Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy - Land #42
04:04Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy
It's about rainbow, love, hate, glory, loyalty, betrayal and destiny.
. Judul: “Wisteria Land: Another Story of Hwaseong Academy”
. Author: shytUrtle
. Rate: Serial/Straight/Fantasy/Romance.
. Cast:
- Song Hyu Ri (송휴리)
- Rosmary Magi
- Han Su Ri (한수리)
- Jung Shin Ae (정신애)
- Song Ha Mi (송하미)
- Lee Hye Rin (이혜린)
- Park Sung Rin (박선린)
- Song Joongki, L,Joe Teen Top, L Infinite, Jung Daehyun B.A.P, Jo Jonghwan 100%, Baro B1A4, Jang Geunsuk, Yoo Seungho, Kim Sunggyu Infinite, Choi Joonghun FT.Island, Cho Kyuhyun Super Junior, and many other found it by read the FF.
Ketika kau melihat pelangi, apa yang ada di benakmu? Tujuh warnanya yang indah atau...? Di sini, di Wisteria Land, kami percaya jika pelangi adalah jelmaan sang Naga. Naga arif dan bijaksana yang selalu mengawasi dan menjaga tanah Wisteria Land. Naga yang pada suatu waktu muncul dengan keelokan wujudnya dengan tujuh warna pelangi. Apa kau juga percaya akan hal ini?
Land #42
Punggung Hyuri menegang. Sekujur tubuhnya terasa dingin dan kaku. "Sss-say-ssaya tidak mau!" Ucapnya terbata. "Tahta itu bukan milik saya," imbuhnya. "Hamba mohon hentikan semua ini, Yang Mulia." Hyuri mengiba pada Joongki. "Holly-nim," ia beralih memohon pada Hyeyoung.
Joongki mengembuskan napas pelan. "Jika aku angkat bicara, akan muncul spekulasi baru bahwa aku tidak ingin memberikan tahta pada pemilik sah yaitu Putri Ahreum."
"Itu benar. Karenanya Putri Ahreum harus hadir dalam pertemuan dan berbicara langsung di depan para Rowan. Mengatakan langsung di depan Rowan jika Yang Mulia Putri Ahreum belum siap untuk naik tahta akan memberi efek berbeda. Walau hal itu akan tetap membuat posisi Yang Mulia Raja sedikit terpojok, kemunculan Putri Ahreum dalam pertemuan akan sedikit mendinginkan situasi yang sedang panas.
"Lalu, saya secara pribadi akan memberi dukungan pada keputusan yang disampaikan Song Hyuri. Saya akan menggunakan pendidikan kerajaan yang belum dikuasi Putri Ahreum untuk menahan permintaan naik tahta. Para Rowan pasti tidak ingin membuat istana malu dengan memilih Putri Ahreum naik tahta sebelum benar-benar menguasai pendidikan kerajaan.
"Saya yakin para Rowan akan setuju. Lalu, saya akan mengajukan permintaan penundaan selama tiga bulan dengan alasan pendidikan Putri Ahreum. Dalam waktu tiga bulan, kita harus menemukan Putri Ahreum yang sebenarnya dan membongkar rencana busuk Ratu Maesil." Hyeyoung membagi rencananya.
"Aku setuju dengan rencana Holly-nim. Karenanya, kita harus bekerja sama dengan baik agar rencana ini berjalan lancar." Joongki langsung menyetujui rencana Hyeyoung. "Tolong, kamu harus tetap hadir dalam pertemuan nanti." Joongki beralih menatap Hyuri.
"Jadi... saya harus tetap hadir dalam pertemuan dan menghadapi para Rowan?" Suara Hyuri bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan rasa gugupnya.
"Jangan khawatir," Hami meraih tangan kanan Hyuri dan menggenggamnya, "kami akan ada di sana bersamamu. Bertemu para Rowan bukan hal yang mengerikan. Ingat! Kamu adalah Putri Lee Ahreum! Identitas itu akan melindungimu."
"Jika kamu tidak bisa menjawab pertanyaan para Rowan, kami akan membantu." Joongki menyanggupi. Akan tetapi Hyuri menatapnya dengan ekspresi ragu, membuat Joongki menghela napas sedikit kasar.
