BLACK NOTE
“Percayai mimpimu, ikuti petunjuknya dan
temukan kebenaran.”
Di dunia ini begitu banyak misteri. Hitam dan
putih, maya dan nyata bersanding. Tentang kebenaran bukanlah hal mudah untuk di
temukan. Saat alam sadar tak lagi bisa menuntunmu, akankah kau mempercayai
mimpi-mimpimu dan meyakininya sebagai petunjuk?
***
NOTE #6
Sunee
terlihat terburu-buru saat Hazel tiba memenuhi panggilannya. “Pergilah ke pusat
kota Elsdon, dan berikan ini padanya.” Sunee selesai memasukan semua dalam tas.
Bibirnya bergerak merapalkan mantra dan tas itu berubah dalam ukuran kecil, sesuai
untuk Hazel. “Jangan ditunda lagi. berangkatlah tengah hari ini. Aku percayakan
semua ini padamu, sahabatku.”
Hazel
menangkap kekhawatiran dibalik wajah renta Sunee. “Sunee, aku… aku tak yakin
apakah aku sanggup menjalankan misi ini. Aku hanya peri pembawa kekayaan dan
kemakmuran, aku bukan peri pejuang yang tangguh.”
“Kenapa
kau jadi rapuh? Kala kesempatan ini datang, semangatmu mengendur. Aku tak suka
pada sikap ini.”
“Tapi,
Sunee…”
“Kau
sanggup.” Potong Sunee. “Aku yakin kau sanggup. Karena itu aku memilihmu. Walau
kau hanya peri pembawa kekayaan dan kemakmuran, tapi kau adalah peri yang kuat
dan tangguh. Kau pandai membaca situasi alam untuk menghindari bahaya. Kekuatan
tak terhingga dari kasih sayangmu pada seorang sahabat, itu melebihi kekuatan
apapun.” Hazel menatap Sunee. Ia terharu mendengar pujian Sunee. Sunee tersenyum
tulus. “Saat kau bertatap muka dengannya, tolong sampaikan padanya jika aku
sangat menyanyanginya. Walau dalam masa singkat ini kita bersama.”
“Nada
bicaramu. Kau mengatakan hal itu seolah kau tak akan bertemu lagi dengannya.
Kita akan bersama lagi, berkumpul di sini, hutan Orea.”
Sunee
menerawang, menatap keluar jendela rumahnya yang terbuka. “Angin ini, sedikit
tak bersahabat. Apa kau juga merasakannya?” Sambil melebarkan jendela yang
tadinya terbuka sebagian. Hazel mengangguk dan menyangklet tas kecil pemberian
Sunee, terbang keluar melalui jendela.
“Berjuanglah,
sahabatku.” Sunee menutup jendela rumahnya.
***
Raja
Landry Carney mengurut keningnya. Kekacauan terus terjadi di Wilayah Utara dan
Wilayah Selatan Elsdon. Ksatria istana dan prajurit yang dikirim untuk
mengalahkan monster pengacau, kembali pulang dengan membawa kekalahan. Dua
wilayah itu sedang dikacaukan oleh ular raksasa dan raksasa berkepala banteng
yang gemar memakan manusia.
“Monster-monster
itu terlalu kuat, tidak ada pilihan lagi. Kita harus mengirimkan Empat Ksatria
Utama, masing-masing dua ke Wilayah Utara dan Selatan. Hanya mereka yang bisa
mengemban tugas ini. Jangan biarkan korban terus bertambah.” Raja Landry
setelah beberapa menit terdiam.
“Yang
Mulia, apakah ini keputusan yang bijaksana?” Panglima James Vincent tampak
ragu.
“Istana
ini masih memilikimu, Panglimaku. Juga pasukan muda terbaik. Aku tahu
tanda-tanda kembalinya Ozora mulai bermunculan, termasuk kekacauan ini. Akan
tetapi, aku juga tidak bisa diam melihat rakyatku di Wilayah Utara dan Selatan
dilanda ketakutan. Jika Empat Ksatria Utama dapat menyelesaikan tugas ini lebih
cepat, kemudian bergegas kembali ke istana, aku yakin situasi akan terkendali.”
Panglima
James Vincent terdiam sejenak, menimbang permintaan Raja Landry. “Para Tetua
juga menyetujui hal ini, dibawah instruksi Pendeta Agung Istana, dan Yang Mulia
Raja mengabulkannya. Saya akan melaksanakan titah ini Yang Mulia.” Panglima James
Vincent menyerah.
