The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)

06:16

The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
            다음 이야기 화성 아카데사랑, 음악과
 
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미사랑, 음악과
. Author: shytUrtle
. Rate: Serial/Straight
. Cast
- Fujiwara Ayumu (
藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (
김재중)
2. Oh Wonbin (
오원빈)
3. Lee Jaejin (
이재진)
4. Kang Minhyuk (
강민혁)
- Song Hyuri (
송휴리)
- Kim Myungsoo (
김명수)
- Jang Hanbyul (
장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1

New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
   

Cinta, musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang dan hidup…
   

Episode #22
“Dokter Song!” Byunghun berlari kecil mengejar langkah Joongki.
“Oh, Lee Byunghun.” Joongki menghentikan langkahnya dan menyambut Byunghun. “Tak menyambut rekan-rekanmu yang baru kembali dari lomba? Eum, ada apa? Sepertinya kau ingin bicara denganku?”
“Nee. Apa Dokter Song luang? Ada banyak hal yang ingin aku tanyakan.”
Joongki menatap Byunghun yang terlihat serius. “Ok. Aku luang kok. Kita ngobrol di gazebo di depan klinik, bagaimana?”
Byunghun tersenyum lega dan mengangguk setuju.
“Ok. Ayo.”
Joongki duduk diam mendengarkan semua keluhan Byunghun. Sesekali Joongki terlihat manggut-manggut. Duduk diam mendengarkan, menganalisis untuk menarik kesimpulan.
“Mimisan pada orang dewasa itu wajar terjadi dan boleh dikatakan tak berbahaya pada titik-titik tertentu. Segala sesuatu pasti ada batas wajarnya kan? Ya bisa bahaya, bisa juga tidak. Semua yang kau katakan tadi benar adanya, artikel di internet itu semua benar dan cukup membantumu bukan? Hal lain bisa karena benturan di kepala atau hidung itu sendiri, alergi dan peradangan pada rongga hidung, infeksi akut, merokok, hipertensi, alcohol atau mengkonsumsi obat yang meberi efek mengencerkan darah.” terang Joongki.
Byunghun diam menyimak.
“Dikategorikan bahaya jika itu termasuk gejala penyakit darah seperti kurangnya trombosit, kurang factor pembekuan, leukemia dan banyak lagi. Tapi hal ini tentu saja diikuti dengan adanya gejala lain, pucat, biru-biru di kulit dan masih banyak lagi.” Joongki kemudian memberitahukan cara memberikan pertolongan pertama ketika mengalami mimisan.
“Sebaiknya ajak temanmu itu check up, kalau seperti ini kita hanya meraba saja. Ini untuk memastikan apakah ia hanya mimisan biasa atau ada gejala lain.” saran Joongki.
“Wajahnya memang pucat, dia mengatakan biasa terjadi jika dia mengalami panas yang tinggi, tapi saat itu ia sama sekali tak demam.”
“Mungkin karena trauma.”
“Trauma…?”
“Em. Jika benar karena trauma, itu bisa diatasi dengan terapi. Ajak dia check up agar lebih jelas hasilnya.”
“Aku juga sedang berusaha memaksanya pergi.”
“Semoga berhasil.” Joongki menyemangati.
***
Ai selesai berziarah ke tempat peristirahatan terakhir sang Ibu. Kini ia duduk di kedai kecil yang berada tak jauh dari rumah penyimpanan abu mendiang ibu Ai. Teh melati hangat menemani Ai dan Minki yang duduk berhadapan.
“Terakhir kami ziarah bersama, Bibi Lee mengajakku kemari. Kami duduk di sini, berhadapan seperti ini. Bibi Lee menceritakan semua dari awal. Hal yang sebenarnya tak ingin aku dengar, namun Bibi Lee mengatakan aku harus mendengarnya. Bibi Lee khawatir tak akan punya waktu lagi untuk mengatakan semua padaku.” kenang Ai. “Pesan Bibi Lee yang berulang beliau katakan, apapun yang terjadi kaua harus kuat, kau pasti bisa karena kau terlahir berbeda. Ziarah terakhir itu… benar-benar menjadi waktu yang terakhir bagi kami.” Ai lirih pada kalimat terakhir. Ia kemudian tertunduk dengan ekspresi lesu. Terlihat jelas jika ia sedang menahan tangisnya agar tak luruh.
“Kala itu aku sempat marah pada Tuhan. Aku merasa ini benar tak adil bagiku. Terlahir piatu, lalu diasuh pleh sabahat mendiang Omoni, pasangan suami istri dari Jepang, mendapatkan nama Jepang namun kemudian Tuhan kembali merebut kedua orang tuaku. Benar bodoh.” Ai tersenyum getir. Menertawakan dirinya sendiri.
“Omma memintaku merawatmu, dan itu artinya kami akan banyak berkorban. Benar adanya. Kau ini sangat menyusahkan. Aku juga sempat marah pada Tuhan. Kenapa jalan hidup yang harus aku jalani begini rumit? Bahkan aku harus melupakan impianku bersama bandku hanya untuk seorang gadis yang… yang sebenarnya kami tak memiliki hubungan darah sama sekali.” Minki diam sejenak.
“Harusnya Oppa meninggalkanku, tapi kenapa Oppa tetap tinggal?” Ai masih tertunduk.
