Majimak Insa (Last Farewell)
Annyeong. Apa kabarmu hari ini? Maaf aku
terlambat. Hari ini aku datang membawa berita bagus. Kupu-kupu Hitam sudah
terbit. Maaf ya. Harus menunggu begini lama untuk bisa menerbitkan kisah gadis
pembawa pesan kematian itu. Aku membawakan satu untukmu. Lihat! Cantik kan?
Semoga kau menyukainya.
Ia
membuka pintu yang terbuat kaca pada lemari tempat penyimpanan abu jenazah itu.
Ia meletakan buku berwarna putih, bergambar kupu-kupu hitam yang sedang hinggap
di jari telunjuk seorang gadis di dekat guci tempat abu jenazah disimpan. Ia
tersenyum dan menutup pintu kaca tempat penyimpanan abu jenazah.
Sesuai permintaanmu, kan? Aku harap tidak akan
menimbulkan kontroversi. Tapi, aku sudah menjelaskan jika cover buku itu memang
terinspirasi dari Jigokuchō dalam anime Bleach. Seperti yang kau inginkan,
kisah gadis pembawa pesan kematian itu akan abadi kini. Jadi, beristirahatlah
dengan tenang. Dan, tolong doakan aku dari sana. Agar aku bisa menjalankan sisa
tugas yang kau tinggalkan untukku.
***
— Sebelum Kupu-kupu Hitam resmi diterbitkan —
Suasana
sangat ramai di toko elektronik itu. Para karyawan sibuk melayani pembeli.
Menawarkan barang-barang elektronik dan menjelaskan spesifikasinya kepada
pelanggan. Kwon So Ryeon yang berstatus sebagai karyawan pun sama. Ia sedang
meladeni dua wanita yang bertanya tentang sebuah televisi layar datar yang baru
saja dirilis kemarin.
So
Ryeon menyalakan televisi sambil menjelaskan spesifikasinya. Kemudian ia
menyerahkan remote pada salah satu
wanita yang menjadi pelanggannya. Meminta wanita itu untuk mencoba mengubah channel televisi.
Wanita
itu memencet remote berulang kali.
Lalu berhenti pada salah satu channel televisi
yang sedang menayangkan siaran berita. “Kasihan sekali ya. Padahal dia masih
muda.” Ujar wanita itu.
“Iya.
Kecelakaan itu sangat parah. Apa dia berkendara saat mabuk?” Wanita lainnya
ikut berkomentar sembari menonton tayangan di televisi berukuran 29 inch itu.
So
Ryeon yang ikut menonton televisi menarik senyum yang sebelumnya terkembang di
wajahnya. Gadis dengan rambut sebahu yang dikuncir ekor kuda itu mengerutkan
kening. Masih menatap layar televisi yang menayangkan berita seorang anak
konglomerat yang mengalami kecelakaan dini hari tadi. Foto pemuda tampan itu
terpampang di televisi. Kedua mata bulat So Ryeon menyipit ketika mengamati
foto itu.
Dia akan mati!
So
Ryeon tersentak kaget ketika suara itu terdengar dekat di telinganya. Tubuhnya
sampai terhuyung ke belakang. Namun, ia merasakan seseorang menangkap tubuhnya.
So
Ryeon mengangkat kepala, menoleh untuk melihat siapakah yang menangkap tubuhnya
yang sempat oleng. Pemuda tampan itu tersenyum. Mata coklatnya memberi tatapan
teduh.
“Apa
dia akan pergi?” Pemuda itu menggerakan kepala, menunjuk televisi. Ia tak
menopang tubuh So Reyon lagi. Tapi, lebih tepatnya mendekap gadis itu dari
belakang. Kepalanya pun bersandar di pundak So Ryeon.
So
Ryeon mengangguk. Lalu, melepaskan diri dari dekapan pemuda tampan yang memakai
kostum serba putih itu; jas yang membungkus kemeja putih serta celana dan
sepatu dengan warna senada.
Pemuda
itu mendesah, lalu memiringkan kepala. “Bagaimana ya? Masa iya kita harus
menyampaikan pesan itu pada keluarganya? Tapi melihat kondisinya, aku rasa
keluarganya pasti sudah tahu kalau harapan hidupnya tipis.”
“Tidak
semua pesan harus disampaikan. Bisa-bisa kita dianggap pengacau.” Jawab So
Ryeon dengan hati-hati. Kedua matanya mengamati sekitar. Khawatir ada yang
memperhatikan adegan ia didekap dari belakang. Lalu, ia teringat pada dua
pelanggan yang sebelumnya ia layani.
“Kita
pergi!” Tangan pemuda itu memegang lengan So Ryeon saat gadis itu hendak melangkahkan
kakinya.
“Tapi,
saya masih bekerja.” Tolak So Ryeon.
Pemuda
itu mengangkat tangan kanannya. Salah satu karyawan perempuan mendekatinya.
“Gantikan tugasnya!” Perintahnya pada karyawan itu.
“Baik.”
Jawab karyawan itu dengan sopan. Ia lalu tersenyum dan mengerlingkan mata pada
So Ryeon.
“Kita
pergi. Temani aku! Kita makan siang bersama.” Pemuda itu menggandeng tangan So
Ryeon dan menyeretnya pergi.
So
Ryeon menatap rekan yang menggantikan tugasnya. Ia merasa sungkan pada rekannya
itu. Tapi, gadis itu tersenyum dan melambaikan tangan pada So Ryeon sambil
berucap, “Selamat bersenang-senang,” tanpa bersuara.
So
Ryeon yang merasa sungkan pada rekannya hanya bisa pasrah ketika Seo Kang Joon
yang tak lain adalah pemilik toko elektronik maha besar tempatnya bekerja
membawanya pergi. Ia menundukkan kepala ketika berjalan melewati rekan-rekannya
yang lain.
Kang
Joon berhenti di depan ruang karyawan. “Ganti bajumu sana!” Ia mendorong So
Ryeon masuk. Lalu tersenyum manis. Mengabaikan ekspresi protes So Ryeon.
***
So
Ryeon diam sejak ia duduk di samping kanan Kang Joon yang sedang mengemudi. Ia
melamun.
“Ryeon-aa,
kamu baik saja?” Tanya Kang Joon.
“Mm.”
So Ryeon menganggukan kepala.
“Masih
kepikiran anak konglomerat itu?”
So
Ryeon mendesah. “Bagaimana aku bisa tak memikirkannya? Setiap pesan kematian
itu sampai ke telingaku, aku tidak bisa untuk tidak memikirkannya. Walau
berusaha aku abaikan, tetap saja menghantuiku.”
Kang
Joon menatap iba So Ryeon. Ia tahu apa yang di alami So Ryeon bukanlah hal
ringan yang bisa diabaikan begitu saja. Mendapat pesan kematian seseorang
sebelum kematian itu sendiri terjadi tentu saja menjadi beban berat bagi So
Ryeon. Ia selalu meminta So Ryeon untuk tak memikirkan hal itu. Tapi, tentu
saja So Ryeon tak bisa melakukannya.
“Saat
itu, apa kamu juga merasa seperti ini?” Kang Joon kembali bicara. “Saat kamu
melihat foto mendiang nenekku.”
So
Ryeon tersenyum lesu. “Bukan hanya pada mendiang nenek Oppa. Tapi, pada
semuanya. Rasanya semakin berat ketika orang itu adalah orang yang aku kenal
atau setidaknya aku tahu walau aku tidak mengenalnya.”
Kang
Joon turut tersenyum. “Tuhan mempertemukan kita karena pesan kematian itu. Unik
ya?”
So
Ryeon menoleh, mengamati Kang Joon yang fokus di balik kemudi. “Oppa
menyesalinya?”
Kang
Joon tersenyum dan menggeleng. “Jika Ha Na tidak mempertemukan kita, dan kamu
tidak mengatakan tentang pesan kematian itu. Aku tidak akan punya kesempatan
untuk membahagiakan nenekku di saat-saat terakhirnya. Aku sangat berterima
kasih akan hal itu.”
“Tapi,
Oppa sempat marah dan tak percaya padaku.”
“Itu...”
So
Ryeon tertawa melihat reaksi Kang Joon. “Semua orang pasti akan bereaksi
seperti itu. Oppa bukan yang pertama. Sebelum itu, aku juga pernah menyampaikan
pesan kematian itu pada keluarga yang bersangkutan, tapi malah kena marah.
Bahkan, aku pernah mendapat perlakuan yang lebih buruk. Sejak saat itu aku
memilih diam saja. Toh kematian memang tidak bisa di tolak atau di hindari.
“Hanya
saja, aku berpikir jika aku memberi tahu keluarga dari orang yang akan
meninggal itu. Mereka bisa membahagiakan atau melakukan apa saja itu yang bisa
membahagiakan orang yang akan meninggal. Agar ketika ia pergi, ia tak membawa
beban yang akan memberatkan perjalanannya kelak.
“Sayangnya,
hampir kesemuanya tak bisa menerima pesan yang aku sampaikan. Bahkan, aku
sempat dituduh sebagai dukun dan pembunuh. Itu kenapa aku lari ke Seoul.
Kupikir di sini aku akan lebih tenang karena tak banyak orang yang aku kenal.
Tapi, kenyataan memang tak seindah harapan.” So Ryeon mendesah setelah
menyelesaikan kalimat panjangnya.
Saat
So Ryeon berkunjung ke rumah sahabatnya Yoo Ha Na, ia melihat album foto
keluarga Yoo Ha Na. Tatapannya terhenti pada foto seorang wanita tua yang
tersenyum anggun. So Ryeon tersentak ketika ia mendengar pesan kematian itu
sampai ke telinganya.
Ha
Na yang kembali dengan membawa cemilan dan minuman menyadari perubahan ekspresi
So Ryeon. Dua gadis itu berteman sejak tahun pertama mereka di bangku kuliah.
Mengenal So Ryeon cukup lama, Ha Na telah mengetahui banyak hal tentang gadis
itu termasuk kemampuan So Ryeon yang sering menerima pesan kematian berupa
bisikan.
Ha
Na menatap album foto di pangkuan So Ryeon. Ia mendadak panik dan mendesak So
Ryeon untuk mengatakan apa yang terjadi. Apakah ada pesan kematian yang sampai
ke telinganya. Dan, pesan itu muncul setelah So Ryeon melihat foto siapa.
Dengan
hati-hati So Ryeon menuding foto wanita tua dengan senyum anggun di dalam album
foto milik Ha Na. Tanpa basa-basi, Ha Na menariknya dan mengajaknya pergi ke
sebuah toko elektronik maha besar yang tak lain adalah tempat So Ryeon bekerja
paruh waktu.
Ha
Na mempertemukan So Ryeon dengan Seo Kang Joon—saudara sepupu Ha Na yang juga
pemilik toko elektronik tempat So Ryeon bekerja paruh waktu. Ha Na menjelaskan
maksud kedatangannya bersama So Ryeon. Ia memperkenalkan So Ryeon pada Kang
Joon dan begitu sebaliknya.
Dari
pertemuan itu So Ryeon mengetahui jika Kang Joon adalah bosnya. Dan, Kang Joon
mengetahui jika So Ryeon adalah karyawan paruh waktu yang baru beberapa hari
bekerja di toko elektronik miliknya.
Kang
Joon sempat marah dan tak mempercayai apa yang disampaikan Ha Na. Bahkan,
ketika So Ryeon maju menjelaskan, Kang Joon pun marah dan mengusir gadis itu.
Saya tidak meminta Anda mempercayai saya. Saya
bersedia pergi karena Ha Na yang meminta. Saya hanya bisa menyarankan agar Anda
melakukan yang terbaik. Daripada nanti Anda menyesal. Orang yang sudah
meninggal, tidak akan pernah bisa kembali ke sisi kita lagi. Jika masih
memiliki kesempatan, kenapa tidak memanfaatkannya dengan baik?
Kalimat
itulah yang membuat Kang Joon merenung. Kemudian, ia pun bersikap baik pada neneknya
yang menurut So Ryeon akan meninggal. Kang Joon selalu menemani sang nenek dan
melakukan apa saja yang diminta sang nenek.
Tiga
hari setelah pertemuannya dengan So Ryeon, Kang Joon menerima kabar jika sang
nenek ditemukan tak sadarkan diri di kamar mandi. Kang Joon bergegas ke rumah
sakit tempat sang nenek dirawat. Setelah dirawat selama 24 jam di rumah sakit,
nenek Kang Joon pun meninggal dunia.
Setelah
peristiwa itu, diam-diam Kang Joon memperhatikan So Ryeon setiap kali gadis itu
datang untuk bekerja di toko miliknya. Ia juga mencari informasi tentang So Ryeon.
Hingga pada akhirnya ia memiliki keberanian untuk menemui So Ryeon dua bulan
setelah kematian neneknya.
Kang
Joon meminta maaf sekaligus berterima kasih pada So Ryeon. Gadis itu menyambut
baik. Ia memaafkan Kang Joon. Dan, sejak saat itu keduanya sering berhubungan.
Kadang-kadang Kang Joon mengantar So Ryeon pulang usai bekerja paruh waktu di
tokonya.
Walau
di awal waktu ketika Kang Joon ingin mengantarnya pulang sempat menolak, So
Ryeon akhirnya setuju saat Kang Joon mengatakan itu untuk menebus rasa bersalahnya
pada So Ryeon. Kadang kala Kang Joon mengajak So Ryeon bertemu Ha Na untuk
sekedar ngopi bersama.
Kang
Joon yang awalnya hanya penasaran pada So Ryeon mulai merasa nyaman berada di
sisi gadis itu. Walau memiliki kelebihan yang tergolong mengerikan—sering
menerima pesan kematian seseorang, So Ryeon adalah gadis periang yang selalu
berpenampilan sederhana. Seperti Ha Na dan kebanyakan karyawannya, Kang Joon
pun menyukai So Ryeon. Namun, kadar rasa suka yang ia rasakan sedikit berlebih.
Tiga
bulan setelah masa pendekatan, Kang Joon akhirnya menyatakan rasa sukanya pada
So Ryeon. Beruntungnya ia, karena So Ryeon juga memiliki ketertarikan padanya.
Kang Joon dan So Ryeon pun meresmikan hubungan mereka sebagai sepasang kekasih.
Kang
Joon bersedia menerima keunikan So Ryeon. Ia pun mulai terbiasa bahkan memahami
bagaimana So Ryeon ketika gadis itu mendapatkan pesan kematian. Karena itu,
tadi ia bergegas mendekati So Ryeon ketika gadis itu tiba-tiba tampak kaku
ketika melayani pelanggan. Ia segera menangkap tubuh So Ryeon yang limbung.
Lalu, membawa gadis itu pergi dari toko demi menenangkan gadis itu.
***
Kang
Joon membelokan mobilnya ke sebuah cafe.
So Ryeon hanya diam. Walau sebenarnya ia penasaran kenapa Kang Joon mengajaknya
ke cafe itu. Keduanya turun usai Kang
Joon memarkirkan mobilnya. Ia berjalan di samping kanan So Ryeon saat keduanya
menuju pintu masuk cafe.
Karena
jam makan siang, suasana di dalam cafe cukup
ramai. Kang Joon dan So Ryeon berhenti di dekat pintu masuk. Kang Joon mengamati
café yang sedang padat pengunjung itu.
“Oh!
Ha Na?” Celetuk So Ryeon ketika menemukan seorang gadis sedang melambaikan
tangan kepadanya.
“Ah!
Kamu lebih dulu menemukannya.” Kang Joon membawa So Ryeon berjalan di depannya,
menuju meja tempat Ha Na duduk.
“Meja
nomer tujuh! Angka favoritmu!” Ha Na menunjuk nomer di atas meja ketika So
Ryeon dan Kang Joon sampai.
Kang
Joon menarik kursi untuk So Ryeon, lalu mempersilahkan kekasihnya itu untuk
duduk. Setelah So Ryeon duduk, Kang Joon menarik kursi di samping kanan So
Ryeon dan duduk.
“Aigoo!
Pantas saja Ryeonku tidak bisa berpaling. Sikap Oppa sangat manis. Ryeon-aa,
kalau begini aku jadi tenang, karena telah mempercayakanmu pada orang yang
tepat. Kau lihat sendiri, kan? Saranku untuk menerima Kang Joon Oppa jadi
pacarmu tidaklah salah.” Ha Na mengoceh. Mengomentari bagaimana Kang Joon
memperlakukan So Ryeon.
“Dia
terus mengomel, kenapa Oppa mempekerjakan Ryeonku di saat liburan kuliah
seperti sekarang? Karenanya, aku menculikmu untuk makan siang bersama.” Kang
Joon menjelaskan kenapa Ha Na sudah berada di cafe. “Dia bilang, belakangan cafe
ini jadi tempat favorit kalian.” Imbuhnya.
So
Ryeon tersenyum dan mengangguk.
“Ryeon-aa,
kenapa kamu harus kerja sih? Ryeonku kan bukan golongan orang kekurangan ekonomi.
Mari kita nikmati liburan kuliah ini.” Ha Na kembali bicara.
“Liburan?
Kamu lupa tugas akhir kita?” Ujar So Ryeon.
“Ah!
Benar! Kita ini sebenarnya tidak benar-benar libur, kan? Tapi, kita memang
butuh berlibur. Barang satu dua hari. Iya kan, Oppa?” Ha Na meminta persetujuan
Kang Joon.
“Mm.
Benar sekali!” Kang Joon mendukung Ha Na. “Aku juga setuju kamu tidak usah
bekerja paruh waktu. Fokus saja pada kuliahmu.”
“Aku
hanya butuh menyibukan diri. Jadi, izinkan aku tetap bekerja.” So Ryeon
memohon.
“Padahal
kuliah kita sudah cukup sibuk. Kenapa masih mencari kesibukan?” Ha Na kemudian
sibuk dengan buku menu. “Enaknya makan siang apa ya?” Ia mengamati menu.
So
Ryeon langsung menentukan pilihan.
“Ryeon-aa,
kamu tidak bosan tiap kali ke sini pesan menu itu?” Ha Na menatap So Ryeon
dengan heran.
So
Ryeon hanya tersenyum menanggapinya.
“Ya,
ya. Kamu ini memang tipe orang setia. Oppa lihat! Oppa harus menjaganya dengan
baik. Gadis seperti Ryeonku ini sangat langka sekarang!”
Kang
Joon tersenyum, lalu menoleh dan menatap So Ryeon penuh kasih. “Tentu saja. Aku
akan menjaganya dengan baik.”
“Janji
ya?” Ha Na menatap Kang Joon dengan serius.
“Ha
Na-ya.” Tegur So Ryeon yang merasa sungkan pada Kang Joon.
“Kau
diam saja! Kang Joon Oppa itu dasarnya playboy!
Jadi, aku harus memastikan dia akan menjagamu dengan baik!”
“Lalu,
apa artinya, Saranku untuk menerima Kang Joon Oppa jadi pacarmu tidaklah salah,
yang tadi sempat kamu ucapkan?” Protes So Ryeon.
Ha
Na terdiam sejenak. “Ya memang tidak salah. Walau dia playboy, dia pria yang baik kok!”
So
Ryeon tersenyum nakal pada Ha Na.
“Ryeon-aa!
Berhenti menggodaku! Sudah! Mau pesan apa?” Ha Na kembali fokus pada buku menu.
“Aku
bukan playboy! Gadis-gadis itu yang
mengejarku!” Kang Joon membela diri.
“Dan,
Oppa memanfaatkan mereka!” Ha Na menyerahkan buku menu pada pelayan. Ia menatap
Kang Joon, lalu So Ryeon. “Ryeon-aa, aku sudah memutuskan bahwa subyek
penelitianku untuk tugas akhir adalah kamu.”
“Apa?”
Mulut So Ryeon membulat.
“Menerima
pesan kematian itu apa termasuk kelainan jiwa?” Sela Kang Joon.
“Ryeon
merasa dirinya seperti itu. Karena alasan itu dia kuliah ambil jurusan
psikologi. Tanya saja padanya. Dia berharap bisa menyembuhkan dirinya sendiri.”
“Itu
kan berkah dari Tuhan. Bukan kelainan jiwa.” Kang Joon menatap So Ryeon dengan
ekspresi tak paham.
“Berkah
yang bisa menimbulkan kelainan jiwa. Benar, kan?” Ha Na menatap So Ryeon. “Dia
itu rentan depresi. Oppa pasti tahu kan? Itu kenapa dulu aku tanya, apa Oppa akan
sanggup berada di sisi Ryeon, ketika Oppa bilang padaku Oppa menyukai Ryeon dan
hendak menyatakan rasa suka itu. Karena Oppa bilang sanggup, aku pun memberi
dukungan.
“Ryeon
sendiri merasa akan membebani Oppa jika kalian menjalin sebuah hubungan yang
lebih dari sekedar teman atau atasan dan bawahan. Tapi, karena Oppa bertekad
bulat. Aku meyakinkannya untuk mencoba hubungan ini. Ryeonku berhak bahagia.
Dan, aku yakin Oppa bisa membahagiakan Ryeonku.” Ha Na tersenyum manis.
“Jangan
membuat aku kehilangan selera makan siang. Kamu tahu kan aku tidak suka obrolan
serius saat makan? Itu bisa mengurangi, bahkan menghilangkan selera makan.” So
Ryeon menegur.
Ha
Na tertawa. “Oke. Oke. Maafkan aku. Ah, kenapa obrolanku jadi ngelantur ya?
Jadi, bagaimana? Bolehkah aku menjadikanmu sebagai obyek penelitian?”
“Bukan
kah kita sudah ada janji dengan Dokter Oh? Beliau akan memberikan dua orang
pasiennya untuk kita.”
“Ah!
Itu lebih membebaniku. Semoga saja bukan orang yang benar-benar gila.”
“Ha
Na-ya, kalau takut sama orang gila, kenapa kamu kuliah ambil jurusan
psikologi?”
“Aku
ingin jadi konselor. Atau kalau paling sial ya masih berguna untuk perusahaan
ayahku, kan?”
“Ya
ampun! Kenapa aku malah kasihan ya mendengarnya? Jangan-jangan kamu sendiri yang
rentan depresi. Bukan Ryeon.” Goda Kang Joon.
Pelayan
datang membawakan pesanan. Menyela obrolan Ha Na, Kang Joon, dan So Ryeon.
Ketiganya berterima kasih ketika pelayan usai menyajikan hidangan.
“Kamu
udah nonton atau baca berita pagi ini?” Ha Na bersiap memakan menu yang tersaji
di hadapannya. “Pesan itu datang padamu?”
“Mm!”
So Ryeon mengangguk.
“Pantas
saja kamu bad mood. Jadi, sensitif!
Udah, jangan dipikirkan. Seperti yang kamu bilang, kematian itu pasti dan tidak
bisa dihindari. Jadi, jangan terlalu dipikirkan. Tapi, semangat ya buat melawan
rasa tak nyaman di seluruh tubuhmu hingga hari H tiba.”
So
Ryeon tersenyum lesu dan mengangguk.
“Oppa,
kapan kita liburan bersama? Ke Busan ya?” Ha Na beralih pada Kang Joon.
“Mau
liburan bersama? Ke Busan?” Sela So Ryeon.
“Iya.
Oppa, aku, dan kamu. Tenang. Aku tidak akan ganggu kalian kok! Jangan nolak
ya!” Ha Na mengancam So Ryeon. “Siapa tahu itu akan menjadi kesempatan terakhir
kita bersama.”
“Yoo
Ha Na!” So Ryeon menatap lurus Ha Na. Ekspresinya serius. Ia marah. Tak suka
setiap kali Ha Na menyebut kesempatan terakhir.
“Makanya
jangan menolak liburan ke Busan. Musim panas di Busan menyenangkan lho! Jika kamu
menolak, aku akan terus menghantuimu dan membuatmu marah!”
So
Ryeon hanya bisa diam dan menghela napas. Sebagai tanda menyerah berdebat dari
Ha Na. Ia pun menikmati makan siangnya bersama Kang Joon dan Ha Na.
***
So
Ryeon pertama kali mendapatkan pesan kematian ketika ia berada di kelas dua
SMA. Ketika ia tak sengaja melihat foto adik kelasnya yang dikabarkan jatuh
sakit. Saat melihat foto itu, tiba-tiba ia mendengar bisikan “Dia akan mati!”
dekat di telinganya. Walau sempat dibuat tersentak kaget oleh bisikan itu, So
Ryeon mengabaikannya.
Tiga
hari kemudian, berita duka itu sampai ke telinga So Ryeon. Adik kelasnya yang
sakit meninggal dunia. Tentu saja So Ryeon syok mendengar berita itu. Tapi, ia
masih meyakini itu hanyalah kebetulan.
Sejak
kejadian itu, ketika melihat foto atau mendengar tentang seseorang yang sakit
atau kecelakaan yang akan berakhir dengan kematian, So Ryeon selalu mendapatkan
bisikan pesan kematian. Tidak peduli itu orang yang ia kenal atau tidak, berita
kematian itu pasti datang padanya jika foto atau berita yang ia dengar bukanlah
orang yang ia kenal.
So
Ryeon mulai tak nyaman dengan pesan kematian yang ia terima. Namun, ia tak
berani bercerita pada keluarga dan teman terdekatnya. Ia takut jika mereka tak
mempercayai apa yang ia katakan. Ia lebih takut jika orang-orang di sekitarnya
menganggapnya berhalusinasi bahkan gila. Ia juga takut untuk bercerita pada
Guru Bimbingan Konseling yang notabene memahami psikologi murid. Ia menyimpan
semuanya sendiri.
So
Ryeon membulatkan tekad untuk kuliah dengan mengambil jurusan psikologi. Ia
harus mencari jawaban tentang dirinya sendiri. Ia berpikir jurusan psikologi
lah yang paling cocok dan bisa membantu dirinya. Karenanya, ia berusaha keras
untuk bisa diterima di universitas kenamaan di Seoul.
Kerja
keras So Ryeon terbayar. Ia diterima di salah satu universitas kenamaan di
Seoul. Walaupun Daegu memiliki banyak universitas bagus, So Ryeon telah
memantabkan pilihan untuk hijrah ke Seoul. Ia berharap di lingkungan barunya,
ia tak akan mendapat pesan kematian lagi. Namun sayang, kenyataan tak berjalan
seperti harapan So Ryeon. Di Seoul, ia masih mendapatkan bisikan pesan kematian
itu. Di Seoul, ia bertemu Ha Na untuk pertama kali.
Ketika
Ha Na menyapa dan mengajaknya berkenalan, lalu bertanya alasan kenapa So Ryeon
memilih jurusan psikologi. So Ryeon memilih untuk jujur. Ia mengatakan alasan
yang sebenar-benarnya memilih jurusan psikologi. Ia sudah siap jika Ha Na
menertawakannya atau bahkan menuduhnya gila.
Di
luar dugaan, Ha Na justeru percaya dan tertarik pada kemampuan yang dimiliki So
Ryeon. So Ryeon merasa ia menemukan sebuah cahaya di tengah kegelapan. Ia lega
Ha Na mempercayainya. Sejak saat itu So Ryeon menjadi dekat dengan Ha Na.
Bahkan, Ha Na sering membantunya ketika So Ryeon mendapatkan pesan kematian dan
berjuang melawan siksaan secara mental, juga fisik.
Setelah
menerima pesan kematian, So Ryeon selalu merasakan lelah di sekujur tubuhnya.
Ia merasa lemas dan tak bertenaga. Bahkan, kadang ia sampai menderita migraine berat. Fase itu terjadi selama
berhari-hari. Ketika kematian itu telah terjadi, sensasi yang membuat So Ryeon
sakit secara fisik pun hilang. Pesan kematian itu biasa datang tiga sampai lima
hari sebelum hari H.
Di
saat seperti itulah Ha Na selalu ada memberi dukungan. Tak jarang pula ia
merawat So Ryeon ketika sahabatnya itu mengalami siksaan fisik. Ha Na juga
selalu memberikan dukungan moril pada So Ryeon. Agar psikis So Ryeon tetap
stabil.
Dengan
adanya Ha Na di sampingnya, So Ryeon tidak pernah menyesali keputusannya untuk
pindah ke Seoul. Ia mulai bisa menerima kelebihan tak wajar yang ia miliki.
Kadang keduanya menyampaikan pesan kematian itu pada orang terdekat atau
keluarga dari 'calon mayat'. Walau tak kesemuanya berjalan sesuai harapan, Ha
Na yakin itu bisa menjadi terapi untuk mengurangi beban psikis yang harus
ditanggung So Ryeon.
Menyampaikan pesan kematian adalah untuk memberi
kesempatan pada keluarga juga calon mayat. Bukankah semua orang memimpikan
sebuah akhir yang indah? Terutama bagi yang ditinggalkan. Karena, jalan
kematian adalah mutlak Tuhan yang menentukan. Kita tidak bisa mengubah apa pun
yang akan menjadi jalan kematian bagi calon mayat. Tapi, bagi keluarga calon
mayat, mereka memiliki kesempatan untuk bersikap lebih baik pada calon mayat
sebelum kematian itu tiba menjemputnya.
Ha
Na selalu mengucapkan kalimat itu ketika So Ryeon merasa rapuh. Saking
seringnya, So Ryeon sampai hafal di luar kepala. Kalimat ajaib yang selalu
menguatkannya. Kalimat ajaib yang selalu membuatnya yakin bahwa mendapat pesan
kematian itu adalah berkah, bukan kutukan baginya.
***
Kang
Joon dan So Ryeon duduk berdampingan. Di hadapan mereka, ada Ha Na dan tunangannya
Lee Tae Hwan. Keempatnya sedang berada dalam KTX (Korea Train eXpress), untuk
perjalanan ke Busan.
Rencana
liburan ke Busan itu akhirnya terwujud. Sebenarnya So Ryeon tak begitu menyukai
pantai. Tapi, ia tak turut merencanakan liburan kali ini. Dan, demi rasa
solidaritasnya pada Ha Na, juga rasa sayangnya pada Kang Joon. Ia akhirnya
setuju bergabung dalam liburan bersama itu. Ia pikir bukan ide buruk untuk
liburan. Sejenak melepaskan beban dan mengusir penat.
So
Ryeon menatap keluar jendela. Namun, tampak jelas tak menikmati pemandangan di
luar sana. Ia melamun.
“Walau
sudah seminggu berlalu, berita kematian anak konglomerat itu masih ramai
diperbincangkan ya.” Ujar Tae Hwan memecah kebisuan.
Kang
Joon spontan menoleh, menatap So Ryeon yang duduk di samping kirinya.
“Namanya
juga orang terkenal. Pasti jadi sorotan.” Respon Ha Na santai. Ia sempat
melirik So Ryeon yang duduk tepat berhadapan dengannya.
“Kasihan
ya orang tuanya. Anak tunggalnya meninggal dunia di usia muda.” Tae Hwan
rupanya masih tertarik pada bahasan tentang anak konglomerat yang mengalami
kecelakaan dan kemudian meninggal. Anak konglomerat itu meninggal tepat di hari
ketiga usai So Ryeon mendapat pesan kematian.
“Takdir
memang kadang seolah tak adil. Tapi, bukankah semua itu bergantung pada hukum
sebab-akibat? Iya, kan Ryeon?” Ha Na berusaha menarik perhatian So Ryeon.
“Mm.”
So Ryeon mengangguk, lalu tersenyum kecil pada Ha Na.
Benar
dugaan Ha Na, So Ryeon tak sepenuhnya acuh. Dalam diamnya, ia menyimak obrolan.
“Hukum
sebab-akibat?” Tae Hwan menatap tak paham pada Ha Na.
“Apa
yang kita lakukan di masa lalu, bisa merupakan sebab pada apa yang kita alami
di masa sekarang. Dan, akibat itu bisa saja bukan kita yang mendapatkannya.”
Kang Joon bersuara, memberi jawaban.
“Karma
ya?” Respon Tae Hwan.
“Iya.
Semua itu di luar kendali kita. Karenanya, sebisa mungkin kita menanam kebaikan
saja. Agar nanti semua kembali baik pula pada kita. Kita tidak pernah tahu kan
bagaimana kehidupan kita di masa lalu?” So Ryeon menyambung penjelasan Kang
Joon.
“Wah,
lalu apa yang terjadi pada kehidupan mereka di masa lalu ya? Hingga sekarang
mereka harus menuai hasil yang seperti itu?” Tae Hwan menggelengkan kepala.
“Itu
bukan urusan kita! Tapi, kita petik saja pelajarannya. Misal, jangan berkendara
sambil mabuk atau ngebut. Fatal akibatnya!” Ha Na melirik tajam Tae Hwan.
“Aku
kan tidak suka berkendara dalam kondisi mabuk!” Tae Hwan membela diri.
“Tapi,
ngebut!”
“Itu
kalau lagi terburu-buru saja. Hehehe.” Tae Hwan meringis.
Beberapa
saat kemudian, suasana dalam perjalanan kembali hening. Ha Na dan Tae Hwan
tertidur dengan kepala saling menempel. So Ryeon tersenyum melihatnya.
“Ah,
aku mengantuk. Rasanya lelah sekali. Kenapa perjalanan ini terasa lama sekali
ya?” Kang Joon menyandarkan kepala di bahu So Ryeon.
“Tidurlah.”
So Ryeon mengelus kepala Kang Joon.
“Kamu
tidak mengantuk?” Tanya Kang Joon.
“Aku
harus berjaga. Ini kereta ke Busan, kan?”
Kang
Joon diam sejenak, lalu kembali menegakan badannya. “Ya! Jangan bilang kau
sedang teringat pada film Train To Busan!”
Ia menyebut judul film horor yang sukses itu.
So
Ryeon tertawa melihat reaksi Kang Joon. “Oppa berlebihan sekali! Itu hanya
film!” Oloknya.
“Zombie
itu mengerikan tahu!” Kang Joon kembali merebahkan tubuhnya, menyandarkan
kepalanya pada bahu So Ryeon. Ia menatap Ha Na dan Tae Hwan. “Mereka itu
pasangan yang serasi ya?”
“He’em.”
So Ryeon setuju. “Awet pula. Mereka pacaran dari SMA sampai bertunangan.
Keren!”
“Kau
dan Ha Na sudah saling mengenal secara mendalam rupanya.”
“Ha
Na adalah cahaya yang aku temukan dalam kegelapan. Satu orang yang langsung
mempercayaiku saat aku bercerita tentang keanehanku.”
Kang
Joon menarik kepalanya, lalu menatap So Ryeon yang berada dekat di sampingnya.
“Lalu, bagaimana denganku?”
“Oppa?”
So Ryeon pun menoleh. Tapi, ia tak terkejut mendapati Kang Joon berada begitu
dekat dengannya. “Hmm, apa ya? Bintang terang yang sebelumnya tak pernah terpikir
olehku akan bisa meraihnya? Ah! Oppa dan Ha Na adalah bintang terangku.”
Kang
Joon tersenyum. Wajahnya bersemu merah. “Kau berlebihan.”
“Tidak.
Itu fakta. Rasanya seperti mimpi, bosku menyatakan cinta padaku. Aku seperti
gadis dalam drama saja. Dengan kehidupan abnormal yang aku jalani, sebelumnya
aku sama sekali tak berani berharap akan ada pria yang mau dekat dan
menghabiskan hidupnya denganku. Tapi, Oppa datang. Memberiku harapan. Masih
sering aku bertanya, apa ini nyata?”
Kang
Joon meraih tangan kiri So Ryeon dan meletakannya di pipi kanannya. “Kamu bisa
merasakan aku kan?”
So
Ryeon mengangguk.
“Jadi,
kamu tidak sedang bermimpi. Karena aku nyata.” Kang Joon tersenyum manis.
“Tsk!
Apa kalian tidak malu bermesraan di tempat umum?” Suara Ha Na menyita perhatian
Kang Joon dan So Ryeon. So Ryeon langsung menurunkan tangannya.
Ha
Na menyunggingkan senyum. “Ryeon-aa, wajahmu memerah.” Godanya.
“Balik
tidur sana!” Perintah Kang Joon.
“Abaikan
saja aku. Anggap aku tak ada. Lanjutkan! Lanjutkan!” Ha Na membetulkan letak
kepalanya, kembali menempelkannya pada kepala Tae Hwan, dan kemudian memejamkan
mata. Pura-pura tidur. Sedang wajah ayunya masih mengulas sebuah senyuman.
Kang
Joon pun kembali menyadarkan kepala pada bahu So Ryeon. Kedua matanya masih
terfokus pada Ha Na yang pura-pura tidur.
So
Ryeon tersenyum melihat tingkah saudara sepupu yang sering saling menggoda itu.
Kang Joon meraih tangan kanannya dan menggenggamnya erat. So Ryeon tak menolak.
Ia membiarkan Kang Joon tetap menggenggam tangannya.
***
Mereka
tiba di Busan dengan selamat. Mereka akan berlibur selama tiga hari di Busan.
Ha Na menyebut liburan kali ini sebagai liburan sederhana ala mahasiswa.
Karenanya, ia yang mengatur segala keperluan liburan. Itulah kenapa Ha Na
memilih naik KTX kelas ekonomi daripada naik pesawat. Ia juga memilih
penginapan sederhana. Menyewa dua kamar. Satu untuk dirinya dan So Ryeon,
lainnya untuk Kang Joon dan Tae Hwan.
Ha
Na memilih Busan karena festival pantainya. Ia juga penasaran pada Busan International Magic Festival. So
Ryeon, Kang Joon, dan Tae Hwan menurut saja pada rencana liburan si Tuan Putri
Ha Na.
Satu
per satu rencana liburan di Busan ala Tuan Putri Ha Na pun diwujudkan. Menonton
Busan Beach Festival dan Busan International Magic Festival pun
terlaksana. So Ryeon paling tertarik pada Busan
International Magic Festival. Menurutnya itu festival yang unik.
Malam
terakhir di Busan, Ha Na dan Tae Hwan memisahkan diri dari Kang Joon dan So
Ryeon. Mereka menunggu pesta kembang api digelar. Kang Joon dan So Ryeon duduk
di tepi pantai setelah lelah berkeliling.
“Kau
senang?” Tanya Kang Joon.
“Mm.”
So Ryeon mengangguk. “Tuan Putri membuat rencana liburan yang sempurna.”
“Dia
selalu bersemangat. Oya, apa Ha Na sudah mengatakannya padamu?”
“Mm?
Tentang apa?”
“Belum
ya?”
“Tentang
rencana pernikahannya dengan Tae Hwan Oppa saat lulus kuliah nanti?”
“Bukan.
Ah, aku rasa belum. Ini ada hubungannya denganmu.”
“Denganku?
Apa sih? Oppa, jangan membuatku penasaran.”
“Kupu-kupu
Hitam.”
“...”
“Kamu
sama sekali tidak tahu ya? Ha Na ingin menulis buku tentangmu. Tentang gadis
pembawa pesan kematian. Menurutnya kisahmu sangat unik. Ha Na ingin mengabadikannya
dalam sebuah buku.”
“Ha
Na pernah bercerita tentang kebiasaannya menulis diary tentang kami. Ia menulis semua dari awal perkenalan kami.
Tapi, aku belum tahu rencananya tentang buku.”
“Wah!
Jadi, Ha Na belum membaginya denganmu ya? Maafkan aku.”
“Tidak
apa-apa. Aku tidak akan bertanya pada Ha Na kalau dia tidak cerita.”
“Aku
mendukungnya, karena aku setuju dengannya. Kisahmu unik dan patut di abadikan.
Aku memintanya membicarakan hal ini denganmu. Aku harap kau pun setuju.”
So
Ryeon tersenyum. “Tentu saja aku setuju. Di tangan Ha Na, semua pasti akan jadi
suatu hal yang baik dan menyenangkan.”
“Syukurlah.”
Kang Joon tersenyum lega. “Tapi, kenapa kupu-kupu hitam?”
“Ha
Na tidak menjelaskan?”
“Dia
hanya bilang ingin bukunya diberi judul Kupu-kupu Hitam.”
So
Ryeon tersenyum. “Saat aku menceritakan tentang pesan kematian yang aku terima,
Ha Na teringat pada Jigokuchō. Kupu-kupu neraka pada anime Bleach. Kupu-kupu
hitam yang digunakan para Shinigami untuk berkomunikasi. Menurutnya aku seperti
kupu-kupu hitam itu. Aku yang membawa pesan kematian. Padahal kalau
dipikir-pikir aku ini penerima pesan kematian, kan? Bukan pembawa pesan
kematian. Atau mungkin dalam imajinasi Ha Na, kupu-kupu nerakalah yang
membisikan pesan kematian itu padaku. Maksudku yang membisikan pesan kematian
itu berwujud kupu-kupu hitam seperti kupu-kupu neraka dalam Bleach.”
“Pantas
saja kalian berdua cocok. Kalian sama-sama memiliki imajinasi tingkat dewa.”
“Oh!
Sudah dimulai!” So Ryeon menuding langit malam. Satu kembang api pecah di
udara. Menghiasi langit malam.
Kang
Joon merangkul So Ryeon yang duduk dekat di samping kirinya. Keduanya menikmati
indahnya pesta kembang api di langit Busan.
***
So
Ryeon dan Ha Na sibuk dengan tugas akhir mereka. Mereka lebih banyak
menghabiskan waktu berdua dan menjadi jarang bersama pasangan masing-masing. Ha
Na berencana menikah dengan Tae Hwan setelah lulus S1 nanti. Sedang So Ryeon,
berencana untuk bekerja lalu melanjutkan pendidikan ke S2. Walau sudah memiliki
Kang Joon di sisinya, belum terbesit keinginan dalam diri Si Ryeon untuk
melanjutkan hubungan mereka ke jenjang lebih serius seperti pertunangan.
Padahal Kang Joon sama mapannya seperti Tae Hwan. Berbeda dengan Ha Na yang
punya keinginan menikah muda.
Ujian
dan tugas akhir selesai dilalui dengan baik oleh Ha Na dan So Ryeon. Keduanya
merasa lega bisa sedikit bersantai usai melewati masa-masa penuh perjuangan
itu. Saat itulah Ha Na membagi rencananya tentang buku yang sedang ia tulis.
Buku yang sempat diceritakan Kang Joon pada So Ryeon saat liburan di Busan.
Prediksi
So Ryeon tak meleset. Ha Na memilih judul Kupu-kupu Hitam karena terinspirasi
dari kupu-kupu neraka dalam serial Bleach. Ha Na hampir menyelesaikan buku itu.
Bahkan, ia berniat menjadikan buku itu sebagai souvenir pernikahannya kelak.
“Ha
Na-ya, apa kamu sudah gila? Bagaimana mungkin souvenir pernikahanmu adalah buku dengan genre horor seperti itu?” Protes So Ryeon.
“Ryeonku
sayang, itu bukan buku horor. Tapi, buku tentang kisah perjalanan kita. Lagi
pula semua nama disamarkan. Kamu tidak perlu khawatir.” Ha Na tersenyum manis.
“Tapi,
kisah gadis penerima pesan kematian itu horor kan, bagi orang normal! Hentikan!
Maksudku, kamu boleh menulis dan menerbitkan buku itu. Tapi, jangan digunakan
sebagai souvenir pernikahanmu. Ngeri
tahu!”
Ha
Na tergelak. “Oke. Oke. Baiklah kupu-kupu hitamku tersayang. Aku akan segera
menyelesaikannya. Nanti kamu baca dulu ya. Kalau ada bagian yang tidak kamu
suka, kamu bisa ubah.”
“Semangat
sekali?”
“Aku
ingin kita hidup abadi. Kau dan aku.” Ha Na mengerlingkan mata. “Lagi pula
kisahmu itu bisa membuka mata banyak orang. Bahwa tidak ada yang lebih dekat
dengan kita kecuali kematian. Agar hidup mereka tak melulu untuk mengejar duniawi
saja. Itu poin pentingnya!”
“Baiklah.
Aku menurut saja pada Tuan Putri cantikku ini.”
Ha
Na memang tak memiliki fisik sempurna; wajah ayu dengan tinggi semampai bak
super model Korea. Ha Na bertubuh mungil dan wajahnya cantik. Dengan rambut
hitam sebawah telinga dan kulit putih serta pipi chubby, mengingatkan So Ryeon
pada Putri Salju. Karenanya So Ryeon selalu memanggilnya Tuan Putri. Ha Na pun
tak keberatan disebut Tuan Putri.
***
“Ryeon-aa,
kamu menganggur hari ini?” Tanya Ha Na saat So Ryeon menerima panggilannya.
“Aku
masih bekerja. Pulang nanti ada janji dengan Kang Joon Oppa.” Jawab So Ryeon.
“Oh.
Mau kencan ya?”
“Kamu
butuh aku?”
“Maunya
minta ditemani fitting baju.”
“Tae
Hwan Oppa?”
“Ada
sih. Rasanya lebih nyaman kalau ada kamu. Tapi, nggak papa kok. Kamu pergi aja
sama Kang Joon Oppa. Kalian lama nggak pergi berdua kan? Nikmati waktu kalian.”
“Aku
bisa menjelaskan situasi ini pada Oppa.”
“Nggak!
Nggak! Nggak usah! Selama ini aku udah banyak ngrepotin kamu. Masa iya mau nikah
masih aja ngrepotin kamu?”
“Aku
udah biasa kok kamu gangguin. Malah rasanya bakalan aneh kalau kamu nggak
gangguin aku.”
Suasana
berubah hening. So Ryeon yakin Ha Na sedang tersenyum tersipu di seberang sana.
“Ryeon-aa.
Mianhae. Selama ini aku selalu merepotkanmu.” Ha Na kembali bicara.
“Ay!
Bukannya aku yang selalu merepotkanmu?”
“Benar
sekali. Terlebih saat kau menerima pesan kematian. Ah... aku akan sangat merindukan
hal itu.”
So
Ryeon tersenyum. “Aku akan selalu meminta bantuanmu. Tak apa kan? Tae Hwan Oppa
pasti akan memahaminya kan?”
“Mm.”
Ha Na bergumam. “Tapi, perlahan kamu harus belajar bertahan tanpa aku. Seperti
sebelum kita saling mengenal. Aku yakin kamu pasti bisa. Oh tidak! Kamu tidak
sendirian. Ada Kang Joon Oppa. Dia sudah janji padaku, dia akan menjagamu
dengan baik. Kalau tidak, aku akan menghantuinya!”
“Ha
Na-ya!”
Ha
Na tergelak. “Kenapa aku jadi begini merindukanmu? Padahal tadi pagi sebelum
berpisah aku sudah memelukmu erat-erat.”
“Jangan
sampai berpaling dari Tae Hwan Oppa ke aku ya! Jelek begini, aku masih normal.”
“Hahaha.”
Ha Na kembali tergelak. “Aku pasti akan sangat merindukanmu Kwon So Ryeon.
Terima kasih untuk semuanya. Aku sangat bahagia saat bersamamu.”
“Ha
Na-ya! Kamu mau nikah! Bukan pindah ke planet lain. Bicaramu ngelantur. Seolah
kamu akan pindah ke planet Mars usai nikah nanti! Kang Joon Oppa dan Tae Hwan
Oppa pasti akan tetap membiarkan kita berhubungan seperti sebelumnya. Atau, kamu
ingin aku segera menikah juga? Dengan Kang Joon Oppa?”
“Ide
bagus!” Ha Na bersemangat. “Kamu kan bisa lanjut kuliah S2 atau S3 setelah
menikah. Kang Joon Oppa pasti setuju. Apa perlu bantuanku?”
“Aku
bercanda!”
“Serius
pun nggak papa kok. Seru lho menikah muda. Kita akan mendapatkan suami rasa
pacar. Hehehe.”
So
Ryeon tersenyum walau tahu Ha Na tidak bisa melihat senyum itu.
“Ya
sudah! Lanjutkan bekerja sana! Aku mencintaimu Kwon So Ryeon. Aku sangat sangat
sangat mencintaimu! Tolong jangan lupakan aku.”
“Aku
juga mencintaimu Yoo Ha Na. Sangat sangat sangat mencintaimu! Aku tidak akan
melupakanmu. Kita akan selalu begini sampai nanti.”
“Gomawo,
Ryeon-aa. Sampai jumpa kembali.” Ha Na memutuskan panggilan.
So
Ryeon menatap layar ponselnya. Ia memiringkan kepala, berpikir tentang sikap Ha
Na yang ia rasa sedikit aneh. So Ryeon menggelengkan kepala dan tersenyum. “Tingkah
orang mau menikah memang selalu aneh.” Gumamnya seraya berjalan keluar dari
toilet.
***
Pesan kematian itu adalah kesempatan bagi yang
hidup, yang akan ditinggalkan calon mayat. Kesempatan untuk berbuat baik kepada
calon mayat. Agar tidak ada penyesalan ketika kematian itu benar-benar datang
menjemput. Tapi, kenapa aku tak mendengar pesan itu ketika kau akan pergi meninggalkan
aku? Kau tiba-tiba pergi tanpa mengucap salam terakhir padaku. Kenapa? Ha
Na-ya, kenapa kau tega melakukan ini padaku?
Tatapan
So Ryeon kosong. Menatap altar, tempat foto Ha Na yang tersenyum manis di
letakan. Foto yang dihiasi bunga-bunga tanda duka. Sejak dua jam yang lalu So
Ryeon duduk bersimpuh di depan altar itu. Namun, ia masih enggan beranjak. Kang
Joon hanya bisa duduk, diam dan menunggu tak jauh di belakang So Ryeon.
So
Ryeon tak menyangka jika obrolannya di telepon sore itu akan menjadi obrolannya
yang terakhir dengan Ha Na. Ha Na yang malam harinya pergi meninggalkannya
untuk selama-lamanya.
Dalam
perjalanan pulang usai melakukan fitting
baju, mobil Ha Na mengalami kecelakaan. Seorang sopir mobil box yang mabuk
menabrak mobil Ha Na. Ha Na lupa tak mengenakan sabuk pengaman dan pintu
belakang mobil belum terkunci. Ha Na yang tertidur di kursi belakang terlempar
keluar saat kecelakaan. Ia meninggal di tempat kejadian.
So
Ryeon menyesali semuanya. Menyesali kesempatan terakhir yang ia miliki untuk
menjaga Ha Na namun ia abaikan. Ia mengutuk entah itu malaikat atau setan yang
biasanya membisikan pesan kematian padanya. Ia marah karena tak mendapat pesan
itu sebelum Ha Na meninggal.
So
Ryeon menangis tersedu karena rasa sesak dan sakit yang menghujam dadanya. Kang
Joon beranjak, mendekap So Ryeon yang sangat terguncang karena kematian Ha Na
yang mendadak.
Bukan
pesta pernikahan untuk Ha Na yang digelar usai upacara kelulusan. Tapi, prosesi
pemakaman yang menjadi akhir dari kisah Tuan Putri Salju yang selalu menjadi
malaikat dalam hidup So Ryeon.
Karena
tragedi itu So Ryeon sempat mengalami depresi. Ia sampai mendapatkan bantuan
seorang psikiater untuk bangkit. So Ryeon juga menemui seorang paranormal untuk
membantunya. Selepas kepergian Ha Na, ia sempat terpuruk. Beruntung ada Kang
Joon di sisinya. Pemuda itu benar menepati janjinya pada Ha Na. Janji untuk
selalu menjaga So Ryeon. Janji untuk membahagiakan gadis itu.
***
So
Ryeon menatap buku Kupu-kupu Hitam yang berdiri di samping guci tempat
penyimpanan abu jenazah Ha Na. Buliran air mata kembali membasahi pipinya. Rasa
sesak itu kembali memenuhi dadanya. Membuatnya sulit bernapas. Rasa sesak
perwujudan dari rasa sesal yang masih sering datang dan merundungnya.
Tiga
bulan yang lalu ia datang untuk mengantar buku itu ke tempat peristirahatan
terakhir Ha Na. Buku berdasarkan kisah nyata itu laris di pasaran. Bahkan
mendapatkan label best seller.
Selepas
dari masa penyembuhan, So Ryeon memutuskan untuk melanjutkan impian Ha Na. Ia menyelesaikan bagian akhir dari buku
Kupu-kupu Hitam yang belum selesai ditulis Ha Na dan memprosesnya hingga terbit
menjadi sebuah buku.
Selain
itu So Ryeon juga membuka praktek sebagai seorang psikolog. Ia juga bergabung
dalam sebuah organisasi yang bergerak di bidang sosial. Ia menjadi konselor
dalam organisasi itu. Impian Ha Na adalah menjadi konselor untuk membantu,
membimbing orang-orang yang merasa tersesat dan kehilangan jati dirinya. So
Ryeon mengambil tugas itu, untuk mewujudkan impian Ha Na.
Satu
bulan usai perilisan buku Kupu-kupu Hitam, So Ryeon menerima lamaran Kang Joon.
Sebulan kemudian mereka menikah di gereja yang seharusnya menjadi tempat
pernikahan Ha Na dan Tae Hwan. So Ryeon menunda keinginannya untuk melanjutkan
kuliah S2 dan memilih bekerja lalu menikah dengan Kang Joon. Ia mewujudkan
impian Ha Na untuk menikah muda.
So
Ryeon mengusap air matanya dan tersenyum. “Bukan! Ini bukan salahmu. Bukan pula
caraku untuk menebus rasa bersalahku padamu. Setelah kupikir-pikir, jalan hidup
yang kamu rencanakan menyenangkan juga. Aku bahagia menjalaninya. Terima kasih,
Ha Na-ya. Kaulah bintang yang akan selalu menyinari hidupku.”
Kang
Joon yang berdiri di samping kanan So Ryeon tersenyum. Ia merangkul istri
tercintanya itu. “Ha Na-ya, maafkan aku. Mungkin kamu akan terkejut saat
melihat Ryeon kita pada kunjungan berikutnya.” Ia berbicara sambil menatap foto
Ha Na di dalam kotak kaca tempat abu Ha Na disimpan.
“Yeobo!
Hentikan!” Tegur So Ryeon.
“Mm!”
Kang Joon menggeleng. “Ini kabar gembira. Tuan Putri kita harus mendengarnya.”
Kang
Joon mendekatkan wajah ke kotak kaca tempat abu Ha Na disimpan. “Sebentar lagi
aku akan menjadi ayah. Kamu akan menjadi bibi. Kamu senang? Aku yakin kamu
senang mendengarnya. Karenanya, tetap doakan kami ya. Aku tahu kamu selalu
mendukung kami walau kita tak berada di tempat yang sama lagi sekarang.
Ngomong-ngomong kamu mau keponakan laki-laki apa perempuan?”
“Yeobo!”
So Ryeon memukul lengan Kang Joon.
Kang
Joon menegakan tubuhnya. Kembali tersenyum pada foto Ha Na. “Terima kasih, Ha
Na-ya. Kamu meninggalkan harta yang sangat berharga untukku.” Ia mengelus
lengan So Ryeon yang berada dalam rangkulannya.
So
Ryeon dan Kang Joon sama-sama tersenyum pada Ha Na yang terlihat cantik dan
tersenyum manis dalam fotonya.
***
Gadis itu masih menerima pesan-pesan kematian
seperti sebelumnya. Pesan yang entah murni intuisinya, entah bisikan malaikat,
atau bisikan setan. Ia tetap menerima bisikan itu dan meyakininya sebagai salam
perpisahan yang dikirim calon mayat padanya. Salam perpisahan yang juga menjadi
pengingat baginya bahwa tidak ada yang lebih dekat padanya kecuali kematian.
Bahwa ia tidak akan kekal hidup di dunia. Bahwa ia harus selalu berbuat
kebaikan selagi ia hidup, sebelum kematian datang menjemputnya.
Tuan Putri yang menjadi bintang dalam hidupnya
tidak pergi meninggalkannya. Tapi, karena tugasnya sebagai malaikat berwujud
manusia telah selesai, ia pun harus kembali ke surga. Ia tetap mengawasi gadis
penerima pesan kematian itu dari surga. Menunggu waktu bagi mereka untuk bersua
dan bersama kembali di surga.
Ciuman pangeran tidak bisa membangunkan sang
putri dari tidurnya. Pangeran tidak bisa melupakan Tuan Putri. Ia memilih untuk
meninggalkan kehidupan duniawi dan memilih menjadi abdi Tuhan di sisa hidupnya.
Ia berharap kelak surga akan memilihnya menjadi salah satu malaikat dan
mempertemukannya kembali dengan Tuan Putri pujaan hatinya.
Kematian memisahkan mereka untuk sementara waktu.
Kematian pula yang nantinya akan menyatukan mereka kembali. Ikatan hati itu
tidak akan terputus. Walau telah terpisah ruang dan waktu. Suatu saat ikatan
itu akan dipertemukan kembali dalam keabadian di dalam taman surga.
***