“Yakinklah
pada kekuatan Elsdon, Panglimaku.” Panglima James Vincent pamit undur diri.
Raja Landry menghela nafas, berusaha menepis kekhawatirannya.
***
Neva
hanya mengaduk-aduk makanan dalam piring dihadapannya. Ini pertama kalinya Neva,
Yocelyn makan siang satu meja bersama Lavina dan Winola. Bukan keinginannya,
tapi karena ulah Kevin yang memaksa Lavina dan Winola bergabung. Sambil makan,
Yocelyn terus menatap Winola. Ia heran, Winola hanya memakan buah-buahan,
sesekali menyentuh sayuran namun mencium aromanya lebih dahulu. Winola sama sekali
tak menyentuh daging.
“Kau
tak suka pada hidangan ini? Kenapa kau mengendus masakan sebelum memakannya?
Seperti… kucing. Bukankah itu tak sopan?” Yocelyn angkat bicara. Tak tahan
melihat sikap Winola.
“Daging
dan masakan yang mengandung unsur bernyawa lainnya, hanya akan membuat manusia
semakin sulit mengendalikan diri dan berpikir jernih. Sulit mengikat nafsu yang
tak jarang semakin memperbudak manusia.” Winola menjawab tanpa menatap Yocelyn,
tetap menikmati apel merah ranum ditangannya.
“Kau
penganut Budha?” Tanya Neva.
“Aku
hanya meyakini ajaran itu dan menerapkannya.” Winola hendak minum, namun
tiba-tiba gelas di tangan Winola pecah jadi dua. Air putih itu mengguyur baju
Winola.
“Kau
baik-baik saja?” Lavina membantu mengelap baju Winola.
“Bagaimana
bisa pecah?” Yocelyn keheranan.
Neva
terbelalak ketika Winola mengeluarkan kalung yang tergantung di lehernya,
mengeringkan kalung itu. Neva seketika bangkit dari duduknya dan pamit pergi.
Neva berjalan cepat dengan kepala tertunduk dan bibirnya terus bergumam. Neva
menabrak seseorang.
“Oh,
Pangeran Alden. Maaf.”
“Kau
baik-baik saja? Wajahmu, pucat sekali.” Violin khawatir meilhat Neva.
“Aku
baik, hanya sedikit terburu-buru.”
“Dimana
Yocelyn?” Tanya Alden.
“Makan
siang, di kantin, bersama Lavina, Kevin dan Winola.”
“Winola?”
Bisik Alden berseri. Ia bergegas menyusul ke kantin.
“Harusnya
kau tak menyebut nama ‘Winola’. Dia sepertinya benar tergila-gila pada gadis
itu.” Violin kesal.
“Bagaimana
mungkin?”
“Menurutnya
Winola itu unik. Bagiku sangat aneh mendengarnya.” Keduanya kembali terdiam.
Violin mengamati Neva. “Kau yakin jika kau baik-baik saja?” Neva mengangguk
antusias. “Eum, semoga kau tak berbohong. Kita berpisah di sini.”
***
Neva
berkutat dengan tumpukan buku-buku tebal yang ia harap dapat membantunya. Neva
menghela nafas panjang dan menutup buku ketujuh. Nihil, Neva tak menemukan
satupun petunjuk.
“Mendapat
petunjuk? Maaf baru menemuimu sekarang.” Edsel duduk di depan Neva. “Kali ini,
apa yang kau cari?”
Edsel
diam, menatap Neva yang sedang menggambar. Gadis itu tak hanya hobi membaca, ia
juga pandai menggambar. Neva menunjukan hasil gambarannya pada Edsel. Sebuah
liontin berbentuk lengkungan tak putus, menyerupai angka delapan. Bagian atas
lebih kecil dari bagian bawah, memiliki sisi runcing di bagian atas, di samping
kanan dan kiri, menyerupai dua segitiga bersatu dan membentuk lingkaran oval di
tengahnya. Bagian bawah memiliki bentuk lebih besar, hampir membentuk lingkaran
sempurna dan di tengahnya terdapat batu hitam dengan kilatan cahaya membentuk
bintang putih dengan lima sudut. Edsel mengamatinya.
“Pernah
melihatnya?” Tanya Neva.
“Eum,
tidak. Ini pertama kalinya aku melihat liontin dengan bentuk ini. Unik. Ada apa
dengan liontin ini?”
