The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)
05:10
The
Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love,
Music and Dreams’
다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum
iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Author:
shytUrtle
. Rate:
Serial/Straight
.
Cast
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
Cinta,
musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat
dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik
memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik
menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang
dan hidup…
EPISODE
#10
Terdiam.
Hanya terdengar desiran angin musim panas yang membuat dedaunan saling
bergesek. Juga nyanyian beberapa hewan penghuni taman.
“Hey,
bukankah ini berita baik?” Ai terdengar begitu lembut.
“Aku
tidak akan pergi!” Tegas Hanbyul.
Ai
menoleh, menatap kesal Hanbyul. “Jangan bertindak bodoh! Inilah yang kau
impikan. Waktunya, sudah tiba. Ini impianmu, bukan?”
“Sebelum
aku bertemu denganmu.” Hanbyul menoleh menatap Ai. “Sebelum aku mengenalmu,
sebelum aku jatuh hati padamu.” Hanbyul tak bisa menyembunyikannya. Rasa gundah
itu. Semua bercampur aduk jadi satu dan bergejolak di dadanya. Senang juga
sedih. “Aku tidak akan sanggup, tidak akan sanggup jauh darimu,” Hanbyul
menggeleng pelan.
Ai
menyentuh wajah Hanbyul, ia tersenyum menatap Hanbyul dan mengelusnya. “Jangan
jadi rapuh hanya karena gadis ini. Kau tidak boleh mengubur impianmu hanya demi
gadis ini. Jika kau melakukannya, maka orang yang akan merasakan sedih teramat
sangat adalah gadis ini. Tolong jangan jadi rapuh. Pergilah kasihku, kerjar
impianmu, em?”
Hanbyul
menggenggam tangan Ai dan menggelengkan kepala. “Aku tak akan pergi.” Ucapnya
kukuh.
Hanbyul
duduk di tribun penonton, bukan untuk menonton jalannya latihan. Hanbyul duduk
menundukan kepala dan tangan kanannya masih memainkan surat. Surat yang baru
sampai hari ini, dari Amerika. Surat pemberitahuan jika Hanbyul lolos untuk
bergabung club basket muda bergengsi di Amerika. Club dimana Hanbyul bermimpi
sejak lama ingin bergabung di sana. Setelah mengirim surat lamaran itu, Hanbyul
sempat putus asa. Hampir satu tahun menunggu, tak ada kabar. Hanbyul tak
berharap lagi dan mulai melupakan impiannya itu. Namun hari ini surat itu
datang. Surat pemberitahuan di terimanya Hanbyul dalam club basket muda
impiannya di Amerika. Beberapa menit yang lalu, kedua orang tua Hanbyul juga
menelfon perihal kebenaran surat itu. Mereka mengatakan akan segera mengurus
kepindahan Hanbyul ke Amerika. Hanbyul menghela napas panjang dan menunduk
semakin dalam.
***
Ai
berjalan pelan menyusuri jalanan Jeonggu Dong. Belum menemukan titik terang
dari masalah-masalah sebelumnya, kini muncul masalah baru lagi. Benarkan ini
masalah bagi Ai? Ai redup dan lesu. Setelah YOWL, haruskah ia juga kehilangan
Hanbyul?
Ai
sampai di rooftop-nya. Ia terkejut
melihat Jaejoong sudah duduk menunggunya di teras. Jaejoong bangkit dari
duduknya dan tersenyum manis menyambut Ai.
“Lesu
sekali? Hari ini sangat melelahkan? Atau ada masalah?”
“Hanya
masalah saja yang menarik bagimu? Kau kabur lagi?”
“Hari
ini bebas dan aku rindu Jeonggu Dong.” Jaejoong tersenyum lebar.
“Bebas?
Mana yang lain?”
“Eung…”
Jaejoong menggaruk kepalanya. Keduanya kemudian masuk. “Tentang tanda tangan
kontrak, orang tua harus hadir,” Kata Jaejoong saat sudah berada di dalam rooftop Ai.
Ai
duduk di samping Jaejoong. “Kau takut Paman Kim tak akan datang? Bukannya kala
itu Paman Kim hadir di sekolah? Saat puncak acara Hwaseong Festival. Aku
melihatnya, Paman Kim dan Nyonya Kim, mereka menemuimu.”
