My Curious Way: [170507] Road to Gunung Kawi.
06:22
My Curious Way: [170507] Road to Gunung
Kawi.
Subhanallah. Alhamdulillah. Akhirnya PR
ke Gunung Kawi, kelar!
Awalnya aku pikir Nyai cuman sekedar
nyeletuk waktu bilang, "Nango Gunung Kawi maneh kono lho!"
Tapi, ternyata itu masuk serangkaian PR
yang harus dikerjakan setelah aku sembuh dari GERD.
Tahun... kalau liat di postingan foto di
Facebook sih tahun 2011. Itu aku udah pernah berkunjung, ziarah ke Gunung Kawi.
Waktu itu pergi sama Kelinci dengan perhitungan Kelinci kan udah bisa nyetir
motor dan rute ke Gunung Kawi tuh jauh. Jadi, ngajakin Kelinci biar ntar bisa
gantian nyetir. Maklum, dulu walau sering berkendara keluar kota nyetir ndiri,
tangan kadang tiba-tiba kram. Jadi, untuk mengantisipasi kemungkinan terburuk,
ngajak Kelinci aja deh. Tapi, pada prakteknya, aku yang nyetir Jagiya PP.
Hahaha. Poor me!!!
Kelinci syok liat jalurnya. Jadi dia gak
berani gantiin nyetir. Jadilah aku yang nyetir PP. Pas perjalanan pulang sempat
ngemper lama di depan rumah orang. Karena aku kekencangen kalau bawa motor jadi
terpisah sama rombongan. Dan, yeah! Tangan kananku kram. Jadi, istirahat sambil
nunggu rombongan.
Nyai ngomong soal aku disuruh balik ke
Gunung Kawi itu... tahun lalu seingatku. Ke wali lima, pantai selatan, Jogja,
dan tiba-tiba Gunung Kawi masuk list PR yang harus aku kerjain. Takdir
membawaku ke wali lima lebih dulu. Lalu, mulai bikin rencana perjalanan ke
Gunung Kawi.
Jujur ya, berulang kali bikin jadwal,
nentuin tanggal, nyari temen buat jadi joki, ngajak bolo buat ikut touring.
Ujung-ujungnya, gagal. Ada aja halangannya yang bikin rencana touring gagal.
Sampai-sampai Prime Eonni berpendapat, "Jangan-jangan sampean disuruh ke
pantai dulu."
Sebelumnya kan aku bilang aku sempat
meragukan celetukan Nyai. Sampai-sampai aku bertanya, "Nyai, serius tah
saya disuruh ke Gunung Kawi lagi?"
"Lha anggitmu, aku guyonan
tah?!"
Aku nyengir. "Ya, kaget aja. Kok
tiba-tiba masuk daftar PR saya. Padahal dulu kan udah pernah ke sana."
"Pas rono, kowe masuk nang makam po
ra?"
"Ndak Nyai. Kan nyampek sana
dapet."
"Ngene lho, Ngger. Ibarate kowe mau
bertamu, wes dienteni karo yang punya rumah. Tapi, kowe ndak jadi masuk. Lhak
diarep-arep se dadine? Mangkane sowano rono maneh."
Pas sowan ke sana dulu, emang nyampek
lokasi, pas niatnya mau wudlu dulu. Malah ketahuan kalau dapet. Akhirnya ndak
bisa masuk ke makam. Cuman duduk-duduk di depan makam. Nungguin rombongan yang
ziarah ke makam. Aku gatau kalau gara-gara itu—atau mungkin entah ada sebab
lainnya apa tidak—aku diminta balik ke Gunung Kawi lagi.
Setelah memastikan bahwa ke Gunung Kawi
termasuk PR yang harus dikerjakan, mulai mengatur jadwal yang ternyata berulang
kali gagal kayak yang aku tulis di atas.
Kenapa sekarang nyari joki sedang dulu
disetir sendiri? Setelah sembuh dari GERD dan anxie, belum pernah aku
perjalanan jauh nyetir sendiri. Ke Lawang pertama dibonceng Kelinci, kedua dan
ketiga Thata. Ke Pasuruan dibonceng Thata. Ada rasa was-was. Jadi, mending
nyari temen aja buat jadi joki. Thata mau. Tapi, setelah tahu tata cara ziarah
ke makam yang dijelaskan Nyai, dia jadi meragu.