Minki tersenyum. “Entahlah. Aku ingin pergi, tapi tak ingin pergi. Perlahan waktu menyembuhkanku, membawaku pada kesadaran yang sebenarnya. Tuhan tak pernah tak adil padaku.”
“Tanpa Oppa, bisa dipastikan aku tak akan hidup sampai hari ini.”
Minki meraih tangan kanan Ai, menggenggamnya. “Tanpamu, bisa dipastikan aku tak akan hidup sampai hari ini.”
“Oppa…” Ai mengangkat kepala. Buliran bening itu memenuhi kedua matanya yang memanas.
“Inilah kita. Saling menopang satu sama lain. Em?” Minki kemudian mengusap air mata Ai yang runtuh dari benteng pertahanannya. “Jangan menangis. Itu membuatku sakit.” bisiknya.
“Aku terlalu banyak menyakiti Oppa. Menyita waktu Oppa, hidup Oppa…” air mata Ai mengalir deras hingga membuatnya tak mampu melanjutkan kata-katanya lagi.
Minki pun terdiam, masih menggenggam tangan Ai. Ia tak tahu harus mengatakan apa untuk menghentikan tangisan Ai. Diam dan menunggu, hanya itu yang bisa ia lakukan kini.
***
Ai berdiri di atas panggung menyanyikan lagu You Are My Life-FT.Island. Kibum duduk satu meja dengan Wooyoung dan Minki. Shin Ae fokus pada handycam di tangannya dan mengabadikan penampilan Ai.
Byunghun, Minhwan, Hyuri dan Myungsoo baru tiba memenuhi undangan Kibum. Mereka langsung menuju kursi dimana Sunghyun dan Jungshin duduk. Keduanya tiba lebih dulu. Setelah menyapa Sunghyun dan Jungshin, Byunghun memilih untuk bergabung di meja Minki.
Ai membawakan lagu syahdu berbahasa Jepang itu dengan apik. Tatapan semua mata fokus ke panggung dengan wajah menguntai senyum.
“Sepertinya dalam sekali.” bisik Minhwan. “Ada yang paham makna dari lagu ini?”
“Apa untuk Hanbyul?” tebak Hyuri.
“Spesial sekali…?” komentar Myungsoo.
“Aigoo.” Hyuri memukul pelan lengan Myungsoo. “Wajar kan? Hanbyul itu kekasih Ai.”
“Mereka tak pernah terlihat akur bersama. Setahuku sih. Aku saja ragu, apa benar Ai menyukai Hanbyul. Atau jangan-jangan ia hanya kasihan pada Hanbyul.” sela Minhwan.
“Choi Minhwan! Kau itu selalu saja meracau!” protes Hyuri. “Kau tahu jika mereka tak akur ketika bersama? Setahuku mereka selalu tampak baik dan… mesra.”
“Ya! Daripada kalian ribut, nanti aku tanyakan padanya lagu ini untuk siapa.” Sunghyun yang kesal angkat bicara.
-------
“Konbae!!!” mereka bersulang.
Kibum sengaja mengundang teman-teman dekatnya ini untuk merayakan kemenangannya. Walau hanya harus puas meraih posisi ketiga, senada dengan Taerin. Namun ini dinilai sempurna untuk penampilan perdananya mewakili sekolah. Mereka makan dan minum sepuasnya di basecamp.
“Apa lagu tadi untukku?” Minki menghampiri Ai yang duduk di ujung panggung. “Boleh kan jika aku merasa lagu itu untukku?” godanya.
Ai tersenyum dan mengangguk.
“Ah, tapi… aku rasa lagu itu bukan untukku.”
Ai menatap heran Minki.
“Lagu itu untuk… si Apel Merah kan? Hanbyul?”
“Oppa-lah cinta pertamaku.”
“Tapi bisa jadi si Apel Merah adalah cinta terakhirmu. Dia akan menyempurnakan kisah cintamu.” Minki tersenyum tulus.
Ai mengehela napas dan menunduk. “Entahlah.”
“Aku tahu kau juga meyakininya.” Minki mengelus kepala Ai sebelum pergi.
Ai mengangkat kepala dan menatap punggung Minki. “Mianhae. Oppa.” bisiknya maih menatap Minki.
“Ehem.”
“Oh. Byunghun.”
Byunghun tersenyum dan duduk di samping Ai.
“Hey, tadi mereka penasaran kau menyanyikan lagu itu untuk siapa.” Sunghyun datang menyeret Hyuri dan Minhwan. “Untuk Hanbyul kah?”
“Em…?” Ai melotot menatap Sunghyun.
“Eum… kalau tidak salah itu lagu tentang ungkapan perasaan yang… ah, pokoknya sangat bahagia menemukan seseorang yang sangat berarti dan tak ingin lagi berpisah darinya kan?” imbuh Sunghyun. “Aku sedikit paham bahasa Jepang.” ia tersenyum lebar.
Ai tersenyum dan menggeleng pelan.
“Tak mau jawab ya?” Sunghyun tak sabar.
“Ladies and gentlemen.” suara Kibum menyita perhatian.
Tak hanya menikmati sajian yang disediakan, malam ini mereka juga karaoke bersama. Bergantaian menyanyikan lagu. Dari yang serius sampai yang benar tak karuan. Mereka larut dalam canda tawa berkaraoke bersama.
Ai menamani Hyuri menyanyikan My Love yang dipopulerkan oleh Westlife, boyband asal Irlandia idola Hyuri. Hyuri dan Ai bergandengan tangan dan bernyanyi bergantian, bersama-sama.
“Jangan heran.” komentar Kibum.
Byunghun menoleh. “Dia suka boyband juga…?”
“Kau heran pada lagu yang ia bawakan atau pada tingkahnya…?” Kibum balik bertanya.
“Dua-duanya.”
“Itulah dia yang sebenarnya.”
“Selalu tak terduga.” Byunghun menggeleng pelan.
“Ingatlah. Dia milik Hanbyul.” bisik Kibum menyikut Byunghun sebelum pergi bergabung bernyanyi bersama Hyuri dan Ai.
“Hagh!” Byunghun dengan tawa tertahan.
“Sikapmu terlalu menonjol, Lee Byunghun.” Myungsoo mengejutkan Byunghun.
Byunghun balik menatap Myungsoo.
“Jika kau berani macam-macam…”
“Kenapa?” potong Byunghun.
“Sebaiknya kau jaga itu, tatapan dan terlebih… perasaanmu pada Fujiwara.”
“Hah! Biar waktu atas ijin Tuhan yanag mengatur semua.” Byunghun tersenyum santai.
***
“Harusnya kau jugaa hadir di Wisteria Land malam ini. Kibum ingin merayakannya. Tapi karena kau tak datang, aku pun akan tinggal menemanimu.” Seunghyun  kecewa.
“Wisteria Land…? Dimana itu…?” Taerin tak paham.
“Basecamp YOWL, ah, maksudku basecamp milik Ai Nuna. Nama basacamp itu Wisteria Land. Tempat yang sangat menyenangkan. Tak ada perbedaan. Semua sama.” Seunghyun tersenyum mengenang waktu ketika ia berada di basecamp. “Kami nonton bersama di sana, saat YOWL debut.” imbuhnya antusias.
Taerin menyincingkan senyum kecut. “Di asrama, kami semua juga nonton bersama. Kim Myungsoo, Woo Sunghyun bahkan Jung Soojung.”
“Semua memang sudah berbaikan.”
“Kau sudah tahu…?”
“Desas-desus di sana-sini demikian. Menilai kondisinya, aku percaya. Itu hal baik, bukan?”
Taerin diam.
“Eh, YOWL keren ya?”
“Tentu. Oppaku.” Taerin membanggakan diri sebagai adik Jaejoong.
“Hahaha.” tawa Seunghyun pecah.
“Sejauh ini bagaimana perkembangannya?” tanya Taerin menghentikan tawa Seunghyun.
“Perkembangannya…?”
“Di… basecamp.” dengan nada lirih.
“Tertarik…?”
“Hanya ingin tahu.” nada bicara Taerin sedikit meninggi.
Seunghyun tersenyum. “Tak mudah sepertinya. Yang aku dengar, dari semua yang dilamar, hanya aku yang datang.”
Taerin menyunggingkan senyum. “Apa mungkin Fujiwara Ayumu mulai kehilangan pamor tanpa YOWL bersamanya?”
“Aku rasa tidak. Dia tetap bersinar.”
Taerin kesal mendengar pujian itu.
“Bodoh. Kenapa mereka menolak lamaran itu?” Seunghyun seolah bicara pada dirinya sendiri. “Padahal visi dan misi Wisteria Land sangat keren.”
“Apa visi dan misi mereka?” tanya Taerin seolah ia benar tertarik.
“Bergabunglah, maka kau akan tahu.” Seunghyun tersenyum puas.
“Ish!” Taerin benar kesal dibuatnya.
***
“Kau sudah lihat…?!” Suri benar membuat Hanbyul terkejut.
Hanbyul menunjukan ekspresi benar terkejut lengkap dengan tangan kanan memegang dadanya.
“Aigoo, kau belakangan ini mudah sekalim kaget. Melamun ya…?”
“Kau tak lihat aku sedang baca?”
“Ck! Buku terbuka bukan berarti kau sedang baca kan? Apa yang kau pikirkan…?” Suri menatap Hanbyul dengan rasa penuh ingin tahu. “Aiya~ kau pasti sudah menonton video itu kan? Lagu itu, apa untukmu…? Aku menemukan liriknya. Maknanya dalam sekali. Harusnya kau yang menyanyikan itu untuk Ai.”
“Kau yakin Jiyoo menyanyikan lagu itu untukku?”
“Kau saja tak yakin, bagaimana aku bisa yakin?” Suri balik bertanya.
Suasana berubah hening sejenak.
“Belakangan ini kami sering chatt. Sepertinya Ai benar tertarik pada blog itu.” Suri kembali bicara. “Dia memberondongku dengan banyak pertanyaan seputar blog itu. Aku juga tak banyak tahu. Postingan itu benar mirip dengan apa yang kalian alami di Hwaseong Academy ya?”
“Jika Jiyoo sampai penasaran dan mengejarmu seperti itu, aku yakin iya. Aku hanya melihat-lihat blog itu, tak membaca postingannya.”
“Sepertinya Ai sangat ingin tahu siapa pemilik blog itu. Sayang aku tak bisa bantu.”
“Bisa kau tunjukan padaku sekarang?”
“Em…?”
“Blog itu.”
“Oh. Ok.”
Suri mengeluarkan netbook-nya. Ia kemudian menunjukan blog Autumn Field pada Hanbyul. Suri menjelaskan analisisnya dan Hanbyul membaca sekilas postingan dalam blog yang ditunjukan Suri.
“Sam-ma…?”
“Hanya diganti nama.”
“Eum, begitukah? Jadi yang sebenarnya terjadi di Hwaseong Academy seperti itu…? Kisah cintamu berawal dari skandal…?”
“Ck! Harusnya dia wawancara padaku.”
“Nee…?”
“Ah, banyak komentar namun tak satu pun dibalas.”
Suri menatap ekspresi Hanbyul. Pemuda itu terlihat benar kesal dan penasaran. Suri tersenyum geli.
“Why…?” tanya Hanbyul menyadari jika Suri menertawakannya.
“Kau terlihat lucu Jang Hanbyul.”
“Lucu…?”
“Lupakan saja.” Suri berusaha menghentikan tawanya. “Jadi, menurutmu ini sama? Lalu apakah kau menemukan sesuatu…?”
Hanbyul kembali menatap monitor netbook Suri. Ia menghela napas panjang dan menggeleng.
***
Byunghun turut menatap laptop Ai. Tatapan fokus dan serius. Sesekali tampak ia mengerutkan dahi.
“Jadi ia tak tahu bagaimana akhirnya…?” komentar Byunghun.
“Mungkin.” jawab Ai mengambang.
“Pencerita adalah Tuhan dalam cerita yang ia tulis.” Byunghun kembali diam. Berpikir.
“Apa kau berpikiran sama denganku?”
“Dia tahu seluk beluk kita dan…”
“Seolah pencipta semua skenario dari skandal-skandal itu.”
“Iya.”
“Dijelaskan jika si tokoh utama wanita menjadi gila karena tak mampu meraih impiannya.”
“Itu kau…?”
“Menarik diri, dia katakan sebagai awal kegilaan itu.”
“Kau sempat mengalami itu…?”
“Apa 24 jam ia terus mengawasi kita…?”
“Menurutku ia mati ide.”
“Atau ia mulai bosan dan mengakhirinya seperti itu…?”
“Terkadang aku menjadi sangat benci pada dunia maya.”
Ai tersenyum.
“Jadi kesimpulanmu, sementara ini kau berpendapat jika pemilik blog ini adalah tak lain si Pembuat Onar?”
“Iya. Permainannya dan apa yang ditulis. Ini sama artinya dengan satu orang dengan banyak peran.”
“Kau yang membuatnya makin pintar.”
“Bukan.”
“Jelas incarannya adalah kau, Jung Jiyoo.”
“Apa dia benar ingin membongkar jati diriku sebagai anak bungsu Jung Jinyoung…?”
“Ha…?”
“Ah, tidak. Ini hanya permainan anak SMA.” Ai memegang kepalanya.
“Andai saja ada petunjuk yang lebih rinci.”
“Ya, Fujiwara. Jika benar tak ada yang mau bergabung, kau bisa gunakan aku kan…?” Minhwan datang menyela. “Sunghyun, Myungsoo, Jungshin, kami semua siap membantu. Iya kan Byunghun…?”
“Eum. Nee.” Byunghun membenarkan.
“Aku bisa jadi drummer untukmu. Myungsoo atau Sunghyun pada gitar, Byunghun keyboard daan Jungshin bass.”
“Bukannya aku tak mau. Aku ingin yang benar-benar murni dari Jeonggu Dong. Jika terpaksa, mungkin kami akan tampil secara akustik. Aku dan Seunghyun atau mungkin Minki Oppa juga bergabung.” tolak Ai.
“Kepala batu! Dimana-mana kerjasama itu wajar.” olok Minhwan. “Aku heran, siapa mereka yang menolak tawaran baikmu ini? Aa, atau mungkin ini karma karena kau pernah menolak Stardust dan Viceroy?” canda Minhwan.
“Bisa jadi.” jawab Ai enteng.
Ai dan Minhwan kemudian tertawa bersama.
“Ya! Apa yang kau lakukan di atas sana?!” Minhwan beralih menatap panggung.
Byunghun sudah berdiri di atas panggung mengamati keyboard Ai. Ia tersenyum lalu jari-jari Byunghun mulai menari di atas keyboard Ai. Byunghun memainkan melodi dari Blackstar-Avril Lavigne.
Ai tersenyum. Hal ini membuatnya teringat pada penampilan perdana YOWL di Hwaseong Academy.
Byunghun tersenyum menatap senyum Ai. Tahukah kau? Saat kau memainkan melodi ini, saat itulah aku mulai menyukaimu, Fujirawa Ayumu. Aku terlalu takut mengakuinya dan memberikan tantangan taruhan pada yang lain. Aku khawatir jika tak hanya aku yang merasakan hal itu. Kenyataannya, aku harus kehilangan kesempatan untuk mendapatkanmu. Andai aku bisa memutar waktu, aku berharap aku-lah pria yang menerima bintang hitam kesayanganmu itu. Namun Hanbyul mengambil posisi itu. Dan kini, dengan aku bertahan seperti ini, apa waktu akan berpihak padaku? Berpihak pada kita?
Byunghun tersenyum setelah selesai memainkan keyboard Ai.
Ai dan Minhwan bertepuk tangan untuk Byunghun.
Byunghun menghembuskan napas panjang melihat senyum lebar Ai.
***
Seminggu berjalan, tak banyak perubahan di basecamp. Hanya orang-orang yang sama yang datang untuk berlatih setiap sore.
Ai duduk di taman belakang sekolah ditemani mp3 kesayangannya dan binder. Tangannya sibuk membuat coretan dalam halaman binder, menggambar rencana tata letak panggung dan setting lainnya untuk peresmian Wisteria Land.
Di tengah keseriusannya, tiba-tiba cairan berwarna merah itu menetes pada lembaran binder. Ai segera menutup hidungnya dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya sibuk mencari tissue di sakunya. Tak ada. Ai lupa tak membawa tissue dalam tasnya. Ai berubah panik. Tangan kiri Ai masih membungkam hidungnya sedang tangan kanannya sibuk merapikan mp3 dan binder.
Ai bergegas menuju toilet terdekat. Ia tergesa-gesa dan tak sengaja menabrak Taerin yang kebetulan lewat. Binder dan mp3 Ai terjatuh.
Mata sipit Taerin melebar melihat Ai menutup hidungnya dan cairan berwarna merah itu merembes keluar. Taerin melihat darah segar merembes dari sela-sela jari Ai.
Menyadari ekspresi Taerin, Ai segera pergi.
Taerin berdiri tercengang. Itu tadi… darah kan…? Ada apa dengannya…?”  batin Taerin. Ia kemudian berbalik, namun Ai sudah menghilang. Taerin memungut binder dan mp3 Ai yang tergeletak di lantai.
Ai membungkuk di depan wastafel. Ia membasuh hidungnya berulang-ulang. Darah yang keluar kali ini lebih deras. Ai menarik tissue dan kembali membungkam hidungnya dengan tissue. Ia sandarkan tubuhnya pada tembok. Perlahan badannya melorot turun hingga Ai terduduk di lantai. Ia berusaha menenangkan diri. Mendongakan kepalanya agar mimisannya berhenti. Ai memejamkan mata. Kepalanya benar terasa amat pusing.
“Gwaenchanna…?” sambut Taerin saat Ai keluar dari toilet.
Ai menatap heran Taerin. “Nee, nan gwaenchanna.” Ai canggung, berusaha tersenyum.
“Kau yakin…? Kau lama sekali di dalam sana.”
“Kau… menungguku…?”
Taerin memperhatikan Ai. Di seragam gadis itu tersisa bekas darah yang menetes. Taerin menelan ludah. Ia penasaran pada apa yang sebenarnya terjadi. “Itu… terlalu menonjol.”
“Jika dibasuh dengan air akan makin melebar.”
Taerin menyodorkan binder dengan mp3 dan sebungkus tissue di atasnya.
“Gomawo.” Ai menerima bindernya lalu memeluknya untuk menutupi sisa darah yang menetes di seragamnya.
“Apa… yang lain tahu…?”
“Ada jaket di tasku. Itu akan membantu. Sekali lagi terima kasih.” Ai menundukan kepala, tersenyum manis lalu pergi dari hadapan Taerin.
Taerin terdiam di tempat ia berdiri. Masih menatap punggung Ai yang berjalan semakin jauh meninggalkan dirinya.
***
“Kibum dan Wooyoung mengatakan, sepanjang jam pelajaran kau terus memakai jaketmu. Benar kau baik saja?” Minki kemudian meletakan punggung telapak tangannya di kening Ai.
“Lihat, aku baik saja kan?” Ai tersenyum tulus. “I’m fine. I’m 100% OK. Don’t worry Oppa.”
“Kau bohong. Apa yang kau sembunyikan dariku? Aku tahu kau sedang tak baik. Jung Jiyoo.”
“Iya, aku berbohong. Aku memang menyembunyikan sesuatu dari Oppa. Aku… aku…” Ai tak bisa melanjutkan kata-katanya lagi.
Minki merengkuh Ai dalam pelukannya.
Ai menangis dalam pelukan Minki.
Minki mengelus kepala Ai. “Jika kau lelah, istirahatlah. Jangan terlalu memaksakan diri. Ada kami. Semua ini pasti akan terlewati. Kita pasti akan berhasil. Ingatlah apapun yang terjadi kaua harus kuat, kau pasti bisa karena kau terlahir berbeda.”
Ai mengangguk.
Minki melepas pelukannya. Ia tersenyum menatap Ai dan mengusap air mata gadis itu. “Sana, basuh mukamu. Jangan sampai yang lain melihat kau seperti ini, em?”
Ai tersenyum mengangguk lalu bergegas menuju toilet.
Minki menghela napas dan tersenyum sendiri menatap Ai yang berjalan menuju toilet.
“Permisi.” suara pemuda itu menyita perhatian Minki.
Minki membalikan badan. Kedua matanya melebar. Terkejut atas apa yang dilihatnya.
-------
Ai baru kembali dari toilet.
“Jiyoo-ya.” panggil Minki.
“Iya?” Ai mengangkat kepala. “Kalian…?” dengan ekspresi terkejut.
Yonghwa dan Dongwoo kompak tersenyum manis.
“Maafkan kami. Mungkin ini sangat terlambat, tapi apakah lamaran itu masih berlaku untuk kami…? Kami ingin bergabung dalam tim Wisteria Land.” Yonghwa menjelaskan maksud kedatangannya bersama Dongwoo.
Ai berjalan mendekat. “Formal sekali bahasamu.” sembari tersenyum manis. “Butuh waktu selama ini untuk berpikir…? Atau… ada alasan lain…?”
“Maaf. Kami sempat meragukanmu.” kata Dongwoo.
“Tadinya aku pikir kalian sakit hati padaku gara-gara Hwaseong Festival.”
“Karena kau tak memilih kami…? Akh, kau ini. Justru itu menguntungkan kami. Identitas kami sebagai anak Jeonggu Dong jadi aman.” canda Dongwoo.
Ai tersenyum. “Jadi… kalian benar siap?”
Yonghwa dan Dongwoo mengangguk antusias.
“Ok. Welcome to Wisteria Land.” Ai membuka kedua tangannya.
Yonghwa dan Dongwoo kompak tersenyum lega.
Seunghyun buru-buru datang setelah Ai mengirim pesan singkat padanya. Ia tersenyum lega ketika sampai. Seunghyun turut senang melihat Yonghwa dan Dongwoo duduk bersama Ai dan Minki di atas lantai panggung.
***
Ai berdiri di teras rooftop-nya. Ia bersandar pada dinding pembatas, membelakangi jalan di bawah sana. Mixphone menutup kedua telinga Ai, sementara kedua tangannya sibuk mengotak-atik ponselnya. Ai tersenyum getir melihat foto-foto YOWL dan Hanbyul dalam ponselnya. Tak pernah ia merasakan rindu yang teramat sangat seperti malam ini. Rindu yang benar-benar membuatnya sesak. Tak hanya memenuhi ruang di dadanya, namun menjalar ke seluruh saraf tubuhnya. Kedua mata Ai terasa panas. Tangannya gemetar masih menggenggam ponselnya. Ai tertunduk dan kembali menitikan air mata.
Langkah Taerin terhenti. Ia mendongak menatap ke arah rooftop tempat tinggal Ai. Memperhatikan Ai. Setiap kali pulang atau pergi Taerin melewati jalan ini, namun baru kali ini ia melihat Ai berdiri di ujung teras seperti ini. sebelumnya, setiap kali mendongak ke arah rooftop tempat Ai tinggal, Taerin hanya menemukan kesan sepi. Kesan yang ia dapatkan sejak YOWL pergi. Dulu ketika YOWL dan Ai masih bersama, mereka berlima sering berdiri berjajar di ujung teras yang berbataskan tembok rendah itu. Kadang mereka berdiri menghadap jalan, kadang membelakangi jalan. Namun pemandangan itu tak pernah terlihat lagi sejak YOWL pergi.
Taerin kembali teringat peristiwa beberapa waktu yang lalu ketika ia menemukan Ai mimisan yang lumayan parah. Taerin diam sejenak, lalu kembali menatap Ai yang masih berdiri menundukan kepala. Sejenak kemudian gadis itu bergegas masuk. Taerin tak bisa lagi menjangkaau Ai dengan kedua matanya.
Taerin menghela napas panjang dan kembali berjalan menuju rumahnya.
***
Alarm ponsel Hanbyul berbunyi. Tak seperti biasanya Hanbyul malas bangun. Kali ini ia bergegas bangun. Tanpa mencuci muka, ia langsung menyalakan laptopnya. Hari ini ia dan Ai berjanji untuk kembali bersua di dunia maya. Hanbyul tak mau Ai begadang terlalu larut. Karenanya Hanbyul mengalah untuk bangun jauh lebih awal.
Hanbyul antusias. Ia tak sabar untuk kembali melihat wajah Ai dan ngobrol langsung dengannya. Hanbyul ingin meluapkan rasa rindu yang cukup menyiksanya. Hanbyul duduk manis di depan laptopnya. Menunggu.
Setengah jam berlalu. Ai tak kunjung muncul. Hanbyul menepis resahnya dan kembali menunggu. Satu jam terlewati. Hanbyul berubah khawatir. Ia mondar-mandir di dalam kamarnya berusaha menelfon Ai, namun ponsel Ai tak aktif. Masih mondar-mandir dan memegang ponselnya. Tak mungkin jika Hanbyul menelfon Jaejoong. Ini akan mengganggu Jaejoong yang sibuk promo debut YOWL.
Hanbyul mengumpat kesal. Minki pun tak bisa dihubungi. “Kemana mereka…?” Hanbyul benar kesal. Kemudian ia mengetik pesan untuk Ai dan mengirimnya. Tak hanya satu pesan namun lebih dari tiga pesan.

Ai duduk bersila di atas lantai di dalam kamarnya. Kedua matanya terpejam. Tissue masih menyumpal kedua lubang hidung Ai. Warna putih tissue itu berubah sedikit kemerahan karena darah yang merembes.
***
“Eum, jadi Ai tak muncul? Mungkin dia sibuk atau kelelahan dan tidur.” Suri mencoba menghibur Hanbyul.
“Terakhir ia terlambat seperti ini… kecelakaan itu…” Hanbyul benar terlihat kusut hari ini.
“Apa yang kau rasa? Kata orang jika kalian benar saling menyukai, maka perasaan kalian akan bertaut.”
“Sangat kacau. Beberapa hari memang mimpi melihatnya. Terlihat pucat dan lesu.”
“Tak mencoba tanya teman-temanmu…?”
“Aku sudah mengirim pesan pada mereka, termasuk Hyuri. Namun belum ada balasan.”
“Aku rasa Ai hanya lelah dan butuh istirahat. Nanti aku akan coba menengok akunnya. Sekarang kau harus fokus pada latihan. Aku akan kembali setelah latihanmu selesai.”
Hanbyul mengangguk.
