Fan Fiction FF
The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)
04:21
The
Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love,
Music and Dreams’
다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum
iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’
. Author:
shytUrtle
. Rate:
Serial/Straight
.
Cast
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
- Fujiwara Ayumu (藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (김재중)
2. Oh Wonbin (오원빈)
3. Lee Jaejin (이재진)
4. Kang Minhyuk (강민혁)
- Song Hyuri (송휴리)
- Kim Myungsoo (김명수)
- Jang Hanbyul (장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1
New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
Cinta,
musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat
dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik
memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik
menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang
dan hidup…
Episode
#14
Ai
berdiri di tengah-tengah di dalam basecamp yang luas dan kosong hari ini. ia
menghela napas panjang dan menundukan kepala. Tragedi pembakaran calon gudang
bunga, pernikahan Junki, Yongbae yang koma dan kini ditambah kemungkinan YOWL
akan debut di Jeonggu Dong. Ai benar terlihat lesu.
Wooyoung
tiba bersama anak buah Yongbae. Ai membalikan badan dan menguntai seutas senyum
tulus di wajah lelahnya. Wooyoung turut tersenyum dan berjalan mendekat diikuti
yang lain. Mereka kemudian duduk mengitari meja kotak dimana Ai biasa menggelar
diskusi bersama. Ai serius mengungkapkan rencananya, sedang Wooyoung dan anak
buah Yongbae fokus menyimak.
Satu
jam kemudian mereka bersiap pergi. Mereka bertujuh, Ai, Wooyoung dan lima anak
buah Yongbae. Dengan mengendarai empat motor, Ai berada dalam boncengan
Wooyoung. Mereka menuju markas musuh.
-------
TOP
buru-buru memasuki basecamp dengan wajah panik. Ia berteriak memanggil nama Ai
namun tak ada jawaban. Basecamp sepi tak berpenghuni. Mendengar teriakan TOP
salah seorang anak buah Yongbae keluar. Ia ditugaskan untuk menjaga basecamp.
TOP segera mendekati pemuda itu.
“Dimana
dia, dia dimana, ha?!!” Bentak TOP.
“Hyung-nim…”
“Nona
dimana dia?!!”
“Hyung-nim,
tenanglah.” Pemuda ini sedikit takut melihat TOP seperti ini.
“Tenanglah?
Kau sadar mengatakan itu, ha?! Nona menyerang balik ke markas musuh??
Katakan!!!”
“Nona
meminta kita tetap tenang dan menunggu.”
“Tenang?
Menunggu? Berapa orang yang menemani Nona?”
“Mereka
bertujuh.”
“Bertujuh??
Dia benar ingin bunuh diri?? Aku akan membawa anak buahku menyusul.”
“Jangan,
Hyung!” Tahan pemuda itu. Nona meminta kita menunggu. Bahkan Minki Hyung tak
turut pergi mendampingi Nona.”
“Lee
Minki?? Dia juga tak pergi??”
“Iya,
Hyung. Aku rasa ini sudah benar-benar diperhitungkan.”
“Hah!”
TOP berkacak pinggang. “Apa yang dilakukannya hanya dengan enam anak buah yang
mengawalnya?” Gumamnya masih khawatir.
“Percayalah
padanya Hyung. Em?”
TOP
masih berkacak pinggang menatap pemuda ini kemudian kembali menghembuskan napas
panjang.
Minki
selesai membuat buket bunga lili putih. Gerak tangannya terhenti dan ia duduk
termenung. Minki mengkhawatirkan Ai dan kembali menghela napas panjang.
Kemudian ia kembali mengoreksi buket bunga di tangannya.
***
Ai
berada dalam sebuah ruangan dan duduk berhadapan dengan Kim Yeongcheol. Di
belakang Ai berdiri Wooyoung dan di belakang pria itu berdiri Kim Hyunsik. Kim
Yeongcheol kembali memperhatikan Ai.
“Jadi
ini gadis kecil itu? Fujiwara Ayumu yang selalu membuat kekacauan dimana-mana
dan berusaha mengacaukan bisnis kami?” Kim Yeongcheol mulai bicara. Sebenarnya
tak tampak wajah bengis sedikit pun di wajah pria paruh baya ini, tapi dialah kepala
dari kubu musuh, pimpinan tertinggi kubu musuh.
Ai
masih tenang dalam duduknya dan melirik Hyunsik. Hyunsik segera mengalihkan
pandangannya menatap langit-langit ruangan itu. Ai kembali menatap Yeongcheol.
“Bagaimana jika semua itu hanya salah paham? Seberapa banyak yang Anda dengar
tentang saya? Apakah sumbernya… Kim Hyunsik ini?” Ai kembali melirik Hyunsik
yang segera menatap tajam padanya.
“Apa
maksudmu datang kemari dan meminta bertemu denganku? Itu adalah peringatan!”
“Kebakaran
itu saya terima sebagai musibah. Terima kasih.” Ai tersenyum. “Apa Anda
mengenal ini?” Ai meletakan plat nomor di meja. Yeongcheol dan Hyunsik
sama-sama terkejut melihatnya. “Tidak asing? Ini adalah plat nomor dari motor
yang menabrak Yongbae. Tersangkut pada Yongbae.” Wajah Yeongcheol mendadak
pucat. “Dong Yongbae mengalami luka parah dan dinyatakan koma. Ada banyak saksi
dan plat nomer itu, saksi bisu. Kalau tidak salah plat nomor ini ada pada
motor…”
“Cukup!”
Potong Hyunsik dengan mimik panik dan nafas tak beraturan. Yeongcheol
menatapnya heran.
“Ada
apa sebenarnya?” Tanya Yeongcheol bingung.
Hyunsik
menatap geram pada Ai. Ai tersenyum mencibir. “Walau tidak tahu bagaimana
secara pasti kronologi kejadian, tapi yang saya tahu, pemilik plat nomor ini
telah menabrak Yongbae hingga ia koma kini. Bagaimana jika kasus ini dilaporkan
pada polisi? Saksi-saksi sudah siap dan…”
“Cukup!
Cukup! Fujiwara!” Hyunsik benar geram.
“Jadi,
kau mengancamku?” Yeongceol pun menunjukan ekspresi yang sama.
“Tenanglah
Tuan Kim.”
“Lalu
apa tujuanmu dan…” Ai menyambar plat nomor di atas meja sebelum Yeongcheol
mengambilnya. Yeongcheol menghela napas kesal. “Apa maumu? Ganti rugi?”
“Tuan
Kim takut aku benar melapor?”
“Kau!!!
Hah! Berapa ganti rugi yang harus kubayar? Jangan melaporkannya ke polisi.” Yeongcheol
lirih dalam kalimat terakhir.
“Kerjasama.
Aku mau kerjasama.”
Yeongcheol
juga Hyunsik sama-sama menatap heran pada Ai. “Kerjasama??” Tanya Yeongcheol.
“Tuan
begitu membenciku? Pikirkan kembali, kekacauan apa yang aku buat? Bisnis Anda
yang mana yang coba aku kacaukan? Pernahkah aku menyentuh wilayah Anda? Tentang
bangunan milik Bibi Han, tanyakan pada Kim Hyunsik. Aku telah melunasi hutang
Bibi Han pada Tuan, beserta bunganya. Karena itu gedung itu jadi milikku.”
Yeongcheol menoleh, menatap tajam Hyunsik yang segera menundukan kepala. “Tuan
keberatan Yongbae berpindah mendukung kami?” Tanya Ai.
Yeongcheol
menatap sinis Ai. “Siapa kau ini?”
“Terima
kerjasamanya atau tidak? Tidak penting tentang siapa saya.”
“Apa
yang ingin kau tawarkan?”
“Tenggang
waktu.”
“Tenggang
waktu??”
“Saya
benci kekerasan dan benar menyesalkan kejadian pembakaran juga tragedi Yongbae.
Saya harap Tuan mau memberikan kami tenggang waktu.”
“Aku
tak paham, apa yang kau inginkan sebenarnya?”
“Musim
panas akan segera berakhir dan musim gugur akan tiba, hanya sampai pada akhir
musim gugur saja, tolong jangan sentuh wilayah kami. Jangan mengganggu apapun
yang kami lakukan. Hanya itu saja. Bagaimana? Apa Anda sanggup memberikannya
pada kami?”
“Apa
yang membuatmu yakin aku akan mengabulkan permintaanmu ini?”
“Plat
nomor ini, keteguhan hatiku dan welas asih Tuan Kim.”
“Sadarkah
apa yang kau inginkan itu cukup khayal? Apa yang kau harapkan dari Jeonggu Dong
ini? Kenyataan apa yang ingin kau rubah? Kau yakin ancamanmu berhasil padaku?”
“Pemilik
plat nomor ini dan aku, status kami sama, pelajar. Sangat tak menguntungkan
jika sampai pada polisi dan…” Ai menatap Yeongcheol sejenak, “aku hanya ingin
menawarkan titik aman bagi kita semua. Jika diseret ke ranah hokum posisi kita 2:1, aku masih lebih
unggul darimu, Tuan.” Ai tersenyum sinis.
Lagi-lagi
Yeongcheol menghela napas panjang.
Ai,
Wooyoung dan kelima anak buah Yongbae meninggalkan markas musuh. Senyum
terkembang di wajah Ai juga Wooyoung. Di dalam ruangan Kim Yeongcheol, ia marah
dan memukul Hyunsik bertubi-tubi. Ia kesal juga marah pada Hyunsik. Yeongcheol
tak sepenuhnya tahu permasalahan apa yang dibuat Ai sebenarnya dan ia terima
saja usulan Hyunsik dan mengabulkan setiap apa yang diingikan Hyunsik untuk
menyerang kubu Ai. Kecerobohan Yeongcheol kini menyeret keselamatan putra
semata wayangnya yang tak lain adalah pemilik plat nomor yang dibawa Ai dan tak
lain pelaku yang menabrak Yongbae.
***
Rombongan
Ai dibuat terkejut ketika sampai di basecamp. Tidak hanya ada TOP dan beberapa
anak buahnya di sana, tapi juga ada Byunghun dan Minhwan.
“Mereka
sudah di sini?” Bisik Wooyoung ketika TOP, Byunghun dan Minhwan berjalan
berurutan mendekati Ai.
“Nona
baik-baik saja?” TOP memeriksa Ai.
“Ada
apa sebenarnya?” Tanya Byunghun juga TOP bersamaan. Keduanya kemudian saling
menatap. Byunghun kemudian mempersilahkan TOP bicara lebih dulu.
“Tidak
terjadi sesuatu yang buruk kan? Apa yang Nona lakukan di sana?” TOP masih
dengan mimik khawatir.
“Keberuntungan
berpihak pada kita. Terima kasih, Hyung banyak membantu.” Jawab Ai sambil
tersenyum.
“Hyung???”
TOP melotot mendengar Ai memanggilnya ‘Hyung’, panggilan yang seharusnya
diperuntukan bagi adik laki-laki kepada kakak laki-laki.
Ai
terkikik. “Semua beres. Aku membutuhkan banyak bantuan sebentar lagi untuk menjalankan
rencana kita.”
“Aku
kira Nona benar-benar melakukan serangan balik.” Gumam TOP.
“Kita
benar melakukannya, Hyung. Hanya saja tak memakai kekerasan. Sebaiknya aku
jelaskan.” Wooyoung mengajak TOP pergi diikuti anak buah Yongbae juga.
“Kalian
kemari?” Ai beralih pada Byunghun dan Minhwan.
“Hanbyul
menggila. Kau tak masuk sekolah lalu ponselmu tak aktif dan kau melarangnya
kemari.” Terang Minhwan.
“Kalian
paham bagaimana situasinya bukan? Aku sendiri khawatir jika kalian
sering-sering kemari.”
“Kami sudah
tahu. Mengejutkan. Tindakan mereka itu. Tapi kami sudah janji akan membantumu.
Lagipula kau mengatakan semua beres, jadi kami akan tetap mendukungmu dan
membantumu.”
“Terima
kasih.” Ai tersenyum.
“Kenapa
kau melarang Hanbyul kemari?” Tanya Byunghun.
“Tak
ada, hanya kurang nyaman jika ia tiba-tiba muncul di sini.”
“Kau
mulai bosan dengannya?” Sela Minhwan lengkap dengan wajah innocent-nya. “Auw!” Pekik Minhwan ketika Byunghun menyikut
pinggangnya.
“Aku
tak ingin kekacauan di Jeonggu Dong membebaninya. Hanbyul harus ke Amerika,
meraih impiannya. Aku tak ingin kekhawatirannya ia jadikan alasan untuk tetap
tinggal. Aku akan menjelaskan pada Hanbyul, nanti.”
“Oh.”
Minhwan mengangguk paham. “Aku takut jika kau mulai bosan.”
“Em?”
Ai menatap Minhwan heran.
“Hehehe.”
Mihwan meringis kikuk.
“Nona.
Persiapan kerja bakti sudah beres.” Shin Ae menyela.
Wajah
Minhwan berubah berseri ketika Shin Ae tiba. Ai tersenyum dan menggelengan
kepala melihatnya lalu berjalan pergi. Byunghun menyusul langkah Ai, sedang
Shin Ae menatap heran pada Minhwan lalu turut berjalan menyusul Ai. Minhwan
mengerucutkan bibirnya dan menyusul Shin Ae.
***
Rombongan
Ai bersama-sama menuju lahan kosong di samping rumah Paman Hwang. Mereka
kemudian bersama-sama membersihkan sisa-sisa reruntuhan akibat kebakaran. Paman
Hwang dan warga sekitar yang berempati turut membantu. Minhwan dan Byunghun pun
turut membantu. Mereka tak peduli tubuh mereka jadi kotor karena arang hitam
bekas kebakaran.
Ai
sendiri tak mau tinggal diam. Walau hanya dengan satu tangan, ia turut kerja
bakti bersama yang lain. Byunghun tampak selalu berada di sekitar Ai. Keduanya
bekerja sama mengangkat reruntuhan. Byunghun tersenyum melihat corengan hitam
di pipi Ai. ia kemudian mendekati Ai dan membersihkan corengan hitam itu dengan
punggung tangan kanannya yang bersih. Ai tersenyum geli lalu kembali bekerja
meninggalkan Byunghun. Byunghun tersenyum sendiri dan menatap punggung tangan
kanannya lalu menatap Ai. Byunghun menghela napas dan menyusul Ai.
Minhwan
berbinar. Ia menemukan sekuntum bunga perdu berwarna putih sedang mekar
sempurna diantara reruntuhan. Minhwan memetiknya dan terlihat celingukan.
Minhwan tersenyum lebar ketika menemukan Shin Ae. Buru-buru ia mendekati gadis
itu. Minhwan menghadang langkah Shin Ae dengan kepala tertunduk. Lagi-lagi Shin
Ae menatap heran Minhwan. Kenapa pemuda ini? Begitu pikir di benak Shin Ae.
“Jung
Shin Ae! Untukmu!” Minhwan tanpa mengangkat kepala menyodorkan kedua tangannya
yang memegang bunga berwarna putih itu.
Shin Ae
menunjukan ekspresi kaget lebih dari sebelumnya. “Untukku??” Tanyanya kemudian
yang hanya dijawab anggukan kepala Minhwan. “Kau dapat dari mana?”
Minhwan
mengangkat kepala. Gantian ia yang menatap heran pada Shin Ae. “Di antara
reruntuhan. Dia mekar sempurna walau di sekitarnya terbakar hangus. Ajaib
bukan? Lihat, bahkan warna putihnya tak ternoda.”
“Harusnya
kau berikan ini pada Nona.”
“He??”
“Ah,
Nona!” Panggil Shin Ae. Ai pun mendekat.
“Iya?”
Saat Ai sudah berada di antara Shin Ae dan Minhwan. Ai menatap Minhwan, lebih
fokus pada bunga di tangan Minhwan.
“Dia
menemukannya di antara reruntuhan. Choi Minhwan!” Desak Shin Ae.
“Benarkah?”
Ai kembali menatap wajah Minhwan.
Minhwan
segera mengangguk antusias. “Ia tak layu walau sekitarnya terbakar. Bunga apa
ini?”
“Daisy,
bunga matahari kecil. Daisy putih, kepolosan dan cinta setia.” Ai tersenyum
lalu pergi.
Shin Ae
dan Minhwan sama-sama menatap Ai, lalu sama-sama beralih menatap masing-masing.
Keduanya terlihat sama-sama kikuk. Shin Ae menunduk, Minhwan tersenyum salah
tingkah. Minhwan kemudian meraih tangan kanan Shin Ae.
“Untukmu.”
Minhwan meletakan bunga daisy putih di atas telapak tangan kanan Shin Ae lalu
buru-buru pergi.
Shin Ae
berdiri tertegun menatap bunga daisy putih di tangannya. Ia kemudian menatap
punggung Minhwan yang pergi menjauh. Shin Ae kembali tertunduk lesu.
***
Usai
gotong royong membersihkan lahan kosong di samping rumah Paman Hwang, rombongan
Ai kembali ke basecamp. Kedatangan mereka sudah ditunggu Kibum yang sibuk
menata kotak-kotak makanan. Jinwoon dan Daehyun juga sibuk membantu.
“Oppa?
Daehyun? Kalian kemari?” Sapa Ai.
“Bagaimana
hasil check up hari ini?” Jinwoon
balik bertanya.
“Jika
tak ada perubahan, kunjungan berikutnya akan ditanggalkan.”
“Cepat
sekali?” Daehyun keheranan. “Tapi tetap bersyukur, ini lebih baik bukan?”
“Em.”
Ai tersenyum menganggukan kepala. “Oppa, di rumah apa Appa dan Omma baik-baik
saja?” Ai kembali bertanya pada Jinwoon.
“Orang
tua mana yang tak khawatir mendengar putri bungsunya terancam dan berada
sendiri jauh diluar rumah? Appa dan Omma, mereka sangat mengkhawatirkanmu.
Temui mereka jika ada waktu. Walau Appa mengatakan sepenuhnya percaya padamu,
bukan berarti Appa bisa tenang.”
“Aku
tahu.” Ai kembali lesu.
“Jiyoo
Fujiwara, tolong perintahkan beberapa orang untuk membagikan makanan pada warga
yang tadi sudah membantu.” Sela Daehyun.
“Aku
saja yang minta bantuan mereka.” Jawab Kibum. “Kau mau ikut?” Tawarnya pada
Daehyun.
“Biarkan
mereka makan dahulu. Usai makan baru ajak mereka membagikan makanan.” Pinta Ai.
“Eum,
baiklah.” Kibum mengangguk paham.
-------
Kibum
dibantu beberapa orang membagikan makanan untuk warga yang turut kerja bakti
membersihkan lahan kosong di samping rumah Paman Hwang. Shin Ae meletakan bunga
pemberian Minhwan dalam gelas berisi air. Dipandanginya bunga itu hingga Shin
Ae tak menyadari kehadiran Ai. Ai tersenyum melihatnya.
“Cantik?”
Celetuk Ai.
“Nona??”
Shin Ae terkejut dan menoleh, melotot menatap Ai. “Sejak kapan Nona berdiri di
sana??”
“Baru
saja.” Ai mendekat. Ia tersenyum lalu mengelus salah satu kelopak bunga daisy
milik Shin Ae. “Diam dan menatapnya, apa yang kau pikirkan?”
“Eng,
ini keajaiban. Keajaiban yang sebenarnya.”
“Keajaiban?”
“Dia
bertahan diantara reruntuhan, tetap mekar, bahkan warnanya tak ternoda. Tamanan
yang lain di sekitar lahan itu layu, bahkan hangus tapi tidak dengan bunga ini.
itu keajaiban yang nyata Nona. Andai aku memiliki kekuatan membekukan benda
seperti Periwinkle, aku akan mengawetkan bunga ini, untuk basecamp agar
terkenang hingga kelak, walau kita tak ada lagi di sini.”
Ai
terdiam. Ia teringat nama Wisteria Land. Tuhan menunjukan kebesaran-Nya hari
ini. Tuhan mendukungku? Batin Ai.
“Aku
rasa ini pertanda baik, Nona. Bahkan Sang Penguasa Alam memberikan dukungan
pada Nona.”
“Semoga.”
Keduanya
kembali terdiam, sama-sama menatap bunga dalam gelas. Shin Ae memperhatikan Ai.
“Nona, tolong jangan salah paham.” Kata Shin Ae memecah kebisuan.
“Salah
paham?” Ai menatap heran Shin Ae.
“Tentang
Raja Muda itu… Choi Minhwan, dia…”
“Menyukaimu.”
Potong Ai. Shin Ae tertegun menatap Ai. Ai tersenyum melihatnya. “Kenapa?
Bagimu itu tak mungkin?” Shin Ae mengangguk. “Seperti cerita dalam dongeng?”
Shin Ae mengangguk lebih antusias. “Memang bisa jadi tidak mungkin, tapi semua
bisa saja terjadi. Selama masih ada napas, jantung masih berdetak, dan Tuhan
berkehendak, kucing pun bisa jatuh cinta pada ikan.”
Shin Ae
diam menundukan kepala. Ai menepuk pundak kiri Shin Ae lalu pergi. Shin Ae
kembali menatap bunga daisy dalam gelas. Ia kemudian menghela napas panjang.
***
Ai
kembali dari dapur. Ia benar terkejut melihat Byunghun dan Minhwan berdiri
bersama Yiyoung dan Junhyung. Byunghun dan Minhwan berubah khawatir melihat
ekspresi Ai. Ai yang tadinya kembali dengan wajah dihiasi senyum kini
ekspresinya berubah masam. Ai mengalihkan pandangan pada Jinwoon namun pemuda
itu bersikap cuek seolah tak mengetahui keberadaan Yiyoung di sana.
Byunghun
membawa Yiyoung dan Junhyung lebih dekat pada Ai. Daehyun yang pura-pura acuh
namun sedikit curi-curi pandang semakin penasaran melihatnya. Daehyun
menggoyang lengan Jinwoon melihat Yiyoung dan Junhyung sudah berhadapan jarak
satu lengan saja dengan Ai. Namun Jinwoon mengacuhkannya.
“Maaf.
Aku membantu mereka kemari. Aku katakan aku kemari hari ini.” Terang Byunghun.
Wooyoung
dan Kibum baru kembali. Keduanya mengerutkan dahi melihat Yiyoung dan Junhyung
ada di basecamp. Kibum hendak mendekat namun Wooyoung menahannya. Kibum paham
dan membiarkan Wooyoung pergi.
“Ada
apa ini?” Wooyoung segera berdiri dekat di samping kanan Ai.
-------
Hening
dalam ruangan 4x4 meter ini. Orang-orang di basecamp biasa menyebutnyaa kantor
walau belum benar resmi menjadi kantor basecamp. Salah satu bilik di basecamp
ini, di dalamnya Ai, Wooyoung, Junhyung dan Yiyoung berada. Wooyoung setia
menunggu, berdiri di belakang Ai yang duduk. Junhyung dan Yiyoung duduk
dihadapan keduanya.
Di luar
kantor duduk berjajar di tepi panggung, Minhwan, Byunghun, Kibum, Daehyun dan
Jinwoon. Mereka hanyaa diam dan sesekali menatap pintu kantor yang tertutup
rapat.
“Ya,
Kibum~aa, masak kau tak tahu sama sekali? Untuk apa Yiyoung dan Junhyung datang
kemari?” Daehyun yang dipenuhi pertanyaan akhirnya angkat bicara.
“Aku
sungguh tak tahu apa-apa.” Kibum kesal.
“Yiyoung
datang untuk mencari Jaejoong? Setelah Jaejoong terkenal ia jadi menyukai
Jaejoong? Padahal dulu Yiyoung sangat benci pada Jaejoong dan santer mendekati
Jinwoon Hyung,” Daehyun melirik Jinwoon, “wanita, gampang sekali perpindah
hati.” Daehyun menggelengkan kepala. Ia kemudian terkejut menerima tatapan
tajam dari rekan-rekannya yang lain. Daehyun segera menunduk.
-------
Junhyung
berlutut, namun Ai tetap bersikap dingin. Walau Yiyoung telah mengutarakan
maksud kedatangannya dan meminta maaf untuk Junhyung, Ai tetap datar. Bahkan
ketika Junhyung angkat bicara, Ai tetap tak menunjukan reaksi. Sorot mata Ai
memancarkan kemarahan yang teramat sangat. Yiyoung menatap Ai penuh kebencian.
Hingga Junhyung berlutut dihadapannya, Ai tetap bersikap begini angkuh. Yiyoung
benci melihatnya.
“Kau
pantas marah… kau pantas membenciku…” Junhyung dengan kepala tertunduk dan masih
berlutut. “Jika kau benar ingin menghukumku… aku siap. Aku telah menghancurkan
impianmu, aku… aku pantas mendapaatkan hukuman…”
“Beruntung
Sunbaenim datang saat Yongbae tak ada.” Kata Ai setelah bertahan bungkam.
Yiyoung terjekut mendengar Ai masih memanggil Junhyung dengan sebutan
‘sunbaenim’. Terdengar sopan, padahal Ai menunjukan ekspresi yang sangat tak
berhabat. Sikap dingin dan sorot mata penuh kemarahan itu, Yiyoung tak menduga
pada tindakan Ai ini. “Tak bisa kubayangkan bagaimana jadinya jika Yongbae di
sini. Kenapa baru sekarang Sunbaenim datang dan meminta maaf padaku? Selama
ini, apa yang menahan langkah kalian? Aku ragu, apakah Sunbaenim tulus
melakukan ini?” Ai masih fokus menatap Junhyung yang berlutut dan tertunduk
dihadapannya. “Ini karena… Noh Yiyoung? Hanya karena Noh Yiyoung tersiksa dan
Sunbaenim tak tega melihat hal itu lalu Sunbaenim setuju datang dan meminta
maaf padaku? Sempurna sekali. Bahkan sampai rela berlutut di depanku.”
“Fujiwara!”
Yiyoung dengan nada meninggi. Yiyoung kembali menatap kesal Ai. Ia merasa salah
menilai Ai. Kesopanan bahasa yang Ai pilih terasa lebih menyakitkan bagi
Yiyoung daripada sebuah tamparan ketika pada akhirnya Ai melontarkan
keraguannya pada ketulusan Junghyung. “Aku memang meminta Junhyung Oppa pergi bersamaku
mengakui ini semua dan meminta maaf padamu. Aku tahu ini tidak akan mudah,
tapi…”
“Sunbaenim
bersedia pergi karena Noh Yiyoung?” Potong Ai dengan pertanyaan yang ia tujukan
untuk Junhyung.
Yiyoung
seolah kehabisan bahasa untuk menghadapi Ai. Keangkuhan Ai dan sorot mata penuh
kemarahan itu semakin membuat Yiyoung yang dirundung rasa bersalah terpojok.
Yiyoung memutar otak, berpikir, memilih kata yang tepat agar Ai sedikit luluh.
“Akar semua masalah ada padaku. Sumber semua masalah itu adalah aku. Jika kau
marah daan benar ingin menghukum seseorang, maka hukumlah aku.” Kata-kata ini
meluncur dari bibir Yiyoung. “Amarahmu, luapkan padaku. Tapi aku mohon maafkan
Junhyung Oppa. Oppa melakukan semua itu karena aku. Oppa melakukan semua karena
terlampau menyanyangiku. Aku tahu jalan yang ia tempuh salah dan ini… ini,
terlambat.” Yiyoung lirih pada kata ‘terlambat’. Ia kembali diam, mengatur
emosinya untuk bisa kembali bicara. “Semua ini… pada akhirnya, sangat
menyiksaku, menyiksa kami. Setiap kali melihatmu, setiap kali bertemu. Bahkan
saat aku mulai terlelap, kau… kau pun muncul hingga tak jarang aku terjaga
sepanjang malam.” Air mata itu meleleh menuruni pipi mulus Yiyoung. Bahu
Yiyoung sedikit bergoyang karena tangisnya.
“Selama
ini aku picik, aku jahat pada Jaejoong juga padamu. Akulah yang patut untuk tak
dimaafkan olehmu. Kau boleh membenciku selamanya dan tak memaafkan aku, tapi…
tapi aku mohon maafkan Junhyung Oppa dan lepaskan dia.” Yiyoung disela isak
tangisnya. “Aku mohon lepaskan Junhyung Oppa… jika kau menyeretnya ka jalur
hukum, ini tidak hanya akan melukai kami tapi juga keluarga kami terlebih
keluarga Junhyung Oppa. Oppa satu-satunya harapan bagi kedua orang tuanya.”
Yiyoung tertunduk dan larut dalam tangisannya.
Wooyoung
merasa iba melihatnya. Apalagi bahu Yiyoung sampai bergoyang karena
tangisannya. Tatapan Wooyoung meredup. Ia menatap Ai yang masih duduk angkuh.
Yiyoung mengangkat kepala dan menatap Ai dengan mata basah. Ia tak menduga Ai
begitu keras bagai batu. Ai tetap tak bergeming. Tetap terlihat datar dan
dingin. Yiyoung kembali menundukan kepala. Ia pasrah. Sepertinya pendirian Ai
tak akan berubah. Suasana hening di dalam kantor. Yang terdengar hanya
keributan dari aktifitas orang-orang di basecamp, di luar kantor.
Wooyoung
hendak bicara namun ia urungkan ketika
Ai tiba-tiba bangkit dari duduknya. Ai berjalan mendekati Junhyung yang masih
berlutut. Wooyoung khawatir. Yiyoung pun sama namun hanya bisa diam menelan
ludah melihatnya. Yiyoung makin dibuat gemetar ketika Ai berhenti tepat di
depan Junhyung dengan ekspresi dingin itu. Yiyoung menggigit bibirnya dan
menunduk. Ia tak sanggup jika harus menyaksikan Junhyung dihajar di depannya.
“Fuj-fujiwara…”
Bisik Junhyung terbata membuat Yiyoung kembali mengangkat kepala. Yiyoung
terbelalak melihat Ai mengulurkan tangan kanannya pada Junhyung.
Ai
tersenyum tulus. “Sunbaenim tidak lelah berlutut seperti ini?” Tanya Ai
terdengar begitu lembut. Junhyung makin dibuat keheranan, begitu juga Yiyoung.
“Ayo, bangun.” Ai masih dengan tangan terulur.
Wooyoung
tersenyum melihatnya. Junhyung menatap tak percaya pada Ai namun perlahan
menggerakan tangannya dan meraih tangan Ai yang terulur. Junhyung kembali
berdiri. Perasaannya benar campur aduk. Malu, bahagia juga sedih. Tak kuasa
menahan semua itu, Junhyung langsung memeluk Ai dan menangis.
“Terima
kasih… terima kasih, Fujiwara…” Bisik Junhyung berulang kali disela
tangisannya. Yiyoung turut bangkit dari duduknya dan mengusap air matanya yang
kembali meleleh. Ai mengusuk punggung Junhyung yang kemudian melepas
pelukannya. Junhyung mengusap air matanya dan tampak malu-malu di depan Ai.
“Terima kasih, Fujiwara.” Ungkap Junhyung lagi.
“Aku
bukan Tuhan Yang Maha Pengampun dan Maha Sabar. Aku marah, bahkan sangat marah
ketika tanganku dinyatakan cidera. Aku tak akan bisa terbang bersama YOWL. Ini
pilihan yang sangat sulit dan aku terpuruk. Semakin marah ketika tahu bahwa
pelaku itu… Sunbaenim. Setiap kali bertemu, rasa marah itu memuncak hingga
memenuhi ubun-ubunku. Setiap kali bertemu dengan Sunbaenim, aku harus berperang
dengan diriku sendiri dan meredam rasa marah itu. Bukan perkara mudah. Walau
sangat marah pada Sunbaenim, tapi apa kuasaku? Semua ini tak akan terjadi jika
Tuhan tak menghendakinya.” Ai kemudian tersenyum menatap Junhyung. “Cinta,
terkadang memang bisa membuat gila siapa pun yang memujanya. Aku bersyukur,
Tuhan masih memberiku kesempatan hidup untuk melihat YOWL dan melihatn semua
ini. Walau tak mudah, mari kita lupakan apa yang sudah terjadi dan kita mulai
menulis cerita di lembaran baru kisah kita. Sunbaenim, mau kan?” Junhyung
mengangguk antusias.
Yiyoung
yang tak kuasa menahan haru memeluk Ai. Masih menangis sambil membisikan kata
terima kasih. Ai mengangguk dan mengelus punggung Yiyoung. Wooyoung yang
terharu turut menitikan air mata melihatnya.
“Ada
Jinwoon Oppa di luar, kau tidak malu jika nanti Jinwoon Oppa melihatmu dengan
mata sembab seperti ini?” Goda Ai yang segera mendapat pukulan manja dari
Yiyoung. Ai tersenyum dan Yiyoung melepas pelukannya.
Yiyoung
tersenyum, mengusap air matanya dan berjalan ke samping kiri Junhyung. “Aku
sudah memilikinya,” Yiyoung melingkarkan tanganya di lengan Junhyung, “Jinwoon
Sunbaenim, untukmu saja.” Balasnya menggoda Ai.
“Ok,
deal! Pilihan yang bagus.” Ai setuju dengan menunjukan ekspresi yang sukses
membuat Junhyung dan Yiyoung tertawa geli.
Minhwan,
Byunghun, Kibum, Daehyun dan Jinwoon kompak berdiri ketika Wooyoung, Ai,
Yiyoung dan Junhyung keluar bersama. Byunghun dan Minhwan tersenyum lega. Ai
mengajak Yiyoung dan Junhyung bergabung dengan yang lain. Ia menjelaskan
kejadian di dalam kantor. Byunghun dan Minhwan turut senang mendengar Ai
memaafkan Junhyung dan Yiyoung. Kibum pun turut menerima kenyataan itu. Jinwoon
terlihat ikut saja pada suasana di basecamp dan masih acuh pada Yiyoung. Shin
Ae turut tersenyum lebar melihat Ai dan teman-temannya.
***
“Hari
yang lumayan melelahkan ya.” Kata Byunghun.
“Em.
Terima kasih sudah membantu.” Ai kemudian menoleh ke kursi belakang mobil.
Minhwan terlelap di sana. “Sepertinya dia lelah sekali.”
“Asal
bisa bertemu Shin Ae, dia senang-senang saja.”
Ai
tersenyum mendengarnya. “Semoga setelah ini semua jadi makin baik.”
“Bunga
yang ditemukan Minhwan, menurutku itu pertanda baik. Jangan menyerah. Majulah
untuk impianmu Fujiwara. Aku akan selalu mendukungmu dan selalu siap membantu.”
Byunghun tersenyum tulus disetujui anggukan kepala Ai.
Keduanya
kembali terdiam. Byunghun fokus dibalik kemudi. Ia melirik bucket lili putih
dipangkuan Ai. “Bunga itu, bunga favoritmu?”
“Lili
putih, bunga favoritku dan Jaejoong. Aku suka menyebutnya bunga bintang.”
“Bunga
bintang?” Tanya Byunghun. Hanbyul?
Bisiknya dalam hati.
“Jika
diperhatikan, menurutku seperti bentuk bintang. Itu saja.”
Mobil
Byunghun berhenti. “Kita sampai.” Kata Byunghun.
“Terima
kasih atas tumpangannya.” Ai pamit dan turun dari mobil Byunghun.
Byunghun
masih duduk dibalik kemudi, menatap Ai yang turun dari mobilnya kemudian
menutup pintu mobil dan berdiri membelakangi Byunghun. Byunghun menunduk dan
menghela napas panjang. Ia kembali mengangkat kepala dan menatap Ai yang mulai
berjalan menjauhinya. Byunghun kembali menunduk lalu melajukan mobilnya.
Ai
menghentikan langkahnya dan membalikan badan menatap mobil Byunghun yang melaju
pergi. Ia menghela napas dan kemudian kembali berjalan.
Terdengar
bunyi bel berdering. Hanbyul berdecak kesal dan segera menuju pintu. “Oh!”
Hanbyul terbelalak menemukan Ai sudah berdiri di depan pintu lengkap dengan
senyum manisnya dan tangan kanan membawa bucket lili putih. Hanbyul tertegun.
“Aku
akan menginap di sini.” Kata Ai sambil menerobos masuk ke dalam rumah Hanbyul.
---TBC---
shytUrtle