Kalau dulu, aku pergi ke Gunung Kawi kan
ndak ikut masuk ke makam. Jadi, ndak tahu tata caranya. Cuman setelah
rekan-rekan selesai ziarah, kami berjalan bersama-sama mengitari area makam.
Kapan hari, dikasih tahu Nyai tata cara
ziarah ke makam Eyang Djoego. Menurut Nyai, Eyang DJoego masih ningrat banget.
Jadi, tata cara ziarah ke makam beliau pun punya tata cara sendiri. Kata Nyai,
kalau masuk ke makam dan mau mendekati makam, nggak boleh jalan biasa. Jadi,
jalannya harus kayak abdi dalem yang masuk keraton. Iya, bener. Jongkok gitu.
Tahu aku belajar jalan gitu, Thata langsung meragu buat ikut. Dia takut ga kuat
jalan kayak gitu.
"Ndak ndekat ke makam ora popo.
Duduk deket pintu aja ndak papa," jawab Nyai menenangkan keraguan Thata.
Aku sendiri mikir, apa kuat berjalan ke
makam dengan cara jalan seperti itu. Soalnya kata salah satu teman yang dulu
pas pertama sowan ke makam bisa masuk. Jarak dari pintu ke makam cukup jauh.
Syukurlah kalau ndak perlu mendekat ke makam.
Tata cara ziarah udah dikantongi, tapi
kok ya gagal terus mau berangkat. Padahal, kalau bisa sebelum Ramadhan udah
kelarin PR ke Gunung Kawi. Apa iya harus ke pantai dulu?
Menunggu dan kegagalan. Bismillah. Gimana
kalau aku pergi nyetir sendiri aja? Tapi, tetep nyari temen buat dibonceng.
Akhirnya, membuat rencana tanggal 7 Mei
2017 ladub ke Gunung Kawi. Ebes sama Memes siap nemenin karena semua pada mundur,
nggak jadi ikut touring.
Mempersiapkan fisik dan mental. Makan
dijaga. Minggu sama Senin, kan libur. Itu batal keluar karena asam lambungku
ngamuk. Jadinya, bener-bener jaga pola makan, pola hidup, dan pola pikir. You
know kan kalau Tante Anxie masih suka deket-deket. Mr. Psikosomatis dan Mr.
Parno kadang juga masih mencoba meracuni otak cancerku. Benar aja, Sabtu malam
tubuhku sempat berasa nano-nano pas keluar buat tugas negara. PARNOLAH SAYA!!!
YA AMPUN!!! MASAK GAGAL LAGI?
"Pokoknya kalau kamu mamang jangan
nekat berangkat." begitu pesan Nyai.
Tekadku udah bulat. Bismillah. Dan,
pasrahin semua ke Gusti ALLOH. Kalau aku dikersakno ladub ya ladub. Kalau
nggak, kan pasti ada aja yang bikin gagal.
Entah karena otak cancerku sendiri yang
parnoan, atau emang ulah Tante Anxie dan Om Psikosomatis. Banyak hal negatif
berputar-putar memenuhi pikiran. Pikiran negatif itu sempat membuat tubuhku
menggigil saat harus menjalankan tugas negara di Sabtu malam.
"Pokoknya lek dirasa awakmu ndak
penak ya jangan nekat berangkat. Soale kok dari awal angel emen mau berangkat,"
Nyai mengulangi pesannya.
Sebelum terlelap, aku kembali berpasrah.
Mohon bantuan untuk perjalanan di hari Minggu.
Alhamdulillah hari Minggu pagi terbangun
dengan fisik yang baik. Sangat baik. Dan, kami berangkat! Pukul delapan pagi,
kami memulai perjalanan menuju Gunung Kawi. Dua motor, empat orang dewasa, satu
anak-anak.
Bismillah... Paringi lancar, Gusti.
Selamat dari berangkat hingga pulang lagi.
Baru nyampek Gadungan, ada masalah sama
helm-ku. Berhenti sebentar. Beresin. Lanjut jalan lagi. Nyampek Karang Anyar,
ada capung nyangkut di leher. Berhenti lagi. Lepasin si capung. Ya ampun... Ini
apa tho maksudnya? Bismillah! Lanjut!
Alhamdulillah lancar walau jalanan rame
banget.
Banyak sekali perubahan. Yang pertama
menyambut sih jalannya yang makin lebar dan alus. Serta rumah-rumah penduduk
yang makin padat. Makin banyak bangunan di sepanjang jalan menuju Gunung Kawi.
Kelokan dan tanjakannya sih tetep, tapi jalannya makin lebar dan alus. Ndak
kayak dulu yang sempit.
Sambil jalan sambil inget-inget
perjalanan dulu sama Kelinci. Belokan itu dan tanjakan itu. Beringin. And
Jagiya ndak kuat naik. Heuheuheu... Alon-alon ae wes. Sak nyampeke.
Alhamdulillah sampai dengan selamat di
Gunung Kawi. Dua jam perjalanan kira-kira. Tanpa istirahat sama sekali.
Kayak dulu, nyampek area parkir kami
disambut sama seorang bapak-bapak. Yang nyambut kemarin itu ramah dan sopan.
Kami ditanya tujuan kami ke Gunung Kawi apa. Aku jawab, sowan, ziarah saja.
Lalu kami dipersilahkan ke pos untuk menitipkan helm dan mencatatkan nomer
motor untuk mendapat karcis.
Ada kejadian lucu pas di pos. Aku ditanya
nomer plat Jagiya. Aku ndak apal. Plat Jagiya bisa dilihat dari pos, tapi
mataku burem karena nggak pakai kacamata. Akhirnya aku ngeluarin STNK dari
dalam dompet. Begitu STNK di tangan, aku melongo kaget. "STN-nya
ketuker!" seruku.
"Ketuker sama siapa, Mbak?"
tanya Bapak Petugas.
"Sama punya Bapak."
"Kok bisa lho Mbak ketuker?"
"Iya. Kapan hari pakek motornya
Bapak. Kayaknya salah pas balikin STN-nya. Hehehe."
Lalu Ebes nyusul ke pos.
"Kenapa?" tanyanya.
"STN-nya ketuker." jawabku.
Ebes langsung liat dompetnya. "Loh iya!
Aku yo gak tahu!" sambil tukar STNK.
"Aku yang salah ngasih."
"Untungnya tujuannya pergi ke tempat
yang sama." Bapak Petugas menyela.
Lalu kami tertawa bersama. Dasar,
kura-kura!
Perjalanan dilanjut dengan jalan kaki.
Jalan menanjak yang cukup jauh. Pikiran negatif mulai muncul lagi. Gimana kalau
nggak kuat? Gimana kalau bla bla bla! Ah! Lepas jaket, masukin ransel, tengguk
air putih, dan JALAN!!! Mulai menapaki jalan menanjak setapak demi setapak.
Karena masih pagi, jalanan masih sepi.
Toko di kanan-kiri jalan juga belum semuanya buka. Dulu di sisi kanan jalan
(kalau dari arah bawah) ada stan peramal-peramal ala tradisi Cina. Kemarin udah
nggak ada. Atau belum buka mungkin.
Nyampek di atas juga masih sepi. Beberapa
pengemis baru bersiap untuk duduk berjajar di pinggir jalan. Para penjual sudah
banyak yang buka stan. Penjual makanan untuk makan besar pun gorengan untuk
cemilan. Penjual bunga untuk ziarah pun sudah buka stan.
Ada beberapa perubahan. Area tanah kosong
di dekat gedung Jamsi, sekarang berdiri kuil megah. Trus, ada papan peringatan
sebelum pintu masuk. Nggak boleh foto-foto di area makam, gak boleh pakek rok
mini buat cewek, dan celana pendek buat cowok. Juga beberapa larangan lainnya.
Dari sini kami menyimpan ponsel, lalu naik menuju area makam.
Masih hening. Ada bapak-bapak berbaju
batik menyambut kami. Memberitahukan bahwa makam sudah buka. Kami pergi ke
toilet dulu. Toilet yang sama yang dulu aku kunjungi sebelum masuk ke area
makam. Setelah selesai BAK dan wudlu, kami kembali naik. Bapak berbaju batik dan
berkopyah itu masih menunggu.
"Monggo kalau mau ziarah. Makamnya
sudah buka," kata bapak berbaju batik. "Kalau mau mendekat ke makam,
harus bawa bunga. Belinya di sana tadi. Kalau tidak mendekat, tidak apa-apa
berdoa dari pintu saja."
Kami menaiki tangga, lalu berjalan dengan
cara yang diajari Nyai, masuk, dan duduk bersila di dekat pintu.
Ini pertama kalinya aku masuk ke area
makam. Di dalam makam, semua lantai dilapisi karpet hijau yang empuk. Jarak
dari pintu masuk ke makam lumayan jauh. Yang bikin aku heran, banyak orang yang
masuk jalan kaki biasa. Ndak jongkok ala abdi dalem kayak kami. Hmmm, mungkin
keyakinan tentang tata cara berziarah masing-masing orang beda ya. Aku manut
kata Nyai aja. Yang bikin sebel itu, ponsel yang tiba-tiba berdering di dalam
makam. Yelah, kok ya ndak di silent mode. Heran saya!
Selesai, kami pun keluar. Bapak berbaju
batik dan berkopyah masih menunggu kami. Sebut saja beliau ini bapak pemandu
ya.
Bapak pemandu memimpin kami untuk
mengitari makam. Katanya itu adat atau tata cara kalau berkunjung, berziarah ke
Gunung Kawi. Kami ditunjukan ke pintu kedua, disuruh berdoa di sana. Manut.
Selesai dengan pintu kedua, lanjut perjalanan untuk mengitari bangunan makam.
"Ini adalah posisi kepala Mbah.
Sebelum berdoa, tepuk temboknya tiga kali. Monggo." kata Bapak Pemandu.
Kami pun manut. Selesai dengan prosesi
ketiga, kami melanjutkan perjalanan.
"Ini adalah pintu keempat. Usai
berdoa nanti, mundur ke belakang tiga langkah ya. Monggo." Bapak Pemandu
kembali memberi arahan.
Kami pun manut sesuai arahan. Lalu,
lanjut.
"Ini pintu kelima. Pintu terakhir.
Monggo." Bapak Pemandu kembali memberi petunjuk.
Loh! Pohon ndaru ini pintu kelima?
Setelah selesai menjalakan prosesi, aku pun mendekati Bapak Pemandu.
"Ini pohon ndaru yang katanya kalau
kita duduk trus kejatuhan daun atau buahnya, keinginan kita bisa terkabul itu
ya, Pak?" tanyaku langsung.
"Iya, Mbak. Tapi, semua itu
kepercayaan. Walau kejatuhan, tapi kalau nggak mau kerja keras ya nggak ada
gunanya. Semua itu kan datangnya dari Yang Maha Kuasa, Mbak."
"Enggeh, Pak. Tapi, saya mau coba
duduk di bawah pohonnya, Pak."
"Oh, nggeh. Monggo-monggo!"
"Sandalnya harus dilepas kah?"
"Ndak usah. Langsung naik saja. Duduk
boleh, berdiri juga boleh."
Aku pun menaiki tangga dan mulai berdiri
di bawah pohon ndaru. Dulu ya, pas pertama mau ke Gunung Kawi. Bayanganku pohon
ndarunya itu guede kayak pohon-pohon keramat kebanyakan gitu. Aslinya, pohonnya
kecil.
Aku pun menjalankan ritual (?) seperti
yang diperintahkan Nyai. Selesai menjalankan ritual, aku masih betah berdiri di
bawah pohon ndaru. Sapa tahu ada rejeki kejatuhan daunnya. Soalnya lagi nggak
berbuah.
"Mbak-nya dari mana?" tanya
seorang bapak yang sepertinya juga seorang pemandu.
"Poncokusumo, Pak." jawabku.
"Ooo... Wong nggunung juga. Terkenal
sama apelnya ya di sana."
"Enggeh."
"Ini pohonnya gak boleh digoyang,
Mbak. Kalau ambil yang jatuh ndak papa. Kalau kejatuhan malah lebih bagus
lagi."
"Katanya kalau kejatuhan daun atau
buahnya, segala yang diinginkan inshaa ALLOH bisa terwujud ya, Pak?"
"Nggeh, Mbak. Semua kan datangnya
dari Yang Maha Kuasa."
Aku tersenyum dan mengangguk.
"Ambil daunnya yang jatuh ndak papa,
Mbak."
"Tapi, ndak ada daun yang jatuh ini
Pak."
"Itu di dalam ada."
"Tangan saya nggak bisa gapai, Pak.
Pagernya terlalu rapat."
"Sebenarnya Eyang Yugo ini ya
muslim, Mbak. Tapi, terkenalnya Gunung Kawi itu buat cari pesugihan. Padahal ya
ndak."
Lagi-lagi aku tersenyum dan mengangguk.
Aku sendiri juga heran. Kenapa kok Gunung Kawi identik sama pesugihan. Tapi,
tidak berani tanya-tanya lebih tentang hal itu. Kalau kenapa kebanyakan orang
Cina yang datang berkunjung, katanya Eyang Yugo itu ada keturunan Cina. Katanya
sih gitu. Tapi, gatau juga. Maaf kalau salah.
"Sebentar, Mbak." Bapaknya
ngambil lidi. "Tak ambilkan daun yang rontok. Tak carikan lima daun
ya."
"Wah! Matur nuwun, Pak."
Bapaknya jongkok dan meraih daun yang
rontok di dalam pagar dengan bantuan lidi. Bapaknya menepati janji, nyari lima
daun rontok buat aku.
"Ini daunnya dibungkus uang kertas,
Mbak. Uang dua ribuan itu bisa. Trus, ditaruh di dompet. Inshaa ALLOH kalau
bepergian, selama dompetnya itu dibawa. Mbak jadi kayak punya pengawal yang
selalu menjaga, Mbak."
"Enggeh, Pak. Matur nuwun."
Aku pun kembali pada rombongan. Usai
berterima kasih pada bapak yang sebelumnya memandu kami, kami pun pamit pergi.
Oya, bayar jasa pemandu ini seikhlasnya. Bahkan, kalau kita gamau ngasih duit.
Bapaknya pun gak apa. Mending gak dikasih daripada dikasih tapi kitanya ndak
ikhlas. Alhamdulillah.
Dari makam, kami menuju ke bangunan untuk
jamsi (djiam si). Pengen nyobain jamsi lagi.
Dulu masuk ke gedung jamsi sama Kelinci.
Lucunya, pas Kelinci nyobain jamsi, kan di kocok gitu sampai ada yang jatuh.
Nah, punya Kelinci yang jatuh nggak satu. Tapi, ada beberapa batang yang jatuh.
Dia sampai ngulang beberapa kali.
Aku masuk sama memes. Sama-sama nyobain
jamsi. Kocokan pertama, aku jatuhin dua lidi. Sama bapak juru kuncinya disuruh
ngulang. Setelah kocok lagi, jatuh satu. Dapat nomor 18.
Kunjungan pertama lalu aku dapat nomer 4.
Kali ini dapat nomer 18. Dikasih kertas kecil yang berisi ramalan. Lalu dikasih
buku buat baca artinya. Kalau dulu sih bapak juru kunci yang jelasin. Sekarang
baca ndiri di buku. Heuheuheu.
Oya, dulu di dekat area makam ada kuil.
Katanya sih kuil Dewi Kwan Im. Aku dulu nggak ke sana sih. Sekarang kuilnya ada
di dekat bangunan jamsi. Kuil Budha. Di dekat bangunan kuil, ada banyak burung
merpati. Kalau mau bisa kasih makan mereka.
Di sepanjang jalan menuju makam kan
banyak penjual tuh. Makanan dan gorengan. Nah, kami nemu yang jual lobak.
Belilah satu walau nggak tahu cara masaknya. Hahaha.
Turun gunung. Jalannya menurun. Ndak beli
apa-apa. Nyampek parkiran, ngaso. Makan roti. Maklum, aku ga boleh sampek
kelaparan. Bisa bahaya kalau aku kelaparan. Hahaha.
Alhamdulillah perjalanan lancar.
Ternyata, aku disuruh berangkat ndiri. Nyetir ndiri kayak pas pertama sowan ke
sana dulu. Ndak boleh dibonceng alias ngojek. Buktinya, niat ladub dengan
nyetir ndiri. Langsung diladubkan. Sedang udah booking ojekan berulang-ulang,
gagal berangkat.
Subhanallah. Alhamdulillah. Tuhan Maha
Asik. Tuhan Maha Keren.
Lagi-lagi browsing informasi setelah
mengunjungi tempatnya. Demikian juga tentang Eyang Yugo. Beliau ini, menurut
artikel yang saya baca, adalah turunan bangsawan Jawa Tengah. Beliau... kalau
istilah jawanya, manditho alias jadi pendeta. Tidak menikah dan mengabdikan
hidupnya untuk masyarakat yang membutuhkan. Dan, di makam itu ternyata di
makamkan Eyang Yugo dan R.M Imam Sujono. Ada yang bilang beliau berdua itu
rekan seperjuangan. Tapi, ada yang bilang, beliau berdua bersaudara.
Baca artikelnya di sini:
Nah, demikian cerita perjalanan kura-kura
ke Gunung Kawi. Terima kasih buat yang udah baca. Maaf jika ada salah kata.
VLOG Gunung Kawi:
Tempurung kura-kura, 13
Mei 2017.
. shytUrtle .
0 comments