My 4D Seonbae - Episode #4 "Seonbae vs. Hoobae"
05:50 My
4D Seonbae - Episode #4 "Seonbae vs. Hoobae"
Ketika kita memasuki jenjang sekolah baru, kita pasti akan
mempunyai sosok yang di idolakan. Entah itu sesama teman atau kakak senior. Di
sini kasta antara Seonbae (senior) dan hoobae (junior) sangat kentara. Tapi,
tetap saja seonbae dan hoobae bisa berteman dan saling berinteraksi. Walau
tidak sebebas di Indonesia. Pertemanan dan keakraban kami dan senior ataupun
bersama junior seperti masih memiliki batas. Hmm, mungkin hanya perasaanku
saja. Tapi karena saking kentaranya perbedaan itu, kadang aku merasa tak nyaman
juga tak bebas. Lagi-lagi keyakinanku tentang "semua adalah teman"
aku ragukan.
Idolaku di kalangan senior adalah Song Hyuri dan Kim
Myungsoo. Mereka sangat baik padaku sejak hari pertama kami bertemu. Song Hyuri
Seonbae memilihku untuk membacakan tata tertib MOS di depan teman-teman
seangkatanku, dan juga para senior yang tergabung dalam OSIS. Song Hyuri Sunbae
kala itu menjabat sebagai Ketua Seksi Bidang 10 yaitu Seksi Pembinaan
Komunikasi dalam Bahasa Inggris. Ia sangat menyukai Bahasa Inggris. Karenanya,
ia selalu berusaha dekat dengan murid asing untuk bisa berkomunikasi dengan
mereka demi meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisnya.
Aku pernah bertanya kenapa ia memilihku, sedang banyak murid
asing lain di angkatanku. Song Hyuri Seonbae menjawab, "Entahlah. Kau
memancarkan aura yang menarik perhatianku. Menurutku kau unik. Dan, ternyata
aku tak salah."
Sialnya, aku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama pada
seonbae cantik itu, karena ia terus memperlakukan aku dengan baik. Hatiku yang
rapuh pun tak bisa berpaling darinya. Ketika bersamanya, aku merasa tak ada
batasan di antara kami. Dinding kaca yang memisahkan kami sebagai senior dan
junior memudar ketika aku bersamanya.
Kim Myungsoo Seonbae adalah pacar Song Hyuri Seonbae. Yang
aku dengar mereka sudah menjalin hubungan sejak semester kedua di tahun pertama
mereka di SMA Hak Kun. Awet ya! Kim Myungsoo Seonbae sangat tampan. Banyak
junior yang mengidolakannya. Aku? Aku dulu tak suka padanya. Dia jarang
tersenyum. Terlebih pada junior. Sebut saja gayanya sok cool, sok keren. Tapi,
hatiku jadi luluh ketika melihatnya membantu salah satu teman seangkatanku yang
pingsan saat MOS. Setelah mengenalnya dari Song Hyuri Seonbae, baru aku tahu
jika Kim Myungsoo Seonbae lumayan bawel. Hehehe. Tak kenal maka tak sayang.
Hanya mereka seonbae yang aku suka. Lainnya biasa saja. Eum,
mungkin ada beberapa yang aku tidak suka. Tapi, ya kita semua adalah teman.
Maklumi dan terima sikap mereka. Karena, setiap manusia diciptakan berbeda.
Kalau semua manusia sama, dunia dan kehidupannya pasti sangat membosankan.
***
Luna
tiba di basecamp Klub Teater. Belum
ada siapa-siapa di sana. Ia pikir hanya orang Indonesia saja yang hobi ngaret
alias tidak tepat waktu. Ternyata, di negara maju seperti Korea Selatan pun
banyak orang yang hobi ngaret, tidak on
time.
Luna
berjalan memasuki basecamp,
menghampiri meja, dan duduk di salah satu bangku yang mengitari meja kotak itu.
Ia melihat jam di tangan kanannya. Pukul sembilan kurang lima menit. Sepertinya
dia datang terlalu cepat. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan mulai
mengotak-atiknya. Ada banyak pemberitahuan dari Instagram.
“Dih!
Mas Dinar apa-apaan sih?!” Gumam Luna sembari menatap layar ponselnya.
Dinari,
kakak keduanya yang seorang artis di Indonesia kembali berulah. Pemuda itu
memposting fotonya bersama Luna dan turut menyebut akun Instagram Luna. Jadilah
notifikasi Luna ikut menumpuk karena fans-fans kakaknya yang turut menyebut
akunnya dalam komentar.
“Ngapain
posting foto ini sih! Nggak lucu banget kan! Mana aku pas bangun tidur lagi!” Luna
menatap ponselnya dengan kesal.
Me and my lil sister. Cute ya! Muka bau iler semua. Hahaha. Tulis Dinar, kakak kedua Luna pada postingan terbarunya
yang berupa foto dirinya bersama Luna saat baru bangun tidur.
“Woojin
pasti udah liat ini! Seongwoo? Sungwoon? Jisung? Dan...”
“Annyeong!”
Jihoon memasuki basecamp. Membuat
Luna yang sedang asik menduga-duga tentang squad
barunya tertegun.
Luna
mengatupkan kedua mulutnya. “Annyeong.” Jawabnya dengan nada datar.
Jihoon
tersenyum manis. Berjalan mendekati Luna dan duduk di bangku kosong tepat di
samping kiri Luna. “Sudah kuduga, Seonbae pasti yang pertama datang.”
Luna
mengembangkan senyum di wajahnya. “Bagaimana hari-harimu? Menyenangkan?”
Jihoon
menganggukkan kepala.
“Mereka
tidak mengganggumu lagi?”
“Masih
mengawasi, tapi dengan jarak yang lumanyan jauh. Aku bisa bernapas lega. Terima
kasih, Seonbae.”
“Jangan
dibahas lagi. Dinding sekolah punya banyak telinga.”
Jihoon
kembali tersenyum, sambil menganggukkan kepala. “Ah, Seonbae.”
“Mm?”
Luna menatap Jihoon, memberinya perhatian penuh.
“Seonbae
terlihat cute dan cantik dalam
postingan itu.”
Mata
bulat Luna melebar. “Kau melihatnya?!”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk antusias.
“Ya!
Ngapain kamu kepoin akun masku?!”
Jihoon
melongo. Menatap Luna dengan ekspresi bingung. Ia tak paham karena Luna
berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.
“Kenapa
kamu melihat-lihat akun oppaku?” Luna kembali bicara dengan Bahasa Korea.
“Emang
nggak boleh? Aku juga penasaran pada Seonbae dan keluarga Seonbae.”
“Penasaran??
Ya! Park Jihoon! Kamu nggak usah ikut-ikutan kepo gitu. Anu, maksudku kamu
nggak usah penasaran sama aku dan oppa-oppaku. Nggak ada yang menarik. Beneran.
Apalagi oppaku yang kedua, postingan dia selalu gaje. Nggak jelas!”
Jihoon
tertawa. Baginya Luna yang berbicara dengan bahasa campuran—Bahasa Korea dan Bahasa
Indonesia—terlihat lucu.
“Ya!
Kenapa kamu malah tertawa?”
“Maaf.
Seonbae terlihat lucu dan menggemaskan saat berbicara dengan bahasa campuran
seperti tadi.”
“Lucu?
Emangnya aku badut ya? Kok lucu? Eh? Badut itu seram. Nggak lucu.” Luna
memiringkan kepala. Sedang Jihoon masih menatapnya dengan wajah yang dihiasi
senyum.
“Kalian
terlihat sangat dekat. Itu menyenangkan.” Ujar Jihoon.
“Bukannya
kamu juga punya kakak laki-laki ya?”
“Seonbae
tahu?”
“Tahu
lah. Kamu kan idola di sekolah kita. Kenapa kamu jadi idola di sekolah kita?
Bukan hanya karena tingkah cute-mu
saja. Tapi, karena kamu tampan, kaya, dan berprestasi. Harusnya kamu nggak
sekolah di sini. Kamu pernah jadi model anak-anak juga kan? Jadi cameo di beberapa drama juga. Kenapa
kamu nggak jadi idol aja?”
Jihoon
melongo menatap Luna. Sejauh yang ia tahu, Luna adalah sosok yang cuek pada
hal-hal seperti itu—berburu informasi tentang seseorang—karena terlalu asik
dengan dunianya sendiri. Tapi, ternyata gadis itu juga memiliki perhatian pada
hal yang mungkin saja tidak ia sukai—seperti mencari informasi tentangnya.
“Ekspresinya
biasa aja kali. Nggak usah gitu banget!”
“Seonbae!
Berhenti menggunakan Bahasa Indonesia. Aku nggak paham.” Protes Jihoon.
“Pantas
saja para seonbae itu menggila.”
“Nee?
Para seonbae itu menggila.”
“Caramu
berbicara seperti itu, pasti sangat cute
di mata mereka. Lalu mereka akan bersorak, aaa
neomu kiyowo! Bisa nggak sih nggak akting di depanku?”
“Ak-ku
nggak akting kok. Memang kayak gini cara bicaraku.”
“Jinjaro?”
Luna mengamati Jihoon. Ia yakin jika apa yang dilakukan Jihoon hanya akting.
“Annyeong!”
Seorang anggota Klub Teater memasuki basecamp.
“Ah! Kenapa Park Jihoon sudah ada di sini?” Keluhnya sembari berjalan mendekati
meja. “Padahal aku sudah berusaha dengan keras untuk sampai lebih awal.” Ia pun
duduk di samping kiri Jihoon. Mengatur napasnya yang terengah-engah.
“Lee
Daehwi, kamu habis lari?” Tanya Luna sembari memperhatikan pemuda yang duduk di
samping kiri Jihoon.
“Nee.”
Lee Daehwi membenarkan. “Aku berusaha secepatnya sampai di basecamp. Untuk berbicara dengan seonbae. Tapi, Park Jihoon sudah
ada di sini.”
“Minum
ini!” Luna memberikan sebotol air mineral pada Daehwi.
“Aku
bawa kok!” Tolak Daehwi yany kemudian mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya
dan segera meneguk isinya.
Luna
dan Jihoon menunggu. Keduanya kompak menatap Daehwi. Memperhatikan segala
tingkah pemuda itu.
“Pengen
ngobrol apa sama aku?” Tanya Luna setelah melihat Daehwi selesai dengan
aktifitasnya.
“Ini
masalah pribadiku. Aku nggak enak sama Jihoon, jadi lain kali saja. Aku
benar-benar ingin ngobrol berdua saja dengan seonbae.” Daehwi kemudian menatap
Jihoon yang meliriknya tajam. “Tolong jangan cemburu. Aku hanya butuh
konsultasi dengan seonbae. Dan, maaf itu nggak bisa aku lakukan di depanmu.”
“Memangnya
kenapa kalau ngobrol bertiga denganku?” Jihoon yang merasa terganggu dengan
sikap Daehwi pun menuntut penjelasan.
“Aku
nggak bisa. Malu.”
“Malu?
Malu sama aku yang sesama cowok, tapi nggak malu ke seonbae?”
“Bukan
begitu. Jihoon-aa, mohon pahami aku.”
Luna
tersenyum menatap Jihoon dan Daehwi yang sedang berdebat.
“Gimana
aku bisa paham kalau kamu nggak cerita?” Jihoon dibuat bingung dengan sikap
Daehwi yang datang-datang langsung berbicara tentang hal yang sama sekali tak
ia pahami.
“Yang
pasti aku nggak akan merebut Luna Seonbae darimu. Itu cukup, kan?” Daehwi
menegaskan. Membuat kedua mata sipit Jihoon melebar saat menatapnya.
“Sejak
pertama bertemu seonbae, aku merasa seonbae adalah sosok kakak yang baik.
Seonbae membantuku di saat aku benar-benar membutuhkan bantuan. Karenanya, aku
ingin ngobrol berdua saja dengan seonbae. Aku butuh pendapat dari seonbae. Aku
butuh solusi.” Daehwi mencoba memberi penjelasan lebih detail agar Jihoon—yang
mengaku sedang dalam masa pendekatan dengan Luna—tak cemburu.
“Kalau
begitu kita harus membuat janji.” Luna menyela. Daehwi dan Jihoon kompak
menatapnya. “Tapi, aku nggak janji bisa ngasih solusi seperti yang kamu
harapkan lho ya. Apa pun masalahmu. Tapi, aku bisa jadi pendengar yang baik.”
Daehwi
tersenyum lebar. “Kamsahamnida, Seonbae. Dari awal kita bertemu, aku tahu
seonbae adalah orang yang baik dan bisa diandalkan.”
“Dari
awal kita bertemu? Ish!” Jihoon mencibir.
“Tolong
jangan cemburu.” Daehwi merangkul Jihoon. “Jihoon-ie yang tampan dan baik, tolong
jangan cemburu ya... ya...”
“Berhenti
merayuku!” Jihoon menggerakan bahunya. Menjatuhkan tangan Daehwi yang
merangkulnya.
Lagi-lagi
Luna tersenyum melihat tingkah kedua juniornya. Anggota teater yang lain mulai
berdatangan. Anggota lama dan anggota baru Klub Teater berkumpul di basecamp dan memulai agenda pertemuan
mereka hari ini.
***
Daehwi
berjalan pelan sambil memegang perutnya. Wajahnya pucat. Ia meringis, menahan
rasa sakit yang menghujam perutnya. Tak tahan dengan siksaan itu, ia pun menghentikan
langkah dan berjongkok.
Luna
berjalan sendirian sambil membuka-buka buku yang ia bawa. Ia mengalihkan
perhatian setelah mendengar suara rintihan. Luna menghentikan langkahnya. Ia
melihat seorang siswa sedang berjongkok di pinggir jalan menuju lapangan basket
out door. Ia pun bergegas menghampiri
siswa itu.
“Kamu
baik-baik saja?” Tanya Luna setelah sampai di samping kanan Daehwi yang sedang
berjongkok sambil memegang perutnya. Terlihat jelas di wajah Daehwi jika pemuda
itu sedang kesakitan.
“Saya
terlambat mengikuti kegiatan di lapangan basket.” Jawab Daehwi sopan dan
menggunakan bahasa formal.
“Murid
baru ya? Kamu sakit?”
Daehwi
mengangguk. Masih meringis karena sakit di perutnya.
“Ayo,
aku antar ke ruang UKS. Nggak usah ikut kegiatan di lapangan.”
“Tapi,
Seonbae—“
Luna
membantu Daehwi berdiri dan berjalan memapahnya. “Takut di hukum ya?”
Daehwi
mengangguk.
“Kamu
kan beneran sakit. Kalau nanti para senior menghukummu, aku akan bantu.
Sekarang istirahat dulu dan pulihkan dirimu.”
Mendengarnya
Daehwi merasa tenang. Rasa hangat pun menjalari seluruh tubuhnya. Ia bungkam
dan membiarkan Luna memapahnya menuju ruang UKS.
Daehwi
dan Luna tiba di ruang UKS. Luna mendudukan Daehwi di salah satu ranjang di
ruang UKS. Seorang siswi muncul dan menyambut keduanya.
“Oh!
Luna? Kenapa dia?” Sambut siswi itu. Song Hami, nama itu tertera di tag nama
yang ia kenakan.
“Hami.
Kebetulan kamu di sini. Dia sakit.”
“Sakit
apa?”
Luna
menoleh pada Daehwi, mengamatinya sejenak. “Perut yang sakit sebelah
mana?"”
“Kiri.”
Jawab Daehwi.
“Perih
ya?”
“Iya.
Sakit sekali.”
“Tadi
nggak sarapan?”
Daehwi
menggeleng’
Luna
kembali menatap Hami. “Kasih aja obat buat lambung.”
“Sebentar.”
Hami segera menuju ke lemari tempat penyimpanan obat. Lalu, ia pun sibuk mencari
obat yang diminta Luna.
Luna
menghampiri Hami. “Obat yang fungsinya untuk menetralkan asam lambung. Ada
kah?”
“Ada
kok. Itu kan termasuk obat pokok yang harus ada di kotak obat.”
“Bagus.
Aku pergi sebentar ya.”
“Eh?
Mau ke mana?”
Luna
mengabaikan pertanyaan Hami dan berjalan keluar meninggalkan ruang UKS.
Sepuluh
menit kemudian Luna kembali ke ruang UKS. Hami menyambutnya.
“Dari
mana kamu?” Tanya Hami.
“Udah
dikasih obatnya?” Luna balik bertanya.
“Yang
ini bukan sih?” Hami menunjukkan obat di tangannya.
“Komposisi
dan indikasinya apa?” Lagi-lagi Luna balik bertanya.
Hami
pun membacakan fungsi dari obat yang ia bawa.
“Oke.
Itu nggak papa. Yuk, kasih ke dia.” Luna berjalan memimpin. Hami mengikuti di
belakangnya.
Daehwi
yang berbaring segera bangun ketika Luna dan Hami datang.
“Ini
air mineral dan roti. Minum obatnya dulu. Lalu makan rotinya. Kalau bisa, kunyah
obatnya biar cepat bereaksi.” Luna memberikan botol air mineral dan tiga
bungkus roti yang ia bawa pada Daehwi. Sedang Hami memberikan satu butir obat.
Daehwi
menerima obat itu, lalu memakannya seperti saran Luna. Lalu, buru-buru ia meneguk
air mineral pemberian Luna.
“Tunggu
lima belas menit. Baru makan rotinya ya.” Luna tersenyum manis.
“Kamsahamnida
Seonbaenim.” Daehwi menundukkan kepala di depan Luna.
“Kenapa
nggak sarapan?”
“Bangun
kesiangan. Jadi, tidak sempat sarapan.”
“Ada
riwayat sakit lambung? Maag?”
“Nggak
ada.”
“Kamu
tahu dari mana kalau dia sakit lambung?” Hami menyela.
“Perut
sebelah kiri kan lambung.”
“Oh
iya ya.”
“Perawat
jaga kapan datang?”
“Sebentar
lagi.”
“Semoga
lekas membaik...” Luna membaca tag nama yang dikenakan Daehwi, “Lee Daehwi.”
“Kamsahamnida,
Seonbaenim.” Daehwi tersenyum manis, usai membungkukkan badan.
Luna
membalas senyum. “Hami, jaga dia ya. Aku pergi dulu!” Luna menepuk lengan Hami,
lalu pergi meninggalkan Hami dan Daehwi.
“Istirahat
saja. Aku ada di ruang jaga. Kalau butuh sesuatu, panggil saja.” Ujar Hami.
“Iye,
Seonbaenim. Kamsahamnida.” Daehwi kembali membungkukkan badan sebagai tanda
terima kasih.
Hami
tersenyum dan meninggalkan Daehwi sendirian.
Kening
Jihoon berkerut. Ia menyimak cerita Daehwi tentang pertemuan pertamanya dengan
Luna. Usai pertemuan dengan anggota Klub Teater, Jihoon meminta waktu pada
Daehwi untuk bicara. Daehwi menuruti permintaan Jihoon. Keduanya duduk di salah
satu bangku taman sekolah. Di sana Jihoon meminta penjelasan Daehwi tentang
permintaannya pada Luna.
“Benar
hanya itu saja?” Jihoon memastikan.
Daehwi
mengangguk antusias. “Percaya padaku. Aku memang menyukai Luna Seobaenim, tapi
bukan rasa suka seperti yang kamu miliki. Aku suka dia seperti perasaan adik
pada kakak. Jadi, tolong jangan salah paham dan jangan cemburu.”
“Lalu,
kenapa aku nggak boleh tahu tentang apa yang mau kamu obrolin sama Seonbae?”
Jihoon menatap Daehwi penuh selidik.
“Itu
karena...” Daehwi diam sejenak. Jihoon diam dan menunggu. “Karena aku malu.”
Imbuh Daehwi lirih.
“Malu??”
Mata sipit Jihoon melebar. “Sama aku??”
Daehwi
mengangguk.
“Tapi,
nggak ke Seonbae??”
“Kan
tadi udah aku bilang, aku rasa Seonbae bisa kasih aku solusi. Sebenarnya malu
juga. Tapi, aku pikir itu jalan terbaik. Ngomong sama Seonbae.”
“Hah...”
Jihoon menghela napas. “Kenapa harus Seonbae?”
“Aku
juga malu kalau harus cerita ke Eommaku!”
Jihoon
tercenung. Menatap Daehwi dangan heran.
“Udah
ah!” Daehwi bangkit dari duduknya dan meraih tas ranselnya. “Aku mau pulang!”
Ia berjalan meninggalkan Jihoon.
Jihoon
menatap punggung Daehwi yang berjalan semakin menjauh. “Dia itu kenapa sih?”
Gumamnya lirih. Jihoon meraih tasnya, lalu bangkit dari duduknya dan menyusul
langkah Daehwi.
***
Luna
berjalan dengan langkah sedang—tidak cepat, juga tidak terlalu lambat. Usai
pertemuan dengan Klub Teater, ia langsung kembali pulang. Menolak ajakan makan
siang Jisung dan Jaehwan. Ia masih punya jadwal Sabtu malam nanti, karenanya ia
harus pulang untuk istirahat sejenak lalu bersiap untuk jadwal kegiatan
selanjutnya.
Seorang
pemuda melihat Luna yang berjalan dengan kepala tertunduk melintas. Ia
tersenyum, lalu mengikuti Luna. Berjalan agak jauh di belakang Luna.
Luna
melihat jam di tangan kananya. Ia mendesah pelan dan menggigit bibir bawahnya.
Bersamaan dengan itu langkahnya menjadi pelan, lalu berhenti.
Pemuda
yang berjalan mengikuti Luna turut berhenti. Ia memperhatikan Luna dari
belakang.
Luna
menghembuskan napas cepat. Mengepalkan tangan lalu kembali berjalan dengan
langkah penuh percaya diri. Ia berbelok ke arah kanan.
Pemuda
bertopi hitam itu segera mengikuti Luna. Walau masih menjaga jarak dari Luna.
Luna
menambah kecepatan langkahnya. Kedua tangannya memegang erat tali tas punggung
yang tergantung di kedua bahunya. Ia merapat ke sisi kiri jalan. Kepalanya
tertunduk semakin dalam.
Luna
menelan ludah. Kedua tangannya menggenggam tali tas punggung semakin erat.
Dengan hati-hati ia melirik ke arah kanan. Di sana berdiri sebuah rumah
berwarna merah maroon. Secepat kilat
ia mengamati rumah dengan pagar dengan warna senada itu. Lalu buru-buru ia
kembali menunduk.
Luna
tersentak kaget ketika mendengar suara gongongan anjing saat melintas di depan
gerbang rumah berwarna merah maroon
itu. Ia berusaha mengabaikan dan menahan diri untuk tidak menoleh ke arah
gerbang. Ia menundukkan kepala semakin dalam, tapi tak bisa menahan godaan
untuk tak melirik gerbang. Ia melihat gerbang itu sedikit terbuka. Kedua mata
bulatnya menangkap sekelebat sosok seekor anjing.
Luna
tak bisa menyembunyikan kepanikannya ketika kembali mendengar suara gonggongan
anjing. Ia tetap menundukkan kepala dan berusaha berjalan secepat mungkin.
Ketika ia mendengar gonggongan anjing untuk yang ketiga kalinya, Luna pun
menoleh. Kedua mata bulat Luna semakin melebar ketika menemukan anjing berbulu
coklat itu sudah berada di luar gerbang dan menatap ke arahnya.
Anjing
itu kembali menggonggong. Membuat Luna goyah. Tak kuasa membendung rasa
takutnya, Luna pun berjalan semakin cepat dan berlari. Anjing berbulu coklat
itu kembali menggonggong dan mengejar Luna.
“Jangan
lari! Yah!” Keluh pemuda yang mengikuti Luna. Ia pun turut berlari mengejar
Luna.
Mendegar
teriakan pemuda bertopi hitam, pria pemilik rumah berwarna merah maroon keluar gerbang. “Bogi!” Ia
memanggil anjingnya. Lalu, ia melihat pemuda bertopi hitam berlari. Di depan
pemuda itu anjing peliharaannya berlari mengejar seorang gadis yang berlari.
“Bogi! Bogi! Berhenti!” Pria itu berlari. Mengejar di belakang pemuda bertopi
hitam.
Luna
terus berlari sekencang yang ia bisa. Di belakanganya, anjing berbulu coklat
berlari mengejarnya. Di belakang anjing berbulu coklat, pemuda bertopi hitam
yang mengikuti Luna berlari mengejar. Di belakang pemuda itu, pria pemilik
rumah merah maroon turut berlari
mengejar.
“Bunda!
Ayah! Mas Aro! Mas Dinar! Tolong aku!” Luna berteriak sambil terus berlari. “Cue!
Siput! Onyet! Irog! Tolong aku! Huaaa!!!” Luna berlari sambil mengoceh dalam
Bahasa Indonesia memanggil nama keluarga dan gengnya yang berada di Indonesia.
“Guk!
Guk! Guk!” Anjing berbulu coklat terus menggonggong dan mengejar Luna.
“Tolong
berhenti! Jangan lari lagi!” Pemuda bertopi hitam berusaha memanggil Luna.
“Bogi!
Berhenti!” Pria pemilik rumah merah maroon
berlari sambil berteriak memanggil anjingnya.
Luna,
anjing berbulu coklat yang dipanggil Bogi, pemuda bertopi hitam, dan pria
pemilik rumah merah maroon saling
mengejar.
“Aw!”
Pekik Luna yang terjatuh. Kaki kirinya terasa ngilu. “Sialan! Kenapa pakek
kesleo gini sih!” Umpatnya di sela napas yang terngah-engah.
Luna
menggeser posisi tubuhnya, melihat anjing berbulu coklat itu berhenti jarak
beberapa langkah di depannya. Jantungnya berdetub kencang. Bukan hanya karena
efek lari, tapi karena ia ketakutan. Ia menelan ludah. Dalam hati terus
memanjatkan doa, sambil mengingat-ingat bagaimana cara menghadapi anjing yang
menggonggong pada manusia.
“Ya.
Jangan lihat matanya. Jangan lihat matanya!” Luna menurunkan pandangannya.
Menatap kaki-kaki anjing yang bergerak maju-mundur.
“Guk!
Guk!” Anjing berbulu coklat itu kembali menggonggong. Kaki-kakinya masih
bergerak maju-mundur. Membuat Luna yang menatapnya semakin gemetaran.
“Bogi-ya...”
Terdengar suara seorang pria. Luna mengangkat kepala, ia menemukan sesosok pria
bertopi hitam sedang berdiri membungkuk. Kedua tangannya memegang lutut.
Tubuhnya bergerak naik-turun, mengatur napas yang juga terengah-engah.
Pria
itu menegakkan badan. Luna mengamatinya. Ternyata sosok itu adalah seorang
pemuda yang kira-kira seumuran dengannya. Lalu, ia beralih pada anjing berbulu
coklat yang kini menoleh pada pemuda bertopi hitam itu. Anjing itu menggonggong
sekali. Lalu datang seorang pria dan berhenti tepat di samping kiri pemuda
bertopi hitam.
“Bogi-ya...
Kenapa kau kabur lagi?” Keluh pria itu sembari mengatur napasnya yang
terengah-engah.
“Bogi.
Ke sini.” Panggil pemuda bertopi hitam.
Anjing
berbulu coklat itu pun mendekat. Pemuda bertopi hitam segera jongkok dan
mengelus-elus anjing bernama Bogi itu. Luna bergidik ngeri melihatnya.
“Aku
rasa dia berhasil melepas talinya lagi.” Kata pria yang berdiri di samping kiri
pemuda bertopi hitam.
Luna
masih bertahan dalam posisinya—duduk di atas aspal—sambil menyaksikan adegan
ramah tamah antara pria berkaos lengan panjang warna biru tua, pemuda bertopi
hitam, dan anjing berbulu coklat bernama Bogi. Ia merasa bersyukur karena bisa
terbebas dari kejaran anjing bernama Bogi itu.
Luna
mendadak siaga, karena ketiga makhluk yang tadinya sedang saling beramah tamah
itu tiba-tiba berjalan ke arahnya. “Tolong jauhkan anjing itu dari saya!” Tolak
Luna membuat langkah ketiga makhluk itu berhenti. “Maaf. Saya takut pada
anjing.” Imbuhnya lirih.
“Agashi,
tidak apa-apa?” Tanya pria berkaos hitam.
“Nee.
Saya baik-baik saja.” Luna berusaha bangkit dari duduknya. Menyembunyikan rasa
sakit di pergelangan kaki kirinya. Setelah berdiri, ia pun tersenyum manis. “Saya
tahu harusnya saya tidak berlari, tapi saya terlalu takut. Maaf.” Luna membungkukkan
badan.
“Aa-aniya.
Saya lah yang harus meninta maaf.” Pria berkaos hitam merasa sungkan.
“Bogi
senang berinterksi dengan orang. Sepertinya ini hanya salah paham.” Ujar pemuda
bertopi hitam. Ia kemudian tersenyum pada Luna.
Salah paham katamu?! Umpat
Luna dalam hati.
“Bogi!
Ayo kita pulang!” Pria berkaos hitam membawa anjingnya. “Aku harus mengganti
tali pengikatmu. Ah, kenapa kau gemar sekali kabur?” Pria itu menggerutu sambil
berjalan pergi menuntun anjingnya.
Pemuda
bertopi hitam berjalan menghampiri Luna. “Seonbae baik-baik saja?” Tanyanya setelah
sampai di hadapan Luna.
“Seonbae??”
Pekik Luna. Wajahnya menunjukkan ekspresi tak paham.
“Mm.”
Pemuda itu mengangguk. “Aku adik kelas Seonbae di SMA Hak Kun.”
“Iya
kah? Maaf. Aku nggak tahu.” Luna merasa sungkan.
“Hah...
padahal Seonbae pernah menolongku.” Keluh pemuda itu.
“Iya
kah?? Eum, maaf. Aku benar-benar nggak ingat.”
“Nggak
papa kok.”
“Siapa
namamu? Anak kelas X apa?”
“Kang
Daniel. X-E.”
“Oh!
Kelasku dulu! Kamu murid asing?”
“Bukan.
Aku asli Korea.”
“Oh.
Aku pikir murid asing. Sama sepertiku. Maaf ya.”
“Nggak
papa. Banyak orang salah paham setelah aku mengganti namaku.”
Luna
menanggapinya dengan sebuah senyuman.
“Mari
aku antar pulang.”
“Kau
tahu rumahku?”
“Kita
kan satu komplek. Aku sering berjalan di belakang Seonbae, baik saat pulang
atau berangkat sekolah.”
Mata
bulat Luna melebar mendengar pengakuan Daniel.
“Aku
bukan penguntit. Hanya saja aku takut untuk menyapa Seonbae.”
Luna
terbengong sejenak, lalu tersenyum. Entah Daniel orang ke berapa yang
mengatakan takut untuk menyapa lebih dulu. Luna kembali berpikir apa dia
seangkuh itu?
“Seonbae?”
Suara Daniel membuyarkan lamunan Luna.
“Oh
iya.” Luna tersenyum lalu berjalan. “Aw!” Ia memekik karena rasa sakit di
pergelangan kaki kirinya.
“Aku
bantu!” Daniel memapah Luna yang berjalan pincang. Tapi, baru beberapa langkah,
Luna kembali memekik kesakitan.
Daniel
tiba-tiba membungkuk di depan Luna. Ia memunggungi Luna. Membuat gadis itu
menatapnya dengan bingung.
“Naik
ke punggungku.” Pinta Daniel.
“Mwo??”
Luna terkejut hingga mulutnya membulat ketika mendengarnya. “Aku bisa jalan
pelan-pelan. Ayo!” Luna kembali berjalan dengan pincang. Berusaha keras menahan
rasa sakit di pergelangan kaki kirinya.
***
Luna
terdiam. Membisu. Sejak ia naik ke punggung Daniel, ia tak tahu harus berkata
apa. Perjalanan mereka pun hening.
Luna
sudah berusaha untuk berjalan sendiri. Tapi, rasa sakit di pergelangan kaki
kirinya tak bisa ia lawan. Walau sudah mengutarakan berbagai alasan untuk
menolak bantuan Daniel—yang bersedia menggendongnya, pemuda itu tak mau
menyerah. Bahkan jika Luna tak mau naik ke punggungnya, Daniel mengancam akan
mengendongnya paksa ala bridal style.
Akhirnya Luna menyerah dan naik ke punggung Daniel.
“Sudah
kubilang aku ini berat.” Luna akhirnya berbicara. Memecah keheningan. “Karena
aku bukan orang Korea yang super kurus-kurus.”
Daniel
tersenyum mendengarnya. “Tadinya kupikir Seonbae takut ketahuan Park Jihoon.”
“Mwo??”
Daniel
tertawa mendengar reaksi Luna. “Dia nggak nganterin Seonbae pulang? Tadi Klub Teater
ngumpul di sekolah, kan?”
“Tradisi
calon pacar di Korea gitu ya?”
“Nggak
juga sih. Tumben tadi Seonbae lewat gang itu? Biasanya Seonbae berjalan ke arah
kiri.”
“Aku
buru-buru. Lewat gang sebelah kanan lebih cepat. Tapi, resikonya melewati rumah
berwarna merah maroon yang ada anjing
coklat yang gemar menggonggong pada pejalan kaki yang lewat. Sialnya hari ini
pintu pagar terbuka dan yah seperti yang kau lihat tadi. Eh? Kamu tahu aku suka
pilih jalan memutar?”
“Kan
tadi aku udah bilang. Aku sering jalan di belakang Seonbae saat berangkat atau
pulang sekolah. Bogi jinak kok.”
“Jinak
apanya?! Kenapa main kejar gitu?”
“Mungkin
dia penasaran pada Seonbae.”
“Ngeri
tahu!”
Daniel
kembali menertawakan Luna. “Kenapa takut pada anjing?”
“Dulu
waktu SD, temanku pernah digigit anjing. Sejak saat itu aku takut pada anjing.”
“Bagaimana
ceritanya sampai digigit anjing?”
“Ada
salah satu rumah yang memiliki banyak anjing di jalan yang kami lewati saat
pulang sekolah. Hari itu kami berlima pulang bersama, dan anjing-anjing itu
sedang di luar pagar. Karena takut, kami berlari. Tiga ekor anjing mengejar kami.
Satu anjing berhasil menyusul temanku dan menggigit tangannya. Dia sampai harus
dirawat di rumah sakit.”
“Pantas
saja Seonbae takut. Selanjutnya, kita berangkat dan pulang bersama saja. Kalau
lewat gang sebelah kiri kan lebih jauh. Aku jamin Seonbae akan aman dari Bogi
kalau kita sama-sama lewat gang sebelah kanan. Bagaimana?”
Luna
diam sejenak. Menimbang-nimbang tawaran Daniel.
“Aku
akan menjemput Seonbae. Di komplek ini hanya kita yang sekolah di SMA Hak Kun.
Hanya sampai di bus saja. Saat keluar dari bus, kita bisa pura-pura nggak saling
kenal. Seperti sebelumnya.”
“Kita
sering berada dalam bus yang sama?”
“Mm.”
Daniel mengangguk. “Seonbae selalu asik dengan diri sendiri. Pantas saja jika
tidak pernah menyadarinya.”
Luna
tersenyum mendengarnya. “Mian.”
“Jadi,
kita bisa berangkat dan pulang bersama?”
“Boleh.”
“Baik!
Hanya sampai di bus, selanjutnya kita akan berjalan seperti sebelumnya.”
“Kenapa
harus begitu?”
“Aku
takut pada Park Jihoon.”
“Ya
ampun! Kau ini ada-ada saja. Kenapa takut pada Park Jihoon?”
“Dia
itu monster berwajah imut kan?”
Daniel
dan Luna tertawa bersama.
Sepuluh
menit berjalan kaki, Daniel dan Luna tiba di rumah tempat Luna tinggal. Bibi
pemilik rumah terkejut melihat Luna datang digendong Daniel. Wanita itu
mengenal Daniel, ia yang panik langsung memberondong Daniel dengan banyak
pertanyaan.
Daniel
menggendong Luna hingga sampai di rooftop
tempat Luna tinggal. Bibi Jung mengekor di belakanganya. Luna turun dan duduk
di bangku yang berada di depan rooftop.
Daniel duduk di samping kanannya. Sedang Bibi Jung membuka pintu rooftop. Lalu keluar membawa air mineral
untuk Daniel dan Luna.
“Anjing
itu selalu membuat masalah. Bukan hanya kamu yang takut padanya. Sebenarnya sudah
banyak yang protes.” Bibi Jung berkomentar usai mendengar cerita Luna.
“Tapi,
Bogi baik padaku.” Sanggah Daniel.
“Ey!
Tidak semua orang berani pada anjing sepertimu. Aku juga takut pada
anjing." Bibi Jung lalu berdecak. “Bagaimanapun terima kasih sudah
membantu Luna.”
“Ibu
Kecil,” Luna memanggil Bibi Jung. Nama panggilan pemberian Luna yang sangat
disukai Bibi Jung. “Aku yakin Daniel pasti akan menderita sakit di seluruh
tubuh usai menggendongku. Tolong lakukan sesuatu untuknya.”
“Eung?
Ah! Tunggu sebentar. Aku punya minuman herbal yang bagus untuk kalian.”
Bibi
Jung bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuruni tangga, menuju
kediamannya.
“Terima
kasih. Maaf, aku menyusahkanmu.” Luna merasa sungkan.
“Anggap
saja kita impas.” Daniel tersenyum manis.
“Kapan
aku menolongmu?”
“Sama
sekali tidak ingat?”
“Belum
ingat.”
“Nanti
saja. Bukankah setelah ini kita akan sering bertemu? Jadi, tolong jangan
penasaran.”
Luna
berdecak. “Kamu tahu kan, penasaran itu nggak enak rasanya?”
Daniel
tertawa geli melihat Luna.
“Baiklah.
Aku akan mengingatnya.”
“Kalau
nggak ingat juga, bilang padaku. Ya?"”
“Oke.”
Daniel
dan Luna saling menatap dan kemudian sama-sama tersenyum.
***
0 comments