"Aku tahu citraku memang tidak terlalu baik bahkan sangat buruk di depan para Rowan. Tapi, bukan berarti aku tidak melakukan sedikit hal saja untuk melindungimu di depan Rowan. Bagaimanapun juga, aku adalah raja dari Wisteria Land. Karena Putri Ahreum sudah kembali, aku tak sendiri lagi. Kini aku memiliki kekuatan tambahan untuk melawan para Rowan yang membelot dan mendukung Ratu Maesil. Walau kau bukan Putri Ahreum yang asli, tapi di mata Rowan kau adalah asli. Itu menjadi kekuatan tambahan bagiku. Kau pun tak sendiri di istana ini. Jadi, mari kita hadapi bersama-sama sampai kita menemukan Putri Ahreum Yang Asli." Joongki tersenyum pada Hyuri.
Mendengar pembelaan Joongki, Hyuri merasa hangat dan jadi sedikit lebih tenang. Ia membalas senyum Joongki dan menganggukkan kepala. Ratu Kyeongmi, Hyeyoung, dan Hami turut tersenyum dan bernapas lega melihatnya.
***
Ratu Maesil mondar-mandir di dalam aula Kastil Basil yang remang-remang. Ketika terdengar pintu aula terbuka, langkahnya terhenti. Senyum sumringah terkembang di wajahnya yang ayu namun keji ketika menatap pintu.
"Acanthus!" Ratu Maesil menyambut kehadiran Park Shi Hoo yang berjalan mendekat. "Duduklah!" Pinta Ratu Maesil seraya duduk di atas singgasananya.
Park Shi Hoo duduk di salah satu kursi dari empat kursi yang berada mengitari meja di depan singgasana Ratu Maesil.
"Kau bawa yang aku mau?" Ratu Maesil tak sabar.
"Iya, Yang Mulia." Shi Hoo yang duduk di kursi sebelah kanan paling dekat dengan singgasana menyerahkan map merah yang ia bawa ke hadapan Ratu Maesil.
Ratu Maesil mengambil map merah di atas meja dan membukanya dengan sedikit terburu-buru. Ia mengeluarkan kertas-kertas di dalam map dan membacanya.
"Maaf, Yang Mulia. Tapi, untuk apa data-data ini? Kenapa Yang Mulia tertarik pada mereka?" Shi Hoo yang penasaran akhirnya bertanya.
"Aku tertarik pada idemu, tapi itu terlalu instan. Aku hanya ingin menambahkan sedikit bumbu penyedap pada racikan yang akan kau buat." Ratu Maesil tanpa mengalihkan perhatian dari kertas-kertas di tangannya.
"Saya dengar Putri Ahreum akan hadir dalam pertemuan istana berikutnya. Apa Yang Mulia juga akan hadir?"
"Itu tak menarik lagi. Gadis itu sudah tidak berguna. Ada hal lain yang lebih menarik."
"Saya dengar para Rowan akan mendesaknya untuk naik tahta dengan alasan itu permintaan rakyat. Apa Yang Mulia juga tidak tertarik?"
"Itu skenarioku. Pihak istana pasti akan mengulurnya. Aku meminta mereka menyerah karena skenario baru yang akan aku buat lebih menarik." Ratu Maesil mengembalikan kertas-kertas ke dalam map merah dan menutupnya. Ia meletekkan map merah itu di atas meja tepat di hadapannya.
"Walau ini cukup rumit, tapi aku suka. Aku rasa aku telah menemukan Putri Ahreum yang asli." Ratu Maesil membuat kesimpulan.
Shi Hoo terkejut mendengarnya. "Benarkah? Siapa gadis itu?"
"Kau duduk saja dan menunggu perintah selanjutnya. Permaian akan segera dimulai. Kita akan sangat sibuk." Ratu Maesil membentuk seringaian di wajahnya.
***
"Sekarang hanya ada kita berdua. Aku ingin mengobrol lebih banyak denganmu, Song Hyuri." Pinta Hyeyoung setelah Keluarga Raja meninggalkan Istana Magnolia. "Kau masih merasa gugup?"
Hyuri menganggukkan kepala dengan antusias.
Hyeyoung menghela napas panjang. "Maafkan aku. Semua terjadi begitu cepat dan kita tidak punya pilihan lain."
"Meski sulit, perlahan saya bisa beradaptasi dengan keadaan ini. Walau setiap detik saya masih selalu ketakutan. Takut akan ketahuan jika salah adalah putri palsu."
"Kau benar-benar tidak memiliki petunjuk tentang Putri Ahreum?"
"Nee?" Hyuri merasa salah dengar.
"Kalung itu bisa ada padamu, bagaimana kronologinya? Masa iya kau tak mengingatnya sama sekali."
Hyuri diam dan berusaha mengingat kejadian sebelum ia mendapatkan kalung dengan liontin naga yang kemudian membuatnya celaka. "Saat itu..." Dengan bersungguh-sungguh Hyuri berusaha mengingat kejadian di ruang ganti siswi. "Omo!" Seru Hyuri yang tiba-tiba teringat sesuatu. "Apa mungkin..."
Hyeyoung menaruh perhatian penuh pada Hyuri.
"Saya rasa saya tahu siapa pemilik kalung naga itu. Jika dugaan saya tidak meleset." Hyuri dengan penuh keyakinan.
"Kau mengingatnya? Jadi, siapa pemilik kalung yang sebenarnya?" Hyeyoung sangat penasaran dan menaruh harapan tinggi pada keyakinan Hyuri.
***
Suri mengetuk pintu kamar Magi. Setelah mendapat perintah untuk masuk, ia membuka pintu dan kemudian memasuki kamar Magi. Di dalam Magi tak sendiri. Ada Sungjeong yang membantu Magi berkemas.
"Sudah beres ya? Wah, saya terlambat. Padahal saya berniat membantu." Keluh Suri yang melihat semua keperluan Magi sudah dikemas rapi oleh Sungjeong.
"Begitu lebih baik daripada sekadar mengintip." Sungjeong menyindiri Suri.
"Siapa yang mengintip? Saya? Ah! Seonbaenim!" Suri memprotes Sungjeong, namun pemuda itu hanya tersenyum menanggapinya.
"Jadi, L.Joe Seonbaenim akan menjemput Yang Mulia?" Suri beralih menatap Magi.
"Anee. Saat kembali dari sini, dia tersesat dan hampir tidak bisa pulang karena menolakku untuk mengantarnya. Padahal aku sudah bilang lurus saja baru belok kanan pada belokan ketiga, tapi tetap saja tersesat. Lebih baik dia menunggu di perempatan tempat kita biasa bertemu." Jawab Magi.
"Manis sekali." Suri tersenyum antusias.
"Mwoya?" Magi tersipu.
"Kalau begitu, saya akan mengantar Yang Mulia. Ah! Sabtu pagi yang cerah! Selamat berlibur, Yang Mulia." Suri masih diselimuti semangat tinggi.
Suri membawa tas jinjing milik Magi, sedang Magi membawa tas punggungnya sendiri saat berpamitan pada Nichkhun, Baro, dan Myungsoo.
Nichkhun tersenyum lalu mengelus puncak kepala Magi sembari berkata, "Bersenang-senanglah, adikku."
"Jangan lupa pesan-pesan saya agar Yang Mulia tetap aman." Sungjeong mengingatkan Magi tentang apa yang harus dihindari selama berada jauh dari kastil.
"Nee." Magi tersenyum dan menganggukkan kepala.
"Jangan lupa oleh-oleh buat kami. Tapi, yang terpenting, kembalilah dengan selamat." Baro tersenyum lebar.
Magi menganggukkan kepala dan tersenyum. Lalu, ia beralih menatap Myungsoo. Pemuda itu mengembangkan senyum canggung di wajahnya. Magi membalas senyum.
"Baiklah. Aku pergi." Magi berjalan menuju pintu depan diikuti Suri. Keduanya menghilang di balik pintu raksasa di bagian depan kastil.
Sungjeong manghapus air matanya yang meleleh.
"Kamu menangis?" Tanya Nichkhun tanpa mengalihkan pandangan dari Magi yang berjalan semakin menjauh. Ia dan Sungjeong menyusul hingga teras depan karena sama-sama merasa berat untuk melepas Magi pergi berlibur bersama L.Joe saja.
"Sepertinya mataku kelilipan." Bantah Sungjeong yang sibuk mengusap-usap kedua matanya.
"Dia akan kembali. Jangan berlebihan." Baro menyeruak di antara Sungjeong dan Nichkhun, merangkul keduanya.
Myungsoo berdiri satu langkah mundur dari ambang pintu. Turut memperhatikan Magi dan Suri yang berjalan semakin menjauh.
***
Sepanjang perjalanan di dalam Wisteria Tunnel hingga sampai gerbang tidak obrolan sama sekali. Magi dan Suri kompak terdiam.
"Setelah ini kamu mau ke mana?" Magi memulai obrolan saat sudah mencapai lima langkah keluar dari gerbang.
"Nee?" Suri tersadar dari lamunannya. "Berlatih. Myungsoo Seonbaenim mengatakan teknik memanahku semakin baik, jadi akhir pekan ini kami akan berlatih lebih giat lagi. Daripada keluar tanpa tujuan, lebih baik berlatih. Toh Jonghwan juga sibuk."
"Karena kondisi politik yang tidak stabil, sepertinya rakyat jadi takut untuk melakukam kegiatan, bodohnya aku malah setuju untuk pergi berlibur berdua saja dengan seorang pria."
"Yang Mulia, eh Magi!" Suri menghentikan langkahnya.
Magi turut berhenti. "Aku benar, kan? Bahkan sidang istana akan digelar dan entah bagaimana nasib Hyuri nantinya. Tapi aku malah pergi untuk bersenang-senang."
"Jika dibandingkan dengan kami, seberapa banyak waktu yang kamu miliki untuk jadi layaknya manusia normal? Contohnya bersenang-senang dengan berlibur seperti ini? Jika aku ada di posisimu, pasti aku sudah stres karena keadaan yang terus menekanku. Bisa jadi aku sudah berakhir di rumah sakit jiwa atau parahnya lagi bunuh diri."
"Han Suri!" Magi dengan nada sedikit meninggi.
Suri tersenyum dan menuntun Magi untuk kembali berjalan. "Kamu butuh waktu untuk sejenak beristirahat, karena setelah kamu kembali, nggak akan ada waktu bersantai lagi. Yang Mulia harus mempersiapkan diri untuk menghadapi perang besar melawan Ratu Maesil. Aku yakin Hyuri baik-baik saja di istana. Aku yakin para pendukung raja terdahulu dan Putri Ahreum pasti melindungi Hyuri."
"Aku pun merasa bersalah pada Baro dan Myungsoo. Di antara kami, mereka berdua yang paling menderita."
"Mereka bisa melihat dunia luar lewat mata Yang Mulia. Jika perang cepat usai, Yang Mulia bisa pergi bersama keduanya, melihat dunia. Siapa tahu saat liburan nanti Yang Mulia mendapat pencerahan yang bisa menginspirasi untuk menentukan langkah selanjutnya."
"Ya! Han Suri! Kamu lupa pada kesepakatan kita saat berada di luar kastil?" Magi mengalihkan perasaannya yang terharu dengan menegur bagaimana Suri memamggilnya.
Suri tersenyum, lalu memeluk Magi selama beberapa saat, kemudian melepasnya. "Kaja! L.Joe Seonbaenim pasti sudah menunggumu dengan gusar. Tuan putri harusnya berlibur dengan membawa koper. Tapi kamu? Malah tas jinjing dan ransel. Kaja!" Suri menarik Magi hingga keduanya berlari bersama.
L.Joe sudah menunggu dengan mobilnya ketika Magi dan Suri sampai. Suri memberikan tas jinjing yang ia bawa pada Magi dan meminta L.Joe untuk menjaga Magi dengan baik selama liburan.
Suri menatap mobil L.Joe yang melaju pelan dengan membawa Magi di dalamnya. Selamat bersenang-senang, Sobat. Suri menghela napas dan tersenyum, lalu berjalan untuk kembali ke kastil.
Pria dengan kostum serba hitam lengkap dengan topi hitam yang sebelumnya bersembunyi sembari mengawasi L.Joe turut pergi meninggalkan perempatan.
***
L.Joe yang melajukan mobilnya dengan kecepatan sedang sesekali melirik Magi. Gadis itu terlihat tegang sejak masuk ke dalam mobil.
"Mau aku putarkan musik?" L.Joe menawarkan untuk memutar musik sebagai teman perjalanan.
"Boleh, jika itu membuat Oppa nyaman saat mengemudi."
"Bukan aku, tapi kamu."
"Aku??" Magi menoleh dan menatap L.Joe.
"Iya, kamu. Sejak masuk ke dalam mobil, kamu terlihat tegang. Apa aku terlalu kencang? Atau kamu mabuk darat?"
"Anee. Seharusnya baik-baik saja kalau duduk di bangku depan."
"Begitu?"
"Jujur aku ada sedikit trauma saat berada di dalam mobil, tapi itu bukan masalah besar. Setelah menjalani terapi, aku merasa lebih baik."
"Trauma? Harusnya kamu bilang. Sekarang apa benar baik-baik saja berada cukup lama dalam mobil?"
"Mm." Magi menganggukkan kepala. "Jadi, kita akan ke mana?"
"Mungkin lebih baik kamu tidur." L.Joe yang masih mengkhawatirkan Magi tak menjawab pertanyaan gadis itu.
"Tidak. Itu justru membuatku tak nyaman. Jangan khawatir, aku baik-baik saja."
"Bersabarlah. Sebentar lagi kita akan sampai. Apa pemandangan di luar sana tidak cukup membantu? Cobalah! Mungkin tidur bisa membuatmu lebih baik. Jangan khawatir. Aku pengemudi andal dan tidak akan ngebut."
"Kalau begitu, mainkan musik saja."
"Begitu? Baiklah." L.Joe segera menyalakan musik.
Magi tersenyum melihat tingkah L.Joe yang begitu mengkhawatirkannya.
Satu setengah jam perjalanan, L.Joe sampai di tempat tujuan. Ia tersenyum menatap Magi yang tertidur. L.Joe melepas sabuk pengaman dan menggeliat untuk mengusir rasa lelah usai mengemudi tanpa berhenti sama sekali. Ia sengaja tak membangunkan Magi dan memilih menunggu gadis itu bangun dengan sendirinya. Ia menyamankan posisinya, turut beristirahat dalam mobil.
Sepuluh menit kemudian sudut mata L.Joe yang hampir terlelap menangkap Magi yang sebelumnya tenang bergerak. L.Joe membuka matanya lebar-lebar dan berusaha bersikap santai sealami mungkin.
Magi bergerak perlahan lalu membuka kedua matanya. Ia terkejut melihat L.Joe yang duduk di balik kemudi sedang menatapnya dengan wajah yang dihiasi senyum. Menyadari dirinya tertidur, Magi pun merasa sungkan.
"Mianhae. Aku ketiduran." Magi menegakkan punggung dan meminta maaf.
"Tidur memang terapi terbaik, kan?"
Magi tersipu dan menganggukkan kepala.
"Kita sudah sampai."
"Nee?? Sudah sampai? Ya ampun!" Magi menutup wajah dengan kedua telapak tangan dan mengusapnya. "Aku tertidur cukup lama." Kemudian ia melihat ke arah depan, pemandangan yang tersaji membuat kedua matanya terbuka lebar. "Pantai??" Gumam Magi, sedang kedua matanya menatap takjub hamparan laut biru di hadapannya.
"Kamu pernah bilang ingin melihat pantai. Aku tahu ini masih terlalu dingin untuk bermain di pantai, tapi jika menunggu musim panas, aku takut kita tidak akan memiliki kesempatan lagi."
"Tidak memiliki kesempatan lagi?" Magi kembali menoleh ke arah kiri untuk menatap L.Joe.
"Mm." L.Joe menganggukkan kepala. "Saat liburan musim panas nanti, entah kenapa aku merasa kita tidak akan memiliki kesempatan untuk pergi. Entahlah. Perasaanku kurang baik belakangan ini. Itu trus menggangguku. Mumpung ada kesempatan, baiknya pergi sekarang. Terima kasih, karena bersedia pergi bersamaku."
Magi menatap L.Joe dalam diam. Mendengar ata-kata itu, melihat wajah itu, membuat hatinya dipenuhi rasa haru. Ada rasa seolah kesempatan ini akan menjadi waktu terakhir baginya untuk bisa bersama L.Joe. Dada Magi tiba-tiba dipenuhi rasa sesak. Bukan hanya L.Joe yang memiliki perasaan kurang baik belakangan ini. Sejak Hyuri diboyong ke istana, Magi terus merasa kurang baik. Kondisi negara yang tak stabil dan perasaan kurang baik yang mungkin saja dialami oleh banyak orang ia rasa adalah karenanya. Magi merasa bertanggung jawab atas itu semua.
"Kurasa karena kondisi politik yang sedang tidak stabil. Banyak teror, banyak orang ketakutan. Hal itu memengaruhi Oppa juga rupanya."
"Aku nggak pernah peduli pada politik negara. Para pelaku politik sangat egois, sama sekali tidak berpikir tentang bagaimana rakyat kecil seperti kita. Untuk apa kita peduli? Biarkan saja mereka berebut tahta dan kekuasaan. Aku nggak peduli. Karena aku udah mendapatkanmu, itu segalanya bagiku."
"Gombal!" Walau memaki L.Joe, wajah Magi tetap merona karena tersipu.
"Bagaimana? Mau penginapan dahulu atau berjalan-jalan di pantai? Sebaiknya kita menurunkan barang-barang dahulu." Sebelum Magi memberi jawaban, L.Joe menghidupkan kembali mesin mobil untuk menuju penginapan. "Sabar ya. Dekat kok."
Magi tersenyum dan mengangguk.
***
Magi terkesima ketika memasuki vila mewah milik keluarga L.Joe. Vila yang terletak di tepi pantai dengan bangunan bertingkat dua dengan dinding-dinding kaca pada bagian yang menghadap ke laut benar-benar menyihir Magi.
"Ada empat kamar di sini. Dua di lantai dasar dan dua di lantai atas. Kamu bebas mau tidur di kamar mana."
Magi bingung.
"Semua kamar memiliki balkon menghadap pantai."
"Benar hanya ada kita berdua di sini?"
"Mm." L.Joe menganggukkan kepala. "Aku meminta semua pengurus vila libur selama kita di sini. Tapi kamu jangan khawatir, kita tidak akan kelaparan."
Magi mengangguk paham. Ia mengamati lantai dasar vila.
"Omo!" L.Joe tiba-tiba berseru, membuat Magi langsung menoleh dan menatapnya. "Jangan katakan kamu ingin tidur denganku karena hanya ada kita berdua di sini?!" Ujar L.Joe lengkap dengan ekspresi terkejut.
"Mwo?!!" Kedua mata Magi yang menatap L.Joe terbelalak.
L.Joe terkekeh melihat reaksi Magi.
"Ish!" Magi kesal karena L.Joe sukses menjahilinya. "Oppa tidur di lantai bawah, aku akan tidur di salah satu kamar di lantai atas." Magi yang sudah membuat keputusan berjalan menuju tangga.
"Anee! Anee!" L.Joe menolak dan menghadang Magi. "Karena hanya ada kita berdua di sini, maka kita nggak boleh terpisah."
Kedua mata Magi melebar mendengarnya.
"Aish!" L.Joe mengusuk tengkuknya. "Maksudku kita tidur di kamar terpisah tapi di lantai yang sama. Kamu mau lantai atas? Baiklah! Kita tidur di lantai atas." L.Joe meraih tas jinjing di tangan kanan Magi dan membawanya menaiki tangga.
Magi tersenyum, lalu menyusul langkah L.Joe.
L.Joe dan Magi sampai di lantai dua. Keduanya berhenti di dekat tangga. Memperhatikan dua kamar yang ada di lantai dua. Satu di sisi kiri, satu lagi di sisi kanan.
"Kamu pilih yang mana? Kanan atau kiri?" L.Joe meminta Magi memilih.
"Kenapa Oppa terus memberiku pilihan?" Magi balik bertanya.
"Ladies first. Perempuan berhak bersuara lebih dulu untuk menentukan pilihan mereka."
Magi tersenyum menatap L.Joe dan menjawab, "Kiri."
"Mm. Baiklah." L.Joe berjalan ke arah kiri dan membuka pintu kamar sebelah kiri, lalu masuk untuk menaruh tas jinjing milik Magi di atas meja yang berada di dalam kamar.
Magi menyusul L.Joe. Turut masuk ke dalam kamar sebelah kiri.
"Bagaimana? Suka?"
"Mm. Suka sekali." Magi meletakkan tas punggung di atas meja yang sama tempat L.Joe menaruh tas jinjingnya. Lalu ia berjalan menuju pintu yang akan membawanya ke balkon. Ia tersenyum menatap pemandangan indah di depannya.
Magi terkejut ketika membalikkan badan. L.Joe sudah berdiri dekat dengannya. Takut-takut Magi pun mundur satu langkah hingga punggungnya menyentuh pintu kaca yang tertutup rapat di belakangnya. Ia membalas L.Joe yang menatapnya lurus-lurus.
L.Joe mengembangkan senyum usai saling menatap dalam diam dengan Magi selama beberapa detik. "Pilihanmu tepat sekali, sisi kiri. Dengan begitu aku bisa bertahan untuk tetap berada di sisi kananmu, untuk melindungimu." L.Joe meraih tangan kanan Magi dan meletakkannya di dadanya. "Selama jantung ini berdetak, ia akan berdetak untukmu. Untuk menjagamu."
Magi tersipu dan menundukkan kepala.
L.Joe tersenyum lega dan menurunkan tangan kanan Magi lalu melepaskannya. "Maaf. Aku bukan perayu yang andal."
"Aku percaya." Kata Magi membuat L.Joe kembali menatapnya. "Aku percaya pada semua yang Oppa katakan padaku." Magi membalas tatapan L.Joe. Keduanya kembali saling menatap dalam diam selama beberapa detik, lalu kompak tersenyum.
"Istirahatlah. Sunset di pantai ini yang terbaik. Hemat energimu untuk menikmati senja nanti. Jangan sampai terlambat." Pinta L.Joe yang disetujui anggukkan kepala Magi. "Aku juga mau istirahat." L.Joe mulai berjalan mundur. Ia berbalik dan membelakangi Magi dan berjalan menuju pintu.
Magi melipat kedua tangannya di dada. Melihat L.Joe yang berjalan pelan menuju pintu.
Tiga langkah berjalan maju, L.Joe tiba-tiba membalikkan badan dan berjalan cepat kembali menuju Magi. Saat sampai dekat di depan Magi, ia mengecup cepat bibir Magi. L.Joe tersenyum puas, mengelus puncak kepala Magi, lalu berbalik dan berlari menuju pintu. Ia menutup pintu kamar Magi dan segera menuju kamarnya di sisi kanan.
Magi masih mematung di tempatnya berdiri. Ia terkejut karena L.Joe tiba-tiba menciumnya. Getar ponsel dalam saku jaketnya membawa Magi kembali pada kesadarannya. Diraihnya ponsel dalam saku jaket itu. Nama Nichkhun muncul di dalam layar. Magi segera menerima panggilan itu.
***
Setelah tertidur selama hampir satu jam, Magi terbangun. Ia menggeliat kemudian kembali mengamati kamar tempatnya berbaring. Magi menghela napas lega karena ini bukan mimpi. Ia benar-benar berada di vila mewah milik keluarga L.Joe. Sangat jauh dari Kastil Asphodel.
Magi duduk dan tatapannya tertuju pada laut biru yang bisa terlihat dari dinding dan pintu kaca yang membatasi kamar dengan balkon. Magi tersenyum. Ia beranjak turun dari ranjang dan menuju balkon kamarnya. Digesernya pintu kaca hingga terbuka. Magi berjalan keluar, berdiam di balkon untuk menikmati pemandangan pantai.
Magi merentangkan kedua tangannya sambil memejamkan kedua matanya. Menikmati angin musim semi yang masih sedikit dingin. Oppa, pantai itu ternyata sangat indah sekali, dan menenangkan. Berada di sini membuatku tenang. Sejenak aku merasa bebas dari beban berat yang selalu ada di kedua pundakku. Ketika aku berdiri di balkon dan menghadap pantai, aku bertanya, Apakah suatu hari nanti kita bisa pergi bersama-sama ke pantai ini? Kamu dan aku. Kita hidup bersama di tempat yang tenang ini tanpa harus dihantui rasa khawatir. Menikmati hidup sebagai manusia normal.
Magi membuka kedua matanya dan tersenyum pada pantai. Nichkhun Oppa, Sungjeong Oppa, Baro Oppa, Myungsoo Oppa, setelah kita memenangkan peperangan nanti, mari kita pergi ke pantai bersama-sama. Aku janji, aku pasti memenangkan peperangan dan membebaskan kalian dari kutukan. Lalu, aku akan membawa kalian semua ke sini, ke pantai ini. Tunggu aku kembali. Lalu, kita selesaikan semua dengan segera.
Magi menghirup dalam-dalam udara pantai yang bersih dan segar, lalu ia embuskan pelan.
"Ya! Kenapa dari tadi kamu terus senyum-senyum sendiri?"
Magi menurunkan kedua tangannya yang terentang dan serta merta menoleh ke arah kanan. L.Joe yang berdiri dan bersandar pada pagar melambaikan tangan padanya dengan wajah yang dihiasi senyuman.
"Sejak kapan Oppa di sana?" Wajah Magi terasa panas. Ia malu karena yakin L.Joe pasti memperhatikan tingkahnya dari awal.
"Sebelum kamu tiba-tiba muncul dan kemudian bertingkah seolah-olah kamu adalah Rose dalam film Titanic. Apa perlu aku ke sana? Untuk menjadi Jack?" L.Joe tersenyum karena geli mendengar ucapannya sendiri.
"Mwo?? Ya! Oppa!"
L.Joe tertawa melihat tingkah Magi. "Ayo turun. Aku hampir mati kelaparan karena menunggumu bangun." Pinta L.Joe setelah puas menertawakan Magi. "Tertawa membuatku semakin lapar," imbuhnya seraya membersihkan air mata yang keluar karena tertawa terlalu keras. "Aku tunggu di tangga."
"Dasar!" Magi mencibir lalu masuk lebih dulu ke dalam kamar.
Setelah mempersiapkan diri, Magi keluar dari kamar. Seperti janjinya, L.Joe sudah menunggu di dekat tangga. Keduanya bersama-sama menuruni tangga dan menuju ruang makan di dekat dapur. Magi terkejut karena begitu banyak menu yang tersaji di atas meja.
"Apa ini? Kata Oppa hanya ada kita berdua di vila ini, lalu siapa yang menyiapkan semua ini? Tidak mungkin itu Oppa kan?" Tanya Magi usai mengamati berbagai macam sajian yang tersedia di meja.
"Saat kamu tidur, aku menggunakan sihirku untuk menyiapkan ini semua."
"Mwo??"
L.Joe tersenyum. "Aku hanya bercanda. Mereka datang sejenak untuk menyiapkan ini semua. Ayo makan!"
L.Joe dan Magi duduk berhadapan. Bersama menikmati sajian beragam di meja makan. Sesekali L.Joe menatap Magi lalu tersenyum.
"Kenapa?" Tanya Magi setelah beberapa kali menemukan L.Joe menatapnya. "Ada yang ingin Oppa katakan padaku?"
"Mm... banyak. Tapi tidak sekarang. Aku nggak mau kehabisan bahan obrolan karena waktu kita untuk bersama masih panjang. Dimulai dari saat menikmati senja dan menunggu sunset nanti, mungkin aku akan mulai mengatakan apa yang ingin aku katakan padamu."
"Hari ini aku merasa Oppa lebih cerewet dari biasanya."
L.Joe hanya tersenyum sembari mengangkat kedua bahunya.
***
Sore telah tiba. L.Joe mengajak Magi berjalan-jalan di pantai untuk menunggu senja dan matahari terbenam. Kawasan pantai di sekitar vila masih menjadi zona pribadi milik keluarga L.Joe. Karenanya orang asing tidak bisa masuk. Sore itu hanya ada L.Joe dan Magi yang berjalan-jalan di pantai.
Puas berjalan-jalan, L.Joe dan Magi duduk berdampingan di tepi pantai, menghadap ke laut untuk menikmati senja dan menunggu matahari terbenam. Magi duduk bersila di samping kiri L.Joe. Senyum terus terkembang di wajah ayunya. Momen ini adalah pertama kalinya bagi Magi. Karenanya ia sangat menikmatinya.
Melihat ekspresi bahagia Magi, L.Joe turut bahagia. Demi menikmati waktu terbaik bersama Magi, L.Joe rela tak membawa kameranya. Ia memilih menyimpan momen bersama Magi di dalam otaknya, bukan dalam kameranya. Usai menatap Magi selama beberapa detik, L.Joe tersenyum lalu kembali menatap laut.
"Apa yang istimewa dari laut hingga membuatmu selalu berbinar seperti itu saat menatapnya?" L.Joe kembali memulai obrolan.
"Mungkin karena ini pertama kalinya bagiku. Aku cukup lama tinggal di gunung dan belum pernah ke pantai. Selama ini hanya bisa membayangkan bagaimana laut itu. Sesekali menonton video tentang laut. Ternyata aslinya lebih indah. Suatu hari nanti aku harus membawa keluargaku ke sini. Kami semua berasal dari gunung dan belum pernah pergi ke pantai." Magi tersenyum kecut karena teringat keluarganya yang tinggal di Kastil Asphodel.
"Kenapa kamu begitu misterius?"
"Nee?" Magi menoleh ke arah kanan untuk menatap L.Joe. Pemuda itu fokus menatap laut.
L.Joe menoleh ke arah kiri dan membalas tatapan Magi. "Katakan kenapa kamu begitu misterius? Semua yang ada pada dirimu membuatku tergila-gila. Sebelumnya aku nggak pernah seperti itu pada seorang gadis."
"Bohong! Nggak mungkin kan cewek yang Oppa kenal hanya Jung Shin Ae Seonbaenim? Pemuda kaya raya jomlo itu hanya ada di drama."
L.Joe tersenyum mendengarnya.
"Aku benar kan," Magi kembali menatap laut. "Pemuda tampan dan kaya raya seperti Oppa pasti banyak yang suka."
"Aku mengejarmu tidak hanya karena rasa sukaku, tapi juga karena rasa penasaranku. Kamu sangat misterius. Setelah berkunjung ke rumahmu, aku semakin dibuat penasaran dan jadi bertanya-tanya."
"Bertanya-tanya?"
"Mm. Kamu ini sebenarnya siapa?"
Jantung Magi seolah terjun bebas karena terkejut mendengar pertanyaan L.Joe. Apakah L.Joe Oppa tahu tentangku?
***
0 comments