My 4D’s Seonbae - Episode #29 “Harga Mahal Yang Harus Dibayar Untuk Sebuah Kebohongan.”
05:37
Episode #29 “Harga Mahal Yang Harus Dibayar Untuk Sebuah Kebohongan.”
“Kamu
tidak pergi?” Sungwoon bangkit dari duduknya.
Rania
menggelengkan kepala.
“Murid
yang mengikuti kelas tambahan bahasa diminta berkumpul hari ini. Kalau kamu nunggu
Luna, sepertinya bakalan lama.”
“Kelas
tambahan bahasa?” Rania bergumam. Lalu, ia segera sibuk dengan ponselnya.
“Ya
sudah. Aku pergi.” Sungwoon pamit.
“Ha
Sungwoon.”
“Nee?” Sungwoon yang sudah berjalan dua
langkah pun berhenti dan menoleh.
“Terima
kasih.” Rania mengucap kata terima kasih dalam Bahasa Indonesia.
Sungwoon
tersenyum, lalu menganggukkan kepala. Ia pun kemudian pergi.
Rania
menghela napas panjang, sejenak menatap punggung Sungwoon yang berjalan
menjauhinya. “Kenapa tiba-tiba gue pengen comblangin dia sama Luna?” Ia pun
menggelengkan kepala dan kembali fokus pada ponselnya. Ia mengirim pesan pada
Linda yang juga menjadi murid kelas tambahan bahasa.
Murid
kelas tambahan bahasa dikumpulkan di ruang auditorium. Linda sudah berada di
sana bersama Daniel dan Guanlin. Ia merogoh saku dan mengambil ponsel ketika
merasakan getaran dari ponselnya. Sebuah pesan dari Rania.
Kucing
sama lo?
Kening
Linda berkerut saat membaca pesan singkat dari Rania. Ia pun mengangkat kepala,
mengamati sekitar. Mencari keberadaan Luna. “Luna Seonbae belum datang ya?”
Daniel
dan Guanlin yang duduk di samping kanan dan kiri Linda kompak menoleh dan
menatap Linda. “Kenapa?” Daniel balik bertanya.
“Rania
Seonbae bertanya apa Luna Seonbae ada di sini bersamaku. Harusnya
datang bersama Jisung Seonbae dan
Hami Seonbae, kan?”
“Coba
aku tanya Hami Noona.” Guanlin meraih
ponsel di sakunya, lalu menelpon Hami. “Oo, Jagiya…”
Daniel
dan Linda kompak terkejut ketika Guanlin menyebut kata ‘jagiya’. Keduanya saling melempar pandangan, lalu kompak
tersenyum.
“Luna
Seonbae, apa dia bersamamu? Oo,
tidak? Mm, baiklah. Apa? Mau cari dia dulu? Oke. Terima kasih.” Guanlin
mengakhiri panggilannya. “Nggak sama Hami Noona.
Tapi, Noona mau coba cari Luna dulu.”
Ekspresi
Daniel berubah khawatir. Walau Luna terbiasa datang dan pergi sesuka hati, tapi
karena insiden video yang diunggah Dinar, ia pun menjadi lebih mengkhawatirkan
Luna. Ia khawatir terjadi sesuatu pada Luna. “Apa perlu aku mencarinya?” Ia
meminta pendapat Linda dan Guanlin.
“Eh,
itu Jisung Seonbae. Seonbae!” Guanlin berdiri dan
melambaikan tangan pada Jisung yang baru memasuki ruang auditorium.
Jisung
pun langsung mengenali dan berjalan menuju tempat Guanlin duduk. Mereka berada
di kursi di barisan ketiga. Ketika Jisung tiba, Guanlin berdiri dan memberinya
ruang untuk duduk di samping Linda. Jisung menolak, dan mempersilahkan Guanlin
kembali duduk.
“Luna
Seonbae tidak datang?” Guanlin
langsung menanyakan keberadaan Luna.
“Dia
menghilang sejak jam pelajaran terakhir. Pamitnya mau istirahat di UKS.”
“Tapi,
Hami Seonbae bilang dia tak bersama
Luna Seonbae.”
“Benarkah?
Lalu, kemana anak itu?” Jisung diam sejenak dan berpikir. “Dia banyak diam.
Kami berusaha menemaninya seharian ini. Tapi, dia tetap bungkam. Kami pikir
memang itu yang dia inginkan.”
“Aku
akan cari Seonbae.” Daniel bangkit
dari duduknya.
“Itu
Hami Seonbae!” Linda melihat Hami
masuk. “Dan, Luna Seonbae.” Imbuhnya
ketika melihat Luna masuk ke ruang auditorium sesudah Hami.
Hami
melihat Daniel yang berdiri di barisan kursi ketiga. Ia mengajak Luna
bergabung. Jisung menberi ruang agar Hami duduk di dekat Guanlin. Daniel masih
berdiri dan menatap Luna. Namun, gadis itu bersikap cuek dan duduk di samping
Jisung. Daniel pun tersenyum kecut dan kembali duduk.
“Kamu
tahu apa kata Jisung Seonbae tadi?
Seharian ini Luna Seonbae diam.
Mungkin perasaannya sedang tidak baik. Sabar ya.” Linda berbisik sambil menepuk
lengan kiri Daniel.
“Aku
lega melihatnya di sini.” Daniel kembali menatap Luna yang duduk di sebelah
kanan Jisung.
“Tapi,
kamu terlihat sedih karena dia tidak duduk di sini. Di dekatmu. Ingat! Dia itu
pacarnya Park Jihoon!”
“Tapi,
dia temanku.”
“Temanku
juga.”
Daniel
dan Linda kompak tersenyum.
“Oh!
Aku harus beri tahu Rania Seonbae kalau
Luna Seonbae sudah di sini bersama
kita.” Linda segera mengetik pesan untuk Rania.
Rania
menghela napas panjang usai membaca pesan dari Linda. Ia merapikan tasnya dan
hendak pulang ketika ponselnya kembali bergetar. Nama Prince muncul di layar ponselnya. Ia urung bangkit dari duduknya
dan memilih membaca pesan dari Minhyun lebih dulu.
Minhyun
mengirim sebuah video. Setelah mengunduhnya, Rania menonton video dance step yang dibuat Taemin.
“Gerak
cepat banget ini Seonbae.” Rania
mengomentari hasil kerja Taemin. Ponselnya kembali bergetar. Ia menghentikan tayangan
video untuk memeriksa ponselnya. Minhyun kembali menulis pesan untuknya.
Taemin Seonbae sudah membuatnya untuk kita. Mari berlatih dengan baik.
Sabtu nanti bertemu untuk kembali latihan bersama.
Rania
berdecak. “Kaku banget. Nggak beda jauh sama Kucing. Seringnya pakek bahasa
baku.” Ponsel Rania kembali bergetar. Satu pesan lagi dari Minhyun.
Situasi sedang tidak begitu bagus.
Jangan berada sendirian di sekolah. Jika sudah selesai dengan urusan sekolah,
sebaiknya segera pulang.