“Aku
sudah menelfon dan dia janji datang.”
“Lebih
sopannya kau meminta langsung. Kunjungi rumahnya. Bersikaplah lunak, sedikit
saja. Ini proses. Dan kau telah dewasa Kim Jaejoong. Menurutku.”
“Adilkah
ini?”
“Eum??”
Ai menatap Jaejoong sejenak. “Mereka menerimamu setelah kau ada di titik ini?”
Jaejoong mengangguk. “Menurutku tak ada yang benar adil di dunia ini. Apa yang
bisa kita lakukan? Kau sudah membuktikannya kini. Jangan terus mendongak
mengangkat kepala seolah kau tak melihat usaha Paman Kim yang mulai bersikap
lunak padamu. Orang tua wajar membuat kesalahan, dan seorang anak, patut
memaafkannya, em? Orang tua sering egois, namun kita juga tak jarang demikian.
Jika tak ada yang mengalah, bagaimana hubungan baik akan terjalin? Jika mereka
tak bisaa memahami dan mengerti kita, tak ada ruginya kita yang mengalah, mencoba
mengerti dan memahami mereka.”
Jaejoong
masih menatap Ai. Begitu sebaliknya. Mereka saling menatap dan hening selama
beberapa detik. Jaejoong kemudian tersenyum. Senyum lebar dan tulus. Wajahnya
berseri, terlihat lega. “Kau selalu membuatku tenang. Meredam germuruh badai
yang terus melandaku.”
“Kau
janji akan berkunjung?”
“Em.”
Jaejoong mengangguk yakin.
“Aku
percaya padamu.”
“Kau
percaya aku?”
“Jika
aku tak percaya padamu, dari awal tak akan aku pilih kau menjadi leader YOWL
dan menentang protes Minhyuk dan Jaejin. Aku percaya padamu, Kim Jaejoong. Dari
awal, kini, bahkan nanti. Aku tidak pernah ragu padamu. Tidak pernah. Bahkan di
saat kau meragukan aku.”
Suasana
kembali hening. Binar di wajah Jaejoong sedikit meredup. Ia kemudian tertunduk
di depan Ai.
***
Jaejoong
sampai di dorm YOWL. Ia kaget melihat Hanbyul duduk di teras di temani Wonbin,
Jaejin dan Minhyuk. Suasana yang tadinya hangat, berubah sedikit kaku saat
Jaejoong tiba. Semua seolah di komando, kompak terdiam dan hanya menatap
Jaejoong yang berjalan mendekat.
“Jang
Hanbyul, kau kemari?” Sapa Jaejoong masih terkesan kikuk.
“Aku
datang untuk menemuimu.” Hanbyul tersenyum manis.
“Lumayan
lama dia menunggumu,” Sela Minhyuk.
“Sebaiknya
kami pergi.” Wonbin bangkit dari duduknya dan memberi isyarat pada Jaejin juga
Minhyuk untuk mengikutinya.
“Aku
yakin ini tentang Ai.” Bisik Jaejin saat Minhyuk merangkulnya.
Jaejoong
duduk berhadapan dengan Hanbyul. “Ada apa hingga mencariku kemari?”
“Ini…
ini, tentang Jiyoo.”
“Ai??”
“Aku
bingung. Aku tak tahu harus bicara pada siapa tentang hal ini. Lama berdiam
diri, kau melintas dalam pikiranku. Karena itu aku memutuskan kemari,
menemuimu.”
“Apa
yang sebenarnya terjadi? Kau dan Ai?” Hanbyul terlihat ragu. Jaejoong mulai tak
sabar menunggunya. “Katakan saja!” Desaknya pada Hanbyul.
Hanbyul
menghela napas sejenak, kemudian mulai menceritakan semua pada Jaejoong.
Tentang apa yang membebani pikirannya hingga membawanya kemari, pada Jaejoong.
“Mereka mengatakan kau sangat dekat dengan Jiyoo, dan Jiyoo sendiri, selalu
berbinar ketika menceritakan semua yang kalian lakukan bersama, tentangmu. Aku
menuruti apa yang terlintas di otakku, kemari menemuimu. Aku harus bagaimana? Aku
bingung.” Hanbyul menutup penjelasannya.
Jaejoong
terdiam. Satu sisi hatinya bersorak, jika Hanbyul pergi, maka ia akan mudah
untuk kembali dekat dengan Ai. Inikah yang disebut kesempatan kedua? Satu sisi
hatinya yang lain mencemo’oh pikiran picik Jaejoong. Jaejoong menghela napas
panjang usai beberapa detik terdiam. “Kau datang padaku, bertanya harus
bagaimana, lalu apa yang bisa aku berikan sebagai jawaban? Aku yakin kau tahu,
jika aku tak akan bisa memberimu solusi. Kita seperti dua makhluk dungu yang
saling bertanya, aku harus bagaimana.”
Hanbyul
tersenyum mendengarnya. “Jiyoo ingin aku tetap pergi.”
Lagi-lagi
satu sudut hati Jaejoong bersorak. Sepertinya Tuhan benar memberikan kesempatan
kedua padanya. “Ai itu benci pada orang yang menyerah untuk meraih mimpinya
hanya karena alasan konyol.”
“Apa
terdengar konyol jika aku memilih untuk tetap tinggal di sini bersamanya
daripada pergi ke Amerika dan memenuhi surat panggilan itu?”
“Bagi
Sang Pecinta, mungkin tidak. Tapi lain lagi jika menurut orang normal, itu
alasan konyol.”
“Jiyoo,
dia termasuk yang mana?”
“Gabungan
keduanya.”
“Gabungan
keduanya?”
“Kau
tahu, sebenarnya Ai itu tak se-positif yang terlihat padanya. Ai itu tipe orang
yang sulit percaya pada orang lain. Ini sempat mengejutkanku ketika tiba-tiba
ia memilihmu sebagai kekasih padahal kau kubu lawan kala itu. Ia juga tak mau
berhutang budi pada orang lain. Tapi orang-orang malah merasa nyaman berada di
sisinya. Mungkin karena semangatnya yang tinggi itu, dan keyakinannya yang
kuat. Ah, sulit sekali menggambarkan bagaimana sosok Ai itu.”Lagi-lagi Hanbyul
tersenyum mendengarnya. “Maaf, aku tak bisa membantumu, tak bisa memberimu
solusi. Jika aku sarankan kau tetap pergi, bagaimana jika itu salah menurutmu
juga Ai? Jika aku meminta kau tetap tinggal, belum tentu juga benar. Jawaban
yang sebenarnya, hanya kau yang tahu. Tanya hatimu yang terdalam, itu yang
paling tahu pada apa yang paling kau inginkan. Hanya kau sendiri yang bisa
menemukan jawabannya, jalan keluar dari kebingungan ini. Bukan Ai, atau aku.
Kemungkinan yang aku tahu, Ai pasti akan sangat marah jika kau memilih tetap
tinggal dan menjadikan dia sebagai alasan kau tak bisa pergi mengejra mimpimu.
Pengorbanan itu ada dalam setiap kehidupan dan cinta. Lebih berpikir bijaksana.
Jangan sampai kau menyesali keputusan yang kau ambil hari ini.”
Hening.
Jaejoong dan Hanbyul kembali terdiam. Hanya terdengar nyanyian hewan malam di
sekitar keduanya.
“Jika
nantinya aku memutuskan untuk pergi, maukah kau menjaga Jiyoo, untukku?” Kata
Hanbyul memecah kebisuan.
Jaejoong
mengangkat kepala, menatap lurus pada Hanbyul. Hanbyul tersenyum lesu membalas
tatapan Jaejoong.
-------
“Ya,
Jaejoong-aa, ada apa? Terjadi sesuatu pada Ai?” Sambut Minhyuk penasaran saat
Jaejoong memasuki dorm.
“Vampir,
ada apa dengannya?” Jaejin pun menunjukan ekspresi yang sama. Sedang Wonbin
yang berdiri di sampingnya hanya diam, walau ekspresi penasaran itu juga
terlihat jelas di wajahnya.
