Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XVIII

04:40

AWAKE - Rigel Story

 


 


Bab XVIII

 

Rue dan Hanjoo duduk berdampingan di dalam mobil yang membawa keduanya menuju kediaman Morgan, ayah kandung Rue. Setiap kali mengundang Rue untuk datang, Morgan selalu mengirim sopir untuk menjemputnya.
Hanjoo menoleh. Menatap Rue yang diam sejak masuk ke dalam mobil. Ia meraih tangan kanan Rue dan menggenggamnya.
Rue tersadar dari lamunannya ketika Hanjoo tiba-tiba menggenggam tangan kanannya. Ia pun menoleh ke kanan dan bertemu pandang dengan Hanjoo.
Hanjoo tersenyum dan berkata, “Semua akan baik-baik saja.” Ia sengaja menggunakan bahasa Korea, karena keduanya berada di dalam mobil bersama utusan Morgan. Ia khawatir Rue akan berkeluh kesah tentang keluarga Yano.
Rue menghela napas. “Aku masih nggak habis pikir. Pearl tega ya sama kita.” Rue pun berbicara dalam bahasa Korea. Ia belajar bahasa Korea dari ayah Hanjoo. Sebelum pria itu meninggal dunia saat Hanjoo kelas V SD.
“Sama. Kasihan Nath. Dia pasti merasa bersalah banget karena dijadiin alat buat mancing kamu. Kalau Dio ngamuk, kamu bakalan halangin dia?”
“Nggak. Dio pantas marah. Dia terluka. Byungjae pun hampir celaka karena ulah Pearl. Biarin aja kalau Dio mau ngamuk ke Pearl. Sekali-kali dia emang perlu digituin.”
Hanjoo menghela napas pelan. “Kenapa sih dia jadi benci banget gitu ke kamu.”
“Karena cowok yang dia taksir, selalu naksir aku.”
Mwo[1]??” Mulut Hanjoo membulat.
Rue tersenyum dan menghela napas. “Kemarin, di toilet, aku nggak sengaja denger Pearl ungkapin hal itu. Aku juga heran. Gara-gara cowok sampai gitu dia. Setelah denger, aku mikir, masa pemicu awalnya Fabian?”
“Fabian? Ah! Dia kan emang deket-deket kamu terus tuh. Kayaknya emang suka ke kamu. Tapi, kamu kan nggak tahu kalau Pearl naksir dia.”
“Itu dia. Pearl nggak coba ngomong juga ke aku. Kebiasaan deh tu anak. Trus, masuk SMA, keulang sama kejadian Kak Nicky.”
Hanjoo menahan tawa mendengarnya. “Mian[2]. Habis lucu sih! Padahal kamu ke Kak Nicky biasa aja, kan? Mana tahu Pearl kalau kamu penasarannya sama cowok yang kirim surat cinta lewat kenek angkot.”
Rue tersenyum lesu, lalu kembali menghela napas.
“Untung ya kamu dijemput. Jadi, tadi bisa nganterin Dio pulang.”
“Mm.” Rue mengangguk. Sudah menjadi kebiasaan di akhir pekan Dio menginap di tempat tinggal Rue. Kadang, sehabis berburu Hanjoo dan Byungjae pun menginap. Semalam, Byungjae memilih pulang bersama Hanjoo.
“Byungjae udah ngasih kabar?” Tanya Rue.
“Belum. Masih tidur kali dia. Biasa hari Minggu molor. Oya, semalem kenapa aku kayak tersihir gitu ya? Malah terbengong liat Byungjae diseret gitu.”
“Wajar lah. Di situ angker banget emang. Kita kurang persiapan. Emang nggak direncanain, kan? Byungjae langsung lari ngejar apa yang dia liat itu pun ulah mereka lho!”
“Wah! Untung ya kita masih selamat.”
“Mm. Tuhan masih sayang ama kita.”
“Makhluk apa yang nyeret Byungjae?”
“Apa ya, dia mukanya kayak babi, kepala dan mukanya gitu. Giginya runcing-runcing. Kayak orc gitu. Tapi, badannya berlumuran darah. Darah dia itu yang nempel di tangan Byungjae.”
“Ngeri juga ya. Ntar boleh aku gambar?”
Rue menganggukkan kepala.
“Ah! Kita sampai!” Hanjoo melepas genggaman tangannya.

Mobil yang membawa Rue dan Hanjoo memasuki halaman luas dari sebuah rumah megah. Walau pertama kalinya, Hanjoo dan Rue masih saja dibuat kagum setiap kali berkunjung ke rumah mewah Morgan.
Mobil berhenti di depan pintu masuk. Pelayan menghampiri mobil dan membuka pintu untuk Rue. Rue keluar lebih dulu, lalu disusul Hanjoo. Yano tiba-tiba muncul dan berhenti di ambang pintu depan yang terbuka. Ia tersenyum lebar menyambut kehadiran Rue dan Hanjoo. Yano mengajak kedunya masuk. Menuju ruang keluarga, tempat Morgan menunggu.
Ketika sampai di ruang keluarga, Morgan tak sendirian di sana. Ada Nenek Yano yang juga duduk di salah satu sofa. Kakek dan nenek Rue—orang tua Morgan—sudah meninggal. Jadilah Morgan tinggal di rumah mewahnya bersama Yano dan Nenek Yano. Karena hanya Nenek Yano yang tersisa dari keluarga mendiang Ibu Yano.
Rue dan Hanjoo memberi salam. Lalu, segera duduk setelah Morgan mempersilahkan keduanya duduk. Walau Morgan adalah ayah kandungnya, kunjungan Rue ke rumah Morgan tak lebih seperti kunjungan resmi yang singkat. Bukan kunjungan anak untuk menemui ayah yang santai.
Ritual kunjungan resmi itu selalu sama. Berkumpul dan mengobrol sejenak di ruang keluarga, lalu makan siang bersama. Setelah itu Morgan akan kembali sibuk dengan pekerjaannya. Sedang Rue dibebaskan untuk tetap tinggal atau pergi. Karena alasan ini lah Rue sering merasa bosan jika diundang datang ke rumah Morgan. Tapi, ia tetap melakukannya. Demi menghormati sang ayah.
Rue menjadi paham kenapa Yano selalu antusias ketika datang. Karena, pemuda itu kesepian. Ia sempat meragukan kasih sayang Yano padanya. Tapi, pada akhirnya ia paham jika pemuda itu tulus menyayanginya. Walau ia jarang memberi perhatian khusus untuk Yano. Rue yakin kasih sayang itu terbentuk secara alami karena ada darag Morgan yang mengalir di tubuh mereka.
“Papa sangat terkejut ketika mendengar kabar Yano kesurupan di sekolah. Tapi, Papa lega karena Rue yang membantu Yano.” Morgan memulai obrolan.
Dalam batin mereka, Rue dan Hanjoo sudah menduga jika pertemuan hari ini pasti akan membahas masalah itu.
“Tidak bisa kah kau menjaga adikmu dengan baik?” Sahut Nenek Yano ketus. Ekspresinya sangat tak bersahabat saat menatap Rue.
“Nenek, bukankah sudah aku bilang Kak Rue menjagaku dengan baik? Dia bisa saja acuh. Tapi, di hari pertama aku masuk sekolah, Kak Rue lah yang menyapa lebih dulu. Kak Rue tidak mengabaikanku.” Yano membela Rue.
“Aku heran. Apa yang membuatmu selalu membelanya?”
“Karena aku adiknya, dan Kak Rue tidak melakukan sebuah kesalahan.”
Nenek Yano mendesah kasar karena kesal. Yano menatap Rue. Merasa sungkan karena sikap neneknya.
Everything good?” Morgan bertanya pada Rue.
“Iya. Maaf karena saya tidak tahu bagaimana Yano sampai kesurupan. Di sekolah sebaiknya tak sering melamun dan lebih banyak berdoa.”
“Kau pikir cucuku tak pernah berdoa?!” Nada bicara Nenek Yano meninggi. Namun, Rue tetap terlihat tenang.
“Aku akui waktu itu aku melamun. Sebelum tak sadarkan diri, aku melihat sesosok wajah tepat di depanku. Dia menyeringai. Saat aku terkejut, tiba-tiba semua menjadi gelap. Kesurupan itu bukan salah Kak Rue.” Yano kembali membela Rue.
“Pada tahun ajaran baru, sekolah sering dalam keadaan seperti itu. Mungkin karena para penghuni butuh beradaptasi dengan penghuni baru. Karenanya, harus bisa menjaga diri sendiri.” Rue pun turut bicara.
“Bukankah kamu sudah melakukan negosiasi dengan mereka? Harusnya mereka patuh, kan?” Nenek Yano mencibir.
Tak ingin mendebat, Rue pun memilih diam. Hanjoo yang geram pun hanya bisa mengepalkan kedua tangannya. Ia ingin bicara, namun berusaha keras menahan dirinya. Ia harus tetap diam. Mendebat Nenek Yano tidak akan memberinya keuntungan apa-apa. Karena dari awal Nenek Yano sudah membenci Rue.
“Lagian ngapain kamu milih sekolah itu sih!” Nenek Yano kembali mendesah kasar, lalu beranjak dari duduknya dan pergi.
Yano turut bangkit dari duduknya dan mengejar sang nenek.
Morgan tersenyum melihat tingkah Nenek Yano. “Maafin, Papa. Tapi, Papa pikir lebih baik begini. Kalian saling bertemu.”
“Dan beliau bisa memuntahkan semua amarahnya padaku. Aku paham.” Rue menerima keadaannya.
Morgan tergelak. “Itu belum semua.”
Rue tersenyum melihat sikap santai ayahnya. “Pasti Ayah sangat lelah harus berhadapan dengan beliau setiap hari.”
“Papa lebih banyak di tempat kerja. Kadang Papa merasa kasihan pada Yano dan berharap kau ada di sini bersama kami.”
“Hidupku tidak untuk di dalam sangkar, Ayah. Maaf.”
Morgan tersenyum kecut. “Kau sangat mirip dengan Mamamu.”
“Karena aku anaknya. Apa aku sama sekali tak mirip Ayah?”
Morgan diam sejenak, menyipitkan mata mengamati Rue. “Kau lebih banyak mirip Papa. Kalau tidak bagaimana bisa kau jadi presiden sekolah?”
“Aku setingkat di atas Ayah. Ayah hanya wakil, sedang aku, presiden. Aku lah penguasa yang sebenarnya.”
Morgan kembali tergelak. “Bagaimana lelucon garing itu bisa membuatku tergelak?” Ujarnya.
“Karena kita sama-sama orang yang membosankan.”
Morgan menghentikan tawanya dan menganggukkan kepala. Obrolan pun kembali berlanjut. Masih dengan metode sama; Rue buka suara jika Morgan mengajukan pertanyaan.

Setelah makan siang bersama, Rue dan Hanjoo sejenak menemani Yano. Saat jam menunjukkan pukul tiga sore, Rue minta izin untuk pulang. Kunjungan hari ini lebih lama daripada kunjungan-kunjungan sebelumnya.
Yano mengantar Rue dan Hanjoo menuju teras depan. “Walau hari ini lebih panjang dari sebelumnya, tapi aku masih merasa kurang. Kak Rue, kenapa tidak tinggal di sini saja? Bersama kami.”
“Apa kamu nggak capek selalu ngulang pertanyaan itu?” Tanya Hanjoo.
“Aku terus berharap Kak Rue mau tinggal bersama kami.”
“Alasannya?”
“Agar aku tak kesepian. Aku sering bosan karena sendirian.” Yano mengerucutkan bibirnya.
“Makanya cari teman. Kalau temanmu nggak boleh ke sini, kamu yang ke rumah mereka. Cowok tuh harus banyak bergaul dan melihat dunia luar. Eh, bukannya kamu juga ikut klub sepak bola? Harusnya kamu banyak teman dong?”
Yano mengangkat kedua bahunya.
“Lagian kamu cari masalah. Kenapa milih SMA Horison? Banyak sekolah bagus di kota ini.”
“Aku bosan, capek bergaul sama anak-anak orang kaya. Hobinya saling pamer harta orang tua.”
Yano, Rue, dan Hanjoo sampai di teras.
“Kak, kenapa kita harus sembunyiin status hubungan kita sih?” Tanya Yano sebelum Rue pergi.
“Aku nggak mau kamu dibikin repot karena aku.” Jawab Rue datar.
“Bukannya aku yang repotin Kak Rue?”
Rue mengubah posisinya dan menghadap Yano. “Sekolah sedang tidak stabil. Jaga diri baik-baik. Bisa jadi kita emang nggak bisa sembunyiin fakta bahwa kita kakak adik selamanya. Tapi, selama tidak ada yang mengungkit hal itu, apa perlu kita buka suara dan memamerkan status kita?”
Yano menatap Rue dan diam.
“Terlebih untuk sekarang. Posisimu lebih aman seperti ini. Maafkan aku.”
“Kakak nggak usah minta maaf. Aku yang salah.”
“Nggak ada yang salah.” Hanjoo menengahi. “Wajar kalau kamu pengen semua orang tahu kalau kamu adik Rue. Pasti kamu bangga jadi adik Rue, kan? Bangga punya hubungan sama Rigel yang keren dan hebat.”
“Bangga jadi adik Kak Rue iya. Bangga kenal sama Kak Hanjoo, sama sekali nggak!”
Hanjoo tergelak mendengar pembelaan Yano.
Mobil yang mengantar Rue berhenti di depan teras. Yano menghela napas melihatnya. Waktunya ia berpisah dengan Rue.
“Jangan lesu gitu. Kalau mau, kau bisa main ke markas Rigel. Iya kan, Rue?”
“Mm.” Rue mengangguk. Membenarkan ucapan Hanjoo.
“Beneran?? Aseek! Boleh ajak teman??” Yano girang.
“Boleh. Asal jangan yang rese ya.” Hanjoo menepuk pundak Yano. “Dan, jangan sampai ketahuan nenekmu.” Ia berbisik dekat di telinga Yano.
“Beres!” Yano riang.
“Aku pulang.” Rue pamit pada Yano, lalu masuk ke dalam mobil.
“Hati-hati di jalan.” Yano melambaikan tangan. Ia menghela napas dan tersenyum ketika mobil yang membawa Rue mulai melaju.
***


Rue dan Hanjoo tak langsung pulang. Keduanya sepakat meminta sopir untuk menurunkan mereka di pinggir jalan. Walau sempat menolak karena takut, sopir akhirnya setuju. Mereka sepakat untuk tutup mulut.
Rue dan Hanjoo melanjutkan perjalanan menuju bengkel tempat Toni bekerja. Rue penasaran pada siapa sebenarnya Toni usai pria itu menolong Byungjae semalam. Karenanya, ia memutuskan untuk menemui Toni.
Toni memiliki usaha sebuah bengkel motor. Walau bengkel itu tergolong kecil, namun selalu ramai. Bukan hanya karena menjadi tempat tongkrongan anak muda di sekitar bengkel. Tapi, juga ramai pelanggan.
Rue dan Dio mengenal Toni secara tidak sengaja. Waktu itu ban motor yang dikendarai Rue dan Dio bocor. Beruntung mereka menemukan bengkal Toni. Sambil menunggu ban ditambal, Rue dan Dio mengobrol. Hingga sampai pada bahasan perburuan yang sering terkendala transportasi.
Toni yang sibuk menambal ban menyela obrolan Rue dan Dio. Lalu, menawarkan jasa transportasi untuk Rigel. Dio tertarik dan menanggapi tawaran Toni. Setelah sepakat, Dio pun mengantongi nomer ponsel Toni. Karena kerja Toni memuaskan, sejak saat itu Dio selalu menghubungi Toni jika membutuhkan transportasi untuk berburu.
Saat Rue dan Hanjoo sampai di bengkel, Toni sedang duduk-duduk dengan beberapa pemuda. Pria itu terkejut melihat Rue tiba-tiba datang ke bengkelnya. Toni pun mengajak Rue dan Hanjoo duduk di teras rumahnya yang berada tepat di belakang bengkel.

“Maaf kalau kami ganggu Om Toni. Bengkel lagi rame ya?” Hanjoo meminta maaf.
“Nggak kok. Ada anak buah yang jaga.” Toni mengepulkan asap rokok dari dalam mulutnya. Lalu, mematikan sisa rokok di tangannya ke dalam asbak. “Maaf ya.” Ia berusaha menghilangan asap rokok yang mengotori udara di sekitar mereka.
“Santai aja Om. Keren ya. Bengkel kecil punya karyawan.”
“Ada dua. Lumayanlah bisa bantu-bantu. Kalau ada perlu, bengkel jadi nggak tutup juga karena ada yang jaga. Kalian ada perlu apa ke sini? Dio bagaimana? Byungjae?”
“Mereka udah baikan. Dio tadi pagi kami antar pulang. Makasih ya Om. Semalam udah bantuin kami. Nggak kebayang nasib Byungjae kalau nggak ada Om.” Hanjoo berterima kasih sambil meletakan satu bungkusan dalam tas plastik berwarna putih ke atas meja.
“Kalian ngapain sih pakek bawa-bawa gini?”
Seorang wanita keluar dari dalam rumah. Membawa nampan berisi tiga cangkir. Ia menyajikan kopi di depan Toni, dan dua cangkir teh di depan Rue dan Hanjoo. “Diminum, Dek.” Ia mempersilahkan.
“Istriku.” Toni memperkenalkan wanita itu.
“Oh! Makasih Tante.”Hanjoo segera berterima kasih. Sedang Rue tersenyum dan menundukan kepala sebagai tanda terima kasih.
“Liat! Mereka bawa oleh-oleh buat kita.” Toni memberikan bingkisan dari Hanjoo pada istrinya.
“Wah. Ngapain repot-repot sih Dek. Makasih ya. Mama kamu lama nggak ke sini Hanjoo. Apa mamamu baik-baik aja?”
Hanjoo dan Rue kompak terkejut mendengar pertanyaan istri Toni. “Iya, baik.” Jawab Hanjoo masih dengan ekspresi terkejut.
“Jangan kaget gitu.” Toni merespon keterkejutan Rue dan Hanjoo dengan santai. “Aku, Rita, dan Berta adalah teman. Wajar kan kalau istriku kenal ibu kalian?”
Rue dan Hanjoo semakin terkejut mendengar fakta yang diungkap Toni.
Jadi, Om Toni kenal Bunda? Batin Rue.
“Tante masuk dulu ya. Silahkan lanjut ngobrol.” Istri Toni pamit.
Toni tersenyum menatap Rue. “Udah terjawab rasa penasaran kamu?”
Rue yang sedikit melamun terkejut. Ia mengangkat kepala dan menatap Toni. “Belum.” Jawabnya singkat.
“Sama kayak kamu dan Hanjoo, aku, Rita, dan Berta juga teman semasa kecil.” Toni, si pria kurus dan jangkung berkulit sawo matang itu mulai bercerita. “Kami tumbuh bersama dan berteman baik. Aku dan Rita menyadari jika Berta memiliki kemampuan tak biasa. Itu hal menarik bagi kami. Boleh dibilang kami mendampingi masa pelatihan Berta, ketika ia dibimbing untuk mengendalikan kemampuannya.”
Rue dan Hanjoo menyimak penjelasan Toni.
“Aku jadi tertarik pada dunia ya sebut saja mistis. Karena aku sering menemai Berta bertemu pembimbingnya. Katanya, aku pun bisa jika mau belajar. Terlebih, katanya aku ada bakat. Jadilah aku terjun ke dunia yang sama seperti yang digeluti ibumu.
“Kalian tumbuh bersama, tapi Rue menunjukkan kebiasaan yang berbeda. Saat itu lah kami menyadari jika Rue memiliki kemampuan yang sama dengan Berta. Termasuk kasus yang langka. Biasanya akan menurun pada beberapa generasi sesudahnya. Tapi, pada Berta langsung pada anaknya.
“Karena hal langka, sedikit berbahaya jika membiarkan kamu tinggal bersama Berta. Karenanya Berta meninggalkan kamu sama kakekmu. Berta memilih mengasingkan diri karena alasan itu. Karena profesinya yang ya sebut saja sebagai dukun baik, Berta memiliki banyak musuh. Sebenarnya, kamu berusaha dimusnahkan sejak di dalam kandungan. Tapi, Tuhan masih memberimu kesempatan untuk hidup.
“Cukup berbahaya jika mengakui kamu sebagai anaknya. Itu kenapa sejak bayi kau diakui sebagai anak Rita. Dengan begitu statusmu tersamarkan. Tapi, tetap saja tidak bisa menutup bakat yang kamu miliki. Berta selalu merasa bersalah setiap kali teringat kamu. Harusnya kau bisa menikmati masa indah dengannya. Tapi, justru ini yang kau dapatkan. Berta selalu meminta maaf tentang itu.”
Toni menatap Rue. Gadis itu terdiam dengan kepala sedikit tertunduk. Toni menghela napas pelan. “Berta memintaku menjagamu. Jika kau menyadarinya, pasti kau sering melihatku di sekitar tempat tinggalmu. Hingga hari itu tiba dan sampai di sini lah kita.”
Suasana berubah canggung. Rue masih bungkam usai mendengarkan penjelasan Toni.
“Takdir yang unik ya.” Hanjoo mencoba mencairkan suasana.
“Berta sangat menyayangi kamu, Rue. Bahkan ia bangga pada apa yang kau lakukan sekarang. Dia tidak marah. Dia percaya, Ruta Way adalah gadis yang mandiri dan bisa menjaga diri.”
Rue tertunduk semakin dalam. Rasa sesak memenuhi dadanya. Kedua mata yang ia pejamkan terasa panas. Pada akhirnya pertahanannya pun tumbang. Rue menangis.
***


Mobil sedan hitam itu berhenti. Hongjoon yang duduk di kursi belakang mengamati rumah berukuran sedang di samping kiri mobilnya. Walau letaknya di tepi jalan raya utama, rumah itu tak dilindungi pagar.
Hongjoon menghela napas. Ia meraih tas kertas di samping kirinya dan membawanya. Ia pun turun dan berjalan mendekati rumah yang menurut informasi dari neneknya adalah rumah Rue.
Apa sopan langsung bertamu ke rumah gadis seperti ini? Hongjoon bertanya dalam hati. Tapi, katanya Kak Rue tinggal sendirian. Bagaimana ya? Aduh! Kenapa aku aku jadi gugup begini?
Hongjoon menggerak-gerakan kedua kakinya demi mengusir rasa gugup yang menggerayangi dirinya. Hari sudah gelap, harusnya dia sudah di rumah, kan? Tapi, bagaimana jika Kak Dio, Kak Byungjae, dan Kak Hanjoo bersamanya? Gawat dong! Aduh! Bagaimana ini?
Seorang pemuda yang berjalan dari arah utara memperhatikan tingkah Hongjoon. Ia pun mendekati Hongjoon. “Sedang apa kau?”
Hongjoon berjingkat kaget. Ia menoleh ke arah kanan. Seorang pemuda berdiri jarak satu langkah dan sedang mengamatinya. Ia pun balas mengamati pemuda itu.
Sasaeng fansnya Rigel ya?” Tuduh pemuda itu.
Hongjoon pun terkejut mendengar tuduhan itu. Sasaeng fans adalah sebutan untuk penggemar yang sangat obsesif dalam dunia Kpop.
“Buk-bukan.” Hongjoon membantah. “Kak-kau kenal Rigel?”
“Aku tinggal di rumah itu.” Jawab pemuda yang kira-kira masih SMP itu santai.
Lagi-lagi Hongjoon kaget. Anak ini tinggal di sini??
“Ada perlu apa?”
“Rue. Aku mencari Rue.”
“Oh. Temannya Kak Rue. Dia belum datang kayaknya. Dia tinggal di atap rumah kami.”
Atap??
Rooftop. Tahu tidak? Eh, ini bukan rumah kami sih. Tapi, rumah Kak Rue. Kami yang menumpang.” Pemuda itu tersenyum canggung.
Bagaimana si pemilik rumah justru tinggal di atap?? Hongjoon menatap pemuda itu dengan tatapan ngeri.
“Kak Rue belum pulang.”
“Dia kemana?”
“Walau selalu berpamitan pada ayah dan ibuku, dia tidak pernah menjelaskan detailnya akan kemana.”
Hongjoon diam sejenak. “Kira-kira kapan pulang?”
“Nggak tentu. Dia udah pergi dari pagi. Kenapa nggak coba Kakak telpon aja.”
“Aku nggak punya nomer ponsel Rue.”
“Ha?? Teman kok nggak punya? Atauu... jangan-jangan Kakak fansnya Rigel ya? Ngaku aja nggak papa. Sering kok ada yang kayak Kakak gini. Ngaku temen Kak Rue. Padahal cuman fans Rigel. Tas itu, isinya hadiah kan?”
Walau benar tas yang ia bawa berisi hadiah, tapi Hongjoon tidak terima disebut sebagai fans Rigel. Ia datang untuk mencari Rue. Walau Rue adalah bagian dari Rigel, tapi ia bukanlah fans Rigel.
“Nah! Iya, kan??” Pemuda itu percaya diri. “Silahkan aja kalau mau nunggu.” Pemuda itu hendak pergi.
“Tunggu!” Hongjoon menahan pemuda yang mengaku tinggal di rumah Rue itu. “Aku bukan fans Rigel. Tapi, aku adik kelas Rue di SMA Horison.”
“Banyak yang ngaku gitu juga.”
Hongjoon kesal mendengarnya. “Aku baru pertama kali ini kemari dan ingin bertemu Kak Rue.”
“Ada juga yang mengaku begitu.”
Hongjoon makin kesal. “Aku murid yang hilang di jurit malam saat MPLS dan ditolong Rue.”
Pemuda itu terdiam. Mulutnya terbuka, namun tak ada kata yang keluar dari sana.
“Aku datang untuk berterima kasih karena Rue menolongku.”
“Harusnya kau panggil dia, Kak. Kakak kan juniornya.”
Hongjoon menghela napas dalam diam.
“Tapi, tetap saja Kak Rue belum datang dan aku tidak tahu kapan dia pulang. Dia punya tangga sendiri menuju rooftop. Jadi, kami sering tidak tahu kapan dia datang.” Pemuda itu menunjuk tangga yang berada di samping kiri rumah. “Kalau mau nunggu sih silahkan.”
Hongjoon diam sejenak. Memikirkan apa yang harus ia lakukan. “Apa ada yang menitipkan hadiah padamu? Saat mereka tak berhasil bertemu Kak Rue?”
“Ada.”
“Kalau begitu, boleh aku titip padamu? Ah! Sebentar.” Hongjoon kembali ke mobilnya. Lalu, buru-buru kembali ke hadapan pemuda yang menunggunya. “Tolong berikan ini pada Kak Rue. Katakan saja dari Jin Hongjoon. Dia sudah tahu itu aku. Dan, ini untukmu.”
Mulut pemuda itu ternganga melihat apa yang disodorkan Hongjoon. Sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal.
“Bisa tolong aku?”
“Ah! Iya. Bisa, bisa, Kak!” Pemuda itu meraih sekotak coklat pemberian Hongjoon lalu menerima bingkisan untuk Rue. “Akan aku katakana, Kak Jin Hongjoon datang mencari Kak Rue untuk berterima kasih dan meninggalkan bingkisan ini karena lama menunggu Kak Rue nggak datang-datang.” Pemuda itu antusias.
“Tapi, kenapa kakak nggak coba nunggu Kak Rue?” Pemuda itu penasaran.
“Maunya begitu. Sayangnya aku buru-buru.”
“Wah. Sayang sekali. Tapi, jangan khawatir. Pesan kakak pasti akan aku sampaikan.”
“Terima kasih ya.”

Wajah Hongjoon dipenuhi senyum. Ia lega bisa menyampaikan bingkisannya untuk Rue. Ia membayangkan bagaimana reaksi Rue ketika menerima bingkisan itu. Ia berharap Rue menyukainya. Hongjoon terkejut karena mobilnya tiba-tiba mengalami benturan keras. Setelah itu, hanya kegelapan yang ia lihat. Semua gelap dan ia tak tahu sedang berada di mana.
***


[1] Apa??
[2] Maaf
 


 

Bilik shytUrtle

Hati-hati Penipuan Berkedok Giveaway!

03:46

Hati-hati Penipuan Berkedok Giveaway!


Kenapa tulisan di awal tahun 2020 malah tentang penipuan? Karena awal tahun 2020 ini saya kena tipu.

What??

Iya. Beneran. Lucu ya? Ini bukti bahwa saya hanya manusia biasa yang tidak lepas dari khilaf. Kekeke. Ya lucu sih emang. Saya juga sempat menertawakan diri saya sendiri waktu menyadari bahwa saya kena tipu.

Di markas Sarang Clover saya termasuk golongan orang yang sedikit lebih teliti dibanding penghuni yang lain (sebut saja kakak perempuan saya. Kekeke. Piss yo Mbak!), Karena pernah ada yang kena tipu secara online dengan modus jualan. Sejak kejadian itu saya menjadi lebih hati-hati ketika berbelanja online.

Sebelumnya saya sudah membuat postingan berisi permintaan maaf di Facebook. Tapi, Youn Noona bilang, dijadiin artikel aja dan di pos di blog. Siapa tahu informasinya bermanfaat. Saya pikir oke juga idenya. Jadilah saya juga membuat tulisan tentang penipuan yang kami alami.

Baiklah! Saya akan membagi pengalaman saya dan Youn Noona yang mengalami penipuan dengan kedok giveaway. Saya mengetahui adanya giveaway berupa bagi-bagi 10.000 hijab gratis dari Youn Noona.

Sebelumnya saya tidak pernah tertarik pada giveaway non buku, tapi karena Youn Noona yang bagiin saya jadi tertarik. Bukan tanpa alasan, Youn Noona adalah Master Giveaway di mata saya. Pernah kami bertarung dalam giveaway album Wanna One (kalau tidak salah ingat ini), doi menang. Pokoknya sepak terjang Youn Noona di dunia per-giveaway-an tidak bisa dianggap remeh.

Saya pun mampir ke web-nya dan ternyata hijabnya cantik-cantik. Ada yang warna hitam, langsung kepincut dong! Saya pun melakukan semua persyaratan untuk mengikuti giveaway, masukin data, pilih hijab, sampai mendapat kode untuk mendapatkan hijab gratis. Udah beres! Tinggal transfer ganti ongkos kirim sebesar Rp. 28.000,-

Sebenarnya giveaway dengan model ganti ongkir atau ongkos kirim saja itu sudah banyak. Saya pernah mendapatkan buku dan poster Kpop dari giveaway model seperti ini. Jadi sampai saya mendapat email untuk transfer pun saya belum curiga. Cuman dalam hati ada bisikan, Jangan transfer. Anehnya ini otak, Nggak papa dicoba aja. Cuman dua puluh delapan ribu aja kok. Murah.

Menjawab keraguan, saya pun menghubungi Youn Noona. Ternyata Youn Noona pun belum transfer. Tapi, dia dapat informasi dari temennya bahwa hijab akan mulai dikirim pada tanggal 2 Januari 2020. Tapi, masih ada ganjalan di hati. Cuman saya nggak tahu apa. Akhirnya yo wes lah transfer aja. Bismillah. Sayang pun mentransfer uang sebesar Rp. 28.000,- ke rekening yang sudah dikirim via email.

Habis itu, udah. Nggak ada konfirmasi uang udah masuk atau sejenisnya. Cuman otak saya menepis keraguan yang mulai muncul dengan menarik kesimpulan mungkin emang sistimnya demikian. Baiklah! Mari kita tunggu. Saya lupa besoknya atau hari itu juga, Youn Noona menghubungi saya. Bilang udah transfer juga dan rada nggak sreg karena nggak ada email konfirmasi lagi. Tapi, kemudian kami sepakat menunggu.

Kenapa saya menerima begitu saja informasi bahwa barang akan dikirim pada tanggal 2 Januari? Karena saya ikutan giveaway pada bulan Desember akhir. Online shop tempat saya bekerja juga sudah close order di akhir Desember demi menghindari keterlambatan barang karena mendekati libur tahun baru. Akhir tahun kan pesta buat para pengguna fasilitas toko online. Banyak diskon gede-gedean. Udah pasti pengiriman rame. Toko online tempat saya bekerja juga buka mulai tanggal 2 Januari 2020. Menurut saya informasi yang diberikan pihak penyelenggara wajar dan normal.



Saking sibuknya tugas di akhir dan awal tahun, saya pun lupa dengan giveaway hijab. Hingga pada tanggal 9 Januari kemarin tiba-tiba teringat. Saya sempat membahas tentang Iffah Hijab selaku penyelenggara event giveaway dengan Youn Noona. Bahasannya adalah saya menduga Iffah Hijab dari luar negeri, dari Malaysia karena bahasa dalam web-nya ada rasa-rasa Bahasa Melayu. Berpegang pada bahasan ini pula kami sempat berkeyakinan bahwa barang akan dikirim dari Malaysia. Tapi kok ongkirnya murah banget? Kami membuat kesimpulan bahwa, Iffah Hijab buka cabang di Indonesia. Karena itu bagi-bagi hijab gratis.

Oi. Hijabnya udah dateng?

Saya mengirim pesan pada Youn Noona via WhatsApp. Katanya, belum. Tapi, Youn Noona masih berpikir positif dengan menambahkan pesan, Apa tanggal dua dikirim dari Malay?

Pesan berikutnya berisi screenshot yang bikin saya auto membalas, Lha? Nipu?

Berikut screenshot-nya.

Penasaran, saya pun mencari informasi di Facebook dan ya... menemukan postingan konfirmasi serupa di Indonesia. Bahwa Iffah Hijab adalah web milik scammer atau penipu. Saya terbengong selama beberapa detik, lalu menertawakan diri saya sendiri. Oalah! Kok iso aku ketipu?

Nominalnya memang tidak seberapa. Hanya Rp. 28.000,- saja. Tapi, bayangkan jika benar-benar ada 10.000 orang yang ikutan giveaway dan mentransfer uang ongkir. Totalnya Rp. 280.000.000,-
Itu kalau misal dari pulau Jawa saja. Misal dari 10.000 orang yang ikutan ada yang dari Sulawesi dan Kalimantan yang ongkirnya ditarget Rp. 38.000,- dan Rp. 34.000,- udah berapa duit? Auto kaya scammer-nya.

Niat banget nyari duit ya. Bikin web dan segala macam. Katanya emang beberapa sempet ada yang dapet. Modusnya buat narik korban yang lain kali ya. Trus ada yang nelusurin rekeningnya katanya udah close.

Dan yang paling bikin saya menertawakan diri saya sendiri adalah informasi penipuan di Malaysia disebar pada 15 Desember 2019 dan di Indonesia pada 20 Desember 2019. Artinya, jika pada tanggal 24 Desember 2019 itu sebelum ikutan giveaway saya nyari informasi dulu, duit 28 rebu saya bakalan selamat. Kekeke. Tapi yang namanya apes ya nggak bisa ditolak atau dihindari kan? Udah takdirnya.




Lagian ini otak logikanya mana? Bagi-bagi 10.000 hijab gratis. Sedang harga hijab-nya 200 rebuan. Apa ndak bangkrut owner-nya? Emboh maneh lek seng nduwe produke sultan. Sultan mah bebas duitnya banyak. Kekeke. Logikaku hilang karena tergiur gratisan dan baru balik setelah sadar kena tipu.

Menurut saya ini bukan perkara kurang amal atau kurang sodakoh ya. Ini bukti bahwa kita hanya manusia biasa yang bisa khilaf. Saya nulis begini bukan berarti amal saya udah banyak. Tidak! Hanya kurang setuju aja kalau kena tipu dikaitkan sama kurang amal. Saya juga kurang setuju dengan komentar, ya udah anggep aja amal. Amal kok ke penipu! Alih-alih amal, saya lebih suka menyebutnya sebagai anggep apa nylawat.

Karena takut ada teman FB yang ikutan giveaway gara-gara saya bagi infonya, saya pun segera saja membuat postingan meminta maaf. Ternyata benar! Ada yang hampir ikutan. Untungnya masih hampir ikutan dan berujung nggak jadi ikutan. Saya lega. Cukup saya dan Youn Noona--dan satu teman Youn Noona--saja yang tertipu.

Tulisan ini saya buat setelah saya dan Youn Noona melakukan penelusuran bahwa Iffah Hijab ini memang akun penipu dan sudah banyak korbannya. Kami tidak ingin ada korban lagi seperti kami. Peristiwa ini jadi pelajaran buat saya dan Youn Noona. Semoga kami, kita jadi lebih berhati-hati berikutnya. Tidak mudah tergiur pada giveaway-giveaway yang menggiurkan. Aamiin....

Sekian sharing saya. Maaf jika ada salah kata. Semoga bermanfaat.

Tempurung kura-kura, 11 Januari 2020.
- shytUrtle -


Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab XVII

03:42

AWAKE - Rigel Story

 


 



 


Bab XVII

 

Dalam perjalanan menuju Gedung Mati, Rue berusaha menghubungi Nath. Panggilan itu tersambung, tapi Nath tak kunjung menerimanya. Byungjae mengusulkan untuk mengirim pesan, namun menurut Rue itu kurang efektif.

Nath sampai di tempat janjian yang disebutkan Pearl. Ia pun turun di sebuah mini market dan duduk menunggu di salah satu bangku yang di sediakan di depan mini market. Nath meraih ponsel dalam tasnya dan memeriksanya. Ia tersenyum ketika melihat deretan panggilan tak terjawab dari Rue. Nath pun balik menghubungi Rue.

Rue mengakhiri panggilan. Lalu, sebuah panggilan dari Nath masuk. Ia senang dan segera menerima panggilan itu. “Sial!” Umpatnya ketika ponselnya tiba-tiba mati.
“Kenapa?” Dio dan Byungjae hampir bersamaan.
“Kehabisan baterai.” Rue menatap ponselnya dengan frustasi.
“Coba aku telepon.” Hanjoo merogoh saku celananya. Namun, tak menemukan ponselnya. “Ya ampun! Hapeku ketinggalan. Tadi aku cas.”
“Aku tadi ke sekolah nggak bawa hape.” Byungjae menggeleng penuh sesal.
Dio harapan satu-satunya pun langsung menghubungi Nath. “Nggak diterima.” Ia pun mengakhiri panggilan. “Setidaknya tadi tersambung dan Nath coba hubungi kamu balik. Artinya, dia masih di zona aman.” Dio menenangkan Rue.
“Bagusnya lagi, ini malam hari. Jadi, nggak ada sinar matahari. Jenna pasti baik-baik saja.” Byungjae turut menenangkan. Ia menyebut Nath dengan Jenna, vampir cute dalam novel Hex Hall.
Rue menghembuskan napas panjang. Berusaha tenang.
“Lagian gimana ceritanya sampai Om Arnold telpon dan bilang kita mau berburu bareng ke Gedung Mati ya? Nath nggak bahas sama sekali soal itu kan?” Byungjae memiringkan kepala.
“Belakangan kita sama-sama sibuk, kan. Jadi aku jarang chat sama Nath. Di sekolah juga nggak ketemu. Dia sibuk sama teaternya, aku sibuk sama PMR dan Dewan Senior.” Rue menyesal.
“Kayaknya ada yang nggak beres deh.” Dio curiga. “Jangan-jangan kita dikerjain. Dijebak.”
“Jenna? Nggak mungkin dia lakuin itu. Buat apa dia ngerjain kita? Menjebak kita ke Gedung Mati?” Byungjae merasa kecurigaan Dio tidak benar.
Sebuah pesan masuk ke ponsel Dio. Pesan dari Nath. “Aku sudah di lokasi. Aku tunggu ya.” Dio membaca pesan Nath dengan keras.
“Edan apa tu anak? Udah di lokasi? Di Gedung Mati?” Byungjae menatap Dio, lalu menoleh ke arah kanan dan menatap Rue yang duduk di tengah. Di antara dirinya dan Hanjoo.
“Om, bisa cepetan dikit nggak?” Pinta Dio pada sopir.
“Ini udah ngegas, Non.” Jawab Sopir.

Karena ponsel Rue tak bisa dihubungi dan usaha menelpon Dio balik tak kunjung berhasil—nomer Dio berada di luar jangkuan, begitu pemberitahuan operator—, Nath pun memilih mengirim pesan pada Dio. Ia duduk menunggu dengan sabar.
“Jadi, bukan hanya aku, Pearl, Hanjoo, dan Rue? Ada Dio juga? Hmm, baiklah. Ini akan jadi Sabtu malam yang menyenangkan.” Nath tersenyum usai berbicara sendiri.
***


Rombongan Rue sampai di lokasi Gedung Mati. Lokasi gedung terdapat di tengah-tengah area kosong yang luas. Konon katanya, gedung itu di bangun untuk dijadikan bioskop. Namun, tiba-tiba pembangunan dihentikan dan gedung dibiarkan terbengkalai.
Warga yang menetap paling dekat dengan lokasi gedung menyebutnya Gedung Mangkrak. Area gedung sengaja dijauhi, terlebih di malam hari karena pamornya yang terkenal angker. Pada pagi hingga siang hari, kadang ada warga yang mencari rumput atau menggembala kambing di area lahan kosong di sekitar gedung.
Gedung berlantai dua itu terlihat megah dan mengerikan dalam kegelapan. Lima orang yang berada di dalam mobil menatapnya dalam diam. Mereka seolah tersihir oleh keangkuhan gedung yang belum sepenuhnya jadi itu.
“Andai beneran jadi bioskop, pasti keren banget. Ada dua lantai pula.” Byungjae memecah keheningan.
“Kota kita pasti tambah keren karena ada bioskop, kan? Zaman muda dulu, aku pernah membayangkannya. Ketika orang-orang membahas Gedung Mati ini.” Pria yang duduk di balik kemudi turut berkomentar. Teringat akan masa mudanya ketika masih seumuran Rigel.
“Om Toni, pernah ke sini?” Tanya Byungjae.
“Baru kali ini. Bersama kalian. Untuk apa aku main ke sini?”
“Kali aja. Kan kalau pagi ampek siang ada warga yang beraktivitas di sini. Nyari rumput, gembalin embek.”
“Nath nggak bisa dihubungi. Masa dia udah di sana sih?” Dio sibuk dengan ponselnya.
“Kalian nekat mau masuk?” Tanya Toni si sopir.
“Kami nggak tahu temen kami di mana Om. Kalau beneran dia udah di gedung sana kan bahaya. Kami nggak tahu dia sama siapa di sana.” Jawab Rue.
Jalan raya memang terlihat dari gedung. Letaknya kira-kira 5 meter dari jalan utama. Namun, saat malam jalan raya itu selalu sepi. Terlebih jika jam sudah menunjukan di atas angka sembilan.
Rue melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kanannya. “Mumpung masih sore. Ayo kita cek.” Ujarnya yang kemudian sibuk menyiapkan ransel dan bersiap turun.
“Jam 8 ya. Oke. Kita cek bentar aja. Kalau Nath nggak ada di sana, kita balik.” Dio setuju.
Dio, Hanjoo, Rue, dan Byungjae turun dari mobil. Hanjoo membagikan senter led pada Dio, Rue, dan Byungjae. Tak lupa ia menyiapkan untuk dirinya sendiri.
“Hati-hati ya. Aku tungguin di sini.” Pesan Toni sebelum Rigel pergi. Dio, Rue, Hanjoo, dan Byungjae kompak menganggukan kepala.
Byungjae tak lupa menyiapkan kamera. Ia pun memberikan satu pada Dio.
“Harus kah kita rekam?” Tanya Dio saat menerima kamera yang diulurkan Byungjae. Ia mulai berjalan bersama Rue. Di depan Hanjoo dan Byungjae.
“Tidak apa-apa kan? Selama ini kita tidak pernah punya rencana berburu penampakan di Gedung Mati. Tapi, hari ini takdir membawa kita ke sini. Jadi, jangan disia-siakan.” Byungjae berjalan sambil menyiapkan kamera. “Nih, udah siap.” Ia mengulurkan kamera yang sudah ia siapkan pada Dio.
Dio mengembalikan kamera sebelumnya, dan meraih kamera yang sudah disiapkan Byungjae. Byungjae segera sibuk dengan kamera kedua.
“Oke. Malam ini tanpa sengaja kami berada di Gedung Mati.” Dio memulai rekamannya. “Kalian bisa lihat gedung megah di depan sana? Yap, itu adalah Gedung Mati atau Gedung Mangkrak yang terkenal angker. Kami sedang berjalan mendekatinya sekarang.”
Kamera di tangan Dio menyorot Gedung Mati yang berdiri angkuh tak jauh di depan mereka. Gedung usang yang hampir jadi itu terlihat angker dengan pintu dan jendela-jendela yang berlubang. Tak memiliki daun pintu dan daun jendela. Dalam gelap, gedung tua itu terlihat semakin angker.
“Jalan di semak rerumputan gini tuh takut sama ular.” Ujar Rue yang berjalan dengan sangat hati-hati. “Mana cuman pakek sepatu kets pula. Nggak pakek sepatu boots.”
“Jangan ngomongin ular. Serem tahu!” Byungjae menyorot Rue dengan kameranya.
“Kita semakin dekat dengan Gedung Mati. Rue, apa yang kau lihat?” Tanya Dio. Namun, kameranya tetap menyorot Gedung Mati, tak menyorot Rue.
Rue mengangkat kepala dan menatap Gedung Mati yang berada beberapa meter saja di depannya. “Huft…” keluhnya sebelum menjawab pertanyaan Dio. “Ada Kuntilanak duduk di salah satu jendela di lantai dua.”
Dari belakang, Byungjae menyorot Rue.
“Sebelah mana?” Dio sedikit menaikan kamera untuk fokus menyorot lantai dua.
“Jendela sisi kiri, nomer dua dari utara. Ini beneran mau jadi bioskop? Kok bentuk bangunannya gini ya?”
“Nah, aku tadi juga mikirnya gitu.”
“Ini suer serem banget rumputnya. Sampai selutut lho! Aku takut ular beneran.”
Kamera Byungjae menyorot rerumputan di bawah mereka. Rumput liar itu tumbuh subur hingga panjangnya mencapai lutut mereka. “Ini anak aneh. Takut ular daripada takut hantu.” Olok Byungjae usai menyorot rerumputan.
“Ini makin deket makin serem juga. Energinya kuat banget. Eh, tetep deketan ya. Jangan putus doa sesuai keyakinan kalian.” Rue mengingatkan agar Rigel teman-temannya tetap waspada.
Rigel sampai di depan Gedung Mati. Mereka berhenti di sana. Dio dan Byungjae menyorot bagian depan gedung dan sekitarnya. Rue mendongakan kepala, menatap ke lantai dua gedung. Sedang Hanjoo mengamati sekitarnya.
“Nath!” Dio memanggil. “Kau di sini?”
“Sepertinya nggak ada deh.” Hanjoo dengan suara lirih.
“Eh! Apa itu!?” Byungjae yang melihat sekelebat bayangan putih di dalam gedung, tanpa ragu langsung mengejarnya.
“Byungjae!” Hanjoo mencoba menahan, namun gerakan Byungjae lebih cepat.
“Sial!” Dio mengumpat. Mengikuti Rue dan Hanjoo yang masuk ke dalam gedung mengejar Byungjae.
“Dia naik ke lantai dua. Apa itu Jenna?” Byungjae berjalan cepat. Mengejar bayangan putih yang ia duga adalah Nathaline.
Di dalam gedung sudah ada lantai. Karena sebagian lantai sudah rusak, beberapa rumput tumbuh dari sela lantai yang rusak. Tembok yang masih berupa tatanan batu bata pun mulai ditumbuhi lumut. Di pojok barat sebelah kanan tumbuh satu pohon yang menjulang tinggi. Bagian atasnya tertekuk karena telah mencapai dasar lantai dua.
Gelap dan lembab. Walau pintu dan jendela dari gedung itu tak memiliki daun pintu dan daun jendela, di dalam gedung terasa lembab. Bau dari tembok dan kayu yang lapuk pun cukup menyengat. Kondisi yang sangat cocok untuk hunian makhluk tak kasat mata.
“Byungjae! Berhenti!” Rue mengejar Byungjae.
“Auw!” Karena terburu-buru, Dio kurang waspada. Ia pun tersandung dan terjatuh satu meter dari tangga yang akan membawa mereka menuju lantai dua.
“Astaga! Dio!” Hanjoo batal menaiki tangga, berbalik untuk menolong Dio yang jatuh terduduk.
“Aku baik-baik aja. Kau temani saja Rue. Sepertinya genting.”
“Aku bantu kamu dulu.” Hanjoo membantu Dio berdiri.
“Auw! Sepertinya kakiku terkilir. Maaf. Aku nggak liat lubang di lantai itu.”
“Nggak papa.” Hanjoo memapah Dio menuju tangga. “Kamu yakin mau di sini sendirian?” Tanya Hanjoo setelah membantu Dio duduk di tangga terbawah.
“Mm.” Dio mengangguk yakin. Lalu, ia mengeluarkan kalung dengan liontin gemstone berwarna ungu. “Jimat dari Rue. Jadi, jangan khawatir. Aku baik-baik aja.”
“Baiklah. Tunggu di sini. Kami akan segera kembali.” Hanjoo menaiki tangga untuk menyusul Rue.
“Huft…” Dio menghela napas. Ia memeriksa tangga. “Kayunya lumayan kuat.” Gumamnya.
Dio melihat sekelebat bayangan putih. Ia pun menyorotkan kamera dan senter ke arah depan. Namun, kosong. Ia menurunkan senter dan menaruh di pangkuannya. Tangan kanannya menggenggam erat ‘jimat’ pemberian Rue.

Rue tiba di lantai dua. Ia melihat Byungjae berada di tengah-tengah ruangan dan terdiam. Rue mengatur napasnya yang terengah-engah, sambil memperhatikan Byungjae yang berdiri membelakangi dirinya.
“Rr-rue, kau kah itu?” Suara Byungjae bergetar. “Aku menginjak sesuatu yang lembek. Jangan-jangan itu ular.”
Rue menghela napas, lalu menyorotkan lampu senter pada kaki Byungjae. Pemuda itu menginjak satu ranting pohon yang membusuk. “Hanya ranting busuk.” Rue mengalihkan senter ke langit-langit. Bagian atap gedung juga sudah lapuk. “Nath nggak ada di sini. Ayo kita turun.”
Hanjoo baru sampai. Dengan napas terengah-engah, ia berhenti di samping kanan Rue. “Dia baik-baik aja kan?”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala.
Byungjae membalikkan badan, memeriksa kakinya. “Oh iya. Hanya batang kayu yang busuk. Hehehe.” Ia lega.
“Kendalikan dirimu!” Hanjoo berkacak pinggang.
Byungjae mengamati sekitar. “Ini di lantai dua? Dio mana?” Ia kebingungan.
Hanjoo menghela napas karena kesal.
Rue mengerutkan kening. Fokus menatap sesuatu di belakang Byungjae. Ia melihat bayangan hitam berjalan mendekati Byungjae. “Byungjae awas!” Rue memperingatkan, sambil bergerak maju untuk mendekati Byungjae.
“Aaaaa!” Byungjae menjerit. Tangan kirinya ditarik oleh sesuatu yang tak bisa ia lihat, hingga senter yang ia pegang terjatuh. Ia tidak bisa menolak ketika sesuatu yang tak kasat mata itu menyeret tubuhnya.
“Hanjoo! Bantu aku menghentikan Byungjae!” Rue berlari mengejar Byungjae, sambil berteriak untuk meminta bantuan Hanjoo.
Hanjoo mematung di tempatnya berdiri. Tertegun menatap Hanjoo yang berjalan mundur dengan gerakan cepat.
“Rue! Tolong aku!” Byungjae meronta.
Rue menambah kecepatan larinya. Berusaha mengejar Byungjae. “Lepaskan temanku makhluk jelek!” Ia berteriak frustasi. Ia tahu makhluk yang menyeret Byungjae akan membawa pemuda itu pada jendela tanpa daun jendela di ujung bangunan lantai dua.
Rue terpeleset dan jatuh. “Byungjae!!!” Jeritnya putus asa. Ia panik dan berusaha bangkit karena melihat Byungjae semakin dekat dengan jendela.
“Rue!!” Byungjae pun berteriak. Mengulurkan tangan kanannya yang memegang kamera. Berusaha meraih uluran tangan Rue yang tak mungkin bisa ia gapai.

Rue yang tiarap di atas lantai tercenung. Tangan kanannya masih terulur ke depan. Sedetik kemudian, ia menjatuhkan tangan kanannya. Ia lega melihat Toni berhasil menahan Byungjae yang sudah berada di ujung jendela bolong. Terlambat sedikit saja, Byungjae pasti jatuh dari lantai dua.
“Om Toni!” Byungjae lega karena Toni berhasil meraih tangan kanannya.
Toni pun menarik Byungjae menjauh dari jendela.
Hanjoo yang kesadarannya sudah kembali, membantu Rue untuk bangun.
“Kita pergi. Teman kalian nggak ada di sini.” Toni meminta Rigel pergi. “Dio baik saja di bawah. Ayo!”
Byungjae merasakan tangan kirinya basah. “Tangan kiriku basah.” Ujarnya sambil berjalan di belakang Toni.
Toni memungut senter Byungjae yang tergeletak di atas lantai. Ia pun menyorot tangan kiri Byungjae.
Byungjae terbelalak. “Darah!!!” Ia terkejut melihat tangan kirinya sudah berlumuran darah.

Walau Rue sudah membersihkan tangan kiri Byungjae dengan air mineral dalam botol yang selalu ada di dalam ranselnya, Byungjae masih belum bisa berhenti muntah. Hanjoo memijat tengkuk Byungjae agar rekannya itu bisa mengeluarkan isi perutnya. Sedang Dio sudah duduk di dalam mobil. Kakinya terkilir.
“Udah?” Hanjoo menepuk punggung Byungjae.
Byungjae menganggukkan kepala. Sejak ia mengetahui tangannya berlumuran darah, Byungjae mencium bau anyir yang membuatnya mual. Tak tahan dengan itu, ia pun muntah. Walau tangannya sudah dibersihkan Rue, ia tetap mual dan muntah hingga menguras seluruh isi perutnya.
“Byungjae duduk di depan saja. Dio udah duduk di belakang.” Ujar Toni.
Rue menatap Toni dalam diam. Ia sangat berterima kasih karena pria itu bertindak sigap dan menolong Byungjae. Ia tidak bisa membayangkan jika Toni terlambat sedikit saja. Lantai dua itu mungkin tidak akan membunuh Byungjae, tapi cukup untuk membuatnya patah tulang atau gegar otak. Rue menghela napas. Menyusul rekan-rekannya dan masuk ke mobil. Toni pun melajukan mobilnya, meninggalkan area Gedung Mati.
***

Nath dalam perjalanan menuju rooftop Rue. Satu jam menunggu di mini market, Pearl tak muncul. Begitu juga dengan Rue. Ia berusaha menghubungi Pearl, tapi ponsel gadis itu tak aktif. Nath juga berusaha menghubungi Dio, tapi ponsel Dio terus berada di luar jangkauan. Ia menghentikan sebuah taksi dan memintanya untuk mengantar ke tempat tinggal Rue.
Saat sampai, rooftop tempat tinggal Rue hening. Berulang kali ia mengetuk pintu, tapi tidak ada seseorang yang membuka pintu untuknya. Bahkan, tidak ada yang menjawab panggilannya. Setelah menunggu selama lima belas menit, Nath memutuskan untuk turun. Ia yakin Rue sedang tidak ada di rumah. Ia pun memutuskan untuk pulang.
Saat Nath sampai di tangga terbawah, sebuah mobil sedan berhenti. Ia tersenyum riang ketika tahu yang di dalam mobil itu adalah Byungjae, Hanjoo, Dio, dan Rue. Ia menunggu di dekat tangga.
Hanjoo yang pertama kali turun. Kening Nath berkerut saat melihat Hanjoo membantu Rue turun dari mobil. Kaki Dio pincang. Lalu, ia melihat Byungjae turun. Wajah pemuda itu pucat. Sedang tangan kirinya terangkat sejajar dada.
Nath berjalan mendekati mobil. “Kalian dari mana?” Sapanya ragu-ragu.
Hanjoo, Dio, dan Rue kompak menatap Nath. Nath terkejut melihat tampang lusuh mereka. Sedang Byungjae bergerak minggir, kemudian muntah-muntah di tepi selokan. Nath bingung melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada Rigel.
“Tolong bantu Byungjae. Bawa dia naik. Itu kalau kau mau dengar apa yang baru saja kami alami.” Ujar Rue yang kemudian berjalan melewati Nath untuk naik tangga.
Di belakang Rue, Hanjoo dan seorang pria memapah Dio yang pincang.
Nath mengerjapkan kedua matanya, lalu buru-buru menghampiri Byungjae.

Dio menjerit-jerit dan menangis. Ia kesakitan karena Toni memijat kakinya yang terkilir. “Ampun, Om! Sakit banget. Sumpah! Aaa!”
“Kalau kamu nggak tahan sakit, kakimu ntar nggak sembuh-sembuh. Nanti setelah dipijit bakalan bengkak, tapi nggak akan lama. Senin kamu udah bisa masuk sekolah. Tahan makanya!’ Toni mengomeli Dio.
“Iya ini ditahan! Ampun, Om! Sakit! Ampun! Aaa!”
Byungjae keluar dari kamar mandi. Ia memilih mandi demi menghilangkan bau anyir yang seolah masih menempel di tubuhnya. Karena tak membawa ganti, ia pun meminjam kaos dan celana kulot selutut milik Rue.
“Minum ini.” Rue menyodorkan jahe hangat dalam mug untuk Byungjae. “Biar mualmu ilang.”
“Udah nggak bau kan?” Byungjae mengulurkan tangan kirinya pada Rue.
“Udah nggak. Semprot parfum deh kalau masih merasa bau.” Rue menghidangkan coklat hangat di depan Nath. Lalu, menaruh mug-mug lainnya di atas meja. Ia membuat empat mug jahe hangat untuk Rigel, satu mug kopi untuk Toni, dan satu mug coklat hangat untuk Nath.
“Parfumnya mana?” Byungjae duduk di atas permadani ruang tamu dan meletakan mug di tangan kanannya ke atas meja.
Nath yang duduk di atas permadani di ruang tamu menatap Dio yang sedang duduk di atas sofa. Kakinya sedang dipijit Toni. Lalu, ia menatap Byungjae yang baru bergabung. Kemudian, beralih pada Hanjoo yang sibuk di dapur. Nath menundukkan kepala. Merasa bersalah.
Rue kembali ke ruang tamu dengan membawa parfum. Hanjoo pun bergabung setelah selesai membereskan dapur. Semua berkumpul di ruang tamu.
“Sekarang waktunya memberi penjelasan kan Jenna?” Ujar Byungjae sembari menyemprot parfum ke tangan kirinya.
“Maaf. Tapi, aku benar-benar nggak tahu. Kenapa kalian sampai seperti ini.” Nath perlahan mengangkat kepalanya.
“Papamu telpon ke Rue. Katanya, kamu pamit mau ikut perburuan ke Gedung Mati bersama kami. Rue panik dan membawa kami semua ke Gedung Mati. Dan, ini lah hasilnya. Seperti yang kamu lihat. Dio kakinya terkilir. Rue jatuh, dan aku hampir jatuh dari lantai dua. Untung ada Om Toni. Sebenernya rencanamu apa sih?” Byungjae meletakan parfum di atas meja dan menatap Nath.
Dinding pertahanan kedua mata Nath yang berkaca-kaca runtuh. Air mata meluncur turun di pipinya yang pucat. “Aku... aku benar-benar minta maaf. Ini salahku.”
“Aku yakin ini bukan salahmu! Aaa! Sakit, Om! Coba jelaskan apa yaaaaang sebenarnya terjadiiii!” Dio di sela jeritan kesakitannya.
“Katakan saja. Nggak papa. Kalau dipikir-pikir, itu bukan salahmu. Tapi, salahku. Aku bertindak tanpa pikir panjang. Tanpa memastikan lebih dulu kamu di mana.” Rue memegang tangan kanan Nath dan mengusuknya.
“Kami mana bisa marah ke kamu, Jenna.” Byungjae turut menenangkan.
“Aku tahu kalian nggak akan marah padaku, tapi…” Nath ragu.
“Tapi, kenapa? Katakan saja.” Desak Byungjae.
“Pearl.” Nath menyebut satu nama yang Rigel tahu.
“Kenapa Pearl?” Hanjoo turut mendesak Nath.
Nath menghela napas. Lalu, menceritakan semua dari awal. Dari pertemuan tak sengajanya dengan Pearl di food court, lalu Pearl mengajaknya hang out bersama Hanjoo dan Rue. Hingga Pearl membuatnya menunggu di mini market selama satu jam lamanya, dan ia sampai di rooftop Rue.
“Sudah kuduga pastiii ulaaah nenek sihir itu. Aaa, sakit!” Emosi Dio memuncak setelah mengetahui fakta di balik kesialan yang ia alami malam ini. “Awas kaaauuu Pearrrrllll!”
***
 


Search This Blog

Total Pageviews