Rania
tercenung sejenak membaca pesan terakhir Minhyun. Tiba-tiba ia merasakan panas
di wajahnya. Rania pun tersenyum samar. Lalu, mengamati sekitar. Ia tak
menemukan apa pun. Ia pun merapikan tas, bangkit dari duduknya, dan berjalan
untuk pulang.
Terima
kasih ^^
Rania
pun membalas pesan Minhyun. Menulis ucapan terima kasih dalam Bahasa Indonesia.
***
Senyum
tersungging di bibir tipis Minhyun usai ia membaca pesan balasan Rania. Ia
menghela napas dan menatap Rania yang terus berjalan menjauh. Ia pun berjalan,
kemudian duduk di salah satu bangku yang berada di koridor, dan ia pun terdiam.
Melamun.
“Minhyun-aa,
kamu kenapa? Seharian ini kamu cuek banget. Aku bikin salah ya?” Luna
menghentikan langkah Minhyun yang hendak keluar dari kelas setelah jam
pelajaran usai.
Minhyun
tak merubah posisinya. “Tugas kelompok itu, apa benar-benar hilang?”
Mata
bulat Luna melebar. Ia kemudian menundukkan kepala. “Maaf. Aku benar-benar
tidak tahu ke mana perginya tugas itu.” Ia kemudian mengangkat kepala. “Tapi,
jangan khawatir. Songsaengnim memberi
waktu. Aku akan mengerjakan ulang tugas kita. Kamu tenang saja. Aku pasti
menyelesaikannya tepat waktu.”
Minhyun
menghela napas dengan kasar. Lalu, berjalan keluar kelas. Meninggalkan Luna
berdiri sendirian di dalam kelas.
Minhyun
tiba di rumahnya. Ia mengeluarkan buku-buku dalam tasnya. Ia juga mengeluarkan
tugas kelompok yang sengaja ia ambil dari tas Luna. Di tatapnya tugas yang
sudah dijilid rapi itu. “Mianhae,
Luna-ya.” Bisiknya seraya mengelus tugas yang mereka kerjakan bersama itu.
Luna
menghampiri meja Minhyun bersama dua orang teman perempuannya. Ia tersenyum
lebar dan menyodorkan hasil tugas kelompok yang sudah ia perbarui. “Anggota
kelompok kita sudah melihatnya. Menurut mereka ini tak jauh berbeda dari tugas
yang aku hilangkan. Mau memeriksanya?”
Minhyun
menatap jilidan di tangan Luna yang terulur. “Aku yakin yang pertama yang
terbaik.”
Senyum
di wajah Luna sirna. “Aku tahu. Aku minta maaf karena menghilangkannya. Tapi,
aku menyusun tugas ini sesuai materi yang kita kumpulkan. Juga berdasarkan
hasil penelitian yang kita lakukan.”
“Terserah
kau saja!”
Luna
menatap Minhyun yang bersikap acuh tak acuh padanya. Ia pun menarik tangannya
yang terulur. “Aku benar-benar minta maaf.” Ia menundukkan kepala dan menjauh
dari meja Minhyun bersama dua teman perempuannya.
Luna
duduk di bangkunya. Menundukkan kepala dan terlihat sedih. Sedang dua teman
perempuan yang bersamanya—yang juga satu kelompok dengan Minhyun—berusaha
menghibur Luna. Minhyun bisa melihat itu semua. Tapi, ia bersikap acuh tak acuh.
Seolah ia tak melihat itu semua.
Sejak
kejadian itu, Minhyun tak pernah lagi berakrab-akraban dengan Luna. Ia tak
menolak jika harus satu kelompok dengan Luna. Tapi, sikapnya sangat dingin.
Rumor Minhyun dan Luna tak lagi berteman baik hanya karena Luna menghilangkan
tugas kelompok pun mulai menyebar di sekolah. Banyak yang menyangkan hal itu.
Tapi, tak sedikit yang justeru bersyukur karena kejadian itu.
Minhyun
yang berwajah tampan, berprestasi, dan masuk dalam golongan murid baik-baik
tentu saja ditaksir banyak gadis di sekolahnya. Bukan hanya dari teman
seangkatan, tapi banyak juga senior yang menaruh hati padanya. Bahkan, beberapa
dari mereka ada yang menyatakan rasa sukanya langsung pada Minhyun. Karena ia
dekat dengan Luna, beredar rumor jika ia dan Luna berpacaran.
Suatu
ketika Minhyun melihat Luna sedang duduk bersama dengan beberapa senior
perempuan dari kelas sembilan saat istirahat. Sejak Luna mendapat nilai 98
untuk pelajaran Matematika, ia menjadi terkenal di sekolah. Murid asing yang
bisa mencapai nilai hampir seratus itu mendadak banyak didekati murid-murid
perempuan yang ingin menjadikannya sebagai teman. Tak hanya dari kelas tujuh,
tapi juga dari kelas delapan dan sembilan. Minhyun berpikir, akrabnya Luna
dengan siswi kelas sembilan pun karena efek dari keberuntungan Luna mendapat
nilai Matematika bagus.
Beberapa
kali Minhyun melihat Luna bersama senior yang sama. Karena Luna tak cerita, ia
pun tak ingin menanyakan hal itu pada Luna. Ia paham jika Luna tak membahas
sesuatu yang ia alami dengannya, berarti sesuatu itu bukanlah hal penting atau
hal bagus untuk dibagi dengannya. Bisa juga sesuatu itu adalah hal yang sama
sekali tak menarik perhatian Luna.
“Benar
kah? Hah… jadi dia tidak menyampaikan semua salamku padamu?” Suatu siang senior
kelas sembilan yang tempo hari berakrab-akraban dengan Luna mencegat Minhyun
yang hendak pulang.
Minhyun
menggelengkan kepala.
“Jahat
sekali, Luna! Padahal dia berjanji akan membantu Jihye untuk dekat denganmu.” Siswi
senior yang berdiri di samping kiri siswi senior yang bernama Jihye—yang
posisinya berdiri di tengah—mengomentari reaksi Minhyun. “Itu kenapa kami
sering menghabiskan waktu bersama. Ternyata, dia hanya mengobral janji palsu
pada Jihye.”
“Jadi
Hwang Minhyun tidak pacaran dengan Luna ya? Wah, jangan-jangan rumor pacaran
itu Luna yang membuatnya dan mulai menyebarkannya. Dia menyukai Minhyun dan
sengaja menyebar rumor itu agar tidak ada yang mendekati Minhyun. Jahat
sekali.” Siswi senior yang berdiri di samping kanan Jihye turut berkomentar.
“Maafkan
teman kami ya Hwang Minhyun. Jihye sangat menyukaimu. Suatu hari, kami sedang
membicarakanmu. Lalu, Luna mendengarnya. Dia berjanji akan membantu Jihye untuk
membuat Jihye dekat denganmu. Karena itu kami jadi akrab. Tapi, Jihye merasa
tidak ada perkembangan. Karenanya, kami sengaja mencegat dan bertanya padamu
seperti ini.” Siswi senior yang berdiri di sebelah kiri siswi senior bernama
Jihye kembali bicara.
