My 4D Seonbae - Episode #5 "Kekuatan untuk Bertahan, Ketenaran, dan Kekuasaan"
05:48 My
4D Seonbae - Episode #5 "Kekuatan untuk Bertahan, Ketenaran, dan
Kekuasaan"
Aku hanya murid biasa. Sejak di Taman Kanak-kanak begitu
adanya. Aku tidak pernah merasa kalau aku pintar, atau entah memiliki hal-hal
lainnya yang membuatku menonjol. Aku juga bukan orang yang pandai bergaul.
Tempatku menghabiskan waktu selain sekolah adalah rumah. Tidak ada yang lain.
Aku melakukan apa yang aku ingin lakukan. Tanpa paksaan dari
orang tuaku sedikitpun. Termasuk urusan sekolah dan belajar. Ayah dan Bunda
hanya memberi kami arahan, tapi selebihnya membebaskan kami untuk memilih dan
menjadi apa yang kami mau. Kebetulan dalam urusan akademis, aku lebih baik
dibanding kedua kakakku. Walau tak pernah mendapat peringkat pertama, aku
selalu masuk tiga besar selama masa pendidikanku di Sekolah Dasar. Nilaiku stabil
berada di peringkat kedua.
Belajar adalah kewajiban yang harus aku lakukan. Ketika tahu
Ayah dipindahkan ke Korea, hal pertama yang terpikir olehku adalah aku harus
belajar lebih keras. Karena, aku akan ikut bersama Ayah dan sekolah di luar
negeri. Aku tidak menginginkan apa pun kecuali kekuatan untuk bertahan hidup di
negeri yang sangat asing bagiku.
Tapi, Tuhan memberiku tidak hanya sebuah kekuatan untuk
bertahan. Ia juga memberiku sebuah keajaiban hingga aku menjadi tenar dan
memiliki kekuasaan. Walau aku tak ingin mengakuinya, tapi aku hanya manusia
biasa yang masih memiliki rasa sombong. Sombong di depan sendiri tak apa kan?
Bolehkah aku menggunakan kekuatan, ketenaran, dan kekuasaanku? Oh, Tuhan. Tolong
jangan jadikan aku sebagai manusia yang serakah.
***
Sekolah
berjalan seperti biasa di hari Senin ini. Murid-murid mengikuti pelajaran
dengan tenang di kelas masing-masing. Pemandangan berbeda terlihat di kelas
XI-E. Bangku Luna kosong. Luna tidak masuk sekolah. Hal tak biasa yang pertama
kali terjadi sejak Luna bersekolah di SMA Hak Kun. Pertama kalinya gadis asal
Indonesia itu absen dan membuat heboh murid-murid saat jam istirahat tiba.
Berita absennya Luna mendadak menyebar ke seluruh sekolah. Bersamaan dengan
itu, muncul sebuah nama murid laki-laki yang menjadi bumbu penyedap dalam
berita absennya Luna.
“Lai
Guanlin?” Jisung memiringkan kepala. “Murid asing juga ya?”
“Edward
Lai atau Lai Guanlin. Dia murid asing. Negara asalnya adalah Taipei, Taiwan.” Sahut
Woojin. “Dia teman Luna di Klub Orang Rantau.”
“Klub
Orang Rantau?” Sungwoon menyela.
“Iya.
Klub yang didirikan oppanya Luna. Yang artis itu. Sudah dua tahun berjalan.
Mereka selalu mengadakan pertemuan rutin. Anggotanya, kaum muda asing yang tinggal
di Korea.”
“Woojin-aa,
kamu tahu banyak tentang Luna.” Seongwoo menggeleng kagum.
“Aku
stalker semua akun sosial media Luna
yang aku tahu. Hehehe.” Woojin tersenyum lebar. Hingga gigi gingsulnya
terlihat.
“Wah.
Niat banget!” Seongwoo kembali menggelengkan kepala.
“Aku
penasaran sama Luna. Tapi, takut mau memulai pertemanan. Seneng banget pas tahu
dia masuk kelas XI-E. Makin senang pas Kim Songsaengnim membentuk kelompok
belajar dan aku satu kelompok sama Luna.”
“Pernah
nggak sih kalian mikir kalau Luna ada di kelas XI-E itu seperti sebuah
kesalahan?” Ujar Sungwoon tiba-tiba. Membuat Jisung, Woojin, dan Seongwoo
kompak menatapnya.
“Sebuah
kesalahan? Gimana maksudnya itu?” Tanya Seongwoo.
“Dia
itu pintar dan menonjol. Aku rasa dia lebih pantas di kelas XI-G atau di kelas
XI-B. Kelas anak jenius dan kelas artis.” Sungwoon menjelaskan maksud
perkataannya. “Bukan di kelas XI-E yang isinya anak-anak biasa semua. Nggak ada
yang menonjol.”
“Kelas
XI kan diacak lagi. Walau kebetulan kelas XI-G didominasi anak-anak pintar
kayak kelas X dulu. Dan, kelas XI-B di dominasi bintang-bintang sekolah.”
Jisung berkomentar.
“Mungkin
guru-guru sengaja menaruh Luna di kelas XI-E agar dia terlihat lebih bersinar?”
Seongwoo menebak.
“Ya,
harus kah kita menemui Lai Guanlin?” Woojin menyela dengan sebuah pertanyaan
yang melencong dari bahasan Sungwoon. Ia pun segera mendapat perhatian ketiga
rekannya.
“Untuk
apa?” Tanya Seongwoo.
“Tanya
alamat tempat tinggal Luna. Sebagai teman, kita harus menjenguk dia, kan? Surat
ijin Luna surat ijin dari dokter lho. Jadi, dia sakit.”
“Luna
bilang dia baik-baik saja. Kita nggak perlu khawatir. Aku udah menghubungi
dia.” Jawab Jisung. “Dia hanya butuh istirahat.”
“Tapi,
menjenguk Luna bukan ide buruk.” Sungwoon menyetujui usul Woojin.
“Kita
tanya Lai Guanlin dan pergi diam-diam? Tanpa memberi tahu Luna.” Seongwoo pun
setuju dengan usul Woojin.
Jisung
menatap ketiga rekannya, lalu mendesah. “Baiklah. Selesaikan makan siang
kalian, lalu kita temui Lai Guanlin.”
“Oke!”
Sungwoon bersemangat. Begitu juga Seongwoo dan Woojin.
Usai
makan siang, Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin segera pergi mencari Lai
Guanlin. Menurut informasi yang dikantongi Woojin, Lai Guanlin adalah murid
kelas X-F. Mereka berempat pun segera menuju kelas X-F.
Para
junior menunduk sopan, memberi salam ketika Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan
Woojin menyusuri koridor kelas X. Mereka pun sampai di kelas X-F. Mereka masuk
dari pintu belakang. Mengejutkan seorang siswi yang sedang duduk sendirian di
bangku paling belakang dekat jendela.
“Oh!
Maaf!” Ujar Jisung ketika menyadari keberadaan siswi itu. Siswi itu pun berdiri
dan membungkuk memberi salam.
“Semua
sedang keluar?” Tanya Jisung.
“Iye.”
Jawab siswi itu. “Ada yang bisa saya bantu, Seonbaenim?”
Jisung
berjalan mendekati siswi itu. Mengamati gadis dengan ciri fisik yang jelas
bukan orang Korea. Jisung membaca tag nama di seragam siswi itu. “Lin-da?
Linda? Kamu murid asing ya?”
“Iye.”
“Wah!
Dari mana?”
“Indonesia.”
Mata
sipit Jisung melebar mendengar kata Indonesia. “Indonesia? Sama dengan Luna?
Kenal Luna?”
“Tahu.
Tapi, belum kenal.”
“Ya!”
Jisung menoleh pada ketiga rekannya yang bertahan berdiri di dekat pintu. “Dia
dari Indonesia juga. Duduknya paling belakang dekat jendela juga. Sama kayak
Luna. Apa orang Indonesia suka duduk di belakang dan dekat jendela ya?”
Woojin
berjalan mendekat. “Lai Guanlin, kira-kira dia di mana ya?” Ia langsung
bertanya ketika sampai di dekat Jisung.
Gadis
bernama Linda itu menatap Woojin sejenak. “Park Jihoon membawanya pergi.”
Ujarnya lirih.
“Park
Jihoon?” Jisung terkejut mendengar nama itu.
“Anak
itu...” Woojin berkacak pinggang. Terlihat kekecewaan di raut wajahnya.
Linda
diam. Memperhatikan kedua kakak seniornya yang kini sama-sama terlihat kecewa.
“Kau
tahu kira-kira Lai Guanlin dibawa ke mana?” Tanya Jisung kembali fokus pada
Linda.
Linda
menggeleng pelan sambil berkata, “Maaf. Saya tidak tahu.”
“Jelas
dia nggak tahu dan nggak mau tahu. Apalagi kalau urusannya dengan Park Jihoon.”
Sahut Woojin. “Kita cari di tempat lain.” Woojin membalikan badan, berjalan
menuju pintu tempat Sungwoon dan Seongwoo menunggu.
“Terima
kasih ya, Linda. Senang bertemu denganmu.” Jisung tersenyum manis, lalu
berjalan menyusul Woojin.
Linda
hanya bisa menganggukkan kepala menanggapi ucapan terima kasih Jisung.
Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin sudah mencari Lai Guanlin ke tempat-tempat yang
mungkin saja jadi tempat tongkrongan murid asing itu di saat istirahat. Tapi,
mereka tak menemukan sosok yang mereka cari. Bahkan, Woojin sampai mengambil
foto pemuda itu dari akun Instagram Luna untuk mempermudah pencarian. Tapi,
hasilnya tetap nihil. Mereka pun kembali ke kelas karena jam istirahat telah
habis.
***
Luna
mengamati kaki kirinya. Bengkaknya sudah berkurang. Ia menghela napas dan
meraih ponselnya. Luna terkejut. Ada sebuah pemberitahuan jika ia ditambahkan ke
dalam sebuah grup chatting.
“Moon Kingdom?” Luna
membaca nama grup chatting itu.
Kemudian ia memeriksa siapa saja anggota dalam grup itu.
“Ha
Sungwoon? Ong Seongwoo? Yoo Jisung? Park Woojin?” Luna membaca nama-nama
anggota grup. “Mereka ini! Siapa yang buat nama grupnya? Norak banget!”
Luna
membaca chat dalam grup Moon Kingdom.
Jisung yang memulai obrolan usai grup itu dibuat. Woojin muncul sesudahnya.
Lalu, Seongwoo dan terakhir Sungwoon. Setelah percakapan saling sapa dan
mengucapkan selamat datang, selanjutnya keempat pria itu memanggil Luna,
mengucapkan selamat datang, menanyakan kabar, dan bercerita tentang usul Woojin
untuk menjenguk hingga usaha mereka mencari Lai Guanlin. Usai membaca semua
pesan dalam grup, Luna paham jika Jisunglah yang membuat grup chatting itu.
“Mereka
ini gila apa edan? Sampai nyariin Guanlin?” Luna berbicara pada ponselnya. Ia
lalu mengetik sebuah pesan dengan cepat.
Nama grupnya norak tahu! Kayak Super Mario Odyssey aja! Nggak ada yang
lain apa? Dan, ngapain sampai segitunya nyari Guanlin? Emang dia buronan? Oya,
nggak usah jenguk. Aku baik aja kok. Awas kalau jenguk! Aku bubarin kelompok
kita!
Luna
tersenyum usai mengirim pesannya.
Jisung: Aku yang buat dan kasih
nama grupnya. Nggak suka? Kamu kan putri bulan :-D
Luna
mengirim emotion muntah.
Woojin: Luna bukan putri bulan,
tapi dia si Kucing Hitam Ajaib. Iya kan? ;-)
Luna
kembali mengirimkan emotion muntah.
Seongwoo: Semoga lekas membaik,
Luna. Segera kembali ke sekolah ya :)
Sungwoon: Get well soon, Luna.
We miss you <3 span="">3>
Jisung: Kami nggak berhasil nemuin Lai Guanlin
karena keduluan Park Jihoon. Lai Guanlin diculik Park Jihoon dan menghilang
entah ke mana.
Luna
tercenung menatap ponselnya. “Park Jihoon nyulik Guanlin??” Gumamnya.
Luna
mengerjapkan kedua matanya, bergegas meninggalkan grup chat Moon Kingdom, dan mencari kontak
Guanlin. Setelah menemukan nama Edward Lai, ia pun segera mengetik pesan.
Tak
lama kemudian, ponsel Luna bergetar. Nama Edward Lai muncul untuk sebuah
panggilan video. Luna segera menerimanya. Wajah Guanlin muncul, memenuhi layar
ponsel Luna.
“Are you OK?” Tanya
Luna.
Guanlin
mengatakan OK dengan gerakan tangan. “Seperti yang kamu lihat.”
“Bego!
Kenapa malah video call?? Kamu lagi
di mana?”
“Toilet.”
“Jorok!”
“Habis
baca pesan kamu langsung ijin ke toilet. Kita mau ke lab tadi.”
“Ya
udah sana!”
“Park
Jihoon cuman nanya alamat kamu.”
“Trus,
kamu kasih?”
“Iya.
Dia keliatan khawatir banget. Aku nggak tega.”
“Kampret!
Napa kamu kasih?”
“Ssh!
Udahan ya. Ada yang masuk.”
Guanlin
mengakhiri panggilan video. Luna mendesah kesal. Lalu, segera memeriksa
pesan-pesan masuk. Ada satu pesan dari Jihoon untuknya.
Park Jihoon: Nanti aku mampir.
Tolong jangan ditolak.
Sabtu
malam harusnya Luna menghadiri pertemuan rutin Klub Anak Rantau. Klub yang di
dirikan oleh Dinar—kakak keduanya—dua tahun yang lalu. Anggota klub semakin
banyak, dan walau sudah kembali ke Indonesia, Dinar tetap memantau dan
mendukung aktifitas klub. Tapi sial saat perjalanan pulang usai menghadiri
pertemuan Klub Teater di sekolah, Luna dikejar anjing hingga jatuh dan kaki
kirinya terkilir.
Luna
membuat alasan sibuk dengan kegiatan sekolah pada sang kakak, hingga tak bisa
hadir pada pertemuan rutin klub kali ini. Ia tak mau keluarganya di Indonesia
khawatir karena insiden kecil yang ia alami itu. Ia pun tak membagi cerita
sialnya itu di grup Pretty Soldier.
Ia khawatir salah satu temannya memberi tahu keluarganya di Indonesia. Luna pun
tak lupa meminta Bibi Jung yang mengantarnya ke dokter dan juga merawatnya
untuk tutup mulut. Ia tak mau karena insiden kecil itu, bundanya yang kadang
sedikit lebay itu jadi khawatir. Karena, tidak menutup kemungkinan bundanya
akan langsung terbang ke Korea jika mendengar tentang insiden yang ia alami.
Dokter
mengatakan kaki Luna tidak apa-apa. Hanya terkilir dan akan segera pulih.
Dokter pun memberi Luna surat istirahat selama dua hari. Bingung tak tahu harus
menitipkan surat pada siapa, Luna pun menelpon Edward Lai, teman yang ia kenal
dari Klub Anak Rantau setahun yang lalu.
Keesokan
harinya Edward Lai (Lai Guanlin) datang menjenguk Luna bersama Amber Liu. Gadis
tomboy yang lebih dulu menjadi teman Luna. Ketiganya menjadi akrab karena
menjadi trio anggota termuda dalam Klub Anak Rantau. Sayangnya Amber bersekolah
di sekolah lain.
“Aku
kan sering bilang, jangan lari kalau takut sama anjing. Malah dikejar, kan?” Amber
menggeleng mengamati kaki kiri Luna yang bengkak.
“Keburu
panik. Takut. Lari lah aku.” Luna membela diri.
“Ini
nggak papa aku yang kasih suratnya?” Guanlin menyela.
“Emang
kenapa?” Luna balik bertanya.
“Kamu
kan tenar di sekolah. Nanti aku pasti kena dampaknya. Karena bawain surat ijin
kamu ini.”
“Tenar??
Nggak ah! Aku biasa aja!”
“Kamu
terlalu cuek sih. Padahal kamu beneran tenar lho! Banyak anak kelas X yang
ngefans sama kamu. Cowok sama cewek banyak yang ngefans sama kamu.”
“Jangan
bikin aku besar kepala!”
“Itu
fakta lho!”
“Nggak
papa kalau kamu ketahuan dekat sama Luna. Dekat sama orang tenar bisa bikin
kamu disegani juga. Orang tenar pasti punya kekuasaan.” Amber menyela.
“Aku
nggak merasa tenar di sekolah. Udahan jangan dibahas. Trus, kalau bukan kamu yang
aku mintai tolong, siapa?”
“Daniel?
Dia tinggal di sini juga kan? Dan, kamu bilang dia yang nolongin kamu.” Jawab
Guanlin.
“Jangan!
Dia nggak mau di sekolah tahu soal ini. Tentang dia nolongin aku dan kami
tinggal di komplek yang sama.”
“Kok??”
Amber bingung. “Biasanya orang seneng ngaku dekat sama orang tenar, nah Daniel
kenapa nggak mau go public?”
“Entahlah!”
Luna mengangkat kedua bahunya.
“Gimana
kalau Park Jihoon? Pasti makin seru kalau dia yang bawa surat ijin kamu.”
Luna
menatap sinis pada Guanlin. “Kalau kamu nggak mau, aku minta tolong Ibu Kecil
aja. Biar ke sekolah antar surat ijinku!”
“Hahaha.
Luna ngambek!” Guanlin terbahak. “Jangan ngambek. Aku bercanda. Lagian bukannya
emang bagus kalau Park Jihoon yang lagi PDKT sama kamu yang bawain surat ijin
ke sekolah?”
“Kalau
mau ngarang cerita fiksi remaja ditulis aja ya. Nggak perlu temen yang disuruh
jadi wayang praktekin ide gilanya.”
Guanlin
dan Amber kompak tertawa mendengar Luna mengoceh menggunakan bahasa campuran—bahasa
Inggris dan Indonesia.
“Nanti
kalau Guanlin kena imbasnya gimana? Kasihan kan dia masih lugu kayak gini.” Gantian
Amber menggoda Guanlin.
“Emang
aku nggak lugu?” Protes Luna.
“Kamu
kebanyakan trik tahu!”
“Nggak
papa lah. Aku nggak takut ketahuan kalau aku teman Luna.” Jawab Guanlin. “Lagian
foto kita pernah di posting di IG Luna. Kita bertiga sama pendiri Klub Anak
Rantau, Dinar.”
“Gimana
kalau sekarang kita juga selca? Buat klarifikasi kalau Guanlin kena masalah.
Pos di IG kamu ntar.” Usul Amber.
“Ngawur!
Emang aku apaan. Sampai segitunya mikir Guanlin bakal celaka. Lagian aku nggak
kasih tahu keluarga di Indo soal insiden ini. Bahaya. Ntar bisa-bisa Bunda
langsung terbang ke sini. Geng Pretty
Soldier juga nggak ada yang tahu. Jadi, tolong rahasiain dari member klub
juga ya.”
“Kalau
ntar berita Guanlin bawa surat ijin kamu jadi viral gimana?” Amber ngotot.
“Halu
banget sih ini anak!” Luna mengejek Amber dengan menyingkat kata halusinasi
menjadi halu. Belakangan kata itu tren di Indonesia untuk menyebut atau
mengolok orang yang gemar berkhayal tentang hidupnya yang jauh dari kenyataan.
“Hahaha.
Ngomong apa kamu? Jangan pakek bahasa Indonesia dong! Oke. Oke. Kita bakal
rahasaiin ini. Ya, kan?” Amber melirik Guanlin.
“Yap!”
Guanlin membenarkan.
“Makasih
ya.” Luna tersenyum manis.
“Hah...
aku harus siap-siap. Sepertinya besok aku akan menjadi tenar hanya karena
sepucuk surat ijin ini.”
Luna
tersenyum mengingat kejadian kemarin saat Guanlin dan Amber menjenguknya.
“Guanlin
benar-benar diburu. Hahaha. Masa iya sih aku setenar itu di sekolah?”
Luna
terdiam. Menatap ponselnya, kembali membaca pesan dari Jihoon, lalu kembali
mendesah. “Baiklah! Selamat datang di gubukku, Park Jihoon!”
***
Seperti
yang ia tulis dalam pesan, Jihoon datang menjenguk Luna. Luna pun tak menolak.
Ia menyambut Jihoon dengan senyum ramahnya seperti tempo hari. Ia juga menyajikan
minuman serta cemilan untuk Jihoon.
“Itu
cemilan khas Indonesia lho!” Luna berjalan dengan langkah pincang, lalu duduk
menemani Jihoon. “Yang itu rasanya pedas, itu manis, dan itu asin gurih.
Silahkan dinikmati.” Luna menunjuk cemilan dalam toples yang tertata rapi di
atas meja.
Jihoon
mencicipi cemilan yang menurut Luna memiliki rasa pedas. “Hm! Ini pedes
banget!” Jihoon buru-buru meneguk minuman dalam botol yang disajikan Luna.
“Nggak
suka pedas? Tapi, emang pedasnya Indonesia sama Korea beda sih.”
“Iya
beda.” Jihoon berusaha mengusir rasa pedas di mulutnya. Setelah rasa pedas itu
mereda, Jihoon mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ini bagus untuk kesehatan.
Saat dalam perjalanan ke sini, aku berpikir harus membawa apa untuk Seonbae.
Karena, Seonbae sudah ke dokter, aku pikir lebih baik membawa vitamin saja.” Ia
memberikan vitamin yang ia beli pada Luna.
“Terima
kasih.” Luna menerima vitamin pemberian Jihoon.
Jihoon
tersenyum melihatnya. “Bagaimana ceritanya sampai cidera begini?”
“Jatuh
karena dikejar anjing. Saat pulang dari sekolah hari Sabtu siang kemarin lusa.
Terkilir sampai bengkak. Ibu Kecil khawatir dan membawaku ke dokter. Lalu, aku
dikasih surat istirahat itu.”
“Takut
anjing?”
Luna
menganggukkan kepala.
“Ibu
Kecil siapa?”
“Ajumma
pemilik rumah dan rooftop ini. Beliau
minta dipanggil dengan panggilan ala Indonesia. Aku panggil saja Ibu Kecil. Beliau
lebih muda dari ibuku.”
“Oh.”
Jihoon mengangguk. “Panggilan kesayangan?”
“Seperti
itulah. Jihoon-aa, harusnya aktingnya nggak perlu sejauh ini.”
Jihoon
tercenung sejenak menatap Luna. Lalu, ia tersenyum. “Kalau jadi aktor, harus
total kan dalam memainkan peran.”
“Trus,
kamu mau aku bikin pengumuman kalau kamu jenguk aku? Oh... calon pacar yang
tampan dan perhatian. Mereka pasti akan heboh seperti itu. Dan, sekeras apa pun
berusaha, nggak akan dapat restu dari fansmu. Ya, kan?”
Lagi-lagi
Jihoon tersenyum. “Aku nggak perlu restu dari mereka. Ini hidupku. Lagi pula
tanpa membuat pengumuman, di sekolah pasti sudah heboh. Tunggu saja, sebentar
lagi pasti ramai di komunitas sekolah. Berita Seonbae absen hari ini dan surat
ijin yang dibawa Lai Guanlin sudah ramai dibicarakan.”
“Karena
itu Gualin jadi trending topic? Dan,
kamu tiba-tiba menculik dia. Wah, skenario yang sempurna.”
“Aku
butuh alamat Seonbae. Jadi, aku menemuinya.”
“Kita
pantas mendapat penghargaan untuk ini semua.”
Jihoon
tersenyum dan mengangguk.
Terdengar
suara ketukan di pintu. Luna dan Jihoon saling melempar pandangan.
“Aku
sudah melarang mereka datang. Masa iya mereka datang?” Gumam Luna.
“Siapa?”
Tanya Jihoon.
“Yoon
Jisung, Ha Sungwoon, Ong Seongwoo, dan Park Woojin mungkin. Tadi mereka juga
mencari Guanlin. Lalu, heboh dalam grup chat yang baru saja dibuat Jisung hari
ini. Tahu apa nama grupnya? Moon Kingdom.
Konyol kan?” Luna mengoceh, menceritakan tentang 'squad barunya' di kelas XI-E.
“Aku
saja yang buka pintunya.” Jihoon bangkit dari duduknya dan berjalan menuju
pintu.
“Padahal
sudah kubilang tak usah menjenguk.” Gumam Luna sembari menatap punggung Jihoon.
Jihoon
sampai di depan pintu dan membukanya. Ia terkejut. Bukan keempat teman Luna
yang berdiri di depan pintu.
Luna
yang masih memperhatikan, menatap gelagat reaksi Jihoon. “Apa benar itu
mereka?” Tanyanya.
“Eung,
bukan.” Jawab Jihoon masih menatap sosok yang berdiri di luar sana dan tak
terlihat oleh Luna.
“Bukan?
Lalu siapa?”
“Ini
aku, Seonbae.” Jawab seorang pria di luar sana.
Luna
tak asing dengan suara itu. “Daniel??”
Jihoon
menatap Daniel yang masih berdiri di depan pintu, di luar rooftop. Daniel membalas tatapan Jihoon, lalu tersenyum.
***
0 comments