Jaejoong
menjatuhkan tubuhnya di sofa. Minhyuk, Jaejin dan Wonbin ikut duduk. Mereka
menunggu jawaban Jaejoong. “Ai dan Hanbyul, mereka putus ya?” Buru Minhyuk.
“Hah…
mereka baik-baik saja. Hanya saja, Hanbyul mendapat panggilan ke Amerika. Ia
lolos seleksi masuk club basket muda bergengsi di Amerika. Hanbyul enggan
pergi, dan kalian pasti tahu bagaimana Ai.” Terang Jaejoong.
Semua
diam sejenak. “Lalu, untuk apa Hanbyul menemuimu?” Tanya Jaejin.
“Baboya!”
Minhyuk menjitak kepala Jaejin. “Begitu saja kau tak paham? Tentu saja Hanbyul
menitipkan Ai pada Jaejoong! Jika dia benar akan pergi.”
“Begitu
kah?” Jaejin menatap Jaejoong dengan tampang polosnya.
Jaejoong
dan yang lain hanya bisa menghela napas dan menggeleng pelan melihat Jaejin.
***
Wooyoung
memenuhi panggilan Ai. Ia datang sendiri, menemui Ai di rooftop. Keduanya duduk di
ruang tamu. Wooyoung mengamati surat ancaman yang di kirim pada Daehyun dan
Jinwoon.
“Bagaimana
menurutmu? Aku memilihmu untuk bertukar pikiran tentang ini.” Kata Ai.
“Wah,
ini benar membuatku tersanjung. Terima kasih Nona.” Wooyoung tersenyum tulus.
“Nona mencurigai seseorang? Apa mungkin ini juga ulah Yong Junhyung?”
“Kau
mencurigainya?”
“Sampai
kini kita semua tak tahu siapa yang selalu membuat kekacauan di Hwaseong
Academy Community. Foto-foto yang sempat beredar, mungkin ia bosan dan beralih
mengambil jalan ini.”
“Kenapa
kau berpikir itu Yong Junhyung?”
“Melukai
Nona secara langsung dia bisa, apalagi hanya untuk ini?”
“Foto
kedua di Jeonggu Dong.”
“Sebelum
kecelakaan, Nona berada di Jeonggu Dong sebelum akhirnya ke florist. Tidak menutup kemungkinan jika
Yong Junhyung menguntit Nona.”
Ai diam
sejenak. Menimbang pendapat Wooyoung. “Masuk akal. Tapi menurutku, orang seperti
Yong Junhyung tak berminat pada teror seperti ini. Terlalu membuang waktu dan
berbelit-belit.”
“Benar
juga.” Wooyoung kembali berpikir.
“Sampai
menentukan font huruf dan warna, ini membutuhkan ketelitian. Pelaku pasti bukan
orang biasa. Bahkan sasaran yang ia pilih tergolong sempurna, Jung Daehyun dan
Jung Jinwoon.”
“Di
sekolah, beberapa masih menduga jika Nona punya hubungan khusus dengan Tuan
Muda Jung Jinwoon. Di sini dalam artian, hubungan sepasang anak manusia yang
saling jatuh cinta dan sembunyi-sembunyi menjalin tali kasih itu.”
“Sampai
seperti itu?”
“Terkadang
informasi datang secara tak terduga.” Wooyoung tersenyum manis.
“Merepotkan.
Aku hanya gadis biasa, bagaimana mereka bisa…..” Ai tak melanjutkan
kata-katanya melihat ekspresi Wooyoung yang masih menatapnya sambil tersenyum.
“Kenapa kau menatapku seperti itu?”
“Nona
bukan orang biasa, walau penampilan Nona terkesan biasa. Menjadi pusat
perhatian itu wajar, karena Nona berbeda.”
“Terserah
bagaimana mereka.”
“Apa
pernah terpikir ini Red Venus? Sepertinya mereka dendam sekali pada Nona.
Viceroy, menjadi lebih berpihak pada Nona. Walau tak ada yang tahu tentang
Myungsoo-Hyuri, juga Nona dan Hanbyul. Tapi perlahan ini perlu di waspadai.”
“Red
Venus? Mungkinkah?”
“Yong
Junhyung dekat dengan Noh Yiyoung. Lee Chaerin, Jung Soojung dan Park Gyuri
juga sangat membenci YOWL, terutama Fujiwara Ayumu. Masuk akal bukan? Mereka
kaya raya, uang mereka bisa membeli siapa saja di Jeonggu Dong ini untuk
memata-matai Nona selama 24 jam penuh. Apalagi surat ancaman itu beserta foto,
ini tak mungkin orang biasa. Jika Nona tak keberatan, izinkan saya membawa foto
itu, untuk mencari tahu dari media apa foto itu di ambil. Kamera ponsel kah,
atau yang lain.”
“Hah!
Kenapa itu tak terpikirkan olehku? Kau boleh membawa ini.” Ai memberikan satu
amplop coklat pada Wooyoung.
“Kim
Youngduk Songsaengnim. Kakak tiri Kim Jaejoong.” Wooyoung tersenyum
menggelengkan kepala mengamati foto di tangannya.
***
Berkumpul
di markas Viceroy, studio milik Sunghyun. Hanbyul menceritakan apa yang membuat
gundah hatinya pada kelima temannya.
“Ai
pasti akan mendukungmu pergi. Apapun alasanmu, aku rasa dia tak akan setuju kau
tinggal.” Komentar Sunghyun. “Dia mengijinkanmu pergi, apalagi yang kau tunggu?
Menurutku Ai itu wanita yang tak menggunakan perasaannya, tapi logika. Logika
memegang kendali, hingga Ai bisa meng-handle perasaannya. Ini jarang ada pada
wanita. Aku setuju dengannya, memilih tinggal karena tak bisa jauh darinya
adalah konyol.”
“Kau
bisa berkata demikian karena kau belum pernah merasakan apa itu cinta yang
sebenarnya.” Minhwan tak terima. “Orang pintar bisa bertindak bodoh karena
cinta.”
“Hey,
cinta itu suci. Manusianya saja yang bodoh.” Sunghyun kukuh.
“Menurutku,
Fujiwara hanya tak ingin kau berpikir pendek. Hanya berpegang pada apa yang kau
rasakan saat ini, maka kau mengabaikan kemungkinan yang akan terjadi
selanjutnya. Fujiwara tak ingin kau menyesal nantinya, itu saja.” Pendapat
Byunghun.
“Sama
dengan pendapat Jaejoong.” Hanbyul lirih.
“Kau
menemuinya? Kim Jaejoong?” Sela Minhwan. Hanbyul mengangguk. “Ish! Kau ini
berlebihan sekali! Seperti hidup dan mati saja. Ayolah, ini hanya
Amerika-Seoul. Teknologi juga sudah canggih sekarang.”
“Ya.
Kau ini sebenarnya di pihak mana?” Protes Sunghyun.
“Aku
hanya tak ingin Hanbyul berpikir sempit. Terbanglah. Raih impianmu. Aku yakin
Fujiwara akan setia menunggumu di sini. Dia itu kan gadis yang tegar
pendirian.” Minhwan membela diri.
“Kau
takut dia akan kesepian? Setelah YOWL pergi, lalu kau? Itu salah, Jang
Hanbyul.” Myungsoo angkat bicara. “Fujiwara Ayumu bukan gadis seperti gadis
kebanyakan yang gemar beramai-ramai kesana-kemari berkelompok. Dia terlalu asik
dalam dunianya sendiri, dan sangat menikmati itu. Kau bisa masuk dalam
hidupnya, itu termasuk kejadian luar biasa.”
“Jaejoong
juga mengatakan demikian.” Hanbyul membenarkan.
“Hyuri
ada bersamanya, juga kami.” Imbuh Myungsoo.
“Tapi
Jiyoo tak setegar yang terlihat.” Bantah Hanbyul.
“Kita
semua juga tak setegar seperti yang terlihat. Bukan hanya Fujiwara. Tapi
masing-masing dari kita punya cara sendiri untuk mengatasinya. Ada kalanya kita
butuh di kasihani. Itu wajar dan manusiawi. Pikirkan kembali, dengan baik dan
bijak.” Jungshin tak mau kalah urun pendapat.
“Jika
kau pergi, posisi Viceroy dan Fujiwara Ayumu berimbang, 1:1. Ini akan membuat
kami dan Fujiwara merasa senasib. Ah, banyak jalan untuk menghiburnya. Kau tak
perlu khawatir akan hal itu.” Byunghun tiba-tiba bersemangat.
“Siapa
tahu nantinya kita malah jadi satu band?” Minhwan menimpali.
“Ya!
Ya! Jadi kalian benar ingin aku pergi?” Hanbyul serius. “Kalian benar ingin aku
pergi? Kalian membuangku kini?” Byunghun dan Minhwan merasa bersalah
mendengarnya. Hanbyul tertawa geli kemudian. “Just kidding.” Ucapnya di sela
tawa. Hanbyul menghentikan tawanya. Tawa yanag ia buat untuk menutupi rasa
gundah yang masih bergemuruh di dalam dirinya. “Terima kasih, semua.”
“Tetap
saja, semua kembali padamu.” Sunghyun menepuk pundak Hanbyul. “Aku harap kau
berpikir lebih jernih dan bijak.”
***
Shin Ae
celingukan di depan gerbang sekolah. Minhwan tersenyum lebar menemukan Shin Ae
sepagi ini. Dengan wajah berseri, Minhwan menghampiri Shin Ae.
“Annyeong!”
Sapa Minhwan.
“Oh!
Annyeong.”
“Mencari
seseorang? Fujiwara? Mungkin aku bisa bantu.”
“Apa
dia baik saja? Nona?”
“Iya??
Fujiwara sakit? Apa terjadi sesuatu?”
“Bukan
begitu. Entahlah. Aku hanya sedikit khawatir dan ingin melihatnya. Aneh saja
tak melihat Nona dua hari ini. Nona juga tak mengunjungi basecamp.”
“Sangat
mengkhawatirkannya ya?” Shin Ae menganggukan kepala. “Ah, nanti jika bertemu
Fujiwara akan kusampaikan jika Jung Shin Ae datang mencarinya.”
“Jangan!”
“Jangan???
Tidak merepotkan kok.” Minhwan tersenyum tulus. Sebenarnya ia sedikit gugup dan
salah tingkah di depan Shin Ae.
“Bukan
masalah merepotkan atau tidak. Aku tak mau Nona tahu jika aku mencarinya.”
“Ha???”
Minhwan menatap heran Shin Ai. Mengkhawatirkan
Fujiwara tapi tak ingin Fujiwara tahu tentang ini. Apakah seperti itu yang
dinamakan pengabdian? Batin Minhwan.
Shin Ae
menghela napas panjang. “Terima kasih sudah menyapaku. Annyeong.” Shin Ae
membalikan badan membelakangi Minhwan.
“Tunggu!”
Cegah Minhwan sambil berlari ke hadapan Shin Ae.
“Ada
apalagi?” Shin Ae terlihat putus asa.
“Aku
tidak suka melihatmu lesu begini. Kau terlihat jelek tahu!” Mata Shin Ae
melebar mendengarnya. “Kau yang selalu ceria daan penuh semangat, itu yang aku
suka. Dan setiap kau mengembangkan senyummu, kau terlihat begitu… cantik.” Puji
Minhwan dengan wajah merona berseri. Shin Ae masih berdiri, tertegun. “Tetaplah
tersenyum Jung Shin Ae, karena senyummu itu sangat cantik!” Minhwan kemudian
berlari masuk ke dalam sekolah.
Shin Ae
masih terpaku di tempat ia berdiri. “Huft…..” Ia kembali menghembuskan napas
panjang beberapa detik kemudian. “Nona…..” Gumamnya seraya berjalan pergi.
***
Ai
berada di atap gedung sekolah. Sendiri dan mengamati murid-murid dari atas
sana. 10 menit berada di atap, Ai kembali berjalan menuruni tangga. Ai dan
Junhyung kembali bertemu. Keduanya kembali menghentikan langkah masing-masing
dan saling beradu pandang. Ai menatap Junhyung dan begitu sebaliknya. Junhyung
menundukan kepala dan kembali berjalan.
“Tunggu!”
Tahan Ai saat Junhyung tepat berada di sampingnya. Junhyung menghentikan
langkahnya. Jantung Junhyung berdetub makin kencang. Ia pasrah, jika Ai akan
memukulnya atau berbuat lebih dari itu.
Ai
menghela napas, menggelengkan kepala dan tersenyum kecil, kemudian kembali
berjalan menuruni tangga. Junhyung berdiri tertegun menatapnya.
-------
Junhyung
tertunduk di depan Yiyoung. Yiyoung masih menatapnya.
“Oppa
mau kan?” Yiyoung mengulang pertanyaannya.
“Apa
dia akan memaafkan aku?”
“Kita
tidak akan tahu jika kita tak mencobanya. Semua ini menyiksaku, Oppa. Setiap
kali bertemu dan melihat tangan kiri Fujiwara…” Yiyoung terdiam sejenak, air
matanya meleleh, “tatapan itu, lalu teringat semua tentang Fujiwara dan
Jaejoong… aku merasa sangat kejam pada mereka. Aku benar-benar tersiksa, Oppa.”
Yiyoung menutup wajah dengan kedua tangannya.
Junhyung
memeluk Yiyoung. Membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya. “Kita akan
melakukannya. Kita akan meminta maaf.” Junhyung menenangkan.
***
Orang
tua dari masing-masing personel YOWL datang ke kantor Caliptra Seta
Entertainment. Mereka tidak hanya mendampingi anak-anak mereka, namun turut
menandatangani perjanjian kontrak antara YOWL dan CSE. Setelah selama satu jam
membahas kontrak sekaligus penandatanganannya, member YOWL mengantar orang tua
masing-masing keluar kantor CSE. Jaejoong juga mengantar Tuan dan Nyonya Kim.
“Kim
Taerin, kami bisa mengurusanya.” Tuan Kim sebelum pergi.
“Tidak
perlu. Dia baik saja di Jeonggu Dong.” Tolak Jaejoong.
“Tapi
dia seorang gadis dan sendirian di Jeonggu Dong.”
“Taerin
hidup baik di sana, walau tanpa aku. Percayalah. Jeonggu Dong, tak seburuk yang
di gambarkan di luar sana.”
“Aku
percaya. Sebentar lagi, kalian akan merubahnya.” Tuan Kim tersenyum menepuk
bahu Jaejoong.
***
Ai
turut tersenyum melihat Jaejoong yang berapi-api menceritakan bagaimana proses
penandatanganan kontrak YOWL bersama CSE yang juga di hadiri oleh orang tua
masing-masing member YOWL. Jaejoong terlihat benar bahagia dan lega.
“Jadi,
benar sudah akur?” Goda Ai.
“Belum
juga. Masih sulit bagiku memanggilnya, Appa.”
“Tak
apa. Semua butuh proses. Aku pun demikian. Selangkah demi selangkah.”
Jaejoong
tersenyum dan mengangguk. “Lalu, kapan kau akan melepasnya?” Menuding tangan
kiri Ai.
“Secepatnya.
Aku mulai bosan.”
“Asal
kau tak bandel.”
“Aku
bukan gadis bandel.”
“Iya,
ya. Eh, kau mau main tebak lagu? Dimana gitarmu?”
“Di
tempat biasa.”
“Aku
ambil ya.” Jaejoong bergegas menuju kamar Ai. Mengambil gitar akustik kesayangan
Ai. Jaejoong pun kembali ke teras dengan gitar di tangannya. Ia memangku gitar
Ai dan mulai memetiknya, melakukan cek, menyetel ulang senar gitar yang lama
tak terpakai ini. “Sudah siap! Bagaimana? Kau siap?” Ai mengangguk. “Ok. Kita
mulai!”
Jaejoong
memetik gitar memainkan melodi dan Ai menebak judul lagu dari melodi yang
dimainkan Jaejoong. Tebakan Ai selalu benar. Kedua anak manusia yang bernasib
hampir sama ini, sejenak seolah kembali ke masa lalu. Bercanda dan tertawa
bersama.
“Lagu
ini, dengarkan baik-baik.” Jaejoong sebelum memainkan lagu ketujuh.
Ai
menaruh perhatian penuh. Gengsi baginya jika sampai tak mampu menjawab atau
bahkan salah menebak judul lagu dari melodi yang dimainkan Jaejoong. Jaejoong
memainkan melodi akustik dari lagu ‘Saranghaeyo-Lee So Eun’. Jaejoong begitu
menikmati bagaimana ia memetik gitar, memainkan melodi romantis itu. Ai
terdiam. Duduk tertegun menatap Jaejoong dan hanyut dalam alunan petikan gitar
Jaejoong. Ai tersentuh.
Jaejoong
selesai memainkan satu lagu penuh, tak seperti sebelumnya. Ia diam menatap Ai
menunggu gadis itu menjawab. “Kau tak tahu judul dari lagu ini?” Tanya Jaejoong
setelah beberapa detik menunggu.
“Aku,
aku tahu, itu…”
“Saranghaeyo.”
Potog Jaejoong.
Suara
penuh penegasan dan tatapan lekat Jaejoong membuat Ai bungkam. Ia sadar
Jaejoong tak sedang mengucapkan judul lagu dari melodi yang ia mainkan. Namun
itulah ungkapan dari rasa yang di pendam Jaejoong pada Ai. Ai bungkam menatap
Jaejoong, begitu sebaliknya.
“Saranghae,
saranghaeyo, nunmurun ijilmankeum, saranghaeyo…” Jaejoong kembali memetik
gitarnya dan menyanyikan bait terakhir lagu itu. “Aku mencintaimu, Ai. Maaf,
aku tak bisa menghapusnya dari hatiku.” Jaejoong memperjelas ungkapan hatinya.
Hening.
Ai masih bungkam. Terdiam menatap Jaejoong. Hanbyul baru sampai dan berhenti di
ujung tangga teratas. Ia menemukan Ai dan Jaejoong duduk berhadapan di teras.
Namun keduanya terdiam. Hanbyul bertahan di tempat ia berdiri dan menunggu.
“Hanbyul??”
Ai baru menyadari kehadiran Hanbyul ketika ia mengalihkan pandangannya.
Jaejoong turut menoleh. Hanbyul tersenyum dan berjalan mendekat.
“Apa
aku mengganggu?” Sapa Hanbyul seolah ia tak tahu menahu jika ada sedikit
kecanggungan di sana. “Kalian sedang membahas lagu YOWL?”
“Hanya
main tebak lagu.” Jaejoong tersenyum dan meletakan gitar di meja.
“Aku
rindu main tebak lagu, dan meminta Jaejoong memainkannya untukku.” Terang Ai.
“Maaf
aku tak bisa melakukannya untukmu.” Hanbyul menyesal.
“Tapi
kau banyak bernyanyi untuknya. Itu membuatnya meleleh.” Goda Jaejoong mencoba
menetralkan rasa cemburu yang bergemuruh di hatinya.
“Benarkah?”
Hanbyul menatap tak percaya Jaejoong, lalu Ai.
“Baiklah.
Aku pergi!” Jaejoong bangkit dari duduknya.
“Kau
akan pergi?” Ai terlihat keberatan.
“Aku
ada janji, kau tahu dengan siapa kan? Selamat bersenang-senang!” Jaejoong
menepuk pundak Hanbyul dan berlari kecil pergi.
Ai
masih menatap Jaejoong yang kemudian hilang menuruni tangga.
“Dia
punya pacar ya?” Hanbyul seraya duduk di kursi yang tadinya di tempati
Jaejoong.
Ai
hanya tersenyum menanggapinya.
-------
Jaejoong
sedikit berlari menuruni tangga. Ia menghembuskan napas panjang ketika sampai
di ujung tangga terbawah. Jaejoong berhenti, membalikan badan dan mendongakkan
kepala, menatap rooftop Ai yang tentu
saja tak bisa ia jangkau dalam posisi ini.
“Oppa??”
Suara gadis itu membuyarkan lamunan Jaejoong. Jaejoong membalikan badan dan
mendapati Taerin berdiri menatapnya heran. “Oppa di sini?”
“Em!”
Jaejoong mengangguk dan tersenyum manis. “Ayo kita pulang.” Ia merangkul Taerin
pergi.
---TBC---
shytUrtle
0 comments