cUrioUs -W- way

My Curious Way: [170713] Road to Wana Wisata Kampung #6.

04:54



My Curious Way:[170713] Road to Wana Wisata Kampung #6.



Yey!!! Akhirnya comeback juga setelah hiatus selama... berapa bulan ya? Dua bulan? Iya deh kayaknya.

Yap! Perjalanan pertama kami Kamis kemarin adalah ke Wana Wisata Kampung #6 yang berada di desa Patok Picis Wajak.

Sebenernya dapat informasi tentang wana wisata Kampung #6 ini udah lama. Sebelum puasa. Dapat informasinya dari Mas Azka Wolupitu. Ini aku tulis nama Facebook-nya. Soalnya aku ndak tahu nama masnya sapa walau sering interaksi di Facebook. Heuheuheu. Tetep payah aja kura-kura!

Kata Mas Azka, ada wana wisata baru di Wajak. Tepatnya di Patok Picis. Hutan pinus gitu lah. Tapi, belum 100% jadi. Waktu itu rumah pohonnya masih satu kata masnya.

Wana wisata itu juga yang jadi tempat finish dari baksos trail adventure sebelum puasa lalu.

Kenapa? Trail lagi? Mas Azka itu emang trail rider kok. Makaya infonya pun ada hubungannya dengan dunia trail. Kenapa eh? Nyambungnya ke Lexi?? Hahaha. Tetep ya!

Ok! Wana Wisata Kampung #6 masuk dalam daftar tujuan mbladas. Catat!

Sabar menunggu karena masih puasa dan lebaran—dan liburan panjang. Males keluar pas musim liburan. Pengalaman ke HPS dulu. Jadi nggak bisa puas nikmati waktu di wana wisatanya.

Bingung wana wisata itu apa? Eum, wana itu berasal dari bahasa Jawa yaitu wono yang berarti hutan. Jadi, wana wisata mungkin maksudnya hutan wisata. Aku tahu istilah itu dari promosi Wana Wisata Winongan yang juga berada di Wajak—yang juga udah masuk daftar mbladas, tapi belum dikunjungi.

Mungkin karena lokasinya emang hutan, hutan pinus. Jadi, pakek istilah wana wisata.

Libur lebaran, pas tengok beranda Facebook nggak sengaja nemu postingan temen Facebook yang juga tetangga di kampung. Postingan foto-foto di lokasi wisata yang kemudian aku sadar itu adalah Kampung #6.

Langsung deh komentar. Nyari info tentang jalurnya dan juga toilet. Hehehe. Selalu toilet ya. Maklum, aku kan beseran. Jadi, harus dipastikan udah ada toilet apa belum. Daripada ntar aku tersiksa karena nahan kebelet pipis hayo?

Informasi sudah didapat. Mas Azka ikut menambahkan informasi tentang Kampung #6. Kebetulan masnya udah dari sana juga. Bahkan, Mas Azka ngundang Mas Comenk (lagi-lagi ini nama akun Facebook-nya dan Mas Comenk ini trail rider juga) yang katanya dulu ikut babat alas Kampung #6 di komentar. Siap ladub! Nunggu waktu longgar.

Dan, makin dibuat kepingin ketika melihat postingan di Komunitas Peduli Malang tentang Kampung #6. Bagus!!! Pengen segera ke sana. Tapi, jadwal bentrok terus sama patnerku si mbak potograper Mbak Siti Maimun.

Tuhan emang Maha Asik. Saat iseng ngusulin Kampung #6, teman-teman dari grup GAI langsung setuju buat kopdar di sana. Woa!!! Akhirnya bisa pergi. Apalagi hubungi Mbak Siti Maimun juga bisa. Siap ladub kan!!!

Kali ini nggak pakek Google Maps. Ogah nyasar lagi. Hahaha. Modal mulut aja dah. Nanya ke orang. Lagian aku udah pernah lihat papan petunjuk arah desa Patok Picis. Jadi, aman. Bapak juga ngasi ancer-ancer. Kata Bapak, di arah ke WBL (Wisata Blayu Lor) itu terus.

Eh? Masak sih? Kayaknya bukan deh. Setahuku masih di belokan yang agak ke selatan. Ada tulisan Patok Picis warna hitam. Ah! Jalan aja deh.

Melaju bersama Jagiya. Dari pasar Wajak terus ke selatan. Eh, bablas. Ternyata bener di belokan ke WBL itu ada papan petunjuk arah ke desa Patok Picis. Warna ijo papannya.

Heuheuheu! Balik lagi deh. Untung nggak terlalu jauh bablasnya. Jadi, mripit aja lalu masuk gang dan kembali melaju.

Rute ke WBL udah aspal dan melewati perkampungan padat penduduk. Tapi, jalannya sempit dan yang lewat situ kebanyakan truk pengangkut pasir. Jadi, sabar ya. Pelan-pelan. Harus saling mengerti, memahami, dan berbagi. Hehehe.

Masuk gang itu, terus aja deh. Jangan belok-belok. Ikutin aja jalan utama. Atau ngekor truk pasir juga nggak papa. Soalnya truk pasir itu masuk area wana wisata juga. Lewat situ juga gitu.

Siapin masker ya. Kalau lagi musim kemarau gini, debunya aje gile bohay dah. Aku bawa masker, tapi lupa nggak dipakek. Kenyang debu deh jadinya.

Sepanjang jalan utama aspal. Ada jalan makadam (tanah berbatu dan berdebu) sekitar 500 meter lah. Tapi, jangan khawatir. Ndak separah HPS kok jalurnya. Cuman debunya kan tebel, jadi agak licin juga. Dan, rada nanjak pas mau ke lokasi.

Tiba di lokasi, kita langsung disambut area parkir. Luas areanya. Mobil juga bisa. Tapi, panas. Karena berada di area terbuka. Kalau di HPS kan di dalam hutannya ya. Di bawah pepohonan. Di Kampung #6 ada di tepi hutan dan area terbuka.


Hutan pinus di dekat pintu masuk yang juga pintu menuju area parkir.


Toilet ada di sebelah... barat sih kalau kataku. Yap, sebelah barat area parkir.

Yang nggak bawa bekal. Don't worry be happy. Walau belum sebanyak di HPS, tepat di samping area parkir udah ada kantin. Jualannya pun beragam. Dari camilan sampai bakso yang bisa bikin kenyang ada. Mau ngopi juga ada. Tinggal pilih aja maunya apa.

Kampung #6 ini ndak kayak HPS. Kalau HPS kan full hutan pinus. Nah, Kampung #6 ini, bagian yang udah dibangun bukan pada hutan pinusnya. Tapi, entah pohon apa. Aku nggak tahu namanya. Hutan pinus ada di sebelah kanan. Dan, lokasi antara hutan pinus dan area yang sudah dibangun dibatasi jalan tanah yang menjadi jalur lalu lalang truk pengangkut pasir.



Di area yang sudah dibangun ada taman bunga dan beberapa rumah pohon. Seingatku ada dua rumah pohonnya. Trus, di sisi kiri ada panggung kotak dan satunya berbentuk hati aka love kayak di GSS.












Senada dengan HPS, ada tulisan-tulisan unik juga di beberapa pohon yang bisa diajak selca atau selfie. Ada juga meja dan bangku kayu yang bisa dipakai buat duduk-duduk menghabiskan bekal sembari menikmati indahnya lukisan Tuhan yang terbentang di sekeliling kita.




Areanya luas, tapi sayangnya aku nggak keliling kayak biasanya. Karena hari itu emang datang buat kopdar, jadi sebagian besar waktu dihabiskan buat duduk bersama dan saling curhat. Jadi, maaf deh. Kurang lengkap tulisannya.


Karena masih taraf pembangunan, jadi masih banyak area kosongnya. Kalau udah jadi seluruhnya pasti bagus banget. Tapi, jangan khawatir. Aktifitas para pekerja nggak akan mengganggu kita kok. Dan, wana wisata ini emang selfiable.

Selain itu, berada di Kampung #6 berasa seperti berada di negeri atas awan. Kita bisa melihat kawasan pemukiman di bawah kita. Cocok deh buat ngedem pikiran yang panas. Cari inspirasi. Buat jalan-jalan bareng keluarga juga ok. Jalan sama pacar juga ok. Hahaha.



HTM ke Kampung #6 tidak ada. Cukup bayar parkir Rp. 5.000,- aja. Jangan ngeluh karena ndak dapet karcis ya. Kan udah aku bilang masih taraf pembangunan. Jadi, jangan samain sama HPS yang udah jalan. Kita bakal dapat nomer parkir aja. Mungkin ntar kalau udah jalan juga bakal ada karcisnya kayak di wana wisata lainnya yang udah lebih dulu tenar.

Oya, di jalan masuk ke lokasi sebenarnya ada dua jalur. Aku kebetulan lewat yang sisi kiri. Ada jalur lagi di sisi kanan. Kata mas-mas yang jaga parkir sih itu jalan alternatif juga. Tapi, jalurnya lebih sepi. Jadi, kalian bisa pilih sih mau lewat mana. Karena aku cuman berdua, aku milih balik pakai jalur pas berangkat. Berbagi lagi sama truk-truk pengangkut pasir. Hehehe.

Kalau kebelet pipis, ke toilet cukup bayar Rp. 2000,- aja. Airnya mengalir deras. Toiletnya juga bersih. Ada buat cowok dan ada buat cewek.

Trus, trus... kalau kehabisan bensin di lokasi. Don't worry. Ada yang jualan bensin juga. Jadi keinget di Njemplang. Suasana kantinnya kayal di Njemplang emang.



Siapin tunggangan ya kalau mau main ke Kampung #6. Walau jalur nggak separah ke HPS, tapi nggak bijak juga kalau naik bawa tunggangan yang nggak fit. Jalur makadam itu udah jauh dari pemukiman. Jadi, jangan sampai bawa tunggangan yang nggak fit yang bisa berujung nyusahin kita di sana.

Mungkin next time main lagi ke Kampung #6. Biar bisa keliling dan masuk ke hutan pinus kayak yang dilakuin pengunjung lain waktu itu. Dan, mungkin nanti bisa tanya-tanya kenapa nama wana wisatanya kok Kampung #6.

Video Kampung #6 Part #1
 Video Kampung #6 Part #2



Well, selamat berwisata. Semoga bermanfaat. Maaf jika ada salah kata. Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 17 Juli 2017.
. shytUrtle .


Khayalan shytUrtle

Istri Untuk Anakku

06:47









Istri Untuk Anakku

Ketika hati mencintai seseorang, namun tak akan pernah memiliki kemurnian cinta dari hati orang yang terpilih.
         
          Kenapa aku dinikahi? Aku seperti boneka kayu yang ditumbangkan dari status lajang menjadi menikah.  Dari belum kawin menjadi kawin. Aku memandangnya sebagai sosok yang terhormat. Seorang ayah impian dari semua anak gadis. Figur yang bersahaja dan bijaksana. Beliau adalah raja yang welas asih pada seluruh rakyat. Tegas, penuh wibawa dan selalu terkembang senyum di wajahnya yang teduh. Menatap semua sama rata tanpa ada kesombongan dan keangkuhan membanggakan harta benda yang berlimpah miliknya. Tuan Tanah ini amat disegani. Waktu bagiku pun berhenti di sini. Ketika Tuan Tanah ini menjadi suamiku.”
***

Tuan Tanah dan Bunga Desa

           
Sukaryo, itulah nama pria kaya raya itu. Pria paruh baya berwajah teduh yang sangat disegani di desa petani ini. Sukaryo adalah Tuan Tanah di desanya. Perkebunan yang ia miliki luas tak terhingga. Sawah dan ladang pun berhektar-hektar. ¾ tanah di desa ini adalah miliknya. Saking kaya rayanya Tuan Tanah itu, warga sering mengatakan harta yang dimiliki Sukaryo tak akan habis hingga tujuh turunannya nanti. Walau demikian, semua yang ia miliki tak menjadikan Sukaryo sombong dan sok berkuasa. Sikapnya andap asor, penuh kasih dan gemar menolong. Tak pernah ia mengecewakan orang-orang yang datang meminta bantuan padanya.

Rumah bak istana milik keluarga Sukaryo berdiri megah di atas lahan yang luas. Ada satu rumah utama yang sangat megah. Di sekitarnya ada beberapa bangunan, termasuk rumah beberapa anak Sukaryo yang telah berkeluarga. Sebut saja itu komplek pribadi keluarga besar Sukaryo, karena komplek itu berdiri agung di atas lahan yang luas dan sedikit menjauh dari pemukiman warga.

Putra sulung Sukaryo, Eka Pandu telah menikah dan memiliki dua anak. Pandu dan istrinya Ratih serta dua anaknya Danar dan Wulan tinggal di rumah yang juga berukuran besar yang berada tak jauh di samping kiri rumah utama. Rumah utama menjadi tempat tinggal Sukaryo bersama ibu kandungnya Lasmi dan kelima anak Sukaryo.

Dwi Puspita Sari, anak kedua Sukaryo, setiap harinya bertugas mengurus kebutuhan pangan para pekerja Sukaryo. Sesekali ia juga membantu urusan keperluan rumah tangga keluarga besar Sukaryo. Hal ini menjadi tanggung jawabnya sejak ibu kandungnya meninggal.

Catur Bowo Sukaryo, Panca Wibisono Sukaryo, Gendis Putri Sukaryo dan si bungsu Sapta Ragil Putra Sukaryo turut tinggal di dalam rumah utama. Sedang putra ketiganya Triandi Galih Putra Sukaryo saat ini sedang menempuh pendidikan di Jakarta.

Keluarga yang sempurna. Berkelimpahan harta dan kasih sayang. Sukaryo dan mendiang istrinya Lastri dikenal sangat murah hati di desa petani itu. Lastri meninggal dua tahun yang lalu karena kanker kandungan yang di deritanya.

Kaya raya namun tidak sombong dan congkak. Rendah hati dan suka menolong. Seluruh warga menghormati dan menyayangi Sukaryo dan keluarganya. Bagi warga desa petani itu, Sukaryo adalah raja. Sukaryo lebih dihormati dan disegani daripada Kepala Desa dari desa petani ini sendiri.

***

         
 Tinggallah satu keluarga kecil di salah satu kampung dari desa petani tempat Sukaryo berkuasa bak raja. Rumah sederhana menjadi hunian bagi seorang janda bersama dua anaknya, satu keponakan dan satu adik laki-lakinya. Murti nama janda itu. Kehidupan Murti boleh disebut sederhana, berkecupan setiap harinya. Namun, Murti gemar bergaya bak orang kaya. Sifatnya sedikit sombong dan bagi Murti uang adalah segalanya. Uang nomer satu. Uang adalah hidup. Dalam keluarganya Murti bersikap diktator pada anak, keponakan dan adik laki-lakinya. Anjar, anak sulung Murti bekerja di perkebunan Sukaryo sedang Rahma si bungsu masih berstatus pelajar SMA. Joyo, adik laki-laki Murti yang juga turut tinggal di rumah itu juga bekerja mengolah sawah milik Galuh setiap harinya.

Satu gadis lagi yang tinggal bersama Murti. Keponakan Murti, seorang gadis yatim piatu bernama Galuh Widati. Gadis yang usianya baru saja genap 23 tahun itu terkenal santun. Tidak hanya cantik, Galuh juga terkenal pintar di kampungnya. Banyak pemuda yang naksir dan mengejar Galuh. Namun tak satu pun dari mereka yang berhasil menakhlukan hati Galuh. Kesehariannya, Galuh bekerja sebagai penjahit rumahan.
***

          “Permisi. Apa ini rumah Galuh Widati?” tanya seorang pemuda pada Murti yang sedang menyapu halaman.
“Iya.”
“Ada paket untuk Galuh Widati. Tolong tanda tangan di sini.”
Murti membawa masuk bungkusan berwarna coklat yang baru saja sampai untuk Galuh. “Galuh! Galuh!” panggilnya dengan suara lantang. “Galuh!” Murti kembali berteriak.
“Sebentar Bulek!” suara Galuh terdengar jauh di belakang.
Murti sudah memberengutkan muka. Kesal karena Galuh baru muncul di hadapannya.
          “Iya, Bulek. Ada apa?” tanya Galuh yang masih sibuk dengan lap di tangannya.
          “Lama bener dipanggil dari tadi! Ini! Paketan buat kamu!”
          Galuh sumringah menerima bingkisan kecil itu. “Alhamdulillah.” ucapnya penuh syukur.
          “Belakangan sering ya ada paketan buat kamu.”
          “Alhamdulillah dagangan Galuh laku Bulek.”
          “Dagangan? Lah, memangnya kamu jualan apa? Di mana?”
          “Makanya Ibu jadi orang jangan kuper.” sahut Rahma. “Ibu sering marah-marah kalau Mbak Galuh ke warnet. Ibu kira ngapain? Main-main? Mbak Galuh itu jual dagangannya. Promosi baju-baju hasil jahitan lewat internet. Halah, dijelasin pun Ibu nggak bakal paham.” Rahma tersenyum melirik Galuh.
          “Internet?” Murti bingung.
          “Tuh kan nggak mudeng! Nggak paham. Mbak Galuh itu sedang merintis bisnis online shop sekarang. Khusus buat baju-baju jahitan Mbak Galuh.”
          “Onlen sop…? Apa itu?”
          “Walau Rahma jelasin Ibu juga nggak bakal ngerti. Yuk, Mbak kita lanjut jemur cuciannya.” Rahma merangkul Galuh kembali ke belakang.
          “Dasar anak muda jaman sekarang.” Murti menggelengkan kepala dan kembali ke depan.
***

          “Mbak Galuh itu jangan ngalah terus sama Ibu. Mbak kan udah gede, berhak nentuin pilihan. Berhak melakukan apa pun yang Mbak mau. Bersikap tegas sama Ibu nggak ada salahnya lho Mbak. Bukannya ngajarin nggak bener ini, tapi selama ini Mbak udah banyak ngalah sama Ibu. Yang paling bikin akau nyesek, Mbak gagal kuliah gara-gara hutang Ibu yang numpuk. Jujur aku malu Mbak.” Rahma kesal.
          “Kok jadi kamu yang kesel? Jengkel gitu kesannya.”
          “Iyalah, Mbak. Kami ini udah numpang di rumah Mbak, tapi lagaknya tuh kayak Ibu yang punya rumah ini. Aku kesel Mbak.”
          “Udah. Nggak bagus juga sering cek-cok sama Bulek kayak gitu. Jangan belain aku terus. Lagian ini rumah kita kan. Nanti kamu aja yang kuliah. Biar di keluarga kita ini ada yang jadi orang. Ber-title.”
          “Lagi ngomongin apa putri-putri cantik ini?” Joyo menyela obrolan Galuh dan Rahma di teras. “Rahma sewot lagi? Tadi adu mulut lagi sama Mbakyu?”
          “Mbak Galuh tuh Paklek. Ngeselin.” Rahma bersungut-sungut.
          “Jadi marahnyaa sama Galuh? Bukan sama Mbakyu?”
          “Sama Ibu sih. Mbak Galuh juga.” Rahma masih sewot.
          “Ada apa tho Nduk? Kok adikmu sampai sewot gini?” Joyo menatap lembut Galuh.
          “Rahma lagi sensi Paklek. Ya begitu itu jadinya.” Galuh tersenyum melihat ekspresi Rahma.
          “Walah! Kok jadi saling melempar tuduhan begini? Ndak baik lho bertengkar itu.”
          “Kami nggak bertengkar Paklek. Mbak Galuh itu…” Rahma tak melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba Murti muncul.
          “Rahma! Sudah jam delapan. Lekas tidur!” perintah Murti ketus. “Galuh! Kamu juga masuk. Anak perawan nggak baik malam-malam duduk di teras.”
          Galuh dan Rahma pamit masuk. Joyo menghela napas menatap Murti yang segera menyusul masuk.
***

          Salah satu rutinitas yang biasa dilakukan Lasmi dan Sukaryo setiap malam adalah minum teh bersama di teras samping rumah.
       
   “Dua tahun sudah kamu menduda. Apa kamu ndak ingin mencari pengganti Lastri untuk mendampingimu? Apa kamu ndak ingin menikah lagi? Sepanjang malam, selama dua tahun ini kamu pasti sangat kesepian.” Lasmi memulai obrolan.
          “Ada Ibu dan anak-anakku di sini, bersamaku. Bagaimana aku bisa kesepian? Aku bahagia, Bu. Bahagia hingga hari ini. Lastri terus hidup di hatiku, karenannya aku tak pernah kesepian.” Sukaryo lembut.
          “Catur, Panca, Gendis dan Ragil masih kecil. Mereka butuh kasih sayang seorang ibu. Setidaknya pikirkanlah tentang mereka. Aku sudah semakin tua dan sebentar lagi Puspita juga akan menikah. Walau aku tak ingin merepotkan, tapi tetap saja nantinya aku akan merepotkanmu. Biarkanlah cucu-cucuku menikmati hidup mereka. Tapi apa kamu akan sanggup merawatku dan anak-anakmu yang belum mentas? Rasanya pasti berbeda jika ada menantu lagi di rumah ini.”
          Sukaryo terdiam. Sama sekali tak terlintas dalam benaknya untuk menikah lagi usai kepergian Lastri.
Hingga malam, Sukaryo dibebani oleh permintaan Lasmi. Akhirnya Sukaryo membagi kegundahan hatinya pada Harto, adik sekaligus orang kepercayaannya.
“Lalu Mas menjawab apa? Mas setuju mau menikah lagi?” tanya Harto usai Sukaryo bercerita.
“Aku menyanggupinya. Kalau ketemu jodoh yang pas, yang mau menerima kondisiku ya aku mau nikah.”
“Siapa yang bakal nolak Mas Karyo?”
“Jujur aku ndak kepengen nikah lagi.”
“Yakin, Mas? Di desa kita ini banyak lho wanita cantik dari perawan sampai janda.”
“Kamu ini! Kenapa nggak kamu aja yang nikah?”
“Itu lain ceritanya, Mas. Belum ketemu yang pas di hati.”
“Yowes. Jangan maksa-maksa aku juga.”
Harto terkekeh.
***

“Good evening, Kids! Are all of you ready to learn English with me again right now?” Galuh menyapa anak-anak yang biasa berkumpul untuk mengikuti bimbingan belajar darinya.

Galuh tetap memberikan bimbingan belajar secara gratis walau Murti melarangnya dengan keras. Sesekali Rahma membantu. Dengan telaten Galuh mengajari anak-anak SD-SMP di kampungnya Bahasa Inggris dan beberapa pelajaran lain yang mana anak-anak meminta bantuan Galuh untuk belajar.

“Galuh! Bulek mau bicara!” panggil Murti saat Galuh usai mengajar.
Galuh menurut dan duduk di hadapan Murti. Murti segera mengungkapkana maksud hatinya.
“Apa…? Nggak, Bulek! Galuh nggak setuju.” tolak Galuh. “Galuh bisa sabar untuk yang lain. Galuh bisa terima. Tapi nggak dengan rumah ini. Rumah ini tinggalan Bapak dan Ibu Galuh.”
“Anak durhaka! Kamu nggak liat Bulek lagi susah?”
“Ibu yang numpuk hutang kenapa Mbak Galuh yang harus melunasi?” sela Rahma yang menguping.
Tangan kanan Murti melayang dan mendarat di pipi kiri Rahma. Rahma menangis, Galuh memeluknya.
“Istighfar Bulek.” Galuh meredam emosinya melihat sikap Murti.
“Bisnis kreditan bangkrut. Selama ini aku kerja keras buat siapa? Buat kalian!” Murti naik darah. “Buat kamu juga Galuh. Les jahitmu, siapa yang membiayai kalau bukan aku?”
“Paklek Joyo yang biayai les jahit Mbak Galuh.” Rahma masih berani membantah.
“Berani kamu ya sekarang?! Jadi begini cara kalian membalasku?! Di saat aku jatuh kalian nggak peduli gitu?! Bagus ya budi pekerti anak sekarang!”
“Tolong jangan jual rumah ini Bulek. Rumah ini satu-satunya kenangan Galuh bersama Bapak dan Ibu. Kalau Bulek jual rumah ini, kita semua tinggal di mana?”
“Kalau bukan rumah ini, apa yang bisa dijual untuk melunasi hutang?”
“Ada sebidang sawah tinggalan Bapak. Bulek bisa jual itu, jangan rumah ini.”
“Mbak Galuh!” Rahma melepas pelukan Galuh.
“Sawah?” ekspresi Murti berubah cerah mendengarnya.
“Kalau sawah itu dijual, Paklek Joyo kerja apa Mbak?” protes Rahma. “Itu sumber pemasukan keluarga kita juga.”
“Aku akan bicara pada Paklek Joyo. Apa itu cukup untuk membayar hutang Bulek?” Galuh dengan mata memerah karena menahan tangis.
“Cukup. Cukup kok.” Murti kembali berbinar.
Galuh pergi ke kamarnya.
“Ibu jahat!” Rahma menyusul Galuh.
Murti mengabaikan itu semua. “Duit. Duit lagi. Ahahahaha.”
***

Tempurung kura-kura, 10 Juli 2017.
. shytUrtle .


Search This Blog

Total Pageviews