“Ok. Aku pergi. Ingat, kau harus fokus.”
Hanbyul tersenyum mengangguk, meyakinkan Suri.
“Aku percaya kau, Jang Hanbyul.” kata Suri sebelum pergi.

Sepanjang latihan Hanbyul tak bisa fokus. Ai benar-benar memenuhi pikirannya. Hanbyul berulang kali ditegur pelatih karena permainannya benar buruk hari ini. Sang Pelatih kemudian meminta Hanbyul untuk duduk istirahat.
Hanbyul melihat rekan-rekannya berlatih. Ia meneguk habis air mineral di tangannya. “Hah… semoga kau memang sangat sibuk hingga kelelahan. Aku benar mengkhawatirkanmu, Jiyoo.” gumam Hanbyul lirih.
***
“Jiyoo tak sekolah…?” Byunghun tak sengaja mendengar obrolan Kibum dengan Hyuri. “Jiyoo tak ke sekolah…?” sela Byunghun.
“Em. Dia malas.” Kibum membenarkan.
“Lee Byunghun, apa Hanbyul juga mengirim pesan padamu?” tanya Hyuri.
Tak menjawab pertanyaan Hyuri, Byunghun malah berlari pergi membuat Kibum dan Hyuri menatapnya heran.
Byunghun berlari kembali ke tempat parkir. Kemudian ia melajukan mobilnya meninggalkan sekolah. Tujuannya hanyaa satu, menemui Ai. Ia yakin jika hari ini Ai membolos bukan karena malas namun karena sakit.
***
Taerin tak menemukan Ai di sekolah. Ia berjalan pelan usai menengok taman belakang sekolah.
“Ck! Kenapa aku jadi memikirkannya? Mengkhawatirkannya?” gumam Taerin sendiri. “Ck! Kim Taerin! Berhenti berpikir tentangnya.” sambil memukul pelan kepalanya sendiri.
“Oh! kibum~aa!” panggil Taerin pada Kibum yang melintas.
Kibum menghentikan langkahnya, kemudian berjalan menghampiri Taerin. “Ada apa?”
“Eum…” Taerin gengsi untuk bertanya langsung tetang Ai. “Terima kasih untuk semua bantuanmu belakangan ini.” Taerin tersenyum manis.
Kibum menatapnya heran. Ia kemudian menghela napas panjang. “Jika bukan Ai yang memintanya, aku tak sudi membantumu.”
Taerin segera menarik senyumnya mendengar pernyataan Kibum yang benar membuatnya kesal.
“Harusnya kau berterima kasih pada Ai.” imbuh Kibum.
“Aku tak melihatnya.” umpan Taerin berhasil.
“Dia membolos.”
“Oya…? Kenapa…? Dia sakit…?”
Lagi-lagi Kibum menatap heran Taerin.
Taerin merasa risih dibuatnya.
“Mulai bosan dan mungkin akan mundur.” kata Kibum.
“Mundur…? Maksudmu berhenti sekolah…? Kenapa…? Apa karena tak ada YOWL lagi…?”
“Maaf. Aku harus ke perpustakaan.” Kibum pamit dari hadapan Taerin.
“Mundur…? Apa penyakitnya benar parah…?” gumam Taerin lirih.
***
Ai mengangkat panci berisi ramyun panas dan membawanyaa ke meja. Byunghun tersenyum menyambutnya.
“Kau tak pernah sarapan?” tanya Ai.
“Jarang.” jawab Byunghun.
“Ayo kita sarapan.”
“Sarapan…? Ini hampir masuk jam makan siang.”
“Jadi kau sudah sarapan?”
“Belum sih.”
“Tidak lapar.”
“Eung…”
“Oh, atau makanan ini taka man untukmu? Maksudku perutmu tak biasa makan makanan instan seperti ini?”
“Anak laki-laki yang tinggal sendiri jauh dari orang tua, apa yang bisa dia andalkan kecuali ramyun?”
“Eum, benar juga. Kau biasa memasaknya seperti ini?”
“Em…?”
“Ditambah sayur dan telur.”
“Tak pernah.”
“Wah, kebetulan. Ayo coba.”
Ai dan Byunghun bersama menikmati ramyun panas di rooftop Ai. Ai tersenyum melihat Byunghun makan dengan lahap.
Byunghun akhirnya sadar jika Ai memperhatikannya. “Wae…?”
“Gomawo.”
Byunghun tersenyum. “Ayo, makan.” ucapnya dengan lahap mengunyah ramyun yang ada dalam mulutnya.
“Tapi rasa khawatirmu itu berlebihan.”
“Em?” Byunghun terlihat lucu dengan pipi menggembung seperti itu karena mulutnya penuh dengan makanan.
“Ini bukan metode yang kau terapkan untuk merebut posisi Hanbyul kan?”
“Mwo..?” mulut Byunghun membulat.
Ai tertawa geli.
“Ish! Ternyata kau ini gemar sekali bercanda ya? Tapi, jika kenyataannya seperti itu, kau mau apa? Atau… jangan-jangan kau mulai terpikat oleh pesonaku, em?” balas Byunghun.
“Hahaha. Kalau iya, kau mau apa?”
Byunghun tersenyum. “Yakin tak ingin periksa?”
“Yakin.”
“Kenapa?”
“Dulu saat aku masih merokok juga sering mimisan.”
“Apa…? Kak-kau… merokok…?” Byunghun hampir tersedak mendengarnya.
“Lumayan parah. Beberapa obat-obatan terlarang juga pernah aku coba.”
Byunghun menelan ludah mendengarnya.
“Hanya untuk menjawab rasa penasaranku. Tapi tidak dengan YOWL. Mereka pernah merokok, tapi YOWL bersih dari obat-obatan terlarang.”
“Yang lain tahu tentang ini?”
“Minki Oppa tahu tentang ini semua. Hah… jadi kembali merasa bersalah padanya.”
“Jaejoong…? Dia tak tahu? Bukankah kau dekat dengannya.”
“Dekat bukan berarti tahu segalanya, kan?”
“Han,Hanbyul…?”
Ai menggeleng.
“Tapi, tapi sekarang kau tak merokok lagi kan?”
Ai mengangguk.
“Hah… fakta yang mengejutkan.”
“Aku hanya tak ingin kau terlalu berlebihan mengkhawatirkan aku. Karenanya aku cerita ini padamu.”
“Kau sudah berhent merokok, jadi penyebab mimisan itu adalah hal lain. Kita buat janji saja dengan Dokter Song, bagaimana?”
Ai diam. Tak merespon.
“Aku tak ingin kita terlambat mengetahui sesuatu. Apa pun itu. Aku tak mengharap hal buruk terjadi. Jika luka itu tampak di luar tak masalah, tapi jika…” Byunghun diam sejenak. Menatap Ai. “Kalaupun nanti kita menemukan sesuatu… yang… ganjil… tak wajar. Jika kita tahu lebih dini bukan kah itu lebih baik? Selanjutnya kita cari solusinya. Tak bisakah kau sedikit saja menundukan ego dan sifat keras kepalamu itu?”
Ai masih terdiam.
“Maaf. Mungkin aku terlalu memaksa. Ini karena bukan hanya aku, tapi kami semua mengkhawatirkanmu. Aku yakin Hanbyul juga mengirim pesan padamu. Ia mengirim pesan pada kami setelah tak berhasil menghubungimu. Kau meminta Hanbyul berjuang di sana dan berjanji suatu saat nanti kalian akan bersama lagi. Hanbyul benar pergi dan melakukan apa yang kau mau. Tapi di sini… di sini kau memang berjuang, tapi bukan berarti kau harus mengabaikan dirimu sendiri kan?”
“Masih banyak orang yang menggantungkan harapan padamu, jika kau tak menjaga dirimu dengan baik lalu kau tumbang sebelum pertempuran usai, kau akan meminta pertanggungjawaban siapa? Andai aku tak tahu tentang ini, aku tak akan memaksamu seperti ini.” imbuh Byunghun.
“Berkelahi dengan preman dan juga hantu kau tak takut, masak periksa ke Dokter saja kau takut?” olok Byunghun.
Ai tersenyum mendengarnya.
“Jangan keras kepala lagi. Jangan egois. Ingatlah YOWL. ingatlah Wisteria Land. Ingatlah Jeonggu Dong. Jika terjadi sesuatu padamu, apa jadinya mereka? Sedang perjuangan mereka baru dimulai.”
“Semalaman aku juga memikirkannya. Semalam aku mimisan lagi. Kau benar, aku takut. Sangat takut.”
Byunghun meraih tangan kanan Ai dan menggenggamnya. “Kau gadis yang kuat Jung Jiyoo.”
Ai tersenyum tulus.
“Fujiwara Ayumu… Fujiwara itu benarkah wisteria field…?”
Ai mengangkat kedua bahunya.
“Masak kau tak tahu arti namamu sendiri?”
“Ayo kita periksa.”
Byunghun tertegun.
“Iya. Ayo kita periksa. Tapi jangan Dokter Song atau rumah sakit dimana Yongbae dirawat.”
“Ok. Aku ada klinik langganan. Tak begitu terkenal tapi pelayanannya sangat bagus. Tapi kita mampir ke apartemenku dulu ya? Risih rasanya jika aku pergi dengan memakai seragam sekolah.”
“Aku ada beberapa baju laki-laki. Muat padamu aku rasa.”
“Mwo…? Baju laki-laki…?”
“Iya. Dulu sering aku keluar dalam wujud laki-laki. Memakai pakaian anak laki-laki, bahkan aku punya beberapa koleksi wig model rambut laki-laki.”
“Kau ini benar-benar…” Byunghun menggeleng keheranan.
“Tunggu sebentar.” Ai beranjak menuju kamarnya. Tak lama kemudian ia kembali dengan membawa T-shirt dan jaket untuk Byunghun. “Jika kau tak suka, kita mampir ke apartemenmu dulu.”
“Suka. Tapi barang yang sudah diberikan tak boleh diminta kembali.”
“Em. Itu untukmu.”
“Ok. Gomawo.” Byunghun kemudian beranjak menuju kamar mandi untuk ganti baju.
Byunghun membawa Ai ke klinik tempat ia biasa berobat. Ai berjalan menundukan kepala di samping kiri Byunghun. Byunghun tersenyum sambil kemudian meraih tangan kanan Ai dan menggandengnya.
Ai tersentak. Ia mengangkat kepala, menoleh menatap Byunghun. Tangannya yang dingin perlahan merasa hangat karena Byunghun menggenggamnya.
Byunghun tersenyum manis, tetap menuntun Ai.

 
---TBC---
 
  shytUrtle

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews