Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab VII

04:55

AWAKE - Rigel Story
 


 Bab VII

Rue, Dio, Hanjoo, dan Byungjae berdiri mengitari ranjang tempat Hongjoon beristirahat. Usai ditemukan dan dibawa kembali ke sekolah, Hongjoon di antar untuk beristirahat di ruang UKS. Esya duduk di bangku yang di letakkan di tepi ranjang.
Rue memberi kode pada ketiga rekannya untuk pergi. Dio, Hanjoo, dan Byungjae yang menerima kode itu pun langsung tanggap. Mereka pun pamit pergi agar Hongjoon bisa istirahat.
“Beneran kamu baik-baik aja?” Esya kembali memastikan kondisi Hongjoon.
“Aku baik-baik aja. Maaf ya udah bikin kamu panik.”
Esya menghela napas panjang. Meluapkan kelegaannya. “Bagaimana bisa kamu tersesat?”
“Nggak tahu. Perasaan aku jalan ngikutin yang lain. Tahu-tahu aku udah ada di tengah jalan gelap itu. Ketakutan, aku berlari. Sampai di jurang itu dan melihat lampu penerangan jalan. Aku berdiam di sana. Terus berdoa agar Tuhan mengirim bantuan untukku. Walau cukup lama, Tuhan mendengar dan mengabulkan doaku.”
“Sudah kubilang harusnya kamu nggak ikut jurit malam!” Esya menyipitkan mata bulatnya. Mengamati Hongjoon duduk di atas ranjang. “Ada apa denganmu?”
“Aku? Kenapa? Nggak papa kok!”
“Wajahmu berseri-seri! Ada apa sebenarnya? Lihat! Pipimu bersemu merah!”
“Aku hanya merasa senang karena bisa kembali ke sekolah dengan selamat.”
“Begitu ya?” Esya meragukan jawaban Hongjoon. “Ya sudah. Aku kembali ke kelas dulu. Kalau kau butuh apa-apa, ada petugas jaga di luar.”
Hongjoon hanya menganggukkan kepala. Esya pun bangkit dari duduknya dan keluar dari ruangan tempat Hongjoon beristirahat.

Hongjoon merebahkan tubuhnya dan menatap langit-langit. Ia tersenyum pada langit-langit. Lalu, mengalihkan pandangan untuk mengamati sekitar. Ruangan tempat ia berada temaram. Ada tiga ranjang di sana. Ranjang di pojok dan paling dekat dengan pintu adalah tempatnya berbaring. Dua ranjang lainnya kosong.
Berada sendirian di dalam ruangan temaram itu membuat bulu kuduk Hongjoon meremang. Ia segera bangkit dari tidurnya. Lalu, buru-buru memakai sepatu dan merapikan ranjang. Kemudian ia keluar dan meminta izin untuk kembali ke kelas. Petugas sempat melarang, tapi Hongjoon mengatakan bahwa ia baik-baik saja. Dan, ia berjanji akan kembali ke UKS jika merasa tak baik. Daripada tidur di kasur tapi sendirian di dalam ruangan yang mengerikan, Hongjoon lebih memilih kembali ke kelas. Tidur beralaskan tikar, tapi tak sendiri, beramai-ramai bersama teman-temannya.
***


“Bisa jadi karena dia takut, lalu makhluk-makhluk tak kasat mata itu memanfaatkan rasa takutnya dan membuatnya tersesat. Kita, manusia memang makhluk yang paling sempurna. Tapi, kita juga punya kelemahan. Makhluk-makhluk tak kasat mata diberkahi kemampuan yang tidak semua manusia memilikinya. Contohnya, membuat kita tersesat.” Rue memberi jawaban atas pertanyaan Byungjae tentang bagaimana Hongjoon bisa terpisah dari kelompoknya.
“Mereka sangat ahli dalam memanfaatkan rasa takut manusia. Padamu sendiri, kenapa kamu bisa kesurupan sedang kamu nggak melamun?” Rue menuding Byungjae yang duduk di hadapannya.
“Karena aku ragu dan merasa takut.” Byungjae menjawab dengan hati-hati.
“Nah, kan? Ragu dan takut. Kombinasi yang sempurna yang bisa mereka manfaatkan untuk menembus benteng pertahananmu! Lain lagi ceritanya kalau mereka memang lebih kuat dan lebih mumpuni dari kita. Walau kita nggak takut, mereka yang lebih mumpuni dari kita bisa berbuat apa aja.”
“Rumit juga ya? Tapi, bener kayak apa yang Rue bilang. Mereka nggak jauh beda sama kita, manusia. Ada yang baik, ada yang jahat.” Dio turut berkomentar. “Yang usil dan jahat itu pasti yang suka ganggu manusia.”
“Sekolah kita terkenal angker, jadi menurutku kasus kayak yang dialami Hongjoon bisa saja terjadi.” Hanjoo pun ikut urun suara.
Seorang siswa masuk ke dalam kantor Dewan Senior. Menyita perhatian Rigel yang sedang berdiskusi di dalamnya. “Api unggun sudah siap. Kalian harus naik juga, kan?” Siswa itu meminta Rigel hadir untuk acara api unggun.
“Oke. Kami akan segera ke sana. Terima kasih.” Rue tersenyum pada siswa yang juga merupakan anggota Dewan Senior itu.
Siswa itu membalas senyum, lalu keluar dari kantor Dewan Senior. Rigel pun bangkit dari duduknya, keluar dari kantor, dan berjalan menuju lapangan basket. Tempat berkumpulnya senior dan junior untuk menggelar api unggun.

Saat sampai di lapangan basket, kayu bakar yang dimasukan ke dalam tong sudah terbakar dan menjadi api unggun. Murid baru duduk di atas lantai lapangan basket. Beberapa senior pun sama. Para petugas medis dari PMR berjaga di tepi lapangan. Acara api unggun malam itu digunakan sebagai sesi hiburan. Para senior urun penampilan untuk menghibur para junior. Junior pun diberi kesempatan untuk urun penampilan. Perwakilan dari beberapa ekstrakurikuler yang ikut menginap pun ada yang urun penampilan. Rigel hanya mengawasi dari pinggir lapangan. Mereka duduk bergabung dengan anggota Dewan Senior yang lain, yang duduk di depan barisan murid baru.
Tawa Rue yang sedang menyaksikan sebuah pertunjukkan stand up comedy dari rekan seangkatannya sirna. Ia menegakkan punggungnya dan menatap ke barisan kelas X-8. Ia kembali melihat ‘Dewa Kematian’ di belakang barisan murid kelas X-8.
Rue melirik Hanjoo yang duduk di sebelah kanannya. Pemuda itu larut terbahak-bahak dengan murid lain. Di samping kanan Hanjoo, Dio dan Byungjae juga sama. Larut dalam tawa karena pertunjukan stand up comedy. Rue kembali menatap ke arah depan. Dewa Kematian itu masih ada di sana. Fokus menatapnya. Tatapan yang sukses membuatnya gusar.
Tiba-tiba, ia melihat salah satu siswi kelas X-8 yang sedang duduk ambyuk ke belakang. Menimpa teman sekelasnya. Gadis yang tertimpa temannya yang pingsan pun panik. Memanggil petugas PMR yang berjaga di belakang barisan. Barisan kelas X-8 jadi sedikit ricuh dan menyita perhatian seluruh murid yang berkumpul di lapangan basket.
Byungjae, Dio, dan Hanjoo kompak menoleh ke arah kiri ketika melihat salah satu siswi kelas X-8 pingsan. Kening Rue berkerut dan gadis itu terfokus menatap barisan kelas X-8.
“Aku yakin Dewa Kematian pasti sedang berada di sana.” Dio berbisik lirih.
Byungjae kembali menatap barisan kelas X-8. Ia melihat siswi yang pingsan sudah digotong petugas PMR. “Tapi, Hongjoon baik-baik saja.” Ia mengamati Hongjoon yang duduk di dalam barisan kelas X-8.
Rue menatap siswi pingsan dalam gendongan tiga petugas PMR. Hanjoo dan Dio juga terfokus pada titik yang sama dengannya.
“Apa perlu kita menyusul ke UKS?” Hanjoo menoleh ke kiri dan menatap Rue.
“Nggak usah.” Rue tak mengalihkan pandangannya.
“Ya sudah.” Hanjoo kembali menatap ke depan. Memperhatikan Hongjoon yang duduk di dalam pasukan kelas X-8.
Dio dan Byungjae yang sebelumnya memperhatikan Rue pun kembali menatap ke depan. Rigel pun kembali menonton pertunjukkan.

Seorang siswa yang di lehernya dihiasi scraf PMR mendekati Rue. Ia membisikan sesuatu pada Rue. Rue mengangguk, lalu mencolek Hanjoo agar pemuda itu ikut dengannya. Dio dan Byungjae menoleh ketika Hanjoo dan Rue bangkit dari duduknya. Tapi, Rue memberi kode agar mereka tetap tinggal. Dio dan Byungjae kompak menganggukkan kepala.
Rue dan Hanjoo mengikuti petugas PMR yang menemui Rue. Mereka berjalan terburu-buru menuju ruang UKS. Menurut petugas PMR yang menemui Rue, siswi yang sebelumnya pingsan kesurupan. Ketika mereka tiba di ruang UKS, siswi itu berteriak-teriak histeris. Empat petugas PMR perempuan memegangi siswi yang dibaringkan di ranjang yang letaknya di tengah.
Rue buru-buru mendekati ranjang untuk memeriksa kondisi siswi yang kesurupan. “Dia ngomong apa?” Ia bertanya pada empat petugas PMR yang mengitari ranjang untuk memegangi siswi yang kesurupan.
“Nggak ada. Teriak-teriak gini aja. Tadinya kupikir dia udah sadar. Tiba-tiba melek dia. Ternyata kesurupan.” Jawab siswi yang memegangi lengan kiri siswi kesurupan.
Rue berjalan menuju siswi yang menjawab pertanyaannya. Siswi itu bergeser, memberi ruang untuk Rue. Rue mengelus puncak kepala siswi yang kesurupan. Mulutnya berkomat-kamit merapalkan mantra. Kemudian ia melakukan gerakan seolah menarik sesuatu dari tubuh siswi kesurupan melalui puncak kepalanya. Siswi itu pun kembali tak sadarkan diri. Perlahan, empat siswi yang memegangi  siswi kesurupan perlahan melepas siswi itu.
“Sudah aman?” Tanya siswi yang berada di samping kiri Rue.
“Aman. Tolong kasih dia air mineral yang aku tinggal di ruang jaga.” Rue memberi jawaban.
“Eh? Air dalam botol besar itu?” Siswa yang berdiri di samping kanan Hanjoo menyahut.
“Iya.” Rue membenarkan.
“Aduh! Airnya tadi aku minum. Udah habis.” Siswa itu merasa bersalah.
“Itu kan air doa yang dibuat Rue! Khusus buat murid kesurupan! Kok malah kamu minum sih! Kan udah aku bilang jangan diminum!” Siswi yang berdiri di samping kiri Rue marah.
“Habisnya kenapa ditaruh di meja gitu aja. Aku nggak tahu kalau itu air doa.” Siswa yang berdiri di samping kanan Hanjoo membela diri.
“Kalau gitu, tolong carikan air mineral. Biar aku doain lagi di sini.” Rue menengahi cek-cok di antara dua anggota PMR itu.
Siswa yang meminum air doa bergegas keluar untuk mendapatkan air mineral permintaan Rue.
***

Ditemani Hanjoo, Rue berkeliling untuk menengok kelas tempat murid-murid kelas X tidur. Setelah yakin suasana aman, mereka kembali ke basecamp PMR. Di sana Dio dan Byungjae masih terjaga. Keduanya duduk di depan basecamp.

“Gimana? Aman?” Byungjae menyambut kedatangan Rue dan Hanjoo.
“Semoga saja.” Rue duduk bergabung.
“Kesurupan saat MPLS kan wajar terjadi. Pas kita MPLS dulu juga ada kejadian kayak gitu. Kata senior, itu emang tradisi. Tapi, kok kamu kayaknya khawatir banget gitu Rue?” Dio paham jika Rue sedang khawatir.
“Karena malaikat kematian itu ya? Dewa Kematian.” Byungjae menyambung.
Rue menghela napas panjang. “Iya. Dia nggak pernah muncul di sekolah. Tapi, kenapa tiba-tiba saja dia muncul di sekolah. Itu membuatku kepikiran.”
“Udah fix dia mendampingi Hongjoon?” Byungjae penasaran.
“Entahlah. Sebelumnya dia muncul nggak deket dengan korban kayak gitu.”
“Dia ngajak main teka-teki?”
“Mungkin.”
“Jadi, bisa aja bukan Hongjoon. Tapi, murid X-8 yang lain?” Dio menerka-nerka.
“Atau, murid kelas X.” Byungjae menambahkan.
“Rumit. Tapi, Rue. Kamu nggak seharusnya kepikiran kan? Kamu bukan Tru Davies dari serial Tru Calling yang tugasnya menunda kematian seseorang.” Dio mencoba menghibur.
“Iya. Aku tahu. Memang nggak seharusnya aku kepikiran kayak gini.” Rue membenarkan pendapat Dio.
“Kita tunggu aja. Apa yang akan terjadi 40 hari ke depan. Hanya itu kan yang bisa kita lakukan?” Byungjae turut menenangkan Rue.
Rue mengangguk. Lalu tersenyum lebih tulus untuk menenangkan keempat rekannya.
***

Hari Minggu, pukul sepuluh pagi para murid baru diizinkan pulang usai mengikuti upacara penutupan. Karena sudah menjadi tradisi, tahun ini pun ada sandiwara yang didalangi para senior. Karena hebatnya akting para senior, banyak junior yang terjebak dalam sandiwara. Membela para senior yang didakwa bersalah. Para gadis pun banyak yang menangis karena beberapa senior putri juga menangis demi berhasilnya sandiwara mereka.

“Sudah kubilang itu hanya sandiwara. Tapi, kamu malah nangis.” Hongjoon mengolok Esya. Mereka berjalan menuju gerbang untuk pulang.
“Kamu yang nggak punya perasaan. Liat senior pada berantem gitu biasa aja.” Esya membela diri.
“Kan aku udah tahu kalau itu sandiwara. Mereka ngapain?” Hongjoon menatap gerbang. Ada beberapa senior berdiri berjajar di sana. Menyalami para murid kelas X yang pulang.
Esya melihat ada Dio dan Byungjae dalam barisan senior. Tapi, Rue tidak ada. Sedang Hanjoo duduk di bangku yang berada di belakang barisan para senior. Ia duduk dan mengobrol dengan seorang senior perempuan.
Esya menghela napas dan bersama Hongjoon masuk ke dalam barisan murid baru untuk menyalami para senior yang mengantar kepulangan mereka di gerbang.
“Itu Rigel, kan?” Bisik Hongjoon yang berdiri di belakang Esya.
“Iya.”
“Kok Kak Rue nggak ada?”
Esya menoleh dan menyipitkan mata ketika menatap Hongjoon.
“Aku belum berterima kasih padanya.”
Esya kembali menghadap depan dan menyalami senior yang berada paling ujung sebelah selatan. Hongjoon yang berada tepat di belakangnya mengikuti.
Para senior yang berjajar di dekat gerbang rata-rata mengucap maaf saat menyalami murid baru. Detub jantung Esya mendadak meningkat ketika ia semakin dekat dengan Byungjae dan Dio. Sesekali ia mencuri pandang pada Hanjoo yang masih betah di tempat ia duduk. Jantung Esya seolah terjun bebas ketika ia melihat Hanjoo menatapnya. Pemuda itu tersenyum, lalu bangkit dari duduknya dan meminta ruang untuk berdiri di samping kiri Dio. Esya jadi salah tingkah. Ia berusaha mengusai dirinya karena semakin dekat pada Byungjae.
“Selamat datang di SMA Horison!” Byungjae tersenyum manis saat menyalami Esya. Esya hanya bisa tersenyum kikuk dan mengangguk.
“Selamat bergabung di SMA Horison!” Gantian Dio yang menyalami Esya. Di belakangnya, Byungjae mengucap kata yang sama pada Hongjoon. Sedang Esya, pun memberikan reaksi yang kurang lebih sama pada Dio.
Detub jantungnya semakin tak karuan ketika ia sampai di depan Hanjoo dan pemuda itu menjabat tangannya. “Maafkan kesalahan kami ya. Hati-hati di jalan.” Hanjoo tersenyum dan meminta maaf saat menjabat tangan Esya.
Esya merasakan panas yang berpusat di wajahnya. Ruang di dalam dadanya pun tiba-tiba dipenuhi ribuan bunga yang bermekaran. Ia tersenyum lebar dan tulus, lalu menganggukkan kepala dengan antusias. Hanjoo pun kembali tersenyum, lalu melepas jabatan tangannya.
Esya menunduk dan tak bisa berhenti tersenyum ketika sampai pada senior berikutnya.
“Kamu pasti Orion ya?” Senior laki-laki itu menggoda Esya.
Byungjae, Dio, dan Hanjoo pun kompak menoleh ke kiri. Ketiganya tersenyum memperhatikan rekan mereka menggoda Esya.

Rue duduk di bangku yang letaknya di belakang gedung perpustakaan di dekat kelas XI-5. Ia memperhatikan senior dan junior yang berinteraksi di dekat gerbang. Saat Hongjoon muncul. Ia menghela napas lega, karena tak melihat sosok Malaikat Maut di dekat pemuda itu. Semoga selamat sampai tujuan, Jin Hongjoon. Ia membatin harapan terbaik untuk Hongjoon.
***

Setelah semua murid baru meninggalkan sekolah, para senior yang menjabat sebagai Dewan Senior dan MPK berkumpul di aula. Mereka mengadakan evaluasi kegiatan. MPK yang bertugas mengevaluasi Dewan Senior. Terutama yang menjadi panitia MPLS. Mereka berhak memberi sanksi pada Dewan Senior yang dinilai melakukan banyak pelanggaran.
Dalam sidang itu, Pearl, Ruby, dan Linde yang mendapat banyak tuduhan pelanggaran dari MPK. Walau banyak bukti yang ditunjukkan, Pearl dan kedua rekan satu gengnya itu terus membela diri.
“Oke! Saya terima sanksinya. Tapi, tolong koreksi juga tentang Presiden Sekolah kita. Apa karena dia tidak menjadi panitia MPLS, maka dia berhak bersantai-santai dan jarang memantau jalannya MPLS?” Pearl mengaku menyerah. Tapi, ia masih menuntut MPK untuk menimbang ulang peran Rue selaku Ketua Dewan Senior (Presiden Sekolah) selama MPLS.
“Kenapa dia gitu banget sih pada Rue?” Dio yang duduk di samping kiri Byungjae dengan lirih mengomentari aksi protes Pearl.
“Rue jadi lebih tenar dari dia. Aku rasa itu alasannya.” Byungjae merespon.
“Tentu saja kami akan mengevaluasi semua anggota Dewan Senior. Karena itu merupakan tugas kami.” Nicky tetap tenang. Ia tak goyah sedikitpun walau Pearl memojokkan dirinya dengan menggunakan Rue.
Hampir seluruh anggota MPK dan Dewan Senior bisa mengendus rasa suka Nicky pada Rue. Termasuk Pearl dan gengnya. Sedikit membawa urusan pribadi ke forum seperti yang dilakukan Pearl, bisa menjadi senjata ampuh untuk bertahan.
“Termasuk peristiwa hilangnya salah satu murid saat jurit malam, dan siswi yang kesurupan di malam yang sama. Itu harusnya menjadi tanggung jawab Presiden Sekolah kita kan? Karena, sebelumnya dia mengatakan telah membuat perjanjian dengan makhluk astral di sekolah ini.” Pearl melancarkan aksinya.
“Dia niat mempermalukan Rue di forum! Biar aku yang bicara!” Dio geram.
“Jangan!” Rue memegang tangan kiri Dio yang berada di sebelah kanan ia duduk. “Sudah. Diam saja.” Ia menepuk-nepuk tangan Dio.
Dio menghembuskan napas dengan kasar dan menatap Pearl penuh kekesalan.
“Nona Pearl, saya rasa ini sudah terlalu jauh melencong.” Kevin menengahi. “Kita dulu juga pernah berada di fase yang sama. MPLS dan adanya murid kesurupan. Aku rasa Nona Pearl pasti masih ingat apa yang dikatakan para senior saat itu pada kita. Tidak apa-apa, hal itu sudah biasa terjadi di sekolah kita. Karena hari ini banyak orang baru yang menginap di sekolah, seperti layaknya kita manusia, beberapa dari mereka pun ada yang penasaran. Yang usil biasanya suka membuat keributan dengan mengambil alih tubuh manusia hingga terjadilah kesurupan.
“Mengingat momen setahun yang lalu itu, saat kita baru diterima di sekolah ini dan mengikuti prosesi MPLS, saya rasa Nona Pearl tahu jika peristiwa hilangnya murid dan murid kesurupan di luar kendali Rue sebagai Presiden Sekolah.” Kevin menutup pembelaannya.
Mayoritas yang berada di dalam aula untuk mengikuti sidang, mendukung ulasan Kevin dan memojokkan Pearl. Pearl kesal. Ia membuang muka dan beurusaha keras meredam emosinya.
Hampir seluruh anggota Dewan Senior terkena teguran saat evaluasi. Termasuk Rigel. Namun, karena kesalahan yang mereka buat masih bisa dimaklumi. Mereka pun tak terkena sanksi.

Saat Rue dan Dio berjalan bersama menuju gerbang, Pearl, Ruby, dan Linde mencegat mereka.
“Ada apa lagi ini kunyuk!” Dio menggerutu.
“Aku menikmati sanksiku. Jadi, jangan pikir aku terbebani karena semua ini!” Pearl dengan angkuhnya.
“Sebagai ketua, aku minta maaf karena tidak bisa menjagamu dengan baik.” Rue benar menyesal.
Pearl mengibaskan tangannya di udara. “Sebaiknya kamu hati-hati. Tahun ajaran baru dimulai. Kalau kamu nggak becus, kamu bisa diturunkan dari jabatan.”
“Bukan diturunkan, tapi emang udah waktunya ganti.” Dio meralat pernyataan Pearl. “Aku yakin Rue nggak akan keberatan dan nggak akan merasa kehilangan kalau misal nanti nggak dicalonkan lagi sebagai ketua. Kalau kamu mau, ambil aja!” Dio menarik tangan kanan Rue dan menuntun rekannya itu untuk pergi dari hadapan Pearl. “Dasar psikopat!” Ia mengumpat karena kesal pada sikap Pearl.
Rue hanya tersenyum menanggapi umpatan Dio. Kening Rue berkerut saat ia semakin dekat dengan gerbang. Di tengah pintu gerbang yang terbuka seluruhnya, sosok  Malaikat Kematian berdiri. Ia tampak penuh wibawa ketika berdiri dengan kedua tangan disembunyikan di balik punggungnya seperti itu 
Rue yang sempat tersihir oleh pesona Malaikat Maut mengerjapkan kedua matanya. Kesadarannya telah kembali. Ia terbebas dari sihir yang mengikatnya. Hongjoon sudah pergi, tapi kenapa dia masih di sini? Siapa sebenernya yang menjadi targetnya?
Rue berjalan menuju bangku yang berada di bawah pohon rindang di dekat gerbang. Di sana Hanjoo dan Byungjae sudah duduk menunggu. Ketika ia dan ketiga rekannya melewati gerbang, Malaikat Maut terus menatapnya. Senyuman misterius yang terkembang di wajah pucat pemuda dengan kostum serba hitam itu sukses membuat Rue bergidik ngeri. Rue pun menundukkan kepala. Ia berharap Malaikat Maut itu tidak mengikutinya.
***
 

 
 

Khayalan shytUrtle

AWAKE "Rigel Story" - Bab VI

04:25

AWAKE - Rigel Story
 


Bab VI


Rona merah masih tersisa di wajah Esya. Ia pun masih merasakan wajahnya memanas. Senyum Hanjoo sukses membuatnya merasa tenang sejenak. Ia yakin Hanjoo dan Rigel akan menemukan Hojoon.
“Duduklah!” suara pemuda itu membuyarkan lamunan Esya. Esya mengalihkan pandangan pada Kevin yang sudah menarik kursi untuknya.
“Sepertinya ini akan memakan waktu lama. Sebaiknya kau menunggu di sini.” Kevin menambahkan.
Esya tersenyum malu-malu. Lalu duduk di kursi yang disiapkan Kevin untuknya. Di dalam kantor Dewan Senior hanya tersisa dirinya, Kevin, dan Nicky.
“Jangan khawatir soal temanmu. Aku yakin dia baik-baik saja.” Nicky ikut bicara. Mencoba menenangkan Esya.
“Aku percaya pada Rigel. Mereka pasti menemukan Hojoon. Aku percaya pada Kak Rue, Kak Dio, Kak Byungjae dan Kak Hanjoo.” nada suara Esya terdengar sedikit gemetar.
Senyum terkembang di wajah Nicky ketika mendengar Esya menyebut nama Rigel.
“Kamu Orion?”  sahut Kevin.
Esya tersenyum dan mengangguk.
Kevin tersenyum lebar. “Kamu nggak salah mengidolakan Rigel. Oya, tadi kamu bilang teman kamu itu penakut banget ya?”
Esya mengangguk antusias. “Dia pernah punya pengalaman buruk saat berada di luar di malam hari.”
“Iya kah? Apa itu? Kalau boleh tahu sih.” Kevin penasaran. Nicky pun menyimak.
“Waktu dia kelas lima SD, dia diajak main di taman sepulang les. Di tengah permainan, listrik padam. Teman-temannya meninggalkan Hojoon di taman. Sejak saat itu Hojoon jadi agak takut kalau ada di luar malam-malam. Terlebih saat gelap.”
“Harusnya temanmu ngomong jujur soal ini. Jadi, dia nggak usah ikut jurit malam. Trauma itu masalah serius.” Nicky menanggapi.
“Saya sudah bilang agar dia tidak ikut jurit malam. Tapi, dia bilang dia baik-baik aja.”
“Aku udah kirim pesan pada Rue. Tentang kondisi temanmu yang takut gelap.” Kevin sibuk dengan ponselnya.
“Kamu tenang ya. Kita tunggu kabar dari Rue.” Nicky kembali menenangkan.
Esya hanya menganggukkan kepala. Ia masih terlihat canggung. Walau tak ada Hanjoo di dalam kantor itu. Tapi, ada Kevin dan Nicky yang menemaninya. Dua senior tampan berwajah bak visual boy band itu tentu saja membuatnya gugup dan canggung.
***

“Setahu saya dia takut hantu, Kak. Tadi, waktu makan malam, saya cerita soal kisah seram sekolah kita. Mukanya langsung pucat.” Axton menutup penjelasannya di depan Rue. Ia menjelaskan kronologi bagaimana Hojoon terpisah dari kelompoknya. Tak hanya itu, ia pun menambahkan kelemahan Hojoon yang ia tahu.
Rue mendengarkan, tapi tatapannya terfokus pada pohon berukuran sedang yang berada di belakang Axton dan rekan satu kelompoknya. “Kenapa kalian milih tempat ini sebagai pos sih?!” Rue bertanya pada rekannya sesama Dewan Senior yang berjaga di pos tujuh.
“Bukan aku yang nentuin pos. Kenapa?” siswi berambut pendek sebawah telinga dan berkulit sawo matang itu balik bertanya.
“Nggak papa. Sekarang kalian balik aja. Bawa junior kita balik ke sekolah.” Rue memberi perintah.
“Kalian akan melakukan pencarian sendiri?”
“Kami akan berpencar. Kami butuh dua relawan sebenarnya. Untuk menemani aku dan Rue.” Hanjoo menyela.
“Aku fine pergi sendiri.” sahut Rue. “Satu relawan saja untuk nemenin Hanjoo. Lainnya temani adik kita kembali ke sekolah. Hanya mereka yang tersisa kan?”
“Iya. Dua kelompok terakhir sudah lewat. Penjaga di tiga pos terakhir juga sudah kami beri tahu tentang kabar hilangnya salah satu peserta.” jawab pemuda bertubuh jangkung dan kurus dengan rambut ikal.
“Semua harus kembali ke sekolah.” Rue kembali memberi perintah.
“Ini udah hampir tengah malam Rue. Bukan ide baik kalau kamu melakukan pencarian sendirian.” Dio meragukan keputusan Rue.
“Aku setuju. Kamu mungkin nggak takut hantu. Tapi, gimana kalau ada orang jahat? Kita di kelilingi perkebunan tebu. Dan, kita nggak pernah tahu apa yang ada di balik rerimbunan tebu itu.” gadis berkulit sawo matang mendukung Dio.
“Kita berdelapan. Bagaimana kalau dua senior saja yang mengawal para junior ke pos berikutnya dan kembali ke sekolah? Enam sisanya melakukan pencarian.” Byungjae memberi usulan.
“Nah, aku setuju begitu.” Dio langsung setuju. Begitu juga senior yang lain.
“Oke! Dio, kamu dan Byungjae satu tim. Siapa yang mau menjadi patnerku?” Rue menunggu jawaban. Namun empat senior yang sebelumnya menjaga pos tujuh diam. Saling melempar pandangan.
“Aku yang akan pergi bersama Rue. Dua dari kalian menjadi satu tim. Bagaimana?” Hanjoo menengahi. “Aku rasa mereka keberatan pergi denganmu karena kamu bisa melihat hantu.” imbuh Hanjoo sembari melirik Rue.
Pernyataan Hanjoo dibenarkan keempat senior yang berjaga di pos tujuh. Lalu dua diantaranya menawarkan diri untuk membantu pencarian.
“Saat sampai di pos delapan, kami akan menyerahkan junior ke petugas pos delapan. Lalu, kami akan kembali untuk membantu melakukan pencarian.” ujar senior bertubuh jangkung.
“Oke!” Rue setuju. “Keep in touch, ya! Kita harus saling berhubungan.”
Dua senior mengawal Axton dan kelompoknya menuju pos delapan. Rigel dan dua senior yang tersisa kembali memeriksa peta rute jurit malam serta mencocokan informasi yang diberikan anggota kelompok Hojoon. Rue pun membagi tugas. Dio dan Byungjae, juga dua senior yang ikut bergabung dalam misi pencarian malam itu pun berpencar. Tinggal Rue dan Hanjoo yang tersisa di pos tujuh.
“Aku perhatikan dari tadi kamu liatin pohon itu terus. Ada sesuatu di sana?” tanya Hanjoo sambil menggerakkan kepala, menunjuk pohon yang berada tak jauh di depan mereka.
“Iya! Ada cewek genit duduk di sana.” Rue yang sibuk dengan ponselnya.
“Pantesan kamu fokus ke sana terus sejak datang. Cantik nggak ceweknya?”
“Mukanya pucet, nggak ada matanya. Kalau senyum giginya runcing-runcing.” Rue menjawab sambil mengotak-atik ponselnya.
Hanjoo bergidik ngeri mendengar penjelasan Rue. Dia mengusuk tengkuknya. “Bisa kita pergi sekarang?”
“Dia senyum-senyum ke kamu tuh!” Rue tanpa mengalihkan pandangan dari menatap layar ponselnya.
“Aku pikir dia bakal naksir Byungjae.” Hanjoo mulai.
“Tadinya sih iya.” Rue lalu mendesah.
“Kenapa?”
“Junior kita yang hilang ini punya trauma masa kecil. Kevin baru ngirim pesan.”
“Kevin apa Kak Nicky?”
Rue tersipu dan menyimpan ponselnya di saku. Ia mulai berjalan. Hanjoo menyusulnya, lalu berjalan di sampingnya.
“Dia pernah di tinggal di taman saat listrik padam.” Rue kembali memulai obrolan. “Kita harus cepat-cepat nemuin dia.”
“Kok nggak nanya cewek genit di pohon tadi? Mungkin aja dia tahu.” Hanjoo merespon.
“Kalau dia minta kamu sebagai ganti informasi, kamu mau nemenin dia di sana semalaman?”
“Amit-amit!”
“Makanya jangan ngawur! Ya ampun! Aku lupa!” Rue menghentikan langkah ketika mereka tiba di persimpangan jalan. “Di sini ada persimpangan. Kita berpencar aja gimana?”
“Kamu serius? Nekat mau jalan di tengah kebun tebu?”
“Nggak ada pilihan. Aku khawatir junior kita kenapa-napa.”
“Hanjoo mendesah. “Kamu terus aja. Aku yang belok kanan. Jalan beraspal lebih baik buat kamu. Tetap aktifkan ponselmu. Segera hubungi aku kalau kamu ketemu orang jahat.”
“Kitten Joo! Lingkungan sekolah kita ini aman dari pencuri dan sejenisnya.”
“Hanya jaga-jaga saja. Kita nggak pernah berburu dalam kondisi terpisah.”
“Aku tahu. Nunggu bantuan malah bikin aku nggak tenang karena kepikiran junior kita yang hilang. Semoga aja nggak ada anjing muncul dari rerimbunan pohon tebu. Itu benar-benar mimpi buruk.
“Kalau gitu, kita pergi sama-sama aja. Kita ke arah kanan dulu. Kalau di sana nggak ada, kita balik dan ganti ke arah kiri.”
“Nggak efektif tahu! Udah nggak papa. Kita pisah di sini. Kita adalah Rigel. Semua pasti akan baik-baik aja. Kamu percaya aku kan?”
Hanjoo menganggukkan kepala namun tampak ragu.
“Jangan ragu Kim Hanjoo! Aku juga percaya kamu. Kita mulai. Oke?” Rue membalikan badan, membelakangi Hanjoo lalu berjalan.
Hanjoo menghela napas panjang. Lalu berjalan menuju ke arah kanan sesuai perintah Rue.
***

Rue menggenggam erat senter di tangannya. Gelap. Hanya ada rerimbunan pohon tebu di sisi kanan dan kiri jalan yang sedang ia tempuh. Gemberisik daun tebu yang saling bergesekan karena angin membuatnya selalu waspada. Ia tak takut pada hantu atau manusia malam seperti pencuri. Ia takut pada hewan yang bisa saja muncul dari dalam rerimbunan pohon tebu. Ular atau anjing misalnya.
Rue mempercepat langkahnya. Sebenarnya lorong yang terbentuk dari rerimbunan pohon itu tak terlalu panjang. Tapi, malam ini Rue seolah berjalan di dalam lorong yang berpuluh-puluh meter panjangnya. Karena gelap, dan ia sendirian. Rue menghela napas lega ketika ia melihat cahaya putih yang berasal dari satu-satunya lampu yang berada di jembatan usai jalan menurun. Ia menambah kecepatan langkah kakinya dan berhenti di puncak jalan menurun menuju jembatan.
Mata bulat Rue melebar dan berbinar. Ia melihat ada sesosok pemuda sedang berjongkok di bawah tiang lampu. Namun, pemuda itu menundukkan kepala dan menyembunyikan wajahnya. Rue tahu pemuda itu manusia. Bukan hantu. Dan ia yakin bahwa pemuda itu adalah Hojoon. Junior yang sedang ia cari. Bukan orang jahat atau bahkan orang gila yang biasa berkeliaran di jalan. Ia tahu di komplek sekolahnya itu hanya ada satu orang gila yang selalu berkeliaran. Orang gila yang selalu mengenakan kostum bak pejuang lengkap dengan segala atributnya.
Karena agak terburu-buru ketika berjalan di jalan menurun itu, Rue hampir terjatuh. Untung ia masih bisa memegang kendali atas keseimbangan tubuhnya. Ia menghela napas lega dan berhenti jarak satu langkah dari pemuda yang sedang berjongkok, menundukkan kepala, dan menyembunyikan wajahnya. Rue tersenyum lebar. Ia merasa lega melihat kostum putih-hitam yang dikenakan pemuda itu.
“Hey! Hallo! Apakah kau Jin Hojoon?” Rue langsung menyapa pemuda itu. Perlahan pemuda itu mengangkat kepalanya. Rue terperangah, kaget ketika bisa melihat wajah pemuda itu. Ia tak salah. Pemuda itu memang Hojoon yang ia cari. Yang membuatnya terkejut adalah wajah pucat pemuda itu. Sepertinya Hojoon sangat ketakutan.
“Ini aku, Rue. Kau aman sekarang. Tetaplah di dekatku. Aku akan menjagamu. Ayo, kita kembali ke sekolah!” Rue mengulurkan tangan kanannya. Ada gurat kelegaan di wajah pucat Hojoon. Bahkan mata sipit pemuda itu mulai berkaca-kaca.
Rue tersenyum manis. “Jangan takut. Ini aku, Rue. Aku akan menjagamu. Tetaplah berada di dekatku. Jangan takut. Aku akan menjagamu. Sekarang, ayo kita pulang.”
Hojoon masih menatap Rue. Perlahan ia mengulurkan tangannya. Meraih uluran tangan Rue yang kemudian membantunya untuk bangkit dan berdiri.
“Maafkan aku karena terlalu lama membiarkanmu di sini sendirian.”
Hojoon menggelengkan kepala. Sedikit menunduk dan mengusap kedua matanya yang berair.
“Mari kita kembali ke sekolah.” Rue berdiri dekat di samping kanan Hojoon.
Hojoon menganggukkan kepala. Kembali mengangkat wajahnya. Menatap Rue dan tersenyum samar. Rue tersenyum manis. Lalu keduanya berjalan beriringan. Bersama-sama menuju SMA Horison.
***

 

Review bacaan dan tontonan

Review Mystified (2019)

07:02

Mystified (2019)



From iflix com

Starring: KarylleIza CalzadoSunshine DizonDiana Zubiri

Director: Mark Reyes V

Four witches Althea, Kathalina, Helena and Adela find themselves in a new world trying to fit in - a world where no one believes in magic anymore. How can this Coven of 4 defend the modern world from evil forces when their supernatural being and powers have been reduced to near extinction? Starring: Iza Calzado, Karylle, Diana Zubiri, and Sunshine Dizon - the original ensemble cast of "Encantadia".

Empat penyihir Althea, Kathalina, Helena dan Adela menemukan dirinya dalam sebuah dunia baru mencoba untuk menyesuaikan diri - dunia di mana tidak ada yang percaya pada sihir lagi. Bagaimana Coven of 4 ini dapat melindungi dunia modern dari kekuatan jahat ketika keberadaan supernatural dan kekuatan mereka telah berkurang mendekati kepunahan? Dibintangi: Iza Calzado, Karylle, Diana Zubiri, dan Sunshine Dizon - pemain ensembel asli "Encantadia".



Ini pertama kalinya bagi saya menonton film asal Filipina. Tertarik dengan film ini karena mengangkat kisah tentang penyihir wanita. Yuk, simak ulasan tentang filmnya.



Mystified merupakan film orisinal iflix asal Filipina. Film ini mengisahkan tentang empat orang penyihir wanita yang berusaha memerangi kejahatan penyihir putih yang haus kekuasaan dan membelot kemudian menjadi penyihir hitam.

Di masa lalu, empat penyihir cantik Althea, Adela, Kathalina, dan Helena berhasil melumpuhkan penyihir jahat bernama Helga dan menyegelnya di dalam sebuah Portalis. Ketua Dewan dari klan penyihir putih tak setuju untuk membinasakan Helga karena ia berharap Helga akan sadar dan kembali ke jalan yang benar.






Ketua Dewan pun mengirim empat penyihir wanita itu untuk hidup membaur dengan manusia biasa dan mengejar para pengikut Helga.

Dalam misi menangkap Helga, seorang murid bernama Clara turut dikirim ke medan perang. Clara tewas oleh ulah Helga demi melindungi Adela. Althea yang meminta Adela menjaga Clara pun marah. Keduanya saling menyalahkan dan memutuskan bekerja tidak dalam tim. Kathalina dan Helena pun tidak bisa berbuat banyak. Mereka turut pergi untuk menempuh jalan masing-masing.

300 tahun kemudian, empat penyihir yang dikenal sebagai Coven Empat Penyihir sudah hidup layaknya manusia biasa.

Adela bekerja sebagai dosen di sebuah universitas. Ia memiliki seorang teman dekat bernama Miguel. Tapi, ia membatasi diri agar tak jatuh hati karena itu termasuk salah satu larangan dewan.



Althea menjadi seorang dokter. Ia bekerja di sebuah rumah sakit dan memiliki seorang pasien kanker anak-anak yang sangat ia sayangi.



Kathalina bekerja sebagai seorang wedding organizer. Ia sangat menyukai pekerjaan itu.



Helena bekerja sebagai vloger dan mempunyai sahabat seekor katak hijau.



Walau dilarang menggunakan sihir untuk mencampuri takdir manusia, keempatnya tidak bisa tinggal diam ketika melihat manusia dalam kesulitan. Hal itu membuat dewan marah. Karena, jika keempatnya terlalu sering menggunakan sihir mereka, maka kekuatan portalis akan menurun dan Helga akan bebas.

Suatu malam para pengikut Helga, Zarda dan Violet tiba-tiba muncul. Mereka menyerang Coven Empat Penyihir. Karena terlalu banyak menggunakan sihir, kekuatan portalis melemah dan Helga berhasil kabur. Pasukan Helga menerobos kuil dan menyelematkan Helga.




Kuil pun dibuat kacau. Helga berhasil lolos dan mendapatkan tubuh barunya. Bersama anak buahnya, ia kembali menyusun kekuatan untuk membebaskan tuan mereka yaitu Luvictus yang di segel di dalam sebuah meteor.




Untuk membebaskan Luvictus, Helga membutuhkan Kit, salah satu biksu penghuni kuil yang merupakan kunci kebebasan Luvictus. Helga pun berhasil menangkap Kit dan menggunakannya sebagai kunci pembebas Luvictus.




Seperti yang saya katakan tadi di atas bahwa ini adalah film Filipina pertama yang saya tonton. Bahasa mereka sangat asing di telinga. Dialog yang dicampur dengan Bahasa Inggris membuat saya seolah menonton film Bollywood. Dialog film Bollywood sering kali dicampur aduk dengan Bahasa Inggris.

Kalau untuk efek visualnya memang masih jauh jika dibanding dengan film sihir dari Cina. Nggak beda jauh sama film Indonesia lah. Untuk adegan laga juga masih terlihat kaku. Tapi, film ini menampilkan visual-visual yang sempurna. Tokoh Coven Empat Penyihir terutama. Keempatnya cantik dan seksi. Lalu, untuk tokoh antagonis juga cantik-cantik dan seksi-seksi. Untuk pemeran cowoknya macho-macho. Miguel walau dandannya cupu tetep macho. Hehehe.

Dari segi cerita boleh dibilang umum. Penyihir putih melawan penyihir hitam. Coven Empat Penyihir juga terdiri dari empat penyihir dengan kemampuan sihir berbeda. Kalau menurut saya pribadi untuk battle ending kurang gereget. Tapi, menggemaskan juga. Karena ada adegan para penyihir memakai cara kuno dengan menaiki sapu terbang saat melawan Helga yang berubah jadi monster. Malah ada diselipi adegan kocak saat Althea membuat perisai pelindung dan sudah tidak kuat lagi, tapi ketiga rekannya sibuk berdiskusi dan mengabaikan dirinya yang teriak-teriak bilang bahwa tak mampu lagi menahan serangan Helga dengan perisainya.

Walau temanya penyihir, film ini juga menyelipkan kisah persahabatan empat gadis penyihir. Ada kisah cinta yang terselip. Bukan hanya kisah cinta sepasang kekasih, tapi juga kisah kasih antara dosen dan anak didiknya, juga dokter dan pasien. Ikutan nyesek waktu adegan Althea gagal nolong pasiennya dengan ramuan sihir yang ia buat.

Benar kata Kit, sihir yang kita punya hanya mampu menolong manusia tapi tidak bisa merubah mereka.

Ending-nya nggantung. Mungkin ntar bakalan ada sekuelnya? Kita tunggu saja.

Sekian ulasan dari saya. Maaf jika ada salah kata. Terima kasih. Semoga bermanfaat dan selamat menonton.

Photo by: Google search


Tempurung kura-kura, 13 Oktober 2019.
- shytUrtle -

Search This Blog

Total Pageviews