nafas suci bernama cinta.
-------TBC--------
Keep on Fighting
shytUrtle