“Mendengar
jawabanmu, kami yakin Luna hanya menebar janji palsu pada Jihye. Kamu tahu kan
Jihye ini murid tercantik di kelas sembilan. Dia terkenal, karena tidak hanya
cantik tapi juga kaya. Banyak yang menyukai Jihye. Banyak murid perempuan yang
ingin dekat dan berteman dengan Jihye. Aku rasa Luna merasa sedikit sombong
karena tiba-tiba terkenal karena nilai Matematika itu. Dan karena merasa tenar,
ia merasa setara dengan Jihye. Lalu, ingin berteman dengan Jihye. Karenanya, ia
memanfaatkan rasa suka Jihye padamu untuk menjadi dekat dengan Jihye.” Siswi
senior yang berdiri di sebalah kanan Jihye menambahkan.
“Maafkan
aku karena berani menyukaimu, Hwang Minhyun. Kalau kamu memang pacaran sama
Luna. Nggak papa. Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku suka sama kamu. Tapi,
tolong pikirkan kembali. Apa gadis seperti Luna cocok untuk ada di sampingmu?
Terima kasih untuk waktumu. Sampai jumpa lagi di lain kesempatan. Aku harap,
saat itu kamu sudah berubah pikiran.” Jihye tersenyum manis pada Minhyun
sebelum pergi.
Minhyun
terdiam di tempatnya berdiri. Merenungi ucapan senior-seniornya.
“Minhyun-aa.”
Luna berhasil menyusul Minhyun. “Kita pulang sekarang?”
Minhyun
mengangguk. “Luna.”
“Iya?”
Luna yang berjalan di sebelah kiri Minhyun menoleh.
“Kamu
kenal dengan Jihye Seonbae?”
“Nggak
begitu kenal sih. Eh, dia suka sama kamu lho!”
“Masa?”
“Iya.
Dia minta aku deketin dia sama kamu. Tapi, aku nggak mau.”
“Kenapa?”
“Kalau
kamu juga suka, nggak papa sih. Kalau kamu nggak suka, kan nggak bagus juga.
Lagian, aku nggak mau hubungan baik kita jadi buruk hanya karena aku mau jadi
mak comblang. Eh? Jangan-jangan kamu suka sama Jihye Seonbae?”
“Nggak
lah. Kamu terus terang nolaknya?”
“Iya.
Aku bilang, kalau Seonbae suka, Seonbae maju sendiri dong buat PDKT. Aku
nggak mau jadi Pak Pos yang kebagian tugas sampaiin salam-salam gitu.”
“Nurut
kamu Jihye Seonbae gimana?”
“Jujur
aku nggak suka. Dia nggak cocok buat kamu. Kamu terlalu baik buat dia.”
“Trus
aku cocoknya sama siapa?”
“Siapapun
yang kamu suka. Kalau dia baik, pasti aku dukung. Tapi, jangan ya kalau Jihye Seonbae. Aku udah nyari review tentang dia. Hasilnya nggak ada
yang bagus.”
“Review? Ada-ada saja kamu!”
Luna
tersenyum manis.
Beberapa
hari kemudian Jihye kembali mencegat Minhyun saat pulang. Ia kembali
mengeluhkan sikap Luna. Seperti sebelumnya, kedua temannya mendukung cerita
Jihye.
Minhyun
menghela napas melihat tingkah ketiga seniornya. “Sebelumnya terima kasih
karena Seonbae menyukai saya. Tapi,
maaf. Saya tidak bisa membalas rasa suka itu.”
Ekspresi
Jihye berubah. Dari muka manis, menjadi muka masam. “Apa itu karena Luna? Apa
hebatnya sih siswi asal Indonesia itu!”
“Ini
tidak ada hubungannya dengan Luna. Saya dan Luna hanya teman baik.”
“Laki-laki
dan perempuan berteman baik? Hah! Itu hanya kedok, kan? Katakan saja kalau kamu
suka Luna!” Jihye yang sebelumnya lembut dan manja tiba-tiba berubah menjadi
sarkas.
“Tidak.
Ini tidak ada hubungannya dengan Luna. Saya memang tidak ingin memiliki
hubungan khusus dengan seseorang. Saya ingin berteman dengan siapa saja, tapi
tidak ingin terlibat sebuah hubungan khusus. Begitu juga dengan Luna. Luna adalah
sahabat saya. Tidak lebih.”
“Baiklah!
Kalau aku nggak bisa dapetin kamu, cewek lain pun nggak boleh! Begitu juga
Luna!”
“Seonbae?” Minhyun menatap Jihye dengan
ekspresi ngeri.
“Lihat
saja! Murid asing itu pasti akan menderita!” Setelah mengucapkan ancamannya,
Jihye pergi meninggalkan Minhyun bersama dua rekannya.
Setelah
Jihye mengancam Minhyun, Luna sering mendapat kesialan. Minhyun yakin itu ulah
Jihye. Ia pun berpikir, jalan terbaik untuk membuat Luna aman adalah ia harus
menjauhi Luna. Karena itu, Minhyun memutuskan mengambil hasil tugas kelompok
mereka yang berada di dalam tas Luna. Kemudian, ia pura-pura marah karena
insiden hilangnya tugas itu. Ia pun bersikap dingin dan acuh tak acuh pada
Luna. Luna yang merasa bersalah pun menghormati keputusan Minhyun. Akhirnya
gadis itu benar-benar menjauhinya.
Minhyun
menghela napas panjang. Kenangan tentang
dirinya dan Luna semasa SMP kembali muncul dalam ingatannya. Sebenarnya Minhyun
menyesali tindakannya. Sebagai teman yang baik, harusnya ia tak membuat Luna
menjauhinya. Karena, walau ia dan Luna berjauhan, Jihye tetap saja sering
berbuat usil pada Luna. Jika ia benar peduli, harusnya ia meminta maaf pada
Luna dan tetap tinggal di sisi Luna untuk membantu sahabatnya itu. Tapi,
Minhyun tak punya cukup keberanian untuk mengakui kesalahan yang ia buat.
Minhyun
menatap ponselnya. Kembali melihat foto dirinya bersama Jaehwan, Woojin, Luna,
Rania, Jinyoung, dan Lucy saat menghabiskan waktu bersama di peternakan ikan
milik ayah Jaehwan. Minhyun kembali menghela napas panjang. Ia pun menyimpan
ponsel ke dalam sakunya, lalu bangkit dari duduknya dan berjalan pergi.
***
Ketika
Minhyun masuk ke basecamp Klub
Fotografi, ada Seongwoo dan Daerin di sana. Ia tak terkejut. Itu bukan kali
pertama keduanya ada di dalam basecamp.
Seongwoo sering mengajak Daerin ke basecamp
Klub Fotografi. Walau begitu, Minhyun tak pernah menyapa Daerin lebih dulu.
“Kau
kembali?” Seongwoo menyambut kedatangan Minhyun.
“Tasku
masih di sini.” Jawab Minhyun seraya berjalan menuju meja tempat tasnya berada.
“Hwang
Minhyun tidak terganggu sama sekali ya? Yang terlihat sih seperti itu.” Daerin
mulai bersuara.
“Terganggu
kenapa?” Seongwoo menatap Daerin dengan ekspresi tak paham.
“Rahasia
Luna terbongkar. Ternyata dia sahabatan sama Rania sejak SD.”
Seongwoo
menatap sungkan pada Minhyun yang sibuk dengan tasnya. “Memangnya… kenapa
Minhyun harus terganggu?” Ia berkomentar dengan hati-hati. Ia tahu seharusnya
ia diam. Tapi, jika ia tak merespon Daerin, ia khawatir gadis itu akan
tersinggung. “Karena mereka sekelas?”
“Dan,
karena Luna ada dalam masa lalu Hwang Minhyun. Tuhan sedang merencanakan apa?
Sahabat Luna justeru masuk kelas Minhyun. Duduknya deketan pula.”
Minhyun
bergeming. Tak berkomentar. Masih sibuk merapikan barang-barangnya.
“Lagi
pula, kenapa Luna menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania? Takut
kesaingan apa?”
“Luna
pasti punya alasan sendiri melakukan hal itu.”
“Ah
iya! Aku lupa kalau kamu itu anggota squad
Moon Kingdom.” Daerin mencibir.
Minhyun
selesai mengemasi barangnya. Ia berjalan menuju pintu. Namun, berhenti di dekat
sofa tempat Seongwoo dan Daerin duduk.
“Kami
hanya menunggu Jisung.” Seongwoo menjelaskan keberadaannya bersama Daerin di
dalam basecamp.
Minhyun
menatap Seongwoo. "”angan lupa mengunci basecamp dan mengembalikan kuncinya ke ruang guru.”
“Nee.”
“Hwang
Minhyun.” Daerin kembali bersuara untuk menarik perhatian Minhyun. “Bukan kah
Rania itu manis? Bahkan, dia lebih ramah dari Luna.”
“Daerin-aa…”
Seongwoo merasa sungkan.
“Sahabat
yang berusaha disembunyikan Luna ternyata jatuh hati pada mantan sahabat Luna?
Wow! Karma yang indah.”
“Daerin-aa.”
Seongwoo berusaha membuat Daerin diam.
“Sial
sekali Luna. Kebohongannya dibongkar kakaknya sendiri. Lalu, sahabatnya sejak
SD jatuh hati pada teman pertamanya semasa SMP. Seperti kisah dalam novel kan?”
Daerin tersenyum lebar.
“Lakukan
saja apa yang kamu suka.” Minhyun tetap bersikap datar. Ia pun keluar dari basecamp.
“Dia
nggak punya selera humor.” Daerin menggerutu. Tatapannya terhenti pada Seongwoo
yang menatapnya dengan ekspresi menyesal. “Wae?”
“Bisa
nggak sih kamu berhenti lakuian hal-hal kayak gitu?”
“Waeyo? Bukankah itu menyenangkan? Kadang
seseorang butuh suntikan keberanian. Aku hanya membantu mereka.”
“Begitu
kamu sebut suntikan keberanian?” Seongwoo menggeleng heran.
“Aku
pikir kamu benar memahamiku, Ong Seongwoo.”
“Bagimu
aku tidak cukup memahamimu?”
Daerin
diam sejenak, menatap Seongwoo. “Kamu ini kenapa?”
“Kamu
yang kenapa! Apa membuat orang lain kesal itu memberimu kepuasan? Aku tidak
memahamimu? Begitu ya? Kamu benar! Aku memang tidak memahamimu. Karena alasan
itu aku terus bertahan di sisimu. Karena aku ingin bisa memahamimu. Mengerti
jalan pikiranmu. Aku lelah terus salah paham atas sikapmu. Tapi, aku tidak bisa
berhenti. Jika kamu tahu aku tidak memahamimu, kenapa kamu sama sekali tak mencoba
untuk membantuku? Membantuku belajar untuk memahamimu.”
Daerin
tercenung. Ia tak pernah melihat Seongwoo begitu emosional seperti hari ini. Ia
bahkan sampai tak bisa berkata-kata.
“Ah!
Mian! Aku rasa sebaiknya kita pulang.
Kamu tahu hari ini Jisung berkumpul untuk apa? Kelas tambahan bahasa. Dia pasti
akan pulang bersama Luna dan Linda. Pemandangan yang aku yakin akan sangat kamu
benci.” Seongwoo merapikan barangnya. Lalu, bangkit dari duduknya.
“Kau
tak ingin pergi?” Seongwoo menatap Daerin yang masih duduk di sofa. “Kalau kau
tetap ingin menunggu Jisung, tolong jangan di basecamp kami. Aku mau pulang.”
Daerin
bangkit dari duduknya dan menyangklet tasnya. Ia berjalan keluar tanpa mengucap
sepatah kata pun.
Seongwoo
menghela napas. Ia berjalan menyusul langkah Daerin. Ia berpikir Daerin pasti
akan meninggalkannya. Tapi, ia salah. Daerin menunggunya di luar basecamp. Bahkan, sampai ia selesai
mengunci pintu.
“Maafkan
aku. Aku terlalu emosional. Banyak hal, ini itu yang aku pikirkan. Kepalaku
penuh dan aku jadi emosional.” Seongwoo segera meminta maaf.
“Kita
pulang. Kau butuh istirahat.” Daerin berujar tanpa menatap Seongwoo.
Seongwoo
pun mengangguk. Ia pun berjalan di samping kanan Daerin.
***
“Kalian
ngapain ngumpul di sini?” Sungwoon menghampiri Jaehwan, Woojin, dan Jinyoung
yang duduk di salah satu bangku yang terletak di koridor kelas XI.
“Kamu
sendiri dari mana?” Woojin balik bertanya.
“Melanjutkan
penyelidikan.” Sungwoon bergabung.
“Masih
belum menyerah soal surat ancaman itu? Kan Luna udah minta kamu berhenti.”
Sungwoon
menatap Jaehwan, lalu Jinyoung. “Hari ini Rania baik-baik aja di kelas?”
“Iya.
Dia baik. Aku kaget waktu tahu fakta Luna dan Rania sahabatan. Sikap mereka
alami banget waktu ngumpul di tempatku.” Jaehwan mengutarakan unek-uneknya. Woojin
tersenyum mendengarnya.
“Woojin
saat itu tidak memberitahuku. Jisung juga. Tega sekali kalian. Padahal kan aku
pandai jaga rahasia.” Jaehwan melanjutkan.
“Sudah
kubilang, kami sendiri nggak sengaja tahu karena Rania keceplosan waktu kami
main ke kebun kakek Sungwoon. Iya, kan Sungwoon?” Woojin membela diri.
Sungwoon
menganggukkan kepala. “Rania nggak ngomong apa-apa gitu? Ke kalian? Minhyun?
Oya, gimana reaksi Minhyun? Waktu tahu Rania dan Luna sahabatan.”
“Biasa
aja.” Jawab Jaehwan.
“Atau,
Minhyun udah tahu soal itu? Dia kan temen baik Luna waktu SMP.”
“Mungkin
aja.”
“Sebenernya,
tadi Rania nemuin aku.”
“Benar
kah? Buat apa?” Jaehwan terkejut. Begitu juga Woojin dan Jinyoung.
“Dia
curiga Luna mengalami bullying.”
“Bullying?
Kok bisa Rania mikir gitu?” Jaehwan heran.
“Bukannya
itu hanya rumor?” Woojin menyambung. Sedang Jinyoung masih setia tutup mulut,
hanya menyimak.
“Aku
katakan juga begitu. Tapi, Rania malah udah punya tersangka versi dia.”
“Wah!
Padahal dia masih baru di sini. Kok bisa langsung nentuin tersangka?” Jaehwan
menggelengkan kepala.
“Apa
Rania pernah terlibat masalah dengan Kim Jiyoon Seonbaenim?”
“Itu
awal-awal dia masuk. Iya kan Jaehwan?” Woojin langsung ingat bagaimana Kim
Jiyoon dan Rania terhubung.
“Iya.
Kim Jiyoon Seonbae bersikap rasis
pada Rania. Aku bersamanya saat itu. Lalu, Luna dan Woojin muncul. Waktu itu
Luna bilang dia merekam aksi Kim Jiyoon Seonbae kan?” Jaehwan menatap Woojin.
“Iya,
benar. Sepertinya dia masih menyimpannya.”
“Luna
bilang akan melaporkan video itu jika Kim Jiyoon Seonbae masih cari masalah. Apa gara-gara itu Luna di bully?” Jaehwan
menatap Sungwoon meminta kepastian.
“Entahlah.”
Sungwoon menggeleng.
“Luna
tidak seperti korban bullying.” Jinyoung akhirnya bersuara.
“Dia
itu pandai berakting. Punya seribu ekspresi di wajahnya. Sampai-sampai aku
tidak bisa menebak yang dia rasakan sebenarnya apa.” Jaehwan mengungkap
pendapatnya tentang Luna.
“Lalu,
penyelidikan yang kamu lakukan perkembangannya gimana?” Woojin bertanya pada
Sungwoon.
“Aku
berusaha menghubungkannya. Fakta yang aku temukan dan kecurigaan Rania. Aku
harus meneliti ulang semuanya. Masalahnya, Rania punya dua orang yang ia duga
melakukan bullying pada Luna. Ah! Kenapa aku bagi hal ini sama kalian?” Sungwoon
sedikit menyesal.
“Kita
kan satu tim. Squad Moon Kingdom.” Woojin
mengingatkan hubungannya dengan Sungwoon.
“Aku
juga satu tim denganmu. Ingat misi menolong Bae Jinyoung?” Jaehwan pun turut
mengingatkan Woojin jika mereka pernah terlibat kerjasama.
“Luna
pernah menolongku. Jika ada kesempatan, aku ingin membalas kebaikannya.” Jinyoung
tak mau kalah menunjukkan bahwa ia juga ada di tim yang sama.
Sungwoon
menghela napas panjang. “Baiklah. Jika sampai ada kebocoran informasi, kalian
tersangka utama yang akan aku habisi.”
Jaehwan,
Woojin, dan Jinyoung kompak mengangguk.
“Ngomong-ngomong
soal squad Moon Kingdom, aku nggak
bisa membagi cerita ini dengan Jisung dan Seongwoo.”
“Kenapa?”
Woojin langsung menyahut.
Sungwoon
kembali menghela napas panjang. “Salah satu orang yang dicurigai Rania, adalah
orang yang dekat dengan Jisung dan Seongwoo.”
“Dekat
dengan Jisung dan Seongwoo?” Jaehwan memiringkan kepala.
“Siapa?”
Woojin yang tak paham langsung bertanya.
“Kang
Daerin?” Jinyoung menebak.
Sungwoon
terkejut mendengar tebakan Jinyoung.
“Benar
Kang Daerin?” Jaehwan menatap Sungwoon.
“Kang
Daerin berteman dekat dengan Jisung dan Seongwoo. Itu yang aku tahu.” Jinyoung
mengutarakan alasannya menebak Daerin lah tersangka yang dicurigai Rania.
“Benar
dia orangnya?” Woojin menatap Sungwoon. Meminta kepastian
“Nee.” Sungwoon membenarkan.
“Ya
ampun. Jadi, kita harus menyelidiki teman dari teman kita sendiri?” Jaehwan
kembali dikejutkan dengan fakta mencengangkan tentang teman-teman yang ada
dalam lingkaran pertemanannya.
“Kalau
begitu jangan libatkan Jisung dan Seongwoo dalam penyelidikan. Tapi, kita tetap
membutuhkan informasi dari mereka. Tentang Daerin.” Woojin memberi saran.
“Luna
pun nggak boleh tahu. Rania yakin Luna nggak bakalan ngaku.” Sungwoon
menambahkan daftar nama yang tidak boleh tahu tentang misi mereka.
“Kenapa
Rania bisa curiga sama Daerin?” Jaehwan bingung.
“Mungkin
karena sikap Daerin yang terlalu frontal dan sarkas.” Woojin menebak.
“Masuk
akal.” Jaehwan setuju.
“Tolong
rahasiakan hal ini. Dan, sekecil apa pun informasi yang kalian dapat, tolong
beri tahu aku. Aku akan membantu Rania dan Luna.” Sungwoon memohon.
Jaehwan,
Woojin, dan Jinyoung menganggukkan kepala.
***
Jisung,
Linda, Guanlin, Hami, Daniel, dan Luna berjalan bersama untuk pulang setelah
berkumpul di ruang auditorium. Dalam pertemuan hari ini guru pembimbing kelas
tambahan bahasa meminta peserta kelas mereka untuk turut memberikan urun
penampilan saat festival sekolah. Beberapa murid langsung setuju dan berniat
menampilkan drama singkat dengan dialog menggunakan bahasa Korea, Inggris, dan
Jepang.
“Luna…
masa kamu nggak mau sih urun tampil?” Hami kembali merengek.
“Aku
udah pusing sama klub, lalu perwakilan murid asing. Kamu mau nambahin bebanku?”
Luna tetap pada pendiriannya. Menolak untuk turut andil mewakili kelas tambahan
bahasa.
“Aku
pengen sih sebenernya. Jadi anak PMR kebagian tugas medis melulu. Aku nggak ada
jadwal lain selain di PMR. Di kelas pun bazar udah ada yang urus. Aku pikir
pasti menyenangkan jadi sibuk seperti kamu.”
“Jadwalku
juga banyak luangnya.” Guanlin mendukung Hami.
“Kalau
gitu kalian tampil aja berdua!” Luna ketus. “Dance couple. Atau gabung sama anak drama sana!”
“Kan
udah lengkap tuh di drama.” Hami menolak.
“Luna,
kayaknya keren juga lho dance couple.”
Jisung yang berjalan di barisan paling depan, berdampingan dengan Linda
bersuara.
“Tuh,
Jisung mau!” Luna masih menanggapi dengan ketus. “Kamu sama Guanlin, Jisung
sama Linda.”
“Luna
sama Daniel.” Jisung dan Guanlin berujar bersamaan.
Daniel
tersenyum mendengarnya, sedang Luna cemberut.
“Saya
sama Luna Seonbae sibuk karena jadi
perwakilan Persatuan Murid Asing.” Linda menolak secara halus.
“Aku
dan Luna juga jadi bagian dari pertunjukan Klub Teater. Yang terpenting adalah
bagaimana kita membagi waktu kita untuk berlatih.” Jisung mementahkan penolakan
Linda.
“Setuju!”
Hami antusias. “Ayo kita maju! Dance
couple apa ya?”
“Daniel
pasti punya ide. Dia jago dance lho!
Jago b-boying juga!” Guanlin menunjuk
Daniel yang berada tepat di belakangnya.
“Wah!
Keren!” Jisung memuji Daniel. “Kenapa nggak gabung Klub Dance?”
Daniel
hanya tersenyum menanggapinya.
“Luna
dan Linda harus setuju dulu. Setuju ya… ya… please…” Hami memohon.
Luna
menggelengkan kepala. Lalu, berjalan cepat mendahului teman-temannya. Daniel
pun bergegas menyusulnya.
“Yah…
dia marah ya?” Hami menyesal.
“Aku
rasa dia hanya lelah. Hari ini cukup berat baginya.” Jisung menenangkan Hami.
“Dan
aku keterlaluan.”
“Banget!”
“Kamu
juga Yoon Jisung!” Hami tak mau disalahkan.
Jisung
tersenyum lebar. “Nanti kita minta maaf. Sekarang kita pulang dulu.” Jisung,
Linda, Guanlin, dan Hami pun melanjutkan perjalanan pulang.
Daniel
berhasil mengejar langkah Luna. Ia berjalan di samping gadis itu, namun tak
berkata apa-apa. Hanya mengimbangi langkah Luna hingga keduanya sampai di
halte. Beruntung bus langsung muncul ketika mereka tiba di halte. Keduanya pun
langsung naik ke dalam bus. Ada satu kursi kosong, Daniel mempersilahkan Luna
duduk. Ia memilih berdiri di samping kanan Luna. Daniel berdiri hingga sampai
pada pemberhentian terakhir. Ia turun bersama Luna yang masih betah berdiam diri.
“Omma
berterima kasih untuk bingkisan yang kamu berikan kemarin. Omma bilang, kenapa
bingkisan dari cafe malah kamu kasih ke kami. Aku jawab, aku nggak tahu.” Daniel
memulai obrolan.
“Bosmu
nggak adil. Masa yang dikasih cuman aku sama Jihoon?” Luna menanggapi.
Daniel
tersenyum. Ia lega karena Luna bersuara. “Karena kalian bintangnya.”
“Banyak
banget isi bingkisannya. Padahal udah aku bagi sama Rania dan Linda juga.”
“Wah,
kamu nyebarin produk cafe tempatku bekerja.” Daniel terkekeh, tapi Luna hanya
tersenyum. Daniel pun berdehem karena merasa canggung. “Kamu marah pada Hami?
Mungkin aja dia beneran ingin tampil di sekolah. Sekedar turut meramaikan.”
“Festival
sekolah bukan main-main!”
“Aku
tahu. Karenanya, banyak yang ingin bisa menjadi bagian dari festival itu.”
“Termasuk
kamu?”
“Tentu
saja. Kalau bisa sih, kenapa nggak?”
“Harusnya
kamu gabung klub dong!”
“Andai
aku punya banyak waktu.”
Mendengarnya,
ada rasa tak nyaman menggerogoti ruang di dada Luna. Harusnya ia tak
mengucapkan kalimat seperti itu kepada Daniel yang jelas-jelas harus bekerja
setelah pulang sekolah. “Maaf.” Luna pun segera meminta maaf.
“Nggak
papa. Aku tahu kamu lagi labil. Sebentar lagi, nyampek rumah langsung istirahat
aja.”
“Aku
harap begitu.”
“Jangan
nangis lagi. Memang ada harga mahal yang harus kita bayar setelah kita
berbohong. Tapi, kamu udah bisa lewatin itu dengan baik hari ini. Semoga esok
lebih baik dari hari ini.”
“Aamiin.
Gomawo.”
Daniel
tersenyum dan mengangguk.
“Apa
menurutmu kita memang harus maju? Seperti saran Hami? Dance couple? Tapi, dance apa?”
“Closer?”
“Ngawur!
Itu proyek rahasia tahu! Trus, apa Linda bakalan mau?”
“Kalau
kita berlima setuju, dia kalah suara kan? Aku yakin dia pasti mau. Nah, lho!
Kepalamu mulai memikirkan apa lagi? Semoga ide cemerlang.”
“Sebenarnya,
kenapa kamu juga pengen tampil di festival sekolah?” Luna berhenti di dekat
tangga yang akan membawanya menuju rooftop.
Ia berhadapan dengan Daniel.
“Kamu
tahu kenapa aku dan omma pindah ke Seoul? Karena impianku adalah menjadi idol.”
Luna
tak terkejut mendengarnya.
“Kamu
nggak kaget? Impian itu konyol, kan?”
“Nggak.
Lagian kamu punya modal.”
Daniel
tersenyum. “Aku pengen tampil sama kamu. Itu aja. Nggak ada alasan lain.
Kalaupun nggak di sekolah, kita udah ada proyek Closer, kan? Aku mendukung Hami Seonbae
karena aku pikir itulah yang satu-satunya yang bisa aku lakukan untuknya dan
Guanlin. Aku tahu pasti akan sangat merepotkan jika andil dalam proyek besar
itu. Apa pun keputusanmu, aku akan mendukung.” Daniel menatap Luna dengan
tatapan teduh.
Luna
membalas tatapan Daniel. Ia benci tatapan teduh itu. Tatapan yang membuat
hatinya rapuh. Tiba-tiba wajah Jihoon muncul. Membuat Luna mundur satu langkah.
“Gwaenchana?” Daniel hendak meraih tubuh
Luna, tapi gadis itu memberinya kode penolakan.
“Aku
baik-baik saja.”
“Sebaiknya
kamu istirahat. Ayo aku antar.”
“Sampai
di sini saja. Terima kasih.”
Daniel
kecewa karena Luna menolaknya. Tapi, ia memaklumi hal itu. Ia paham jika Luna
sedang labil.
“Jika
butuh sesuatu, kamu bisa hubungi aku.” Daniel berujar pada Luna yang mulai
menaiki tangga.
“Nee. Gomawo.” Luna terus menaiki tangga
tanpa menoleh pada Daniel.
Daniel
menatap punggung Luna yang berjalan menjauhinya. Ia menghela napas ketika Luna
menghilang di ujung tangga teratas. Ia pun melanjutkan perjalanan untuk pulang.
***
Luna
duduk termenung di ruang tamu. Asap mengepul dari satu mug coklat panas yang
tersaji di hadapannya. Ia melamun. Otaknya terasa penuh dan seolah-olah siap
meledak kapan saja. Rasa sesal itu bertubi-tubi menyerangnya. Andai ia tak
memulai permainan dengan Jihoon. Andai ia tak membuat skenario kebohongan.
Andai ia lebih jujur pada Rania sejak awal. Andai… andai… dan andai.
Dadanya
kembali terasa sesak. Kedua matanya pun memanas. Luna menekuk kedua lututnya
dan membenamkan wajah. Air matanya kembali menetes. Pundak Luna bergoyang
karena tangisannya. Ia tak menolak. Membiarkan dirinya kembali menangis tersedu
dalam kesendiriannya.
Semua
pesan yang ia kirim pada Luna tak satu pun yang dibaca Luna. Karena khawatir,
ia pun menelpon Luna. Tapi, gadis itu mengabaikannya. Jihoon menghela napas
seraya menatap kesal layar ponselnya. Saat ia hendak meletakkan ponselnya,
sebuah pesan masuk. Dari kontak tanpa nama, sebuah nomer baru.
Mengejutkan sekali bukan? Rahasia
yang dengan keras ia tutupi, malah dibongkar oleh kakaknya sendiri. Miris!
Katakan padanya untuk berhenti! Ini baru awal. Berikutnya bisa lebih parah dari
ini.
Jihoon
mengerutkan kening usai membaca pesan itu. Ia pun berpikir, menduga-duga
tentang siapa yang mengirim pesan ancaman itu.
Kau
siapa?
Penasaran,
Jihoon pun membalas pesan itu.
Bisa
jadi teman, bisa juga lawan.
Nomer
tanpa nama itu meladeni. Jihoon sudah dibuat kesal dengan teka-teki yang dibuat
oleh nomer misterius itu.
Tergantung
bagaimana kau menganggapku.
Nomer
itu mengirimkan sebuah pesan lanjutan sebelum Jihoon membalas pesan sebelumnya.
Jihoon kembali menghela napas usai membacanya.
Lakukan sesukamu! Aku tidak peduli!
Tapi, jika kau sampai menyakiti Luna atau membuatnya menangis, kau akan
berhadapan denganku!
Nomer
asing itu hanya mengirimkan emotion tertawa. Jihoon kesal, tapi ia menahan diri
untuk tidak menelpon nomer itu. Ia pun tak membalas pesan terakhir yang dikirim
nomer asing itu. Ketika ponselnya kembali berdenting, ia menduga nomer asing
itu kembali mengirim pesan. Tapi, ia salah. Luna membalas pesannya. Jihoon pun
tersenyum dan segera membaca pesan balasan dari Luna.
Aku
lelah. Tapi, aku baik saja. Gomawo ^^
Balasan
yang sangat singkat untuk beberapa pesan panjang yang ia kirim. Tapi, Jihoon
lega. Walau ia yakin Luna sedang tak baik, tapi dengan gadis itu membalas
pesannya, ia bisa menjadi sedikit tenang.
Jihoon
menghela napas panjang dan berguman, “Aku berharap Rania menemaninya. Entahlah.
Aku rasa itu yang terbaik untuk Luna sekarang. Atau, aku hubungi dia saja?
Memintanya menginap untuk menemani Luna. Tapi, apa dia mau? Atau, apa Luna mau?
Mereka kan sahabat? Ah! Kenapa aku jadi begini khawatir?” Ia kesal dengan
dirinya sendiri.
Luna
membaca pesan-pesan yang masuk ke dalam ponselnya sambil menikmati coklat hangat.
Tangisannya sudah reda. Perasaannya pun sedikit lebih ringan usai menangis. Ia
pun membalas satu per satu pesan-pesan itu. Rania menawarkan diri untuk
menginap dan menemani, tapi Luna menolaknya. Luna berhenti pada pesan yang
dikirim Dinar. Ia kesal pada kakak keduanya itu. Tapi, jika ia mengabaikan
pesan dari kakaknya yang lebay itu, bisa-bisa kakaknya itu justeru menganggunya
dengan telepon atau panggilan video.
Postingan
nggak penting! Stop cari sensasi
napa?
Luna
pun membalas pesan Dinar. Pesan itu langsung dibaca. Bukannya membalas pesan,
Dinar justeru menghubunginya dengan video
call. Kesal, Luna pun melempar ponselnya ke sofa. Mengabaikan panggilan
video dari Dinar dan melanjutkan acara meminum coklat hangat.
***
Luna
lega karena pagi ini Jihoon tidak menjemputnya. Tapi, ia tidak bisa menghindari
Daniel yang sudah menunggunya di ujung tangga terbawah. Ia tak tahu kenapa,
tapi tiba-tiba ia merasa ingin menghindari dua pemuda itu. Setelah melempar
senyuman lesu, Luna berjalan berdampingan dengan Daniel. Namun, ia tetap
memilih diam.
Berulang
kali Daniel melirik Luna. Namun, gadis itu tetap bersikap cuek. Ia pun menghela
napas melihat tingkah Luna.
“Semalam
aku ngobrol dengan kedua kucingku.” Daniel memulai obrolan. Memecah keheningan.
“Ngobrolin
tentang kucing bulan?” Luna langsung merespon.
Daniel
tersenyum lebar. Ia lega karena Luna memberinya respon. “Iya.”
“Ngobrolin
apa tentang kucing bulan?”
“Semuanya.
Kau tahu apa saran mereka? Mereka memintaku bersabar. Mereka paham apa yang
kucing bulan rasakan.”
“Karena
mereka sesama perempuan. Manis sekali.”
Daniel
tersenyum sembari mengelus puncak kepala Luna. “Tolong jangan bersedih lagi.
Itu membuatku sakit.”
“Aku
tidak sedih. Hanya lelah.”
“Kalau
gitu, istirahat aja dulu.”
Daniel
dan Luna berhenti di halte. Suasana kembali hening sampai bus tiba. Keduanya
pun naik ke dalam bus. Seperti biasa, Daniel berdiri di belakang Luna demi
melindungi gadis itu. Walau Luna bersikap cuek, dadanya kembali terasa sesak.
Ia berusaha meredam gejolak di dalam dirinya dalam diam.
Hari
kedua pasca terbongkarnya rahasia Luna dan Rania di sekolah, Luna masih
mendapatkan perlakuan yang membuatnya tak nyaman. Terutama dari murid-murid
yang membencinya. Squad Moon Kingdom—Jisung,
Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin—pun bergantian menemaninya.
Luna
sedang berjalan bersama Woojin ketika tiga senior yang selalu memberi dukungan
pada Luna—yang sering bentrok dengan senior perempuan pendukung
Jihoon—menghampirinya. Seperti sebelumnya, tiga pemuda itu mengutarakan
dukungannya pada Luna. Mereka meminta Luna bersabar. Dan, mereka juga memaklumi
tindakan Luna yang menyembunyikan status persahabatannya dengan Rania. Menurut
mereka itu adalah tindakan yang tepat untuk melindungi Rania.
Luna
dan Woojin hanya tersenyum dan mengangguk-anggukan kepala mendengar pidato
dadakan dari senior mereka. Setelah puas mengeluarkan semua unek-uneknya, tiga
senior itu pun pergi. Luna dan Woojin kompak menghela napas, lalu tertawa
bersama.
“Mereka
lucu ya.” Woojin di sela tawanya.
Luna
menganggukkan kepala. “I feel like I’m an
idol.”
“Karena
diperlakukan kayak gitu?”
“Iya.
Ada-ada aja.” Luna menggeleng heran.
“Yang
lagi ramai dibicarakan hampir seluruh murid di sekolah ini. Ternyata ada di
sini.” Kim Jiyoon dan dua temannya—Jang Ki Bang dan Bang Yoon Ho—mendekati Luna
dan Woojin.
Bukan
hanya Luna yang terkejut karena kehadiran tiga senior itu. Woojin pun
menunjukan reaksi yang sama. Ia teringat ulasan Sungwoon tentang kecurigaan
Rania tentang Kim Jiyoon.
“Kenapa?
Menghindari keramaian?” Jiyoon melanjutkan. Sedang Luna, hanya diam menatapnya.
Jiyoon menghela napas dan berkacak pinggang di depan Luna dan Woojin yang
berdiri berdampingan.
“Mengejutkan
sekali. Ternyata siswi celana olah raga itu teman baikmu. Kenapa kau sembunyikan?
Takut kesaingan?” Jiyoon mulai melontarkan kalimat-kalimat sarkas khas dirinya.
Luna
menghela napas pelan. “Tidak ada yang saya takutkan dengan hadirnya Rania di
sekolah ini. Melihat Seonbae begitu
tertarik, jangan-jangan Seonbae yang
merasa ketakutan.”
Woojin
mengerutkan dahi ketika memperhatikan Luna. Ia tidak bisa membaca apa arti di
balik ekspresi gadis itu. Ia terlihat tenang dan kata-katanya pun lugas. Tidak
terdengar seperti sedang tertekan atau ketakutan. Ia jadi ragu pada kecurigaan
Rania.
“Aku??
Takut??” Jiyoon terbahak. “Setelah kupikir-pikir, video itu tidak terlalu
membuatku takut. Laporkan saja jika mau. Paling-paling hanya kena poin.
Bertindaklah sesukamu. Karena, ini akan sangat menyenangkan. Selama aku di
sini, jangan berhenti.”
“Begitu
ya? Jadi, Seonbae siap menerima akibatnya?
Kalau dipikir-pikir, citra Seonbae
memang tidak terlalu baik di sekolah. Siapapun yang melihat video itu, tentu
saja tidak akan terkejut. Bukan kah begitu?”
“Siapapun
yang melihat? Ya! Kau mau melaporkan atau menyebarkannya?” Jang Ki Bang
menyahut.
“Bukannya
sama saja?”
“Ya!
Luna-ya!”
“Tenang
lah.” Jiyoon menahan Jang Ki Bang.
“Kau
tahu betapa mengerikannya cyber bullying?
Kalau sampai video itu tersebar, apa kau sanggup menerima akibatnya?”
“Itu
bukan masalah besar, Teman. Kita pasti selangkah di depannya.” Jiyoon
meyakinkan Jang Ki Bang. “Lakukan saja semaumu. Aku tidak takut. Permulaan ini
bukan aku yang mulai. Tapi, oppamu sendiri. Kau tidak lebih baik dari aku
sekarang. Bersenang-senanglah, Luna.” Jiyoon mengerlingkan mata, lalu pergi
meninggalkan Luna dan Woojin.
Woojin
merasa muak ketika melihat Jiyoon mengerlingkan mata pada Luna.
“Yang
dia maksud video apa sih? Dia ngatain Rania waktu itu?” Woojin baru bersuara
setelah Jiyoon dan gengnya pergi.
“Iya.”
Jawab Luna singkat.
“Sebenarnya
kamu ada masalah apa sama Kim Jiyoon Seonbae?”
“Makan
siang yuk. Jam istirahat hampir habis.”
“Oke.”
Woojin menyerah. Ia paham Luna sedang tak ingin membahas tentang Jiyoon. Ia
menghormati keputusan Luna.
Saat
jam pelajaran usai, murid-murid pun merapikan peralatan mereka. Bersiap untuk
kegiatan tambahan atau pulang. Luna baru selesai dengan lockernya ketika
Sungwoon menghampirinya.
“Kamu
ada jadwal?” Sungwoon langsung bertanya.
“Ada
kelas EC. Kenapa?”
“Pengen
ngobrol aja sih. Kalau kamu nggak keberatan.”
“Soal
surat ancaman itu ya?”
Sungwoon
menganggukkan kepala.
“Hari
ini kamu ada jadwal?”
“Ada.”
“Setelah
jadwal kita selesai, bagaimana?”
“Kamu
tertarik?”
“Ada
hal yang ingin aku tanyakan. Berhubungan dengan penyelidikanmu.”
“Oke.”
Sungwoon tersenyum lebar. “Ya udah. Sampai nanti Luna.” Ia pun keluar kelas.
“Janjian
apa sama Sungwoon?” Jisung gantian mendekati Luna.
“Ngobrol
hasil penyelidikan.”
“Tiba-tiba
tertarik?”
“Harusnya
memang tertarik, kan?”
“Tapi,
kamu minta Sungwoon berhenti.” Seongwoo menyela.
“Sepertinya
aku memang harus memintanya benar-benar berhenti.”
“Kenapa
begitu?” Gantian Woojin menyela.
“Buang-buang
waktu. Aku pergi!” Luna pamit dan meninggalkan kelas.
“Bukannya
kelas EC dimulai setengah jam lagi ya?” Woojin bergumam. Jisung dan Seongwoo
kompak mengangkat kedua bahunya.
Kelas
EC pun berjalan lancar. Setelah pelajaran selesai, murid-murid pun mulai
merapikan peralatan mereka. Luna, Daniel, Guanlin, dan Hami pun sama. Mereka
merapikan peralatan mereka dalam diam.
“Luna,
gimana?” Hami memecah kebisuan.
“Apanya?”
“Kita
nggak jadi wakilin kelas tambahan bahasa?”
“Kamu
pengen?”
“Banget!
Guanlin juga kan?”
Guanlin
tersenyum dan mengangguk.
“I have no idea.” Luna tampak tak
tertarik.
“Cari
dong! Biasanya kalau didesak gini, bisa muncul ide. Apa saja. Kita tampil
ya…ya…” Hami memohon.
“Hey,
Luna! Ini beneran kamu?” Salah satu siswi peserta kelas EC berseru. Menyela
obrolan kelompok Luna.
“Apanya
yang beneran?” Hami balik bertanya.
“Coba
buka komunitas sekolah. Udah rame lho! Nggak nyangka ya. Luna tega duain Park
Jihoon.”
Bukan
hanya Luna yang terkejut mendengar kalimat itu. Daniel, Guanlin, dan Hami
menunjukkan ekspresi yang sama.
“Apa
maksudmu?” Hami meminta kejelasan.
“Tanya
aja Luna. Dia kan sahabatmu.” Siswi itu mencibir.
Hami
mengambil ponsel di sakunya dan buru-buru memeriksa komunitas sekolah.
Postingan tentang Luna ada di bagian paling atas. Postingan yang membuatnya
terkejut. Dalam postingan itu dilampirkan foto-foto Luna bersama Daniel. Ada
tujuh foto yang dikolase. Foto-foto keakraban Luna dan Daniel.
“Luna,
ini apa?” Hami menatap Luna. “Kalian…” ia kemudian menuding Daniel.
Luna
merebut ponsel Hami dan melihat postingan yang sedang dilihat Hami. Daniel yang
berdiri di samping kanannya turut melihat ponsel Hami. Mata sipit Daniel
melebar ketika melihat postingan itu. Sedang Luna, menghela napas dengan kasar
setelah membaca postingan tentangnya di komunitas sekolah.
***
0 comments