Bilik shytUrtle

Aku Pernah Melakukan Percobaan Bunuh Diri

06:02



Aku Pernah Melakukan Percobaan Bunuh Diri





Rasanya masih nggak percaya kalau Om Chester udah nggak ada lagi di dunia ini. Berita-berita tentang meninggalnya Om Chester, juga ucapan bela sungkawa masih terus wira-wiri di berandaku.

Semalam iseng membaca komentar dalam postingan berita tentang Om Chester. Suer ngeri baca komentarnya. Rata-rata mengadili. Dan, seolah-olah hidup orang-orang yang mengadili dan menjelek-jelekan Om Chester itu udah bener aja. 100% bener. 100% lurus.

Bukan karena fans Linkin Park dan Om Chester, aku bikin tulisan ini. Tapi, sekedar berbagi aja. Aku membagi isi otakku. Itu saja.

Aku pernah menulis komentar seperti ini dalam postingan Mbak Arista Devi. "Sama dengan GERD, depresi pun gitu. Orang nggak akan pernah paham sebelum mengalami dan merasakannya sendiri."

Tapi, sebagai mantan penderita GERD yang sempat frustasi dan depresi. Aku berharap nggak akan ada lagi orang yang mengalami apa yang kayak aku alami. Kasihan. Belum tentu kuat. Soalnya menderita lahir batin.

Aku pernah tiba pada sebuah pemikiran, mungkin kematian akan mengakhiri semua penderitaan yang aku alami. Dan jujur saja, aku pernah hampir saja lompat dari atap rumah. Terjun ke sawah di belakang rumah yang sedang di tanami tomat.

Tahu bagimana cara petani menanam tomat? Ya, mereka menancapkan potongan bambu di sekitar tanaman tomat untuk menyangga tanaman tersebut.

Pasti juga tahu bagaimana jadinya jika aku melompat dari atap rumah dan mendarat di sawah yang dipenuhi lanjaran itu. Tubuhku akan tertusuk beberapa lanjaran. Bisa saja aku langsung mati. Tapi, bisa juga aku masih hidup dan tersiksa.

Semua tidak akan terjadi tanpa adanya kehendak Tuhan. Begitu keyakinanku. Dan, saat itu, tentulah Tuhan yang menyelamatkanku.

Belakangan makin marak pemberitaan tentang bunuh diri. Yang paling baru, kita semua tahu. Ya, tentang Om Chester yang juga membuatku... syok.

Jika mati bunuh diri itu dibenci Tuhan, kenapa Tuhan menentukan takdir beberapa orang dengan sebuah akhir, sebuah kematian dengan cara bunuh diri?

Ilmuku memang masih sangat dangkal. Dan, pertanyaan itu terus berputar-putar di otakku. "Tuhan, jika kau benar membenci, melaknat kematian dengan jalan bunuh diri. Kenapa Engkau memberi takdir beberapa orang dengan sebuah kematian yang penyebabnya adalah bunuh diri?"

Maafkan atas pertanyaanku itu, Tuhan.

Aku pun berdiskusi dengan Tunjung. Diskusi tentang pertanyaanku di atas. Daripada pertanyaan itu memenuhi otakku sampai bikin aku pusing. Mending ngajak seseorang buat diskusi.

"Oya, katanya kan Tuhan benci tindakan bunuh diri ya? Tapi, kenapa Tuhan menulis takdir beberapa makhluk-Nya dengan mati bunuh diri?" aku memulai obrolan.
"Itu kita diuji. Milih jalan yang mana. Sebagai contoh atau cermin buat lainnya. Itu nurut aku sih." jawab Tunjung.
"Ujian yang berat ya. Kalau nggak lolos dan berakhir dengan bunuh diri, apa akan dibenci sama Tuhan?"
"Ya nggak. Wong wis takdire. Kita kan wayang, U. Gimana meranin peran kita dengan profesional dan bijak."

Benar juga. Semua tidak akan terjadi jika Tuhan tidak berkehendak. Jika Tuhan tidak membenci makhluk-Nya yang mati dengan cara bunuh diri, bukan berarti bunuh diri itu dibenarkan. Walau menurut beberapa orang, bunuh diri adalah pilihan masing-masing pribadi.

Aku yang pernah sampai pada titik, hampir mengakhiri hidupku dengan melompat dari atap rumah merasa beruntung. Tuhan masih memberiku kesempatan hidup hingga saat ini. Memberiku kesempatan untuk lebih menghargai hidup dan belajar banyak hal.

Dan, benar juga. Peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita adalah contoh dan cermin buat kita. Agar lebih bijak dalam menjalankan peran kita selama hidup di dunia.

Kalian tidak percaya jika aku pernah dalam situasi hampir bunuh diri? Kejadiannya sudah lama. Ketika aku masih duduk di bangku SMA.

Aku termasuk golongan intovert. Orang yang tertutup. Kenapa aku sampai pada titik ingin mengakhiri hidup dengan bunuh diri melompat dari loteng. Panjang ceritanya. Dan, aku rasa tidak perlu untuk dibahas di sini.

Yang terpenting adalah aku bisa melewati masa itu. Bangkit dan bertahan hidup hingga sekarang.

Bagaimana aku bisa bangkit adalah ketika aku menemukan seseorang untuk berbagi. Seseorang yang aku bisa nyaman berbicara segala sesuatu dengannya. Seseorang yang nggak hanya mau mendengar keluh kesahku. Tapi, juga mau memberiku saran serta dukungan untuk terus bangkit. Memperbaiki diri jadi pribadi yang lebih kuat dan tangguh.

Hal yang terpenting dari itu semua adalah bagaimana lebih mengenal diri sendiri. Mengenal siapa aku. Apa yang aku mau. Karena hanya diri kita yang bisa dan paling mengerti diri kita sendiri.

Perjuangan melawan penyakit psikis itu tidak semudah melawan penyakit fisik. Penyakit fisik bisa sembuh dengan minum obat saja. Tapi, penyakit psikis? Obat saja tidak cukup.

Dulu aku melawannya dengan lebih banyak mencari kesibukan. Banyak bergaul. Walau bertemu orang banyak membuatku ketakutan. Aku harus melawannya. Aku harus keluar. Aku harus bertemu dan berinteraksi dengan banyak orang.

Walau awalnya sulit. Tapi, itu berhasil. Aku merasa hidupku lebih indah. Aku punya mimpi yang harus aku perjuangkan. Karena itu, aku nggak mau mati sebelum mimpiku jadi kenyataan. Setidaknya, aku harus berusaha dan menikmati hidup sebelum kematian datang menjemputku.

Perjuangan untuk hidup setelah percobaan bunuh diri dan selama waktu sesudahnya. Berhasil aku lalui dengan baik. Ketika aku tak berhasil melanjutkan kuliah pun aku tak larut dalam kesedihan. Aku bisa menerimanya dan tetap melanjutkan hidup walau sebagai pengangguran yang lumayan lama.

Ketika kita bisa menerima bagaimana jalan hidup kita dan berpasrah pada-Nya. Semua pun berjalan bak air mengalir. Dan, semua pun baik-baik saja.


Ada yang bilang, hidup itu bak roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Kadang pun kita akan mengalami fase yang sama seperti di masa lalu kita.

Hidupku tergolong baik. Aku punya pekerjaan yang penghasilannya bisa aku gunakan untuk memenuhi kebutuhanku sendiri.

Aku pun mulai merintis karir, menata jalan untuk meraih mimpiku.

Tapi, hidup tak selamanya berjalan mulus. Aku kembali dihadapkan pada kondisi yang membuatku drop secara fisik dan mental.

Setelah sepuluh tahun berlalu, aku kembali down. Aku divonis sakit GERD yang sempat membuatku hanya bisa tiduran di atas ranjang selama satu bulan. Sakit yang tak hanya dirasakan fisik, tapi juga mental.

Sakit yang membuat frustasi karena sudah mengkonsumsi obat selama berbulan-bulan, tapi kondisi fisik tak kunjung membaik. Semakin frustasi hingga depresi karena orang-orang yang seharusnya mendukungku untuk sembuh justeru menuduhku pura-pura sakit karena aku malas bekerja.

Sakit, rapuh, sendirian, dan menjadi beban keluarga. Apalagi yang terpikirkan kecuali kematian? Kematian yang mungkin saja bisa mengakhiri segala penderitaan dunia itu.

Jika kalian sering membaca, orang depresi seringnya mendengar bisikan-bisikan yang mendorong mereka untuk berbuat nekat. Itu benar adanya. Aku pun mengalaminya.

Semasa SMA dulu, aku merasa aku mempunyai teman. Teman yang hanya bisa aku dengar. Ketika tiba di puncak rasa putus asaku. Ketika aku sudah berada di ujung loteng rumahku. Suaranya lah yang terus ku dengar. Suara lembutnya yang memintaku agar segera melompat ke bawah sana. Agar aku bebas dan bisa bersamanya. Selamanya.

Ketika aku drop karena sakit GERD dan frustasi. Sosok itu kembali muncul. Membisikkan betapa malangnya aku yang sakit dan harus menderita sendirian. Membisikkan bahwa tak ada seorang pun yang peduli padaku di dunia ini. Tak ada jalan lain yang lebih baik kecuali sebuah akhir dari kehidupan di dunia. Dan awal dari sebuah keabadian dengan jalan kematian.

Dalam situasi itu ada seseorang yang selalu berusaha menjagaku. Mengajakku bicara. Memberiku semangat untuk terus berjuang. Dan, meyakinkanku bahwa aku tidak sendiri. Dia orang yang sama, yang juga datang menolongku sepuluh tahun yang lalu.

Walau kenyataan membuktikan bahwa hanya dia yang masih bertahan untuk menemani dan mendukungku. Itu sudah cukup bagiku. Cukup untuk melawan bisikan-bisikan yang membuatku rapuh dan makin terpuruk itu. Aku sudah pernah berada dalam situasi seperti ini, dan aku berhasil melewatinya. Kali ini pun aku pasti bisa.

Segala usaha sudah dilakukan. Segala obat sudah dimakan. Ketika jiwa dan raga ini sudah lelah, yang bisa aku lakukan hanya berpasrah. Ikhlas menerima takdir-Nya dan bergantung pada-Nya. Karena pada siapa lagi aku berlari dan meminta pertolongan jika bukan pada-Nya?

Tiba-tiba aku takut mati. Benar-benar takut mati. Karena teringat mimpi-mimpiku yang belum terwujud. Terlebih teringat dosa-dosaku. Jika aku mati sekarang, dalam kondisi seperti ini. Kematian bukanlah akhir dari penderitaan di dunia. Tapi, awal dari penderitaan yang abadi.

Aku menangis sejadi-jadinya dalam kamarku yang gelap. Sakitku adalah wujud kasih sayang Tuhan untukku. Teguran untukku. Pesan cinta agar aku kembali memeluk-Nya dan bergantung pada-Nya. Sakitku adalah kesempatan yang diberikan Tuhan padaku. Kesempatan agar aku memperbaiki diri.

Dari situ aku kembali bangkit. Berusaha melawan sakitku untuk sembuh. Dengan sabar dan ikhlas. Perlahan keluarga pun mulai percaya jika aku benar-benar sakit. Tepatnya setelah aku dirujuk untuk melakukan endoskopi.

Aku meminta maaf kepada keluargaku. Memulai segalanya dari awal. Alhamdulillah setahun kemudian aku membaik dan hubunganku dengan keluarga juga semakin baik.

Tentang bisikan-bisikan itu. Entah itu apa. Padaku adalah suara seorang perempuan. Baik di sepuluh tahun yang lalu, juga di dua tahun belakangan. Entah itu buah dari pikiranku yang kacau. Atau memang benar ada suara yang membisikkan. Suara yang oleh kebanyakan orang di artikan sebagai bisikan setan.

Terlebih aku pun pernah memiliki masalah yang katanya berhubungan dengan makhluk halus. Mereka bilang ada arwah gentayangan yang berbagi raga denganku. Dialah yang berbisik dan mengajakku bunuh diri. Agar aku bisa bersama dengannya tanpa terbatas dunia yang berbeda.

Secara psikologi, mungkin hal itu dikenal dengan dua kepribadian atau kepribadian ganda.

Entahlah. Tapi, berada dalam situasi itu dan mengalami gejala-gejalanya. Benar menderita secara lahir dan batin.

Setahun sembuh dari GERD, muncul penyakit psikis yang disebut-sebut sebagai gandengan dari GERD. Satu paket sama GERD. Penyakit yang akrab disebut anxie atau anxiety. Penyakit psikis yang berupa gangguan kecemasan.

Kondisi fisikku yang mulai stabil kembali goyah. Aku kembali mengurung diri. Nggak berani keluar rumah. Padahal sebelum sakit GERD, ke mana-mana aku nyetir motor sendiri. Keluar kota pun nyetir motor sendiri.

Setelah dihinggapi anxie, nyetir motor jarak lima kilometer saja aku sudah gemetaran. Sesak napas dan kayak mau pingsan. Bahkan, pernah hampir pingsan di tengah kerumunan penonton karnaval.

Aku kembali tertekan. Kembali frustasi. Jika dulu aku hampir mengakhiri hidupku. Saat dihinggapi anxie, mendengar kata mati saja aku sudah ketakutan. Tubuhku menggigil. Ketakutan. Bahkan, sampai nggak berani untuk tidur. Takut kalau tidur, nggak akan bangun lagi.

Keluarga pun dibuat bingung akan kondisiku. Mereka nggak paham aku sakit apa lagi. Karena secara fisik aku terlihat sudah sehat. Tapi, ketika anxie menyerang. Aku benar-benar seperti orang sakit parah.

Aku putus asa. Frustasi menghadapi sakit jiwaku. Ya, aku sakit jiwa. Aku butuh psikiater. Aku butuh dokter jiwa. Hanya psikiater yang bisa menolongku. Hanya dokter jiwa yang bisa menolongku. Ini tidak boleh dibiarkan hingga jadi depresi. Nggak boleh! Aku harus ke rumah sakit jiwa.

Aku merengek pada Ibu. Minta di antar ke rumah sakit jiwa. Ke psikiater. Walau tampak terkejut, Ibu mengiyakan saja permintaanku. Menyanggupi pergi ke puskesmas untuk meminta surat rujukan.

Lagi-lagi Tuhan mempertemukan aku dengan seseorang yang berani menamparku dengan kata-katanya. Agar aku sadar bahwa aku tidak dalam kondisi separah itu, yang sampai harus pergi ke rumah sakit jiwa. Agar aku sadar dan segera bangkit melawan penyakit jiwaku.

Mau tahu bagaimana rasanya berjuang melawan sakit jiwa itu? Melawan frustasi itu? Melawan depresi itu?

Sakitku menimbulkan frustasi. Dan, frustasi membuat depresi.

Setiap hari diliputi ketakutan. Rasa kesal. Lelah. Dan benci pada keadaan yang aku alami. Takut mati, tapi seolah kematian sudah di ambang pintu. Menunggu untuk masuk dan merengkuhku. Takut memejamkan mata.

Kenapa aku masih demikian walau aku sudah berpegang erat pada-Nya?

Berbicara tidak semudah prakteknya. "Kendalikan pikiranmu!"

Ya! Aku berusaha mengendalikannya. Tapi, kenyataan untuk mengendalikan pikiran itu tak semudah mengucapkannya.

Aku pun tak hentinya meminta bantuan dan kekuatan dari-Nya. Dan, Dia pun membantu. Tapi dalam sebuah peperangan, tidak ada perjuangan yang mudah kan?

Jatuh bangun. Menangis berulang-ulang. Bahkan, sempat berpikir untuk berhenti dan menyerah pada keadaan.

Percayalah! Nggak ada yang nggak berusaha melawan depresinya. Setiap orang yang menyadari dirinya depresi, pasti akan berusaha melawannya. Hanya saja cara dari masing-masing pribadi untuk melawan depresi itu berbeda-beda.

Temanku ada yang memilih merokok dan memakai obat-obatan untuk mengatasi depresinya. Bertahan selama beberapa waktu. Lalu, tiba waktunya dia memilih jalan yang lebih baik.

 Depresi yang berakhir dengan bunuh diri itu bukan perkara iman. Kalau memang perkara utamanya adalah iman, kenapa ada kasus pendeta bunuh diri? Atau ustadz yang mencabuli muridnya? Bukankah mereka dipandang sebagai orang yang lebih beriman di banding dengan kaum awam?

Sekuat apa pun imanmu, tetap tidak akan bisa membantumu untuk melawan takdirmu. Yang bisa kamu lakukan hanya merubah nasib. Tapi, tidak dengan takdir. Takdir itu murni kuasa Tuhan. Kita tidak bisa mencampurinya barang sedikit saja.

Boleh jadi kamu adalah orang yang beriman kuat. Tapi, kalau takdirmu kamu mati bunuh diri karena patah hati misalnya. Kamu bisa apa? Suka-suka Tuhan mau nulis takdir makhluk-Nya kayak gimana kan?

Jadi, tolong! Stop menghakimi. Stop mencela. Kita ini hanya wayang. Sedang Tuhan lah sang sutradara Yang Maha Menentukan Segalanya.

Tentang orang yang mati bunuh diri itu dilaknat Tuhan atau tidak. Itu urusan dia sama Tuhan nya.

Kita ambil saja pelajarannya. Agar kita lebih hati-hati dalam menjalani hidup.

Sebagai wayang, kita pun nggak tahu bagaimana hidup kita akan berakhir. Bisa jadi hari ini kamu ngolok-ngolok orang yang mati bunuh diri. Tapi, besoknya kamu sendiri bunuh diri hanya karena sendal kesayanganmu dicuri.

Apa pun bisa terjadi. Takdir kita, hanya Tuhan yang tahu. Dan hanya Tuhan yang mutlak menentukan takdir setiap makhluk-Nya.

Sampai saat ini pun aku masih berjuang melawan pikiran-pikiran negatif yang kadang muncul dengan sendirinya. Sampai sekarang pun aku masih berjuang melawan depresi.

Semoga kisah yang sebelumnya nggak pernah aku up ke publik ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua. Bahwa hidup itu adalah pilihan. Dan kata Aa' Gym, hidup itu peralihan dari satu masalah ke masalah lainnya. Pilihan untuk menyelesaikan semua permasalahan dalam hidup kita, ya kita yang menentukan.

Ketika sudah merasa tertekan, merasa frustasi. Carilah seseorang untuk berbagi. Atau keluar lah. Hirup udara segar dan temui banyak orang. Jangan tambah mengurung diri.

Ada kalanya berdiam, menyendiri itu memang dibutuhkan. Tapi, tak harus sampai terlalu atau berlebihan kan?

Sendiri bisa membuatmu mengenal dirimu juga Tuhan mu jika kau memanfaatkan kesendirianmu dengan benar. Sebenarnya, kita tidak benar-benar sendirian. Selain Tuhan dan malaikat, ada setan juga yang menemani kita. Tergantung pilihanmu, kamu mau berdekatan dan bersandar pada siapa.

Tuhan selalu memberi kita ujian dan pilihan. Walau akhirnya Tuhan pula yang menentukan takdir kita.

"Bunuh diri bukan masalahmu sendiri. Bunuh diri itu akan membunuh hati orang-orang lain di sekelilingmu juga."—Hiroaki, Scheduled Suicide Day.

Jika kau membenci tindakan bunuh diri. Itu hakmu. Tapi, tolong. Sebisa mungkin jangan mengadili orang yang memilih mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Walau orang itu tak akan mendengar cacianmu, tapi dia masih punya keluarga kan? Bisa jadi cacianmu membuat keluarga pelaku bunuh diri semakin terluka. Dan, bukankah melukai hati seseorang itu merupakan dosa dan dilarang? Sama halnya dengan bunuh diri. Jadi, kalau mencaci maki hingga membuat hati orang lain sakit. Apa bedanya dengan bunuh diri itu sendiri yang kau nilai sebagai tindakan berdosa?

Dosamu pada Tuhan mu bisa diampuni jika kau bertobat pada Tuhan mu. Tapi, dosa kepada sesama manusia. Selama manusia itu tidak memaafkan. Kau akan tetap membawa dosa itu sampai kapan pun, bahkan sampai kau mati.

Mari bersikap lebih bijak. Selalu bercermin dan mengoreksi diri sendiri. Agar selamat hidup di dunia hingga akherat nanti.

Aku bukan manusia yang baik. Tapi, aku sedang berusaha dan belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik.

Maaf jika ada salah kata. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Di dalam tempurung kura-kura, sambil mendengarkan Linkin Park Numb, Breaking The Habit, dan Runaway.

Tempurung kura-kura, 24 Juli 2017.
. shytUrtle .

cUrioUs -W- way

My Curious Way: [170720] Road to Coban Bidadari.

21:01



My Curious Way: [170720] Road to Coban Bidadari.






Wana wisata berikutnya yang aku kunjungi di minggu ini adalah Coban Bidadari.

Kayaknya sekarang emang tren-nya disebut sebagai "wana wisata". Coban Pelangi juga dilabeli sebagai "Wana Wisata Coban Pelangi".

Aku suka sama istilah "wana wisata" itu. Karena emang kan lokasinya hutan yang dijadikan sebagai tempat wisata.

Kalau tentang Coban Bidadari ini aku tahunya dari Thata. Trus, Mbak Jamile juga sempet ngasih kiriman screen capture tentang Coban Bidadari.

Kalau rutenya desa Kunci ke timur, informasi selalu nanya ke bidan-bidan dan perawat-perawat yang dinas di sana. Di Kunci, Gubugklakah, dan Ngadas. Lebih akurat kalau nanya beliau-beliau itu. Hehehe.

Kebetulan perawat Ponkesdes desa Kunci udah pernah ke sana. Langsung deh dikasih info lokasi. Bahkan dikasih lihat foto-foto dia pas berkunjung ke sana.

Rute ke Coban Bidadari ini gampang banget sebenarnya. Jalurnya mudah ditemukan karena ada tepat di pinggir jalan utama menuju Bromo. Jalan utamnya juga udah aspal dan cor.

Tapi, yang namanya naik gunung ya. Jalurnya pasti nanjak dan berkelok-kelok. Kebetulan jalannya juga agak sempit. Dan, aspal juga cor-nya banyak yang berlubang. Agak luas dan beraspal halus pas udah masuk wilayah Ngadas dari persimpangan ke Njarak Ijo.

Lokasi Coban Bidadari ndak sampek Ngadas kok. Letaknya di atasnya Coban Pelangi dikit dan di bawahnya Coban Trisula dikit pula. Hehehe.

Tepatnya berada di dekat gapura Selamat Datang Wisata Bromo, Tengger, Semeru. Tahu kan?
Gapura Selamat Datang Wisata Bromo, Tengger, Semeru.


Yang udah pernah ke Bromo lewat Gubugklakah pasti tahu. Soalnya nglewatin area itu. Tepatnya di sebelah kiri kalau dari arah bawah.

Pas aku main ke Ngadas bulan Maret lalu, lokasi itu masih hutan belantara. Sekarang udah jadi kawasan wana wisata yang ramai pengunjung. Daebak!!! Cepat sekali berubahnya. Hehehe.

Walau udah akrab sama jalur ke timur itu, tapi kalau nyetir motor sendiri mentok sampai Coban Pelangi aja. Ke atasnya sono selalu dalam boncengan. Pertama dibonceng Bapak, kedua dibonceng Thata.

Ada satu kelokan, lokasinya di atas Coban Pelangi yang bikin aku cukup ciut nyali. Selain itu ada jalan yang akrab disebut "bunderan" yang juga cukup bikin deg-deg ser.

Tapi, Bapak bilang, "Itu karena kamu dibonceng. Kalau nyetir ndiri pasti bisa. Soalnya kan kamu bisa mengira-ngira, bagaimana melajukan motormu di jalan yang kayak gitu. Tiap orang yang dibonceng merasanya pasti gitu. Tapi, kalau nyetir dewe ya nggak. Apalagi kalau pakai motor manual. Lebih enak."

Meskipun begitu, aku belum pernah ngajak Jagiya naik melebihi Coban Pelangi. Alasan utama karena waktu itu Jagiya belum diservisin. Lalu puasa, dan selesai Jagiya diservis udah lebaran aja. Jadi, Coban Bidadari masuk wish list dan menunggu untuk dikunjungi.

Tiba-tiba Thata memberikan sebuah tawaran, "Mau ikut aku nggak? Main ke Coban Bidadari. Temenku pengen ke sana. Tapi, dia sama temennya. Aku males naik motor sendiri. Temenin aku ya kalau sampean nyantai."

Let's go! Langsung mengiyakan. Dan, buru-buru minta izin hari Kamis buka toko sampai jam satu siang aja. Karena janjiannya kan jam dua. Izin satu jam lebih awal biar bisa istirahat sebentar. Perjalanan ke timur itu selalu membutuhkan energi ekstra. Hehehe.

Padahal hari Rabu -nya izin nggak masuk kerja karena Nduk Ra ngajak ke hutan pinus—yang berujung ke Wana Wisata Winong. Tapi, hari Kamis udah izin lagi. Masuk kerja enam jam doang. Hehehe. Mumpung ada kesempatan yang ngajak main. Nggak disia-siain deh. Heuheuheu...

Pukul satu siang pulang. Ngaso bentar. Makan udah di toko. Jadi, nyampek rumah langsung rebahan. Ya. Harus siapin fisik. Perjalanan ke timur itu penuh tantangan walau jalannya udah beraspal.

Pukul dua siang Thata udah menjemput. Kami pergi pakek motornya Thata, matic. Dan karena matic, aku jadi penumpang aja. Ndak jadi joki. Hehehe.

Molor dari waktu perjanjian. Sampai pukul tiga sore, temen Thata belum dateng. Kami udah standby di pinggir jalan utama. Thata duduk manis di atas motornya. Aku jongkok di trotoar. Sempet selfie juga. Hahaha. Buat ngilangin bosan.

Selca di trotoar :D


Walau jalur ke timur itu ramai sampai malam, tapi kalau naik terlalu sore juga bukan ide bagus. Karena, pertimbangan pertama udah pasti kabut. Tujuan ke Coban Bidadari adalah sunset-nya. Kalau kesorean trus kabut kan percuma. Udah naik, nggak bisa nikmatin indahnya sunset karena udah ketutup kabut.

Pukul setengah empat kami mulai naik. Berempat, dua motor matic semua, dan cewek semua. Di tempat kami udah mendung. Kami ambil rute lewat Ndrigu. Biar lewar Sedaer juga. Kali aja temennya Thata mau foto-foto di Sedaer.

Mendungnya bikin galau. Tapi, di atas kelihatan cerah. Di atas di desa Poncokusumo. Ngarepnya di Gubugklakah juga cerah. Soalnya nggak mesti. Pas di tempat kami cerah, di atas mendung. Atau sebaliknya, di atas cerah, di tempat kami mendung.

Aku berharap di atas cerah. Kasihan temen Thata. Jauh-jauh datang kalau mendung kan rasa kecewa pasti ada.

Karena udah sore dan mendung, agak ngebut pas naiknya. Jalannya makin parah berlubangnya. Aspal halus cuman sampai Coban Pelangi. Jadi, dari situ udah nggak bisa ngebut lagi. Lagian banyak kendaraan turun juga. Kebanyakan mobil pick up pengangkut sayur mayur. Jadi, harus pelan-pelan.

Setelah kelokan menanjak dam tajam pertama, jalan cor-nya juga parah rusaknya. Berlubang di sana-sini. Jadi, harus pelan-pelan. Milih jalan yang nggak berlubang.

Makin naik, makin dingin. Nyampek lokasi, lumayan sepi. Ada beberapa motor aja. Dan, setelah kami ada satu mobil yang tiba.

Aku nanya sama mas-mas berkaos putih yang jaga parkiran. Udah tutup apa belum. Katanya, udah mau tutup. Tapi, kami dibolehin masuk.

Ok lah. Trus, aku nanya HTM-nya berapa. Kata masnya, bayar parkir aja nanti kalau pulang. Ok. Kami pun memarkirkan motor dan bersiap jalan kaki menuju lokasi.

Area parkirnya luas. Dan, biaya parkirnya Rp. 5.000,- untuk motor. Entah kalau mobil berapa.
Area parkir



Mungkin kalau pagi atau siang, ada yang jualan di area parkir. Pas kami nyampek, udah sepi. Cuman ada mas berkaos putih yang jaga.

Video di area parkir


Kami pun mulai jalan menuju lokasi. Tak jauh dari area parkir, berdiri sebuah bangunan berjajar yang ternyata adalah toilet. The beser people ndak perlu khawatir. Hehehe. Tarif pakai toilet pun standar. Rp. 2.000,- aja. Tapi, aku nggak tahu gimana kondisi di dalam toilet. Karena kebetulan aku tidak beser. Jadi, tidak mengunjungi toilet.

Toilet


Bukan jalan setapak sih. Jalan tanah yang agak lebar dari jalan setapak. Melewati hutan yang di dominasi pohon-pohon besar. Ada pohon kopi juga.


Berani jamin, kalau pohon kopinya pas berbunga. Pasti suasana di jalan menuju lokasi makin syahdu. Bunga kopi kan wangi banget. Jadi, makin syahdu kan? Sayangnya kopinya lagi nggak berbunga. Entah itu kopi yang tumbuh liar atau kopi yang sengaja ditanam. Ukurannya udah agak gede sih. Dan, di deket jalan menanjak menuju Puncak Bidadari juga ada rerimbunan pohon kopi.

Video bukan jalan setapak

Mendekati area selfi kami disambut gapura kayu bertuliskan "Welcome Coban Bidadari". Di dekat gapura masuk itu ada gazebo beratap jerami. Di dalamnya ada tempat duduk melingkar.


Di dekat gazebo ada bangku kayu yang selfieable banget. Background-nya hutan. Bagus banget lah. Di dekat bangku kayu yang selfieable—apalagi bareng pasangan. Ada deretan bangku kayu dan sebuah ayunan yang menghadap ke hutan dan perbukitan. Sore-sore duduk di sana seru banget tuh. Bener-bener bisa ngilangin stres karena pemandangan hijau yang terbentang indah di depan tempat duduk kayu dan ayunan.





Di area ini ada taman bunga zinia juga. Kebetulan pas lagi berbunga dan bermekaran. Jadi, cantik banget. Tahu bunga zinia, kan? Itu lho, bunga kertas. Hehehe.


Trus ada bangku dan meja kayu berbentuk hati. Juga ada spot untuk uji nyali kayak di GSS (Gunung Sari Sunset). Yes! Benar sekali! Jembatan kayu yang berujung di sebuah pohon. Kalau lihat di foto promosinya kayak tinggi banget. Tapi, pas lihat langsung nurut aku tidak terlalu tinggi juga. Tapi, tetep aja yang takut ketinggian tidak disarankan untuk mencoba. Jembatannya terbuat dari potongan-potongan kayu bulat. Tatanannya pun ada yang longgar. Walau kuat, tapi tetap tidak disarankan bagi yang takut ketinggian.




Di dekat jembatan ada ikon lain yang turut menghiasi promo Coban Bidadari. Yap! Replika bunga matahari berwarna kuning yang nggak kalah selfieable. Karena lokasi agak minggir. Yang takut ketinggian tetep ya. Hati-hati.



Di dekat replika bunga matahari yang sedang mekar. Ada spot yang paling mainstream. Kenapa mainstream? Hampir di semua wana wisata, ada wahana ini. Kok wahana sih? Ya pokoknya gitu lah. Papan berbentuk hati. Ini lebih nggak bikin deg-deg ser. Nggak kayak di GSS yang super tinggi dan butuh nyali gede buat foto di atasnya. Papan hati di Coban Bidadari ini landai banget. Aman dah buat yang takut ketinggian.


Oya, di dekat area ayunan itu ada pohon-pohon yang di bungkus kain kotak-kotak berwarna hitam putih. Jadi berasa kayak di Bali gitu deh. Senada sama di... aduh! Lupa namanya aku. Itu lho, yang ada di sebelah baratnya GSS. Apa sih namanya?? Sumpah aku beneran lupa. Maaf ya!

Video area selfieable #1


Dari papan berbentuk hati, jalan terus bakal ketemu persimpangan. Ke arah kanan menurun akan membawa kita ke coban atau air terjunnya. Tapi, kata mas yang jaga parkir medannya ekstrim.


Kelihatan emang. Tangga tanahnya yang jejeg. Bahasa Indonesia-nya jejeg apa sih? Pokoknya tegak dan tinggi hampir 90°. Ngeri. Lagian kami datang udah jam setengah lima sore. Jadi, nggak boleh turun juga. Siapkan fisik aja buat yang niat turun ke air terjunnya. Di fotonya bagus kok air terjunnya. Nggak segede air terjun di Coban Pelangi.



Video di persimpangan

Matahari yang akhirnya muncul

Kalau lurus, kita bakal menuju Puncak Bidadari. Sumpah aku deja vu pas lihat jalan menanjak menuju Puncak Bidadari. Aku merasa, aku tuh pernah ke sana. Tapi, entah kapan itu. Dan ketika di lokasi, aku cuman bisa bergumam, "Oh! Ini tho ternyata tempatnya." Btw, ini bukan pertama kalinya sih. Hehehe.





Tanjakan menuju Puncak Bidadari nggak terlalu tinggi. Tapi, bagi orang yang nggak pernah ngalas atau jalan jauh. Pasti cukup bikin ngos-ngosan. Ada apa aja di puncak? Banyak spot selfieable pastinya.

Pertama masuk kita disambut sama replika sarang burung. Yang punya khayalan punya rumah kayak sarang burung, cus dah foto di sana. Hehehe.


Setelah itu ada tangga menuju sebuah pohon yang di desain kayak pintu dan jendela. Foto di atas sana tuh berasa jadi nenek sihir kayak di negeri dongeng. Dari atas rumah pohon mini itu, air terjun bisa terlihat. Sayangnya aku pas nggak pegang kamera. Jadi, nggak bisa mengabadikan. Lagian jauh banget di bawah sana. Kamera ponsel nggak akan bisa menjangkau dengan baik.



Dan ini lah pose yang menginspirasi mas-mas pengunjung lain yang sedang ngantri untuk foto. Yehe! Pose ngintip di jendela. Hehehe.


Pernah mimpi punya sayap? Tenang. Kamu bisa mewujudkannya di atas Puncak Bidadari. Ada replika sayap malaikat berwarna hitam di atas puncak. Jadi, kalian bisa selfie. Bergaya kayak punya sayap gitu. Keren tho. Apalagi kalau pakai kostum serba hitam kayak aku. Senada. Look like real dark angel. Kekeke...


Ada replika bunga matahari. Lebih gede dari yang di bawah. Bisa buat foto berdua sama pasangan atau sama sahabat.



Dan, tibalah di ikon dari Puncak Bidadari. Spot untuk berfoto sama senja dan sunset. Lagi-lagi yang takut ketinggian harus hati-hati ya.



Di dekat spot untuk menangkap senja, ada rumah kurcaci. Berasa jadi Putri Salju deh. Hehehe.


Di depan rumah kurcaci ada area luas yang kayaknya bakalan jadi taman bunga. Di puncak ini juga ada taman bunga yang masih dalam proses pembangunan. Pasti cantik banget ntar kalau taman bunganya jadi. Mungkin bunga kertas alias zinia. Tapi, aku ngarepnya sih bunga yang lain. Yang bisa berbunga serempak. Pasti cantik banget view-nya pas mereka mekar.

Momen paling wow di puncak adalah saat menyaksikan kabut yang berjalan mendekati puncak. Cantik-cantik serem. Ketika kabut itu memeluk puncak, suasana seketika jadi makin dingin dan agak suram. Cantik-cantik serem deh pokoknya.

Buat jaga-jaga ya. Bawa air putih dan setidaknya minyak kayu putih kalau kalian main ke puncaknya terlalu sore kayak kami. Walau merasa panas, jaket di bawa aja. Nggak semua orang tahan sama kabut.

Video kabut

Kayak kemarin, begitu kabut menyelimuti puncak. Thata langsung mual bahkan (maaf) sampai muntah. Untung aku bawa air putih. Jadi, bisa buat pertolongan pertama. Plus, minyak kayu putih juga.

Aku dulu pas di puncak Bromo juga gitu. Parahnya aku langsung sesak napas. Pertolongan pertamanya ya minum air putih.

Siapkan fisik dan perbekalan aja. Apalagi yang berniat turun ke air terjun.

Kabut tidak hanya memeluk puncak, tapi juga area parkir dan sepertinya jalan utama saat kami turun. Hawanya juga udah lebih dingin dari sebelumnya.

Ketika kami menghampiri motor, mas yang jaga parkir nggak ada. Kami disamperin sama mas lain yang penampilannya lebih modis dan usianya, kayaknya lebih muda dari mas berkaos putih yang sebelumnya jaga parkir.

"Maaf, tadi belum bayar tiket masuknya ya?" kata mas yang nyamperin kami itu.
"Iya. Tadi, kata masnya bayar parkir aja pas pulang." jawabku. Kami pakek bahasa Jawa.
"Tiket masuknya sepuluh ribu per kepala." kata si masnya.
"Lhoh! Katanya cuman bayar parkir lima ribu!" Thata dan temannya menyela hampir bersamaan.
"Sepuluh ribu tiket masuknya." masnya menegaskan.
Thata dan temannya mempertahankan alibi mereka tentang tarif masuk yang hanya bayar parkir sebesar Rp. 5.000,- aja.
"Udah! Udah!" aku menyela. Mengeluarkan uang empat puluh ribu dan memberikan pada mas yang menarik tarif masuk kepada kami.

Sebelum jalan naik duluan, aku sempet nanya mas yang narik HTM itu tentang jam tutup lokasi. Katanya biasanya udah tutup. Tapi, karena masih ada pengunjung ya nunggu pengunjung pulang dulu.

Sebenarnya dari beberapa informasi yang aku kumpulkan. Dari teman perawat yang tugas di desa Kunci dan kebetulan warga asli Gubugklakah. Juga, dari temen SMP yang rumahnya juga Gubugklakah. Ke Coban Bidadari itu cukup bayar parkir Rp. 5.000,- aja. Karena lokasinya belum 100% selesai di bangun, jadi tidak ada tarif untuk masuk ke lokasi.

Aku lihat juga tidak ada tulisan tarif masuk. Atau aku yang nggak menemukan tulisan itu?

Nggak papa sih kalau emang udah ada tarif masuknya. Rp. 10.000,- per kepala. Tapi, kalau seandainya belum ada HTM resmi dan kami ditarik HTM, ya nggak adil banget kan? Hehehe.

Kalau resmi kan masuknya buat pengelolaan wana wisatanya. Kalau yang nggak resmi itu yang larinya entah ke mana. Semoga emang udah ada tarif resminya dan aku yang nggak lihat.

Saking kagetnya pas ditarik HTM, sampai bayar Rp. 40.000,- doang. Lupa nggak bayar parkir yang harusnya Rp. 10.000,-

Duh! Maafkan aku!

Terburu-buru juga. Ngeri lihat kabut yang mulai nutup jalan utama. Sedang kami hanya berempat dan cewek semua. Dan, jalur yang kami lalui adalah hutan belantara.

Dinginnya menusuk tulang. Kabut tebal sudah menyelimuti jalan utama. Beruntung ada beberapa mobil yang juga turun. Jadi, kami tak sendirian menuruni jalan yang tertutup kabut.
Kabut di mana-mana


Alhamdulillah turun dengan selamat. Nyampek di desa Gubugklakah udah gelap. Udah malam. Nyampek rumah udah hampir Isya'.

Siapin fisik aja kalau mau naik. Kalau bisa jangan terlalu sore kayak kami. Pas nyampek lokasi itu mendung. Untungnya pas nyampek puncak, matahari mau menampakan diri. Tuhan Maha Asik. Udah memunculkan matahari yang sempat ketutup mendung.

Siapkan fisik dan perbekalan. Dan, selamat berpetualang di Wana Wisata Coban Bidadari.

Sekian. Maaf jika ada salah kata. Semoga bermanfaat. Terima kasih.

Tempurung kura-kura, 22 Juli 2017.
. shytUrtle .

 

Search This Blog

Total Pageviews