“Seorang
wanita misterius muncul dalam mimpiku, menitipkan bayi mungil itu padaku, bayi
itu memakai kalung dengan liontin ini. Sangat terkejut melihat Winola
memakainya.”
“Win-winola??”
“Iya.
Kau tahu apa pesan wanita misterius itu?” Edsel menggeleng. “Sekarang aku
percayakan dia padamu. Jagalah dia, bukan hanya untukku, tapi untuk Elsdon.”
“Untuk
Elsdon??”
“Bantu
aku Edsel. Aku mohon. Aku bisa gila karena ini semua.”
Edsel
kembali mengamati gambar liontin itu. “Angka delapan atau tak terhingga? Apa
liontin ini ada hubungannya dengan Parama Academy? Parama Academy identik
dengan angka delapan. Batu ini kira-kira batu apa? Dan kilatan cahaya berbentuk
bintang ini… apa maksudnya?”
“Jika
benar, apa hubungan antara Winola dan Parama Academy? Untuk Elsdon?”
“Aku
akan mencari tahu. Kau, cobalah bicara pada Winola. Kau harus bisa memancing
Winola untuk bicara tentang kalung yang ia kenakan. Hanya itu jalan
satu-satunya. Kalian tinggal dalam satu bilik, cobalah untuk memperbaiki
hubungan. Hari ini Kevin cukup membantu bukan? Jujur aku sama sekali tak
merasakan adanya energi negatif dari Winola. Semoga ini tak salah.”
“Baiklah.
Akan aku coba.”
***
Winola
terlihat murung sejak kejadian kemarin. Gelas yang tiba-tiba pecah bukanklah
pertanda baik. Winola terus memikirkannya. Ia terdiam di taman, menatap senja.
Neva menghampirinya. Duduk di samping Winola namun tetap diam. Setelah beberapa
detik berjalan demikian, Neva memberanikan diri menunjukan gambar liontin yang
ia buat kemarin pada Winola.
“Mimpi
yang sangat berbeda. Berada di taman bunga yang indah, melihat satu keluarga
yang terlihat bahagia. Lalu seorang wanita yang tak bisa aku lihat wajahnya
menitipkan bayi mungil padaku, bayi itu memakai kalung dengan liontin ini. Dan
kemarin, tanpa sengaja aku melihatmu, memakainya. Aku membaca beberapa buku,
namun tak membantu. Edsel pun tak tahu banyak. Ia menyarankan agar aku bicara
padamu.” Ungkap Neva.
Winola
kembali mengeluarkan kalungnya. “Sejak kecil aku sudah memakainya. Nenek
mengatakan padaku, dahulu menemukan aku terdampar di tepian sungai, dan kalung
ini ada bersamaku. Mungkin inilah satu-satunya petunjuk. Walau aku tak mau,
Nenek tetap mengirimku kemari untuk mencari jawabannya.”
“Kau
sendiri tak tahu banyak tentang kalung ini?”
“Perak.
Onyx hitam, api dan saturnus adalah elemennya. Pengendalian diri dan mengusir
energi negatif. Itu saja yang aku tahu.”
“Lalu
bentuk dari liontin itu, menurutmu apakah angka delapan atau… ah, ayolah. Aku
yakin kau tak jauh beda dariku. Kau juga memiliki rasa penasaran yang tinggi.
Tak mungkin kau tak tahu banyak tentang kalung itu. Kau pasti berpikir jika ini
ada hubungannya dengan Parama Academy. Lalu, apa yang kau temukan?”
“Kau
dan Putri Yocelyn, itu yang pertama. Kemudian Edsel.”
“Winola!”
“Kau
bicara pada orang yang kau ragukan. Orang yang kau curigai.” Winola menoleh
menatap Neva.
“It-itu…
Winola, aku mohon maafkan aku. Ada banyak hal, misterius. Ini semua hampir
membuatku gila. Maafkan aku. Kau mengalami hal yang sama denganku? Mimpi buruk.
Itu yang membuatmu sering terjaga?”
“Yang
ada padaku, lebih buruk dari itu. Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Dia yang
meninginkan ragaku, biasa muncul di senja hari. Ketika sore akan berganti
malam.”
Neva
tak paham, namun ia tahu diri Winola sudah memberi peringatan untuk tak
bertanya lagi. Neva juga Winola dibuat kaget ketika tiba-tiba Alden menghampiri
mereka. Alden terlihat gugup sedang Neva dan Winola diam menunggu.
“Maaf
menyita waktu kalian. Aku, aku hanya ingin mengatakan ini. Kau, Amabel Winola,
maukah kau pergi bersamaku ke pesta dansa?” Alden mengungkapnya cepat membuat
Winola juga Neva terkejut.
Neva
tersenyum sambil melangkah pergi. Ia kembali mengenakan kalung pemberian
Winola. Kini ia membenarkan ucapan Edsel. Tak ada energi negatif pada Winola.
Langkah Neva terhenti di depan aula musik. Permainan piano ini, Odell Bayanaka
kah? Neva mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Joe Leverrett duduk di
balik piano, terlihat serius memainkannya. Joe menghentikan gerak jari
tangannya dan menoleh ke arah pintu. Neva terkejut, menarik dirinya dan mengendap-endap
kemudian berlari pergi. Joe menyincingkan senyum, kembali memainkan pianonya.
***
“Murid laki-laki menggila. Apa kalian juga
menerima ajakan pergi ke pesta dansa? Aku menerima beberapa, namun aku menolak
semua. Aku hanya ingin pergi dengan Edsel.” Yocelyn memulai obrolan. “Bagaimana
denganmu Neva? Dan kalian? Ah, kalian kan tamu kehormatan. Pasti kalian punya
pilihan sendiri.”
“Senior
Alden Jason menwarkan diri untuk menjadi pasangan Winola. Ia meminta Winola
pergi bersamanya di depanku.” Ungkap Neva.
“Ben-benarkah??”
Lavina tak percaya. “Murid idola, Pangeran Elsdon. Dia menyukaimu? Aku tahu,
ada yang berbeda dari caranya menatapmu. Aku melihatnya berulang kali saat
kompetisi.”
“Kau
mengabulkan permintaan kakakku, Winola?” Tanya Yocelyn yang sama sekali tak
terkejut mendengarnya.
“Aku
belum menjawabnya.”
Lavina
khawatir Winola tak akan hadir. “Dia, phobia keramaian, sebenarnya begitu. Tak
mahir dalam urusan pesta.”
“Ya
ampun!” Yocelyn menepuk keningnya. “Sebagai tamu kehormatan kau juga harus
berdansa.” Yocelyn bangkit dari duduknya. “Ayo. Kau harus belajar berdansa
Winola.” Yocelyn mengulurkan tangan.
Lavina
mendorong Winola hingga gadis itu berdiri. Yocelyn menyambut Winola dan mulai
mengajarinya berdansa. Neva turut mengulurkan tangan pada Lavina. Lavina
tersenyum lebar menyambutnya. Mereka berlatih berdansa dalam bilik 505. Untuk
pertama kalinya terdengar canda tawa riang dari dalam bilik 505.
Di
tengah asiknya berdansa, tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu menabrak jendela.
Benturan yang lumayan keras. Winola bergegas membuka jendela. Ia terlihat syok
dan memungut sesuatu dalam telapak tangannya. Yocelyn dan Neva menatapnya
penasaran. Lavina yang sudah berdiri di samping Winola menampakan ekspresi
sedih membuat Yocelyn dan Neva makin penasaran ada apa sebenarnya.
“Ada
apa? Apa yang kau ambil dari jendela?” Tanya Yocelyn melihat tangan Winola yang
kosong.
“Sepertinya
dia sangat kelelahan.” Kata Lavina.
“Dia??”
Pekik Yocelyn.
“Ah,
aku lupa kalian tak bisa melihatnya. Winola, lakukan sesuatu.”
Winola
meminta Neva dan Yocelyn mendekat. Winola mengangkat tangannya yang terbuka
lalu meniupkan ke arah Neva dan Yocelyn yang tepat berada di depannya. Neva dan
Yocelyn berkedip, mengusap kedua mata mereka. Yocelyn ternganga ketika matanya
kembali terbuka. Ia tak percaya pada apa yang di lihatnya. Neva menunjukan
reaksi yang sama ketika membuka mata. Makhluk kecil bersayap hijau lembut
seperti kupu-kupu itu terkulai lemas diatas telapak tangan Winola.
“Ini…
peri?? Benar-benar peri??” Tanya Yocelyn masih tak percaya.
“Menempuh
jarak dari hutan Orea kemari, apakah ini pertanda baik? Atau buruk?” Tanya
Lavina.
“Kita
harus menolong Hazel.” Winola terlihat panik.
***
-------TBC--------