AWAKE "Rigel Story" - Bab IX

03:27

AWAKE - Rigel Story




Bab IX 


Esya dan Hongjoon berjalan beriringan menuju kelas mereka. Hari Sabtu di minggu pertama tahun ajaran baru, murid kelas X diwajibkan ke sekolah karena ada pentas seni yang digelar khusus untuk mereka. Keduanya mengamati beberapa murid kelas X yang membawa kado.
“Mereka ngapain bawa kado?” Hongjoon yang penasaran akhirnya bersuara.
“Untuk diberikan ke senior.” Esya pun masih memperhatikan murid-murid yang sibuk dengan kado-kado yang mereka bawa.
“Rigel?”
“Mungkin.”
“Kok kamu nggak bawa?”
Esya serta merta menoleh ke arah kanan. Menatap Hongjoon dengan ketus.
“Kan kamu Orion.”
“Emang semua Orion harus gitu?”
“Nggak juga sih.”
“Lagian kayak gitu, apa tujuannya kalau nggak pamer perhatian. Rigel juga nggak akan nyaman dibuatnya.”
“Pagi, Esya! Pagi, Hongjoon!” Axton menghampiri Esya dan Hongjoon. “Kalian nggak bawa hadiah kayak mereka?” Axton menggerakan kepalanya. Menunjuk satu siswi yang masuk ke dalam aula dengan membawa sebuah kotak besar terbungkus kertas kado.
“Harus ya?” Hongjoon balik bertanya.
“Nggak juga sih. Masuk yuk!” Axton merangkul Hongjoon. Bertiga mereka mengantri untuk masuk ke aula tempat pentas seni di gelar.

Panggung di dalam aula dihias. Di depan panggung di tata kursi-kursi berjajar untuk murid kelas X. Di bagian depan, sisi kanan dekat panggung di tata meja dan sofa untuk guru yang menghadiri pentas seni. Di dekat pintu masuk disediakan meja untuk menaruh kado-kado yang diberikan pada senior. Ada meja khusus untuk Rigel. Meja itu sudah penuh dengan kado.
Axton, Esya, dan Hongjoon duduk berjajar di kursi yang dekat dengan pintu sebelah kiri panggung. Tak butuh waktu lama, kursi-kursi untuk murid kelas X itu pun segera terisi penuh.
“Aku nggak liat Rigel lho!”
“Iya. Masa iya mereka nggak hadir? Susah payah aku bawa kado buat Byungjae.”
“Nggak mungkin kalau nggak dateng. Kan mereka anggota OSIS.”
Esya tersenyum mendengar obrolan tiga siswi yang duduk di depannya.
Hongjoon mengamati meja penitipan kado untuk Rigel yang sudah penuh. Ia menghela napas panjang sesudahnya.

Pearl, Ruby, dan Linde masuk ke dalam aula melalui pintu sebelah kanan di dekat panggung. Masih dengan gaya angkuhnya, mereka mengamati murid kelas X yang duduk di kursi-kursi di depan panggung.
“Hadiah untuk Rigel?” Pekik Linde ketika kedua matanya menangkap meja hadiah untuk Rigel.
Pearl dan Ruby mengikuti arah pandangan Linde. Ke meja yang berada di dekat pintu sisi kiri aula. Pintu masuk untuk murid kelas X. Pearl menghembuskan napas dengan kasar. Lalu, keluar meninggalkan aula.
“Kevin!” Dengan langkah lebar-lebar, Pearl berjalan menuju Kevin yang berada di depan kelas XI-4. Di kelas itu digunakan sebagai ruang tunggu pria bagi para senior yang akan tampil di pentas seni.
Kevin yang sedang mengobrol dengan salah satu siswa pun menoleh. Ia tersenyum menyambut Pearl yang berjalan ke arahnya.
Pearl berhenti jarak satu langkah di depan Kevin. Tadinya ia ingin bertanya tentang meja hadiah untuk Rigel. Tapi, ketika sampai di depan Kevin, ia menyadari jika tindakannya terlalu norak.
Melihat Pearl yang tiba-tiba diam saat sampai di depannya, Kevin pun bertanya, “Ada apa Nona Pearl? Terjadi masalah?”
Pearl mengerjapkan kedua matanya. “Aku lupa tadi mau nanya apa.”
“Meja hadiah untuk Rigel ya?”
Pearl terkejut mendengar ungkapan Kevin. Kedua mata sipitnya sampai mendelik saat menatap Kevin.
Kevin tersenyum lebar. “Semalam ada seorang Orion menghubungiku di Facebook. Ia mengatakan hari ini Orion yang bersekolah di SMA Horison ingin memberi hadiah untuk Rigel. Karenanya, kami berinisiatif untuk menyiapkan meja itu. Ternyata, ada banyak murid yang membawa hadiah. Bukan untuk Rigel saja. Bisa jadi kamu juga dapat, Nona Pearl. Fenomena baru di tahun ini. Siapa yang mencetuskan ide ini ya?”
Pearl menatap Kevin tajam. Ekspresinya benar-benar kesal. Ruby dan Linde yang berada di samping kanan dan kirinya pun memasang ekspresi yang sama.
“Tahun kemarin, kita hanya diminta memberikan permen pada senior yang kita suka, kan? Itu pun saat MPLS. Tahun ini benar-benar berbeda. Junior kita unik ya?”
Whatever!” Pearl membalikan badan. Berjalan pergi meninggalkan Kevin. Ruby dan Linde segera mengikuti di belakangnya.
Kevin tersenyum dan menggeleng melihat tingkah tiga teman seangkatannya itu.
***


Pentas seni pun dimulai. Satu siswi dan satu siswa kelas XI bertindak sebagai MC. Kepala Sekolah yang turut hadir memberikan sambutannya setelah acara pentas seni di buka. Setelah sambutan dari Kepala Sekolah dan Ketua Panitia MPLS, acara pertunjukan pun dimulai.
Sebenarnya murid kelas X diberi kesempatan jika ada yang ingin urun penampilan untuk pentas seni. Sayangnya tak satu pun murid kelas X yang mendaftar sebagai pengisi acara. Pentas seni pun diiisi oleh murid kelas XI dan XII. Perwakilan dari ekstrakurikuler juga turut meramaikan.
Pertunjukan dance, drama, tari tradisional, band, sing cover, stand up comedy, dan masih banyak lagi satu per satu ditampilkan di atas panggung. Kevin kembali naik ke atas panggung saat MC kembali mengundangnya naik ke atas panggung. Pearl yang duduk di sofa khusus guru pun mencibir. Usai Kepala Sekolah memberi sambutan, para guru hanya tinggal sebentar saja di aula. Setelah beberapa pertunjukan disajikan, para guru meninggalkan aula. Jadilah tempat bagi mereka diduduki para senior.
Kevin membahas tentang fenomena pemberian hadiah kepada senior yang baru terjadi di tahun ini. Ia berterima kasih kepada para junior yang memberikan perhatian kepada para senior.
“Aku berharap, salah satu hadiah di sana itu untukku.”
Murid kelas X tertawa mendengar harapan yang diungkap Kevin.
“Meja sebelah kanan adalah hadiah khusus untuk Rigel. Wah, sudah penuh ya. Orion mana suaranya?!” Kevin berseru.
Murid kelas X yang mengaku sebagai Orion pun membalas seruan Kevin.
“Woa... banyak sekali Orion di sini. Tapi, di mana Rigel? Kalian melihatnya?”
“Tidak!”
“Mana Rigel kami?”
“Rigel!”
“Kami mau Rigel!”
Beberapa murid kelas X bergantian menjawab pertanyaan Kevin.
“Rigel sudah mati!” Pearl menjawab dengan lirih.
Ruby yang mendengarnya meletakkan jari telunjuk tangan kanan di bibirnya. Memberi kode agar Pearl tak berkomentar. Pearl memutar kedua bola matanya karena kesal mendapat peringatan dari Ruby.
“Sepertinya Rigel tidak hadir hari ini.” Kevin dengan ekspresi menyesal.
“Yah...” Orion merespon seperti paduan suara.
“Mungkin mereka sedang sibuk berburu penampakan.”
Tidak hanya murid kelas X yang tergelak mendengar celetukan Kevin. Nicky yang duduk di sofa juga beberapa senior juga turut tertawa. Ruby, Pearl, dan Linde kompak mencibir.
“Ngomong soal penampakan, teman-teman dari ekskul teater akan memberikan penampilan khusus untuk pentas seni kali ini. Mereka bilang, pertunjukan kali ini dibuat berdasarkan riset dan wawancara bersama Rigel.”
“Woa...” Lagi-lagi Orion memberi komentar sama seperti paduan suara.
“Kalian siap?”
“Siap!”
“Yuk! Kita nonton bersama!” Kevin pun turun dari panggung bersama dua MC.
“Rigel beneran nggak hadir?” Linde bertanya pada Pearl dan Ruby.
“Mana aku tahu! Emang aku pengasuhnya apa?!” Pearl ketus.
Sorry.” Linde segera meminta maaf.
“Tapi, emang mereka nggak keliatan sama sekali. Dari kita datang.” Ruby pun penasaran pada keberadaan Rigel.
Pearl menghela napas dengan kasar dan melipat tangan di dada.

Pertunjukan dari ekstrakurikuler teater pun dimulai. Pertunjukan mereka diberi judul SMA Horison. Satu siswi yang berdandan ala nenek sihir—jubah hitam, topi runcing, dan membawa sapu—naik ke atas panggung. Make up siswi itu pun total. Ia terlihat seperti nenek-nenek dengan hidung panjang. Siswi itu bertindak sebagai narator. Ia mulai menceritakan bagaimana kehidupan di dalam SMA Horison.
Beberapa anggota teater naik ke atas panggung. Ada yang berperan sebagai murid, ada yang berperan sebagai guru. Pemeran murid bersalaman dengan pemeran guru. Bersama-sama mereka bernyanyi dan menari diiringi lagu yang bertema tentang hari pagi di sekolah. Lalu, mereka sibuk dengan aktivitas masing-masing. Menampilkan adegan persiapan sebelum pelajaran di kelas dimulai. Pemeran guru meminta perhatian pemeran murid. Adegan pelajaran di kelas pun dimulai.
Narator kembali muncul. Menceritakan ‘kehidupan lain’ yang juga ada di SMA Horison. Anggota teater yang berdandan seperti hantu naik ke atas panggung. Mereka menari diiringi lagu di sekitar pemeran guru dan murid yang berakting seolah-olah tak tahu akan hadirnya para hantu.
Semua terfokus menonton pertunjukan. Di atas panggung disajikan adegan bagaimana kehidupan kasat mata dan tak kasat mata itu saling berdampingan. Bagaimana keseharian makhluk tak kasat mata penghuni sekolah juga divisualisasikan. Bagaimana murid diganggu dan kesurupan pun turut disajikan.
Pertunjukan itu menyampaikan pesan bahwa manusia dan makhluk astral hidup berdampingan di SMA Horison. Karenanya, harus saling menghormati. Dalam pertunjukan itu digambarkan jika makhluk astral mengganggu manusia ketika mereka merasa tak nyaman atau terusik oleh ulah manusia. Sebagai manusia yang disebut sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna, murid-murid diminta untuk tidak takut pada makhluk astral pun tak boleh merasa sombong karena kesempurnaannya.
Penonton bertepuk tangan ketika pertunjukan berakhir. Mereka benar dibuat kagum oleh penampilan anggota teater. Seluruh pemain berkumpul di panggung untuk mengucap terima kasih.
“Kami punya penampilan penutup. Jadi, tolong jangan beranjak dulu.” Narator memberi pengumuman sebelum turun panggung.
Penonton berseru. Beberapa murid naik ke atas panggung. Ada yang merapikan sisa pertunjukan, ada yang mempersiapkan alat musik. Penonton saling berbisik. Mengungkap dugaan masing-masing tentang pertunjukan apa yang akan diberikan anggota teater sebagai penutup.
Seseorang yang mengenakan jubah hitam lengkap dengan penutup kepala ala vampir naik ke atas panggung. Penonton yang sebelumnya ribut pun mulai tenang dan kembali fokus pada panggung. Seseorang itu berjalan dan berhenti di balik keyboard. Ia mulai memainkan alat musik di hadapannya. Jari-jarinya menari di atas tuts-tuts keyboard. Ia memainkan alunan musik piano gothic yang bisa membuat bulu kuduk pendengarnya merinding.
Seseorang dengan kostum yang sama naik ke atas panggung. Ia berjalan menuju drum. Ia pun duduk di kursi di balik drum. Satu orang lagi naik dan mengambil gitar. Orang berikutnya naik dan mengambil gitar. Penonton tidak bisa mengenali wajah orang-orang di atas panggung itu karena selain mengenakan jubah hitam yang menutup seluruh tubuh, mereka juga mengenakan topeng.
Alunan musik piano gothic dan orang-orang berjubah hitam dan bertopeng yang naik ke atas panggung membuat suasana di aula menjadi dingin dan terkesan seram. Penonton terbawa suasana dari alunan musik piano gothic. Satu orang berjubah hitam dan bertopeng naik ke atas panggung. Ia berhenti di belakang microphone stands yang posisinya berada di tengah-tengah panggung. Seseorang di balik keyboard menghentikan permainannya. Suasana pun berubah hening dengan aura seram.
Seseorang di balik keyboard kembali memainkan keyboardnya. Dua orang yang menyangklet gitar pun mulai memainkan gitarnya, kemudian disambung oleh tabuhan drum. Mereka memainkan musik dari Within Temptation. Seseorang yang berdiri di belakang microphone stands mulai bernyanyi. Ia ternyata seorang perempuan. Band itu membawakan lagu Hand Of Sorrow milik Within Temptation. Suasana pun kembali meriah di dalam aula.
Selesai membawakan sebuah lagu, lima orang berjubah hitam dan bertopeng itu maju dan berkumpul. Saling bergandengan tangan dan membungkuk kepada penonton. Dua MC naik ke atas panggung. Menghampiri lima orang berjubah hitam dan bertopeng. MC bertanya apakah penonton penasaran pada sosok di balik jubah dan topeng itu. Penonton menyorakkan kata ‘iya’. MC pun meminta lima orang itu membuka topeng yang menutupi wajah mereka.
Kelima orang berjubah hitam kompak melepas topeng. Tapi, mereka kompak menunduk dan tak membuka topi jubah yang menutupi kepala mereka. MC kembali berbicara mengomentari tingkah lima orang yang membuat penonton makin penasaran. MC memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga, kelima orang berjubah hitam diminta melepas topi jubah dan menunjukkan wajah mereka.
“Satu... dua... tiga!” Dua MC bersama penonton kompak menghitung. Setelah hitungan ketiga, lima orang berjubah hitam melepas topi jubah yang menutupi kepala mereka. Secara bersamaan mereka menunjukkan wajah mereka kepada penonton.
Penonton sempat tertegun. Namun, kemudian bersorak meneriakan nama Rigel. Byungjae, Dio, Rue, Nath, dan Hanjoo tersenyum dan melambaikan tangan kepada para junior yang hampir seluruhnya bangkit dari duduknya. Berdiri dan bertepuk tangan untuk Rigel.
Di sofa, Nicky dan beberapa senior pun turut berdiri dan bertepuk tangan. Sama seperti para junior, mereka pun tak menyangka jika sosok di balik jubah hitam itu adalah Rigel. Suasana begitu riuh di dalam aula. Orion menerikan nama Rigel sebagai bentuk dukungan.
***


Rigel berkumpul di kelas XI-5 bersama anggota teater. Kevin juga berada di sana. Ekspresi mereka cerah, bahagia ketika membahas pertunjukan anggota teater dan Rigel yang mendapat sambutan hangat bukan hanya dari junior, tapi juga dari sesama angkatan, dan senior.
“Aku juga terkejut. Kalian nggak bilang sih ke aku. Detail pertunjukkan kalian kayak gimana. Tadinya, kupikir Rigel jadi salah satu hantu lho! Nggak tahunya jadi band penutup.” Kevin mengungkap keterkejutan sekaligus kekagumannya atas kerjasama rekan-rekan seangkatannya itu.
“Itu ide Nath. Dia bilang, menyampaikan pesan lewat pertunjukan saat pentas seni pasti lebih bisa diterima oleh junior kita.” Byungjae menanggapi.
“Ah iya. Nath anggota teater ya?” Kevin menatap Nathaline yang duduk berdampingan dengan Rue.
Strawberry-ku ini memang punya imajinasi yang luar biasa.” Rue tersenyum bangga dan merangkul Nathaline yang duduk di samping kirinya.
“Shopie si Penyihir dan Jenna si Vampire.” Byungjae tersenyum dan menggeleng melihat keakraban Rue dan Nathaline.
Rue disebut diberi julukan penyihir karena ia memiliki kemampuan melihat makhluk tak kasat mata. Ia pun bisa menyembuhkan orang yang terkena gangguan makhluk halus. Sedang Shopie adalah nama tokoh penyihir remaja dalam novel fantasi Hex Hall.
Nathaline diberi julukan Jenna si Vampire karena tubuhnya yang mungil dan ia memiliki sedikit masalah dengan sinar matahari. Nathaline tidak bisa berlama-lama dibawah sinar matahari, karena itu akan membuat matanya seolah akan buta, kulitnya terasa terbakar, dan sakit kepala yang amat sangat. Karena itu ia dijuluki Jenna si Vampire. Jenna adalah vampire bertubuh mungil dalam novel Hex Hall. Vampire yang juga merupakan sahabat Sophie. Bagi Byungjae, Rue dan Nath adalah sosok Sophie dan Jenna di dunia nyata.
Sedang Rue dan Nath punya julukan sendiri. Nath memanggil Rue dengan sebutan Tomato karena wajah gadis itu gampang memerah bak tomat. Sedang Rue memanggil Nath dengan sebutan Strawberry karena menurutnya Nath imut seperti buah stroberi. Dari sanalah julukan Strawmato berasal. Strawberry and Tomato. Nath yang membuat nickname itu.
“Bagaimana liburanmu, Nath? Bisa pulang kampung, pasti sangat menyenangkan.” Kevin merasa iri karena Nath bisa pulang ke Amerika saat libur panjang.
“Bukan hanya kamu yang iri. Dio dan Byungjae juga sama.” Hanjoo membuka aib kedua temannya
“Kupikir, pasti sangat tidak nyaman bagimu karena terdampar di negara tropis ini. Sepanjang tahun ada matahari.” Kevin bersimpati pada Nath.
“Maumu Nath tinggal di mana? Kutub utara?” Dio menyahut. Membuat Nath tergelak.
“Aku masih butuh sinar matahari. Hanya sampai jam tujuh pagi saja. Selebihnya, bye! Lagi pula banyak tempat yang teduh.” Nath meyakinkan jika hidupnya baik-baik saja.
“Dokter bahkan tidak bisa mengatakan  itu jenis penyakit apa. Kamu ini unik.” Kevin menggelengkan kepala.
“Sudah kubilang dia ini vampire. Ada darah vampire mengalir di tubuhnya. Karenanya, dia menjadi sedikit anti pada sinar matahari.” Byungjae menjabarkan teorinya. Membuat rekan-rekannya tergelak.
“O’ow! Geng Mutiara di sini!” Dio melihat Pearl dan gengnya masuk ke dalam kelas XI-5.
“Hai, Pearl!” Nath segera menyapa teman samasa kecilnya itu. Tapi, Pearl bersikap angkuh. Gadis itu berjalan dan berdiri di depan bangku tempat Nath dan Rue duduk di bangku di baliknya.
“Senang melihatmu tampak sehat dan baik, Nath.” Pearl membalas sapaan Nath.
Nath tersenyum lebar. “Terima kasih.”
“Wah! Ini dia bintang kita!” Suara itu menahan Pearl yang entah hendak berbicara apa. Gadis itu pun mengatupkan mulutnya dan turut menatap ke arah pintu. Dari sanalah suara itu berasal. Dari Nicky yang sedang menatap Rue dengan mata berbinar. Pearl kesal melihatnya.
Nicky berjalan mendekati bangku tempat Rue dan Nath duduk. Kedua gadis itu kompak berdiri ketika Nicky berjalan kepada mereka.
“Pertunjukan yang sempurna! Tidak hanya menghibur, tapi juga memiliki pesan moral yang tinggi.” Nicky memuji penampilan kolaborasi anggota teater dan Rigel. “Apa itu idemu, Jenna?” Ia memanggil Nath dengan nama panggilan yang diberikan Byungjae. Membuat Byungjae tersenyum lebar ketika mendengarnya.
“Sebenarnya saya lebih suka dipanggil Strawberry.” Nath meralat. Nicky tergelak mendengarnya. “Terima kasih atas dukungannya.” Nath membungkuk.
“Dan...” Nicky beralih menatap Rue. “Aku tidak menyangka, Sophie si penyihir ternyata memiliki suara merdu.” Ia gantian memuji Rue.
Wajah Rue langsung memerah karenanya. Nath tersenyum melihat reaksi tersipu di wajah Rue.
Strawmato memang kekuatan yang sempurna, kan?” Nath melingkarkan tangannya di lengan kiri Rue.
Pearl menghela napas dengan kasar, lalu keluar dari kelas XI-5 dengan kaki yang sedikit dihentak-hentakan hingga menimbulkan suara yang menyita perhatian hampir seluruh murid yang ada di kelas XI-5. Mereka menatap heran pada tingkah Pearl.
“Kekanak-kanakan sekali.” Dio bergumam.
Rue dan Nath kompak menatap Pearl. Nath semakin erat melingkarkan tangannya pada lengan Rue. Hanjoo yang berdiri di samping kiri Nath, turut menatap Pearl yang kemudian menghilang dari jangkauan pandangnya. Kemudian, tiga teman masa kecil Pearl itu kompak menghela napas panjang.
***

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews