The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ (다음 이야기 화성 아카데미’사랑, 음악과 꿈’)

06:34

The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
            다음 이야기 화성 아카데사랑, 음악과
 
. Judul: The Next Story Of Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’
. Revised Romanization: da-eum iyagi Hwaseong Akademi 'salang, eum-aggwa kkum'
. Hangul: 다음 이야기 화성 아카데미사랑, 음악과
. Author: shytUrtle
. Rate: Serial/Straight
. Cast
- Fujiwara Ayumu (
藤原歩) aka Jung Jiyoo (정지유)
- YOWL
1. Kim Jaejoong (
김재중)
2. Oh Wonbin (
오원빈)
3. Lee Jaejin (
이재진)
4. Kang Minhyuk (
강민혁)
- Song Hyuri (
송휴리)
- Kim Myungsoo (
김명수)
- Jang Hanbyul (
장한별) and all cast in Hwaseong Academy ‘Love, Music and Dreams’ ver. 1


New Cast:
- Jung Shin Ae
- Trio Orenji High School:
1. Kim Hyerien
2. Han Sunyoung
3. Song Hami
- Kim Taerin
- Kim Changmi
- Etc…
   

Cinta, musik dan impian adalah tiga ritme yang mampu membuat manusia tetap bersemangat dalam hidup. Cinta akan menunjukan jalan untuk meraih impian, dan musik memberikan harapan dalam mengiringinya. Cinta menguatkanmu, musik menginspirasimu dan impian akan memberimu ribuan harapan untuk tetap berjuang dan hidup…
 
Episode #19
Yang terdengar hanya nyanyian hewan malam mengiri tarian kunang-kunang di udara. Ai dan Byunghun  sudah kembali duduk di teras gubuk mungil. Berdampingan namun saling terdiam. Hanya menatap indahnya tarian kunang-kunang dengan kerlap-kerlip cahayanya.
“Sebaiknya berhenti saja, Lee Byunghun. Tak seharusnya kau melakukan ini.” kata Ai memecah keheningan.
“Em…?” Byunghun menoleh. Tatapannya bertemu dengan pandangan Ai.
“Jangan biarkan rasa itu tumbuh subur di hatimu, karena aku tak bisa menjanjikan apa-apa, terlebih untuk membalas semua ini. Ini tidak hanya akan membuatku merasa tak enak padamu, namun juga akan membuatmu sakit nantinya.”
“Semua telah kau berikan untuk Hanbyul?”
“Entahlah. Aku sendiri tak tahu apa yang aku rasa. Ini semacam…” Ai tak melanjutkan ucapannya.
“Tak mengapa.” Byunghun kembali menatap ke arah depan. Tersenyum. “Saat ini, yah inilah yang aku inginkan. Maaf karena aku tak bisa menjauh, maaf jika ini mengganggumu. Jika aku menolaknya dan berusaha menghindar, itu semakin menyiksaku. Maafkan aku karena telah berani menyukaimu, sejak awal melihatmu dan terlebih setelah kau mengalahkan aku. Aku sedang berusaha dan… dan mengejutkan ketika tiba-tiba kau dan Hanbyul…” Byunghun diam sejenak. Ia kemudian tersenyum getir. “Terima kasih. Aku senang karena kau sama sekali tak berubah, bahkan tak canggung berada di dekatku. Terima kasih karena masih memberiku ruang untuk tinggal.”
“Aku egois. Apa yang aku lakukan, ini akan semakin menyiksamu.”
“Jika aku benar tersiksa, tak mungkin aku tetap bertahan di sini, di sisimu kan? Jangan merasa ini dan itu. Tak bisakah aku menjadi seperti Kibum? Wooyoung dan mereka yang selalu ada di sekitarmu?”
Ai menghela napas dan kembali menatap kunang-kunang yang jumlahnya mulai berkurang. Suasana kembali hening.
***
Hyuri mengerutkan dahi ketika Byunghun kembali bersama Ai sepagi ini. “Kalian bersama? Semalaman?” tanya Hyuri penuh curiga. “Kemana kalian pergi semalaman?!”
“Apa terjadi sesuatu?” Ai balik bertanya dengan ekspresi datarnya.
“Shin Ae jatuh dari pohon. Semalam Minhwan menggendongnya sampai kemari.”
“Shin Ae…? Jatuh dari poho…? Bagaimana bisa?”
“Nona..? Nona sudah kembali?” Shin Ae keluar dari dalam pondok.
“Kau terjatuh dari pohon? Semalam?” tanya Ai menatap heran Shin Ae.
“Eung… itu, itu kecelakaan kecil. Aku tak terluka. Nona jangan khawatir.”
“Bagaimana bisa terjadi?”
“Karena tiba-tiba muncul seekor anjing besar dan aku ketakutan.
Myungsoo dan Minhwan keluar pondok secara bersamaan. Senada dengan Hyuri keduanya dibuat heran melihat Byunghun sudah bersama Ai pagi ini.
“Kalian… pergi bersama…?” tanya Minhwan.
“Sebaiknya kalian segera berkemas.” Kata Ai tak menjawab pertanyaan Minhwan sambil berlalu.
“Ya! Kau pergi bersamanya semalam?” Minhwan menahan Byunghun.
Byunghu  hanya tersenyum, kemudiam berjalan memasuki pondok.
“Mereka…” Minhwan bingung, menatap Myungsoo lalu Hyuri, “…benar bersama…?”
***
“Ponselnya ia tinggal dalam kamar, semalaman tak kembali ke pondok lalu pagi-pagi muncul bersama Fujiwara…? Byunghun… apa semalaman ia bersama Fujiwara? Tapi dimana?” Minhwan masih memikirkan kejadian pagi ini sambil duduk fokus dibalik kemudi.
“Aku tahu-tahu melihat mereka datang bersama.” jawab Hyuri yang duduk di bangku belakang bersama Shin Ae. “Aku pun penasaran dimana mereka semalam. Aku yakin mereka bersama. Aku tahu Lee Byunghun menyukai Ai, tapi mengambil kesempatan seperti ini saat Hanbyul tak ada, ish! Menggelikan.”
“Ya! Lee Byunghun bukan tipe pria licik seperti itu. Kalau pun benar terjadi sesuatu, pasti itu karena Fujiwara pun mau.”
“Mwo?! Mau?! Ya! Kau pikir apa sahabatku itu?!” protes Hyuri tak terima. “Kau pikir Ai yang licik?! Seperti siluman rubah kesepian yang mencarai mangsa?!”
“Song-song Hyuri…”
“Hah! Kenapa kalian jadi ribut sendiri?!” sela Myungsoo. “Apa masalahnya jika Fujiwara dan Byunghun bersama? Aku yakin tak terjadi sesuatu. Berhenti berpikir konyol!”
Hyuri melipat tangan dan melihat keluar jendela.
Shin Ae bingung tak tahu harus bersikap bagaimana di tengah krisis ini.
“Fujiwara berpendirian teguh dan Byunghun bukan pemuda yang tak tahu diri. Yakinlah pada mereka, em?” Myungsoo yang duduk di samping Minhwan menoleh pada Hyuri.
“Ah, kenapa aku jadi begini khawatir?” Hyuri masih menatap keluar jendela mobil. “Urusan hati, itu sangat privasi bukan?”
“Itu wajar. Karena Nona Song sangat menyanyangi Nona Fujiwara.” Shin Ae menenangkan.
“Keterlaluan kah?”
“Tidak. Karena kita tak ingin orang yang kita sayangi terluka.”
Hyuri menatap Shin Ae lalu tersenyum manis. Ia terlihat lega.
***
Byunghun langsung membawa truk Morning Glory Florist ke gereja tempat dimana pernikahan Junki dan Young Ah akan digelar. Mobil Myungsoo yang dikemudikan Minhwan turut menuju ke sana.
Ai langsung bekerja untuk menghias gereja bersama-sama dengan tim-nya. Sementara itu Myungsoo segera memboyong Hyuri, Minhwan dan Byunghun pergi. Ia tak mau jika terjadi ribut-ribut lagi. Terlebih Ai akan sangat sibuk dengan persiapan pernikahan Junki hari ini.
Kebun di samping gereja pun telah selesai dihias. Ai duduk di bangku paling depan dalam gereja. Ia tersenyum teringat momen saat ia bersama Hanbyul dalam gereja ini kemudian Hanbyul mengkhayalkan tentang pernikahannya kelak.
“Sudah larut, kita pulang. Kau harus istirahat.” Minki menghampiri Ai. “Di luar sudah beres. Akan ada yang menginap juga. Tak ada yang perlu kau khawatirkan. Kau belum istirahat sama sekali sejak kembali dari perkebunan.”
“All clear?”
“Em. All clear. Let’s take a rest now.”
“Syukurlah.” Ai menghela napas lega kemudian menatap tangan kirinya. “Semoga juga demikian padanya.”
“Pasti. Ayo.”
***
Hanbyul mengerutkan dahi. Email yang kirim tak satu pun dibalas oleh Ai. Gadis itu juga tak menunjukan aktifitas di akun pribadinya.
“Ah, iya. Sangat sibuk mempersiapkan pernikahan Lee Junki Sonsaengnim. Semoga semua lancar. Ah, apa dia makan dan istirahat dengan baik? Gadisku yang keras kepala ini. Semoga tangan kiri Jiyoo juga membaik. Aku mohon bantu dia di sana, Tuhan.” Hanbyul menatap langit-langit kamarnya. “Ah, aku begitu merindukannya…”
“Oh!” Hanbyul tersentak kaget ketika Nyonya Jang tiba-tiba masuk tanpa mengetuk pintu. Terlambat. Hanbyul ketahuan lagi sedang memantau akun pribadi Ai.
Nyonya Jang meletakan pakaian Hanbyul di atas ranjang. Hanya diam. Tak berkata apa pun. Bahkan tak menyapa putra semata wayangnya.
“Om-omma masih marah padaku?” Hanbyul memberanikan diri bertanya. “Omma tak suka aku berpacaran dengan Jiyoo…? Omma lebih suka Suri daripada Jiyoo…? Omma! Omma jangan diamkan aku seperti ini. Ini membuatku asing di rumahku sendiri.”
“Terlalu pagi untuk berdebat.”
“Aku tak mengajak Omma berdebat. Aku hanya bertanya pada Omma. Aku menyukai Jiyoo. Aku mencintai Jiyoo. Omma membencinya? Omma tak suka pada Jiyoo? Kenapa? Karena Jiyoo anak Jeonggu Dong? Anak berandalan? Sesempit itukah penilaian Omma pada Jiyoo-ku?”
“Jiyoo…? Fujiwara Ayumu…? Bagaimana bisa satu orang memiliki dua nama?”
“Aku jelaskan pun percuma jika. Omma tak akan mau mendengarnya. Jika benar dugaanku, aku hanya ingin menegaskan Jiyoo tak seburuk yang Omma pikirkan. Jiyoo, dia gadis istimewa. Dia gadis yang baik. Aku mencintainya, Omma. Sangat mencintainya.”
Nyonya Jang menghela napas panjang. “Aku tak tahu sejauh mana cinta telah membutakan anakku ini. Ini terlalu… terlalu dini untukmu. Untuk mengatakan sangat mencintainya dan… ah, entahlah.”
“Aku bukan anak kecil lagi Omma. Cinta tak membutakan aku. Aku yakin pilihanku ini benar.”
Nyonya Jang terdiam di tempat ia berdiri.
Hanbyul pun tetap pada posisinya, duduk di balik meja belajarnya.
Nyonya Jang berjalan mendekati Hanbyul, kemudian meletakan kedua tangannya di pundak Hanbyul. “Sebagai seorang lelaki, tak cukup hanya dengan mengatakan ‘aku mencintainya, sangat mencintanya’ saja. Untuk seorang lelaki, kata cinta itu wajib disertai dengan tanggung jawab karena setiap laki-laki kelak akan menjadi pemimpin dari orang yang ia cintai. Pemimpin yang harus bertanggung jawab menjaga gadis yang ia cintai dan membahagiakannya. Sebagai seorang laki-laki, bermodal kata ‘aku mencintainya, sangat mencintainya’ saja tak cukup, karena kelak seorang lelaki akan menjadi nahkoda yang akan mengemudikan kapal yang disebut sebagai sebuah keluarga. Karena kau adalah milikku, kebanggaanku satu-satunya, maka sebagai laki-laki, jadilah nahkoda yang baik dan bertanggung jawab. Maaf jika sikap Omma membuatmu kecewa. Omma tak ingin menjadi batu penghalang bagimu, Omma tak ingin melarangmu menjalin hubungan dengan siapa saja. Omma hanya merasakan apa yang juga dirasakan oleh sebagian banyak ibu. Omma khawatir anak Omma ini hancur hanya gara-gara cinta, hanya gara-gara wanita. Omma hanya ingin kau menjadi seseorang dahulu. Seseorang yang mampu memikul tanggung jawab atas dirinya sendiri. Setelah semua itu terwujud, semua keputusan ada di tanganmu, karena kehidupanmu, kau yang menjalaninya.” Nyonya Jang melingkarkan kedua tangannya di leher Hanbyul.
“Setahuku, pangeranku ini hanya mencintai musik dan basket. Gadis yang berhasil menarik perhatiannya, aku yakin dia memang bukan gadis biasa. Sangat mengejutkan, setelah sekian lama dan ketika kau kembali tiba-tiba kau bicara tentang cinta, sangat mencintai seorang gadis. Gadis yang selama ini aku tahu dari dunia maya dengan segala… segala apa yang ia punya dan orang bicarakan tentangnya. Skandal itu bukan sekedar isapan jempol belaka.” Nyonya Jang tersenyum masih mendekap Hanbyul.
“Maafkan aku Omma. Aku tak bermaksud membuat Omma syok. Hah… aku paham sekarang. Omma jangan khawatir, aku akan berusaha untuk yang terbaik.”
“Omma percaya itu.” Nyonya Jang mengecup puncak kepala Hanbyul. “Lalu kapan akan kau ceritakan pada Omma tentang bagaimana seorang anak gadis bisa mempunyai dua nama…?”
“Ah, itu… sekarang pun jika Omma mau.”
Ibu dan anak ini kemudian tertawa bersama.
***
Ai berjalan malas menuruni tangga. Perjalanan jauh dan minimnya istirahat, Ai merasakan lelah yang teramat sangat disekujur tubuhnya. Hari ini ia kembali membolos sekolah. Bukan karena pernikahan Junki yang akan digelar sore ini. Akan tetapi karena tangan kiri Ai yang harus kembali menemui Dokter yang bertanggung jawab untuk merawatnya. Ai menguap sambil kembali membetulkan topi dari rompi yang dikenakannya.
“Omo!” Ai terhenyak ketika sampai di ujung tangga terbawah. “Mwoya ige? Sonsaengnim…?” ia kaget melihat Junki sudah berada di sini sepagi ini. “Ada masalah?”
Junki tersenyum. “Hari ini, aku yang akan mengantarmu ke rumah sakit.”
“Mwo…?”
“Aku mohon jangan menolakku. Susah payah aku mendapatkan izin ini. Aku harus menyingkirkan beberapa pria. Dokter Song, Jung Euichul, Lee Minki dan…” Junki diam mendapati Ai menertawakannya. “Wa-wae…?”
“Aku pikir hari ini pengantin pria akan mengajakku kabur dari sini.”
“Mm-mwo…?!”
Ai terkekeh. “Maaf. Aku hanya bercanda. Ok. Ayo, kita berangkat!”
Mobil Junki melaju pelan menuju rumah sakit. Suasana terasa kaku di dalam mobil. Setidaknya itu yang dirasakan Junki.
“Hah, orang tua itu selalu pelan ya kalau mengemudi.” celetuk Ai.
“Nee…? Wae? Apa kita terlambat…?”
Lagi-lagi Ai tertawa geli. “Aniya. Gomawo. Menjelang pernikahan, Sonsaengnim masih peduli padaku. Tak seharusnya Sonsaengnim merasa sungkan hingga melakukan hal ini.”
“Selama waktu singkat kita kenal, kau telah berbuat banyak padaku. Aku belajar banyak darimu. Gomawo. Mianhae, aku tak bisa membalas semua.”
“Kepercayaan.” Ai menoleh menatap Junki. “Kepercayaan yang Sonsaengnim berikan padaku, itu melebihi semua. Atas sikap kurang ajarku yang berani jatuh hati pada Sonsaengnim, tapi Sonsaengnim masih memberiku ruang dan kepercayaan walau Sonsaengnim menyadari hal tak wajar yang aku pendam. Aku-lah yang seharusnya berterima kasih. Jongmal kamsahamnida, Sonsaengnim.”
“Anggap saja kita impas dan setelah ini kita adalah teman. Saudara. Kau setuju?”
“Nee, choa.”
“Hah… ini sedikit mengurangi rasa gugupku.”
Ai tersenyum masih memperhatikan Junki. “Apa wajah setiap orang yang akan menikah… berbinar seperti ini…?”
“Nee…?”
“Sangat jelas terlihat.”
“Jinja…?”
“Anee. Aku hanya bercanda.” Ai kembali menatap ke arah depan.
“Ah, dasar Fujiwara!”
***
Dokter selesai melepas gips di tangan kiri Ai. Perlahan Ai mulai menggerak-gerakan tangannya.
“Ini keajaiban. Cepat sekali. Kau patut bersyukur. Buah dari sikap menurutmu.” ungkap Dokter.
Ai tersenyum manis. “Kamsahamnida.” Ai membungkuk sopan. “Dokter sudah dengan sabar merawatku. Lalu setelah ini, aku masih bisa memainkan gitar lagi kan?”
“Em.” Dokter mengangguk. “Untuk sementara, jangan keterlaluan ya.”
“Nee. Algeseumnida.”
Ai berjalan sambil keluar ruangan. Langkahnya terhenti ketika sampai di ruang tunggu pasien. Tatapan Ai tertuju pada televisi besar di ruangan itu yang sedang menayangkan penampilan duet Jaejoong dan Wonbin. Wonbin memainkan gitar akustik mengiringi Jaejoong bernyanyi. Ai tersenyum. Kemudian kepalanya tertunduk kembali menatap tangan kirinya.
“Kau di sini rupanya. Kapan kau keluar?” Junki menemukan Ai. Junki turut menatap televisi lalu kembali menatap Ai. “Kau… baik-baik saja, Fujiwara?”
“Nee. Ayo, kita pulang.” Ai kembali semangat.
***
Memandang tangan kirinya, menggerakkannya kemudian tertawa, Ai melakukannya berulang kali. Ia duduk sendiri di kursi yang berada di pinggir. Ai kembali mengangkat kepala memperhatikan lalu lalang orang yang sibuk mempersiapkan sisa kekurangan dari pesta pernikahan Junki. Ai mendengus dan kembali menguap. Ia terlihat lelah benar.
“Hah, di sini kau rupanya.” Gahee muncul tiba-tiba di hadapan Ai.
“Nee…? Ada masalah?” Ai bingung.
“Ikut aku!” Gahee menarik tangan Ai.
“Nee…? Odie…? Sonsaengnim…”
Gahee tak menjawab, tetap menyeret Ai pergi.
--------
Teman dan kerabat dekat Junki dan Young Ah berdatangan dan mulai memadati gereja. Junki sudah berdiri di dekat altar. Ia terlihat tampan dalam balutan tuxedo hitam dan celana senada. Ia terlihat gugup. Tergabar jelas di wajah tampan Junki.
Tak lama kemudian iring-iringan Young Ah datang. Junki tersenyum ketika Young Ah berjalan memasuki gereja. Bahagia. Gugup. Bangga. Semua bercampur jadi satu dalam dada Junki. Pemberkatan pernikahan pun digelar.
Usai prosesi pernikahan digelar, para tamu digiring keluar gereja tempat pesta kebun sederhana digelar untuk menikmati hidangan jamuan pesta. Pasangan raja dan ratu sehari berada di singgasana mungil yang sengaja di bangun untuk mereka. Dengan wajah penuh binary bahagia keduanya meladeni setiap tamu yang menghampiri untuk memberi selamat dan meminta foto bersama. Ada pula musisi yang memainkan musik untuk mengiri pesta. Bahkan Junki dan Young Ah juga sempat berdansa.
Gahee berjalan penuh percaya diri menuju singgasana pengantin. Senyum manis terkembang di wajah ayunya sambil ia berjalan dan menggandeng seseorang di samping kirinya. Kehadiran Gahee langsung menjadi pusat perhatian para undangan pesta.
Ai yang berjalan di samping kiri Gahee hanya bisa tertunduk. Sebelumnya ia tak pernah berpenampilan seperti ini. Ai terlihat anggun dan cantik dalam balutan gaun selutut berwarna pink itu. Gahee telah mempersiapkan ini semua. Gahee pula yang mendandani Ai hingga hari ini gadis itu tak muncul dengan riasan gothic-nya. Rambut Ai yang biasa terkepang dua, kali ini tersanggul rapi semakin membuatnya terlihat anggun. Ketika semua menatap kagum pada Ai, gadis itu justru merasa tak percaya diri dengan penampilan yang tak biasa ini. Apalagi gaun pink yang menurutnya sangat aneh ini.
Gahee membawa Ai ke singgasana pengantin. “Kau ingat siapa dia?” bisik Gahee pada Junki.
“Fujiwara? Ah, kau terlihat berbeda sekali.” kata Junki masih menatap kagum pada Ai.
“Kau terlihat cantik. Lihat, semua mata menatapmu.” Young Ah turut memuji.
Ai hanya tersenyum kemudian sedikit menundukan kepala.
“Gomawo. Pesta ini…” kata Young Ah, “tak akan terwujud tanpamu. Suamiku…” Young Ah melingkarkan tangannya dan bergelayut manja di lengan Junki, “sedikit memalukan. Bagaimana dia membuat repot muridnya? Tapi, aku akui kau sangat berbakat Fujiwara. Bunga-bunga itu dan Ikebana di sana-sini. Ini sangat… indah.”
“Syukurlah jika Nona Lee senang.” Ai lega.
“Kau… tak ingin bernyanyi untuk kami?” tanya Young Ah. “Dia tak bisa bernyanyi untukku.” Young Ah menyikut Junki. “Beraninya hanya di tempat karaoke saja.” Young Ah berbisik pada kalimat terakhir.
“Tangan Fujiwara baru pulih hari ini.Aku rasa ia tak bisa memainkan alat musik dan bernyanyi untuk kita.” sela Junki.
“Aku akan bernyanyi. Untuk kalian berdua. Anggap saja itu perwakilan untuk masing-masing kalian.” kata Ai.
Junki dan Young Ah kompak menatap heran pada Ai.
“Karaoke. Aku sudah mempersiapkannya.” Ai memperjelas.
“Ah, ide bagus.” Gahee langsung bergegas menuju panggung para musisi. Gahee meminta perhatian para tamu. Ia memberikan sedikit sambutan, lalu ucapan selamat pada kedua mempelai dan tak lupa memperkenalkan Ai sebagai wedding planner dari pesta ini. Bahkan Gahee juga mempromosikan Morning Glory Florist serta kemahiran Ai dalam seni merangkai bunga asal Jepang, Ikebana.
“Dan sebagai bingkisan kecil, Fujiwara akan bernyanyi untuk kita.” Gahee tersenyum dan mengundang Ai untuk naik ke atas panggung.
Undangan yang hadir rata-rata saling berbisik ketika Ai naik ke atas panggung. Beberapa hanya tersenyum menatap panggung. Minki tersenyum bangga melihat Ai dari kejauhan.
“Lagu ini untuk kedua mempelai.” Ai memberikan sambutannya sebelum bernyanyi.  “Spice Girls-Two Become One.”
Para tamu bertepuk tangan. Ai pun bernyanyi untuk Junki dan Young Ah.
***
“Kau sudah melihatnya?” Suri duduk di hadapan Hanbyul.
“Melihat… apa?” Hanbyul tak paham.
“Kau tak tahu?”
Hanbyul menggeleng.
“Video terbaru Fujiwara Ayumu. Dia menyanyi dalam acara pernikahan. Video itu beredar begitu cepat. Apa ini akan jadi masalah baginya?”
“Entahlah. Pasti dalam pernikahan Lee Junki Sonsaengnim.” Hanbyul tersenyum sendiri.
“Dia sangat cantik. Berbeda dari Fujiwara yang biasa terlihat dalam video-videonya yang pernah aku lihat. Dalam balutan gaun pink dan riasan minimalis, ess… hanya satu kata, cantik. Aku menyimpan video itu, nanti aku beri. Kau mau?”
Hanbyul menatap geli Suri. “Kau ini… Yowlism?”
“Tidak juga. Tapi aku berteman dengan beberapa anak Korea. Beberapa dari mereka Yowlism yang benar-benar fanatik. Mau tak mau aku jadi tahu. Em, lebih tepatnya mencari tahu. Fans YOWL itu keren. Menurutku sih. Maaf bukan maksudku membandingkannya dengan fans Viceroy.”
Hanbyul hanya tersenyum.
Suri menatap tumpukan buku yang ada di meja menemani istirahat siang Hanbyul dalam perpustakaan sekolah. “Buku-buku ini…?”
Hanbyul tersenyum. “Iya. Saat dalam pesawat meninggalkan Korea, tiba-tiba terpikir olehku, aku ingin menjadi Dokter.”
“Dokter…? Kenapa…? Lalu basket…? Atau musisi…?”
“Beberapa kali aku menemukan Jiyoo kesakitan, tapi aku tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jiyoo terlihat menurut pada Dokter Song. Yah, satu-satunya Dokter yang membuatnya patuh. Namun Dokter Song tak bicara banyak padaku. Jika aku jadi Dokter, aku akan merawatnya dengan baik.”
“Jiyoo…?”
“Ai.”
“Oh. Dia sakit…?”
“Entahlah.” Hanbyul kemudian menceritakan bagaimana ia mengenal Ai dari awal pada Suri. Tragedi di ruang ganti siswa dan semua, ketika Hanbyul sering dengan tak sengaja menemukan Ai.
Suri duduk menyangga dagu dengan tangan kanannya, tenang mendengarkan Hanbyul bercerita. Terlihat dari ekspresinya, Suri menikmati cerita Hanbyul. Sesekali ia tersenyum sendiri saat Hanbyul bercerita.
“Maaf, aku membuatmu jadi pendengar.” Hanbyul sungkan.
“Gwaenchanna. Aku suka mendengarnya. Kau tahu, kisahmu membuatku iri. Bagaimana perjuanganmu untuk mendapatkan Ai, itu sungguh… ah, keren. Sebagai sesama anak gadis, aku iri pada Ai. Kau harus mempertahankannya. Ingat perjuangan kalian, bahkan apa yang baru kalian mulai belakangan ini. Ini tak akan mudah, tapi aku mendukungmu. Jang Hanbyul, hwaiting!” Suri menyemangati.
Hanbyul tersipu.
“Semoga hubungan kalian benar langgeng. Aku akan jadi polisi untuk Ai di sini. Kelak kau, saat aku ke Korea, kau harus mempertemukan aku dengan Ai.”
“Sure.”
“Aku sudah berteman dengannya di dunia maya, tapi aku merasa ragu untuk mencoba akrab dengannya.”
“Why…? Dia gadis yang ramah, walau ya terkesan dingin.”
“Itu namanya bukan ramah!”
“Katakan saja kau saudariku di Amerika. Jiyoo memang tak mudah menaruh perhatian pada orang asing kecuali kau punya sesuatu yang benar-benar membuatnya tertarik. Akan lebih berguna jika bisa membuatnya penasaran.”
“Ish. Kau membongkar kelemahan kekasihmu?”
“Padamu? Kenapa tidak? Sama-sama anak gadis, tak akan jadi masalah.”
“Bagaimana kalo Ai mendua denganku?”
“Ya…”
Suri terkekeh. “Baiklah, akan aku coba. Semoga Ai percaya.”
Hanbyul dan Suri tersenyum bersama.
***
Ai duduk di atas tembok setinggi satu meter itu, sambil memetik gitar akustik kesayangannya yang lama tak ia elus. Gerak jari-jari Ai terhenti, ia kemudian tersenyum sendiri. Senyum kecut ketika kembali teringat memori bersama YOWL.
Ai teringat ketika ia baru saja kembali ke Korea lalu duduk memainkan gitar di atas tembok ini. Yongbae tiba-tiba muncul dan lagi-lagi perkelahian tak dapat dihindarkan ketika keempat member YOWL datang.
“Aku sangat merindukan masa-masa itu. Sekarang semua itu benar menjadi kenangan yang… indah dan manis.” gumam Ai.
Senyum dan gumam Ai terhenti ketika Taerin melintas. Taerin berlalu begitu saja seolah tak menyadari keberadaan Ai yang tampak jelas dari sudut jalan mana pun. Ai menggeleng pelan dan merapikan gitarnya. Ai melompat turun dan bergegas menyusul Taerin.
Taerin merasa risih sadar ada yang membuntuti langkahnya. Taerin mengerutkan dahi dan mempercepat langkahnya.
“Ini aku.” kata Ai. “Aku ingin bicara.” ia berusaha menahan langkah Taerin.
Taerin menghentikan langkahnya.
Ai beralih ke hadapan Taerin. Ia mengulurkan tanaman hias dalam pot di tangannya pada Taerin. Tanaman yang terbungkus rapi dalam plastik lengkap dengan hiasan pita yang semakin mempercantik tampilannya. “Kesukaan Jaejoong. Beberapa waktu lalu aku melihat tanaman kesayangannya itu mati. Dia tak suka banyak air, juga tak suka banyak sinar matahari. Saat Jaejoong pulang, pastikan ia tak melihat bangkai dari tanaman sebelumnya.”
Taerin terdiam menatap tanaman hias di tangan Ai.
“Jaejoong menyukai aroma dari tanaman ini. Itu menenangkannya.” Ai masih dengan tangan terulur.
Tangan Taerin bergerak pelan lalu menerima bingkisan itu.
Ai tersenyum tulus. “Yang kau perlukan hanya kesabaran. Kesabaran dalam merawatnya. Itulah kasih.” Ai kembali tersenyum kemudian membalikan badan. “Annyeong.” serunya sembari berjalan pergi.
Taerin masih terdiam di tempat ia berdiri. Di tatapnya tanaman hias di tangannya. Kemudian Taerin menatap Ai yang berjalan meninggalkannya. Taerin kembali menundukan kepala dan berjalan.
***
Ai baru sampai di basecamp. Ia heran melihat banyak bahan baku bangunan yang sedang ditata oleh rekan-rekannya.
“Ya. Semua ini… dari mana…?” Ai memanggil salah satu rekannya, anak buah Yongbae.
“Tadi pengirimnya mengatakan ini dari Yong Junhyung.” sahut satu rekan lainnya.
“Yong Junhyung…? Mengirim ini semua…?”
“Iya, Nona. Ini semua yang kita butuhkan untuk gudang bunga dan beberapa pembaruan di sana-sini.”
Ai diam, menerka-nerka.
“Oh, sudah datang rupanya.” Byunghun baru tiba. Ia tersenyum menghampiri Ai.
“Sudah datang…?” tanya Ai.
“Barang-barang ini. Yong Junhyung yang mengirimnya bukan?” Minhwan balik bertanya.
“Kata mereka begitu.” jawab Ai.
“Mianhae. Dia bertanya padaku, apa yang kalian butuhkan. Aku katakan ini semua.” sela Byunghun. “Jika kau menolak, itu akan melukainya. Biarkan ia menebus rasa bersalahnya. Mungkin itu membuatnya lebih tenang.”
“Nee, ara. Aku harus berterima kasih padanya.”
Byunghun tersenyum dan mengangguk.
“Meja dan bangku itu… mau ada rapat ya?” tanya Minhwan.
“Yang berminat untuk ikut latihan merangkai bunga akan datang sebentar lagi. Kami akan memulainya.”
“Wah, ini pasti akan menyenangkan. Oya, selamat. Tanganmu kembali.”
“Dari dulu dia di sini, tak kemana-mana.” jawab Ai membuat Minhwan terbahak.
Byunghun hanya tersenyum geli dan menggeleng mendengarnya.
***
“Aku rindu padamu, pada Jeonggu Dong, Taerin. Sebenarnya sangat ingin ke sana.” Jaejoong berada di balkon lantai dua dorm YOWL sedang menelfon Ai.
“Suatu saat pasti kau bisa. Sekarang fokuslah untuk debut YOWL, yang lain benar membutuhkanmu. Di sini kami semua baik-baik saja, aku dan Taerin.” Ai berbaring di bangku di teras rooftop-nya.
“Aku sudah melihatnya. Kau sangat cantik saat pernikahan Lee Junki Sonsaengnim.”
“Mwo…?” Ai terbangun. “Kau tahu darimana…? Ada yang menyebarkan fotoku…? Ah, itu ulah Gahee Sonsaengnim.” Ai tersipu.
“Bahkan lengkap dengan videonya.”
“Mm-mwo…? Jinjayo…?”
“Em.”
“Lalu apakah ini jadi masalah…? Buat kalian…”
“Anee. Sebelum kami di sini juga sering begitu bukan?”
“Ibu Presedir...?”
“Tak masalah. Jangan keterlaluan seperti itu.”
“Aku juga sudah melihatnya. Duet kalian, kau dan Wonbin. Aku tak pernah melihat kalian sebaik itu sebelumnya. Kalian tampak keren di layar kaca. Wajah gugupmu, mulai samar. Good job.” Ai tersenyum bangga.
“Itu… ah…” Jaejoong salah tingkah sendiri meski Ai tak di hadapannya. “Oya, maaf tentang keputusan Ibu Presedir yang berubah tiba-tiba.”
“Aku justru senang mendengarnya. Nona Kim Taehee lebih berpengalaman tentang ini. Aku mendukung keputusannya. Menunggu kondisi Jeonggu Dong stabil untuk debut YOWL hanyalah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan yang ada. Itu bodoh. Jaejoong~aa, kau yang memilih tanggal 23 itu?”
“Iya. 23 untuk W. Penghormatan untuk Wacky Way of YOWL Fujiwara Ai Ayumu dan sekaligus untuk Wren of YOWL Lee Jaejin. Bagaimana menurutmu?”
“Membuatku terharu. Gomawo.”
“Harusnya kau memelukku.” Jaejoong tersenyum geli.
“Sini. Emm… aku memelukmu.”
Jaejoong kembali tersenyum dengan wajah bersemu merah.
“Ya! Kau tidak sedang berpikir macam-macam kan…?!”
“An-anee… wae…?”
“Anee.”
“Maaf. Kata-kataku tadi, sangat tak sopan.”
“Aku pun sama. Mian.”
“Hanbyul…”
“Nee…?”
“Oh, apa kau akan datang?”
“Ingin, tapi aku rasa kau paham itu tak mungkin. Aku tak akan punya nyali sebesar itu untuk datang. Aku tak berani. Mianhae.”
“Ara. Mian. Tak seharusnya aku bertanya.”
“Malam ini banyak kata maaf ya? Kita ini saudara. Keluarga. Jangan terus meminta maaf, karena kau tak salah. Itu membuatku merasa bersalah.”
Jaejoong mendesah.
“Kalian mulai terbiasa dengan semua ini. Tolong jangan menolaknya. Biarkan saja mengalir. Jangan merasa bersalah padaku, karena ini jalan yang aku pilih untuk kalian dan jalan yang kalian setujui untuk kalian jalani. Waktu akan membantu kalian. Karena bagaimana pun juga, kita satu, YOWL.”
“Bagaimana…? Ai mau datang…?” Minhyuk menyambut Jaejoong yang baru masuk kembali.
“Prediksi Wonbin, benar adanya.” Jaejoong menjatuhkan tubuhnya di sofa.
“Yah…” Minhyuk kecewa. “Aku rindu sekali padanya.”
“Aku juga.” Jaejin mengamini.
“Kalian mulai terbiasa dengan semua ini. Tolong jangan menolaknya. Biarkan saja mengalir. Jangan merasa bersalah padaku, karena ini jalan yang aku pilih untuk kalian dan jalan yang kalian setujui untuk kalian jalani. Waktu akan membantu kalian. Karena bagaimana pun juga, kita satu, YOWL. Itu pesan Ai.” kata Jaejoong.
“Ai jadi kuat demi kita. Kita pun harus menjadi lebih kuat untuknya. Bagaimana pun juga, kita tak akan sampai pada titik ini tanpa Ai. Semua ini perjuangan kita, bukan perjuangan Ai, Jaejoong, aku, Jaejin atau Minhyuk, tapi perjuangan kita, YOWL. Harapan Ai juga Jeonggu Dong sangat besar pada kita. Jadi ayo kita wujudkan bersama-sama.” Wonbin tiba-tiba berbicara panjang lebar.
Minhyuk tersenyum dan merangkul Wonbin.
“Kadang kau itu jadi sangat mirip dengan Ai.” komentar Jaejin.
“YOWL!” Jaejoong mengulurkan tangan.
Jaejin meletakan tangannya di atas tangan Jaejoong. Disusul Minhyuk dan Wonbin.
“Auuu!!!” keempatnya kompak meraung.
 
---TBC---
 
  shytUrtle

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews