Teman-teman Rue telah pulang. Usai
membersihkan diri, ia membongkar bingkisan yang dikirim Hongjoon. Ada satu
boneka tomat warna merah dengan wajah tersenyum. Rue tersenyum melihatnya.
Lalu, mengusuk tangkai hijau pada puncak boneka tomat.
Tas kertas itu tak hanya berisi
boneka tomat. Tapi, ada sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal seperti
yang diceritakan Rio. Rue kembali memeriksa tas kertas, namun tidak menemukan
apa-apa.
“Nggak ada kartu ucapannya? Atau...
dia sengaja datang untuk ngobrol? Berterima kasih secara langsung?” Rue
memiringkan kepala. Rue meletakkan kotak coklat ke atas meja dan membiarkan
boneka tomat tetap di sampingnya.
Punggung Rue tegang ketika sosok
pria dengan wajah berlumuran darah itu kembali muncul. Berdiri tanpa ekspresi
tak jauh di seberang meja. Rue tahu itu bukan hantu. Melainkan sesosok arwah.
Ia pun menghela napas.
“Apa yang ingin Anda sampaikan?” Rue
membangun komunikasi dengan arwah yang mendatanginya.
Perlahan darah yang menutupi wajah
pria itu menghilang hingga Rue bisa melihat dengan jelas wajah pria yang
kira-kira berusia 50 tahunan itu.
Rue menghela napas pelan. “Saya tidak
bisa berjanji, tapi jika saya mampu, saya akan coba bantu.”
“Tolong doakan saya, Nona. Saya
meninggal dalam sebuah kecelakaan semalam.”
Rue mengerutkan kening. Korban
kecelakaan seringnya menemuinya karena ada bagian tubuhnya yang tertinggal dan
keluarganya tidak tahu. Ia menduga-duga apakah permintaan pria itu sama seperti
mereka yang kebanyakan datang padanya.
“Saya sangat menyesal karena telah
menyebabkan kecelakaan yang turut mencelakai Tuan Muda yang sangat saya
sayangi.”
Kening Rue berkerut semakin dalam.
Ia diam dan menunggu si arwah melanjutkan ceritanya.
“Saya hidup sendirian. Istri saya
meninggal enam tahun yang lalu. Lalu, saya bekerja pada keluarga Tuan Muda
sebagai sopir. Tuan Muda sangat baik. Beliau memperlakukan saya seperti ayahnya
sendiri. Hingga membuat saya tak merasa kesepian dan seolah memiliki keluarga
setelah istri saya pergi meninggalkan saya.
“Tapi, kemarin saya lalai dalam
menjalankan tugas. Ketika saya membawa Tuan Muda, truk tiba-tiba muncul dari
gang dan menabrak mobil kami. Saya meninggal di lokasi. Tapi, say tidak tahu
bagaimana kondisi Tuan Muda. Saya melihatnya tak sadarkan diri di kursi
belakang.
“Saya sangat menyesal karena
menyebabkan Tuan Muda celaka. Saya ingin meminta maaf pada Tuan Muda dan
keluarga besar Tuan Muda yang telah mempekerjakan saya selama lima tahun
terakhir. Bisa Nona menyampaikan permintaan maaf saya pada Tuan Muda dan
keluarga besarnya?”
Rue pun bertanya lokasi kejadian
kecelakaan di mana. Arwah itu menjawab sesuai apa yang ia ingat.
“Terima kasih Nona. Tolong doakan
saya ya. Agar saya bisa melewati perjalanan dengan tenang.” Arwah itu
tersenyum, lalu menghilang.
Hening di dalam ruang tamu. Rue
tercenung selama beberapa detik. Setelah kesadarannya kembali, ia segera meraih
ponselnya dan mencari informasi tentang kecelakaan yang terjadi semalam pada
lokasi yang disebutkan arwah pria yang menemuinya. Berita itu muncul paling
atas dalam hasil pencarian. Rue segera membaca beritanya. Rue seolah kehilangan
jiwanya selama beberapa detik usai ia membaca berita itu.
Kecelakaan terjadi antara sebuah
truk dan mobil sedan berwarna hitam. Truk mengalami rem blong dan menghantam
mobil sedan dari arah kanan. Mobil terdorong hingga terhenti pada portal
pembatas jalan. Ditulis satu korban meninggal dunia di lokasi dan satu lainnya
kritis.
Yang membuat Rue syok adalah
identitas korban kecelakaan yang sedang kritis. Korban berjenis kelamin
laki-laki, berusia 16 tahun dengan inisial JHJ. Entah kenapa, ia merasa korban
itu adalah Jin Hongjoon yang kemarin datang mengirim kado untuknya, yang tadi
dikabarkan Yano tak masuk sekolah.
Ketika Rue sedang menduga-duga
sekaligus berusaha menepisnya, ia mendengar bunyi gedebuk. Seolah ada benda
berat yang jatuh tak jauh darinya. Ia pun mencari sesuatu itu dan menemukan
sesosok putih yang jatuh tersungkur di seberang meja.
Rue tak beranjak dari sofa tempat ia
duduk. Ia mengamati sosok yang bergerak-gerak itu. Ketika sosok itu berlutut
dan tatapannya bertemu pandang dengannya, Rue terkejut. Sosok itu tak lain
adalah Jin Hongjoon.
Hongjoon pun menunjukkan ekpresi
yang sama. Terkejut mendapati Rue berada di depannya.
***
Hongjoon duduk di atas sofa.
Memperhatikan Rue yang berjalan mondar-mandir di hadapannya. Setelah saling
tertegun satu sama lain, Rue akhirnya kembali pada kesadaran menyebut namanya.
Hongjoon senang karena Rue masih mengenalinya. Tapi, ia masih bingung dengan
bagaimana ia bisa berada di dalam rumah Rue. Ketika Rue bertanya apa yang
terjadi, ia pun menjelaskan apa yang ia ingat.
Rue menghentikan langkahnya.
Mendesah dengan kasar, lalu menoleh ke arah kanan. Hongjoon yang tiba-tiba
ditatap seperti itu pun kaget dan segera mengalihkan pandangan.
“Apa kau tahu jika kau mengalami
kecelakaan sepulangmu dari sini?”
“Maaf?” Hongjoon merasa salah
dengar. “Jadi ini...” ia mengamati dirinya sendiri.
“Iya. Itu rohmu. Kau tersesat dan
dikembalikan ke dunia sebelum menyeberang. Artinya, kau belum mati. Mungkin
saja kau koma. Karena, di berita yang aku baca, kau dinyatakan kritis.”
“Seonbae
tahu? Eh, maaf. Maksudku, Kak Rue tahu?” Hongjoon meralat karena menggunakan
bahasa Korea. Seonbae adalah
panggilan untuk senior dalam bahasa Korea.
“Baru saja membacanya.”
“Jadi, aku tidak hidup, juga belum mati?
Lalu, aku harus bagaimana?”
“Aku juga tidak tahu. Ini pertama
kalinya aku didatangi orang koma.” Rue duduk di atas permadani yang mentutupi
lantai. Menatap Hongjoon yang duduk di atas sofa.
Merasa sungkan, Hongjoon pun melorot
dan turut duduk di atas permadani. “Benar-benar tidak punya solusi?”
“Belum.”
Hongjoon menatap Rue yang kembali
diam. Ia menunggu Rue kembali bicara.
“Sopirmu, namanya siapa?”
“Mm? Oh! Paman Darwin?”
“Beliau meninggal di lokasi.”
“Apa?? Pam-paman Darwin meninggal??”
“Mm.” Rue menganggukkan kepala. “Beliau
meminta maaf karena telah membuatmu celaka.”
“Paman Darwin di sini? Mana?”
Rue bungkam.
“Itu bukan salah Paman Darwin. Aku
yakin. Paman Darwin selalu sopan dalam berkendara.”
Truk itu mengalami rem blong dan
menabrak mobil kalian. Begitu yang aku baca.” Hongjoon diam dengan kepala
sedikit tertunduk.
“Aku minta maaf, tapi dalam kondisi
seperti ini apakah keluargamu akan menyalahkan Paman Darwin?”
Hongjoon bergeming.
“Hongjoon?”
“Tidak. Tidak mungkin. Mereka tahu
bagaimana baiknya Paman Darwin padaku. Dia memperlakukan aku seperti anaknya
sendiri. Dia sangat menyanyangi aku.” Hongjoon tertunduk semakin dalam dan
menangis.
Rue hanya diam menatapnya.
Membiarkan Hongjoon meluapkan kesedihannya.
***
Esya mendekati Nenek Hongjoon yang
berdiri di depan tembok kaca. Di dalam sana Hongjoon terbaring tak sadarkan
diri. Alat bantu di pasang di sana-sini demi membantu Hongjoon agar tetap
bertahan hidup.
“Nek, istirahat dulu ya. Nenek belum
istirahat sama sekali sejak kemarin.” Esya membujuk neneknya.
“Bagaimana aku bisa beristirahat,
sedang dia sedang berjuang sendirian di sana.” Nenek Hongjoon menyentuh dinding
kaca dan mengelusnya. “Cucuku yang malang.”
Esya turut menatap ke dalam ruang
ICU tempat Hongjoon dirawat. Melihat saudara sepupunya koma, ia pun tak bisa
berpura-pura tak sedih.
“Besok kau harus sekolah. Jangan
lama-lama membolos.”
“Asal nenek mau istirahat. Kalau
tidak, aku akan tetap di sini. Menemani nenek.”
Nenek Hongjoon menghela napas. “Kau
pikir aku di sini terus? Tidak, Sayang. Rumah sakit ini menyediakan tempat
istirahat untuk keluarga pasien. Aku beristirahat di sana. Mama Hongjoon akan
tiba malam ini. Aku akan membiarkan dia menjaga putranya dan aku akan
istirahat. Kau pulang saja dulu dan istirahatlah.”
“Aku tidak akan masuk sekolah besok,
Nek. Besok adalah pemakaman Paman Darwin. Hanya kita keluarga yang dia miliki.”
“Ah iya. Aku terlalu fokus pada Hongjoon
hingga melupakan Darwin.”
Kita istirahat sama-sama yuk?"
Nenek Hongjoon menatap ke dalam
ruang ICU, diam selama beberapa detik. Lalu, menganggukkan kepala dan setuju
untuk beristirahat dengan Esya.
Esya tersenyum dan menuntun neneknya
ke ruang istirahat untuk keluarga pasien.
***
Rue terkejut ketika keluar dari
kamar mandi. Hongjoon sudah berdiri di dapur dan tersenyum padanya. Ia lupa
jika sejak semalam roh Hongjoon tinggal di rumahnya.
“Noona
akan ke sekolah hari ini?” Sambut Hongjoon ceria. Ia sengaja memanggil Rue
dengan Noona. Panggilan dari adik
laki-laki untuk kakak perempuan dalam bahasa Korea.
“Kalau nggak sekolah mau ngapain?” Jawab
Rue seraya berjalan menuju kamarnya.
Hongjoon mengerucutkan bibir. Tetap
bertahan di dapur, menunggu Rue.
Rue keluar. Ia sudah memakai seragam
SMA Horison. Ia menuju dapur untuk membuat sarapan.
Hongjoon minggir. Memberi ruang
untuk Rue. “Kalau mau masak, kenapa pakai seragam dulu? Kan nanti kotor.”
Rue tersenyum. Ia sibuk membuat jus
buah dan roti bakar. Setelah siap, ia membawanya ke ruang tamu untuk sarapan.
Hongjoon mengikutinya.
“Kalau kamu ngarep ikut ke sekolah,
maaf. Aku nggak bakalan kasih izin. Sekolah sedang situasi genting. Bahaya
kalau kamu ikutan.” Rue sudah duduk di atas permadani dan bersiap sarapan.
“Karena itu, belakangan sering
terjadi kesurupan?”
“He’em. Ada pasukan setan yang
mengepung sekolah. Makanya, bahaya kalau kamu ikut aku. Bisa jadi tawanan kamu
ntar.”
“Kok gitu? Pasukan setan?”
“Iya. Kami masih menyelidikinya.
Benar-benar membuatku pusing. Ditambah adanya kau di sini.”
“Aku kan sudah janji nggak bakal
ngrepotin.”
“Tetep aja nggak terbiasa.”
“Nanti juga akan terbiasa. Lagian,
aku nggak punya tempat lain untuk dituju.”
Rue menatap Hongjoon sejenak, lalu menghela
napas dan mulai makan. “Kalau gitu, diem aja di sini. Tunggu sampai aku
pulang.”
Hongjoon tersenyum dan menganggukkan
kepala.
Rue selesai mengunci pintu. Ia
berjalan menuruni tangga. Hongjoon mengikuti di belakangnya.
“Kak Rue!”
Rue kaget ketika sampai di ujung
tangga terbawah. Rio tiba-tiba muncul dan memanggilnya. “Bikin kaget aja!”
“Kakak udah tahu? Ituuu... kakak
yang ke sini nitip hadiah dan ngasih aku coklat. Dia kecelakaan dan kritis!”
Rue menatap Rio dengan datar. Sedang
Hongjoon yang berdiri di belakangnya tersenyum.
“Kak Rue udah tahu ya? Aku baru tahu
beritanya pagi ini. Dapat kiriman di grup chat.” Rio menggaruk kepalanya.
“Kak.”
“Apa?”
“Aku penasaran. Apa arwahnya dateng
nemuin kakak? Aku kan Orion.”
“Udah sekolah sana!” Rue pergi
meninggalkan Rio. Pemuda itu menggerutu tak jelas dan kembali masuk ke rumah.
“Mau ngikutin aku sampai mana?” Rue
menghentikan langkahnya.
Hongjoon turut menghentikan langkah.
Ia kelincutan. “Baiklah. Aku balik sekarang. Hati-hati di jalan Noona.” Hongjoon membalikan badan,
membelakangi Rue, dan berlari, kemudian menghilang.
Rue yang menatapnya tersenyum. Pagi
yang berbeda. Ada yang melepasnya berangkat.
Rue menghela napas dan kembali
berjalan. Langkahnya memelan ketika sampai di perempatan tempat ia biasa
bertemu dengan Dio, Byungjae, dan Hanjoo. Bukan ketiga rekannya yang berada di
sana. Melainkan Malaikat Maut yang sering secara tiba-tiba menampakan diri
padanya.
Dengan langkah lambat, Rue melewati
Malaikat Maut yang berdiri di tepi jalan dan menatapnya. Kepala Rue tertunduk,
tapi ia masih bisa mencuri pandang, memperhatikan bagaimana Malaikat Maut
menatapnya saat ia melintas di depannya.
***
“Kenapa Kakak tiba-tiba ingin tahu?”
Yano balik bertanya pada Rue.
Rue mendesah. Ia sengaja menemui
Yano di kelasnya saat jam istirahat demi mencari informasi tentang Hongjoon.
“Kemarin kakak seperti nggak
tertarik.” Yano sok jual mahal.
“Kemarin aku sibuk. Kamu nggak tahu
kami kena sidang karena Dio berantem sama Pearl?”
“Oh itu. Iya. Sudah heboh
dibicarakan. Kak Dio beneran dipecat dari Dewan Senior? Sayang sekali.”
“Kamu tahu nggak sih di mana
Hongjoon dirawat?”
“Nggak tahu. Tapi, temenku kayaknya
tahu. Sebentar. Tunggu dia sebentar. Tadi dia masih ke toilet. Kak Rue juga
pasti udah tahu dia siapa.”
“Wah! Ada Kak Rue di sini. Tumben?” Wajah
putih Axton dihiasi semburat pink ketika ia melihat Rue duduk di bangkunya.
“Kak Rue nanya soal Hongjoon. Kamu
tahu nggak? Dia dirawat di mana?” Tanya Yano.
“Esya cuman bales, hari ini
pemakaman sopir pribadi Hongjoon. Tapi, belum kasih tahu di rumah sakit mana
Hongjoon dirawat.” Jawab Axton. “Nanti kalau Esya udah masuk, aku tanyain.
Emang kenapa kok Kak Rue nyari rumah sakit tempat Hongjoon dirawat?”
“Pemakamannya diadain jam berapa? Di
mana?” Rue segera mengalihkan topik. Membuat Axton dan Yano bingung.
“Sebentar.” Axton meraih ponsel di
saku celananya dan memeriksa kembali pesan Esya. “Jam sembilan, Kak. Udah
lewat.”
“Makamnya?”
Axton menyebutkan lokasi pemakaman
sopir pribadi Hongjoon. Ia merasa senang karena bisa memberikan informasi untuk
Rue.
“Makasih ya. Maaf udah ganggu
kalian.” Rue bangkit dari duduknya.
“Nanti kalau Esya udah masuk, aku
tanyain rumah sakit tempat Hongjoon dirawat.” Yano menyanggupi.
“Oke.” Rue pun meninggalkan Yano dan
Axton.
“Kak Rue ke sini,” Axton buru-buru
duduk di bangkunya. “Duduk di bangkuku!”
“Biasa aja kali. Makan yuk!” Yano
bangkit dari duduknya.
***
Pearl, Ruby, dan Linde berada di
kantin. Pearl masih menekuk wajah sejak pagi. Ia masih kesal karena peristiwa
kemarin. Ia marah karena dikeluarkan dan dicoret dari daftar calon Dewan
Senior. Walau Ruby dan Linde terus menenangkannya, Pearl tetap tidak bisa
terima.
“Liat! Pangeran pujaanmu tuh. Jangan
cemberut mulu napa.” Ruby berbisik. Memberi tahu jika Yano datang ke kantin.
“Itu ya yang namanya Yano.” Linde
mengangguk-anggukkan kepala sambil mengamati Yano.
Pearl mengangkat kepala dan
mengamati Yano. Senyum samar terkembang di wajahnya yang kuyu.
“Eh, itu Yano. Tahu nggak sih, tadi
Kak Rue nyamperin dia ke kelas lho!”
“Kak Rue? Nyamperin Yano ke kelas?
Masa?? Ngapain??”
“Nggak tahu lah. Kebetulan aku masih
di kelas. Kak Rue tengok-tengok kelas, trus nemuin Yano masih duduk di
bangkunya. Masuk lah dia. Duduk di samping Yano.”
“Ya ampun! Trus mereka ngapain?”
“Ngobrol aja sih kayaknya. Aku
buru-buru keluar dong. Sungkan. Karena di kelas cuman ada aku sama Yano sebelum
Kak Rue datang.”
“Yah. Harusnya kamu tetep di sana.
Biar tahu mereka lagi ngobrolin apa.”
“Iya. Kenapa kamu malah pergi.”
“Kan aku sungkan. Kak Rue akrab gitu
ya sama Yano. Kayak udah lama kenal.”
“Iya. Dari pas mereka ngobrol di
depan UKS kan?”
“Iya. Bener banget. Aku jadi
penasaran. Mereka punya hubungan apa ya?”
Pearl meremas sendok dan garpu yang
ada di tangan kanan dan kirinya. Lalu membanting kedua tangannya ke meja,
beranjak dari duduknya dan pergi. Ia kesal mendengar obrolan siswi-siswi yang
duduk di belakangnya. Dengan langkah lebar-lebar ia berjalan keluar dari
kantin. Ruby dan Linde saling memandang. Lalu, kompak menghela napas panjang.
***
Dio, Byungjae, dan Hanjoo kompak
tercenung usai mendengar penjelasan Rue. Keempatnya berkumpul di sebuah
restoran cepat saji usai pulang sekolah.
“Ngomong-ngomong, apa Hongjoon ada
di sini?” Dio dengan lirih.
“Nggak. Dia aku suruh diem di rumah.
Bahaya kalau ikutan ke sekolah. Sekolah lagi genting.”
“Jadi, itu alasan kamu sampai nekat
nemuin Yano?” Hanjoo paham alasan di balik hebohnya berita Rue menemui Yano di
kelasnya.
“Nggak efektif kalau nanya lewat
pesan. Mending langsung ketemu aja.”
“Mikir nggak efeknya gimana?”
“Kak Nicky ya? Wah. Gawat juga kalau
Kak Nicky tahu trus cemburu.” Byungjae menanggapi dengan serius.
“Aku sama Kak Nicky nggak ada
apa-apa tau! Gawat tuh aku baru inget soal Pearl.” Rue membantah tuduhan
Byungjae.
“Pearl? Kenapa lagi?” Tanya Dio.
“Pearl kan suka sama Yano.”
Dio, Hanjoo, dan Byungjae dibuat tercenung
untuk yang kedua kalinya.
“Bukannya cuman Fabian dan Kak Nicky
ya?” Hanjoo memastikan.
“Sama Yano juga.”
“Ada apa sih?” Dio bingung.
“Iya. Apa yang kalian tahu, tapi aku
dan Dio nggak.” Byungjae pun menuntut penjelasan.
Rue menghela napas. Lalu, menjelaskan
tentang ketika ia berada di dalam toilet dan tak sengaja mendengar obrolan
Pearl, Ruby, dan Linde.
Dio tidak bisa menahan tawa usai
mendengar penjelasan Rue. “Pantesan benci banget sama kamu. Urusan cowok
ternyata. Sekarang apa pula pakek naksir Yano? Tahu fakta tentang kamu sama
Yano, mampus dia. Bunuh diri bisa-bisa.”
“Hush! Ngeri tahu!”
“Bisa jadi, kan? Dia tuh bukan cewek
psiko. Tapi, skizofrenia. Gila!”
“Suer aku baru inget soal itu waktu Byungjae
nyebut nama Kak Nicky.”
“Kita harus hati-hati nih. Bisa jadi
Pearl mikir Rue sengaja makin hancurin dia. Kemarin udah dipecat, hari ini
ditambah denger tentang Rue nyamperin Yano. Bisa makin menjadi dia.” Byungjae
bergidik hanya karena membayangkan kemungkinan yang akan dilakukan Pearl untuk
membalas Rue.
“Rue bisa salah perhitungan juga
ya.” Hanjoo menggelengkan kepala.
Rue tersenyum dan mengangkat kedua
bahunya. Saat menatap ke dinding kaca bagian depan restoran cepat saji, senyum
di wajahnya sirna. Di luar sana, sang Malaikat Maut sedang berdiri menatapnya.
Nath mengantar Rigel pulang. Ia pun
turut tinggal sejenak di markas Rigel. Rue menyibukan diri dengan memasak untuk
keempat temannya. Dio duduk di atas sofa. Turut menonton video rekaman di
Gedung Mati yang sedang ditonton Nath dan Byungjae. Sedang Hanjoo sibuk dengan
buku sketsanya.
“Itu mengerikan sekali. Momen
Byungjae diseret makhluk astral. Kamera bergoyang hebat. Pantas Dio marah besar
pada Pearl. Aku juga pantas dimarahi.” Kedua mata Nath berkaca-kaca usai
menonton video rekaman Rigel di Gedung Mati.
“Makanya! Jangan mudah percaya pada
Pearl!” Dio ketus.
“Ini jadi pelajaran buatku. Aku
benar-benar minta maaf.”
“Udah berlalu. Kami juga selamat.
Jenna nggak boleh terus-terusan merasa bersalah, oke? Itu membuat kami
nggak nyaman.” Byungjae menenangkan Nath.
Nath tersenyum dan mengangguk.
“Rue! Ponselmu terus bergetar!” Dio
berseru. Karena ponsel Rue diletakan di nakas dekat dengan sofa tempat ia
duduk.
“Biarin aja!” Rue berteriak dari
dapur.
“Dio beneran nggak papa dikeluarin
dari Dewan Senior?” Nath penasaran.
“Aku keliatan nggak baik ya?” Dio
balik bertanya.
“Nggak sih. Heran aja liat Dio bisa
nyantai banget gitu.”
Dio tersenyum lebar. “Aku udah tau
resikonya. Itu kenapa tetep aku lakuin di ruang publik. Karena alibiku kuat.
Aku juga sengaja bongkar kebusukan Pearl di depan forum. Tujuannya emang biar
dia gagal jadi calon ketua Dewan Senior.”
“Wah! Dio berpolitik.” Byungjae
kagum.
“Harus dong! Walau Pearl punya bad attitude, dia tetap punya pendukung.
Dia pasti akan memanfaatkan kesempatan apa aja untuk menjatuhkan Rue. Kalau
begini, bener nggak akan bikin dia berhenti, tapi seenggaknya dia nggak jadi
calon ketua lagi.
“Jujur nih ya. Dari awal aku udah
curiga teror di sekolah itu ada hubungannya sama Pearl. Nggak tahu kenapa
feeling-ku lebih condong ke dia daripada ke nominasi sekolah. Terlebih waktu
Nath cerita soal pertemuannya dengan Pearl yang nggak sengaja itu. Trus,
kejadian ini. Bisa jadi teror itu ulah dia juga.”
“Masa dia bisa datengin pasukan
setan?” Byungjae tak percaya.
“Pasukan setan?” Nath kaget.
“Bisalah. Pearl punya duit. Tinggal
ke dukun, beres urusan. Karena dia tahu kalau melawan Rue secara terang-terangan
dia nggak mampu.” Dio dengan yakin.
“Ada ya manusia kayak gitu?” Byungjae
masih terheran-heran.
“Tapi masa iya Pearl segitunya ke
Rue? Alasannya apa?” Nath pun sama. Merasa heran. Jika dugaan Dio benar,
baginya tindakan Pearl sangat keterlaluan.
“Itu dugaanku aja. We never know until we found the truth,
right?”
“Nyari buktinya gimana?” Tanya
Byungjae.
“Tanya Rue. Dia yang tahu.”
Rue tiba di ruang tamu dengan
membawa masakannya. Ia memasak mie goreng untuk dimakan bersama-sama.
“Wah. Sedapnya.” Byungjae menghirup
masakan yang dibawa Rue. “Aku siapin alat makannya.” Ia pun bangkit dari
duduknya dan menuju dapur. Di sana Rue telah menyiapkan peralatan makan.
Byungjae pun langsung membawanya ke ruang tamu.
“Rue yang terbaik.” Byungjae kembali
duduk. “Dio kalau nggak bisa duduk bawah, duduk di atas sofa aja nggak papa.”
“Nggak papa ya aku duduk atas.
Maaf.” Dio merasa sungkan.
“Lagian kamu emang ratu kami hari
ini. Hehehe.”
“Ratu apaan. Aku dah bongkar aib
Rigel tau!”
“Ratu Arogan!” Byungjae tergelak.
“Dasar!” Dio memukul pundak
Byungjae.
“Hanjoo. Makan dulu.” Rue meminta
Hanjoo menghentikan aktivitasnya.
“Bentar. Ntar lagi kelar.” Hanjoo
masih fokus menggambar.
“Rue, apa yang dibilang Dio itu
beneran?” Tanya Nath.
“Yang mana?”
“Pearl kirim pasukan setan buat neror
sekolah lewat bantuan dukun.”
“Bisa dong.”
“Ya ampun. Dia itu kenapa sih?
Sampai segitunya ke kamu? Salah kamu apa?”
“Orang yang sedang cemburu itu bisa
jadi sangat mengerikan. Dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh.” Hanjoo
menyahut. Ia meletakkan buku sketsa dan pensilnya. Lalu, bergabung untuk makan.
“Cemburu? Ke Rue?”
“Cemburu itu maknanya luas, Jenna.” Byungjae
bersuara di sela mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Iya juga sih.”
“Gimana masakan Rue?”
“Enak as always.”
Nath dan Byungjae kompak tersenyum.
Rue makan sambil memeriksa
ponselnya. Nath meliriknya, lalu tersenyum. Ia teringat ketika Pearl menegurnya
di food court. Teman masa kecilnya
itu masih mengingat bagaimana Rue selalu menegurnya setiap kali ia makan sambil
membaca buku. Ia masih belum bisa mempercayai jika Pearl bisa bertindak nekat
pada Rue.
Kening Rue berkerut. Dio
menyadarinya dan bertanya, “Kenapa?”
“Pesan dari Yano.”
“Kenapa lagi? Neneknya ngambek?
Kemarin gimana?”
“Monoton. Tetep aja kayak gitu.”
“Itu Yano ngapain kirim pesan?”
“Hari ini Jin Hongjoon nggak masuk
katanya.”
“Trus, ngapain dia ngomong itu ke
kamu? Minta kamu terawangin Jin Hongjoon lagi di mana? Eh, itu anak yang nyasar
waktu jurit malam, kan?”
“Iya. Katanya Esya juga nggak
masuk.”
“Siapa lagi itu?”
“Saudaranya Hongjoon.”
“Trus ngapain Yano ngasih tahu
kamu?”
“Nggak tahu juga.”
“Kamu bales apa?”
“Ntar aja.” Rue meletakkan ponselnya
dan lanjut makan.
Rigel menikmati makan malam bersama
di markas. Lalu, terdengar sebuah ketukan di pintu.
“Hola! Halo! Spada! Kak Rue? Di
dalam?”
Dio menghela napas usai menelan
makanan di dalam mulutnya. “Rio?”
Rue tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa dia selalu dateng saat kamu
masak sih? Aromanya kecium sampek bawah apa?”
Rue mengangkat kedua bahunya.
“Biar aku aja yang buka.” Hanjoo
bangkit dari duduknya dan membuka pintu.
Pemuda bernama Rio yang tinggal di
lantai dasar rumah Kakek Rue itu tersenyum lebar saat pintu terbuka. “Wah! Ada
Kak Hanjoo.” Ia langsung menerobos masuk. “Wah. Lagi pesta. Pantesan aku pengen
banget ke sini. Kali ini Kak Rue masak apa?”
“Mie goreng. Ambil piring kalau
mau.” Jawab Hanjoo seraya berjalan melewati Rio dan kembali duduk.
“Ada yang nitip hadiah lagi?” Tanya
Dio pada Rio yang membawa tas kertas.
“Iya. Namanya Jin Hongjoon. Katanya,
dia murid yang hilang saat jurit malam.” Jawab Rio sembari duduk bergabung.
Rigel kompak menghentikan acara
makan mereka. Baru saja mereka membahas Hongjoon, tiba-tiba Rio datang
membawa hadiah dari Hongjoon. Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo saling
memandang dalam diam.
“Kapan dia nitipnya?” Tanya Dio pada
Rio.
“Semalam. Dia anak orang kaya ya?
Sebagai balasan nitip hadiah ini, dia ngasih aku sekotak coklat impor yang
terkenal dan mahal itu.”
Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo
kembali saling memandang dalam diam.
***
Hongjoon kebingungan. Ketika ia
membuka mata, ia sedang terbaring di padang rumput yang sejuk dan hijau. Ia
bangkit dari tidurnya dan mengamati sekitar. Tidak ada apa-apa selain dirinya
dan padang rumput hijau yang subur.
Hongjoon pun bangkit dan mulai
berjalan. Ia tidak tahu arah. Hanya terus berjalan. Ia tersenyum ketika
menemukan rombongan orang yang sedang berjalan ke satu arah. Hongjoon bergegas
mendekati rombongan itu.
“Permisi. Kalau boleh tahu, kita ini
di mana ya?” Hongjoon mencoba bertanya pada salah satu pria yang sedang
berjalan mengikuti rombongan.
Hongjoon kaget. Pria itu berwajah
pucat dan tatapannya kosong.
“Kenapa kau berdiri di sana! Cepat
masuk ke dalam barisan!” Seorang pria dengan kostum serba hitam membentak
Hongjoon. Lalu, menyeretnya masuk ke dalam barisan.
Walau bingung, Hongjoon tetap
berjalan di dalam barisan. Mengikuti arus.
Hongjoon berjalan mengikuti arus.
Barisan panjang itu sampai di sebuah tempat yang memiliki dua gerbang maha
besar. Terbuat dari besi yang kokoh dengan ukiran-ukiran yang tidak bisa ia
pahami. Di depan gerbang terdapat sebuah pos yang dijaga oleh dua orang pria
yang juga mengenakan kostum serba hitam.
Merasa ada yang aneh, Hongjoon
mengamati penampilannya. Ia mengenakan setelan putih yang baju bagian atasnya
berkerah Shanghai. Ia bingung, karena ia pergi dengan tidak mengenakan kostum
itu.
Hongjoon kembali mengamati sekitar.
Orang-orang di sekitarnya berwajah pucat pasi dan tanpa ekspresi. Ia semakin
dibuat bingung. Tak tahu di mana ia berada.
“Berikutnya!” Panggil salah satu
petugas yang berjaga di bangunan di depan pintu besi raksasa.
Hongjoon maju.
“Nama.”
“Jin Hongjoon.”
“Tanggal lahir.”
“31 Oktober 2003.”
Petugas yang berhadapan dengan buku
catatan maha tebal di hadapannya membolak-balik lembaran buku. “Tidak ada.”
“Tidak ada?” Petugas yang memanggil
dan menanyai Hongjoon bingung.
“Iya. Tidak ada data itu dalam buku
ini.”
Petugas yang memanggil Hongjoon
mengamati Hongjoon dari atas ke bawah. Ia pun mengambil buku bersampul putih.
“Jin Hongjoon, 31 Oktober 2003.” Ia mengucapkan kalimat itu di atas buku maha
tebal bersampul putih.
Hongjoon terkejut ketika melihat
buku itu terbuka sendiri. Lembaran demi lembarannya terbuka. Lalu, berhenti di
satu halaman.
Petugas memeriksa halaman itu, lalu
mendesah. “Kenapa kalian membawa jiwa orang yang masih hidup ke sini?” Ia
menegur orang-orang berkostum hitam yang mengawasi barisan.
Hongjoon terkejut mendengarnya. Jiwa orang yang masih hidup?
“Kau tersesat, Nak. Belum waktunya
bagimu untuk ada di barisan ini.” Petugas itu menjelaskan kepada Hongjoon. “Kembalikan
dia ke dunia asalnya!”
“Tunggu. Tuan, tolong bisa jelaskan
saya diman—” belum selesai Hongjoon bertanya, dua orang bertubuh besar dengan
kostum serba hitam menangkapnya dan menyeretnya keluar barisan.
Hongjoon berusaha berontak, namun
sia-sia. Dua orang itu menyeretnya mendekati sebuah lingkaran maha besar
berwarna putih bersih. Bagian tengah lingkaran itu berputar-putar membentuk
pusaran. Melihatnya, Hongjoon pun ketakutan.
“Tut-tunggu! Apa yang akan kalian
lakukan? Hey!” Hongjoon masih berusaha berontak ketika dua orang pria bertubuh
besar itu mengangkat tubuhnya. Ia menjerit ketika tubuhnya di lemparkan ke
dalam pusaran.
Tubuh Hongjoon berputar-putar.
Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali
pasrah. Setelah cukup lama berputar-putar dalam pusaran, Hongjoon berhasil
lolos. Namun, tubuhnya melayang di udara bebas. Ia terkejut menyadarinya.
“Aaa!!!” Jerit Hongjoon ketika
tubuhnya bergerak bebas ke bawah. Meluncur dalam udara bebas.
“Auw!” Pekik Hongjoon ketika
tubuhnya menimpa sesuatu dan mental, lalu terjatuh di atas sebuah permadani.
Hongjoon tidak merasakan sakit walau
tubuhnya berputar-putar dalam pusaran dan kemudian terjatuh. Ia pun bangkit
dari posisi tengkurap. Ia yang berlutut mengamati karpet biru nan lembut
tempatnya terjatuh.
“Di mana lagi ini?” Gumamnya sambil
mengamati sekitar. Kedua mata sipit Hongjoon melebar ketika ia menemukan
seseorang tengah duduk menekuk kedua kaki di atas sofa.
Seorang anak perempuan yang
menatapnya dengan ekspresi penasaran. Seorang anak perempuan yang ia kenal
sebagai Ruta Way.
Hongjoon tertegun menatap Rue yang
juga menatapnya. Ia bingung, tak tahu bagaimana ia bisa jatuh di depan Rue.