My Curious Way: [170226] Road To Sumber Jenon
04:54
My
Curious Way: [170226] Road To Sumber Jenon
"Oh!!!
Ini kan..." aku terkejut ketika sampai di area pemandian.
"Kenapa?
Udah pernah ke sini?" tanya mbakku.
"Yeah.
Dalam mimpi." jawabku kembali menuruni tangga.
"Hahaha.
Selalu begitu!"
Tanpa
rencana, hari Minggu kemarin beberapa penghuni Sarang Clover melakukan touring
ke Sumber Jenon. Waktu aku bikin catatan perjalanan ke Candi Kidal, aku ada
singgung tentang Sumber Jenon ini kan ya. Eh? Iya apa nggak? Lupa deh. Hehehe.
Ini kisah
perjalanan kami di hari Minggu, tanggal 26 Februari 2017 lalu.
Sebenarnya
hari Minggu itu pengen naik ke Gubugklakah. Biasanya kalau lagi stuck nulis,
pergi ke sana dan ngadem di sana bisa refresh pikiran. Jadi, hari Sabtu janjian
sama Mbak Maimun, hari Minggu besok mau naik.
Like usual
ya, kalau hari Minggu eike membabu ria dulu di pagi hari. Jam enam pagi udah
ngepel lantai, lanjut mandiin Noli sama Amber—yang hari Minggu kemarin di skip,
hehehe. Lalu nyuci alat dapur bekas Memes masak, dan nyuci baju.
Rencananya
tuh ya, habis naik ke Gubugklakah, turunnya mau nyoba ke Mie Woles yang baru
buka cabang di daerah sini. Halah! Daku malah nyebut merk. Nggak papa wes. Sapa
tahu dapat bonusan karena udah bantu promo. Hahaha. Ngarep!
Kelar
semua kerjaan, udah mandi dan keramas juga. Eh, malah males mau keluar. Piye
tho, U?!! Pas lagi potong kuku, ada Nurse Nila ke rumah. Memes nanya ada P3K ke
mana dan event apa.
"Itu
lho ke daerahnya Mbak Dian." kata Nurse Nila.
"Ada
event apa, Mbak?" tanyaku penasaran.
"Iku
lho Mbak, trail-trailan."
And what
the hell on me!!! Dengar kata "trail" langsung deh deg-degan nggak
karuan (?) Dan yeah, may I go there, Mom?
Gila lu,
Kura?! Mau ke Njajang?! Demi nonton event trail adventure itu?
Jujur ya,
karena capek habis membabu ria tuh aku udah mau batalin aja rencana naik-naik
sama Mbak Maimun. Mending agak sorean aja nongki di kedai Mie Woles yang
letaknya, ehem, bersebelahan sama cafe trail. But, after heard about trail
thingy. Langsung pengen pergi ke Njajang. God, help me!
Then,
kirim pesan WA ke Mbak Maimun, lapor kalau ada event trail di Njajang. Kata
Mbak Maimun, mungkin finish-nya yang di Kunci itu. Woa!!! Let's go! Kaja! Kaja!
Kita naik! Jadi, semangat 9095!!!
Tapi,
"Ini ngajak ke Jenon aja. Rara udah ready. Sampean ditunggu."
What?
Jenon? Kenapa ndak ke Kunci aja?
"Kamu
mau ke Kunci? Di sana baru aja ada kecelakaan yang korbannya meninggal lho. Dan,
belum empat puluh harinya!"
Astaga!!!
Aku lupa tentang itu. Baiklah. Dengan berat hati, akhirnya nggak jadi ke Kunci.
Kami pun bersiap menuju Sumber Jenon. Awalnya aku nawarin lewat Tajinan. Tapi,
ditolak. Katanya jauh. Ya udah. Mari lewat Ngebruk saja. You know lah,
masalahku apa. Yap! Lemah navigasi. Walau udah pernah dikasih tahu sama Ebes
jalur ke Sumber Jenon. Tetep aja otak cancer-ku rada-rada melupakannya. Nggak
bisa mengingat jalurnya dengan baik. Nggak papa deh. Nanti kan bisa tanya.
Lewat
Robyong, Keden, dan sampai di Ngebruk. Di sana mulai ragu. Ada pertigaan.
Seingatku beloknya ke kanan. Tapi, ragu. Nanya aja deh. Akhirnya Mbak Maimun
turun dari boncengan buat nanya.
Ternyata
benar! Belok kanan. Perjalanan lanjut. Jalannya sepi. Awalnya beraspal. Lalu
ganti makadam. Aseeek!!! Kita adventure! Hehehe.
Kanan-kiri
tegalan (perkebunan). Yang lewat cuman motor kami aja. Mbak Maimun mulai ragu.
Begitu ada bapak-bapak nyari kayu, dia minta berhenti buat nanya. Arah kami
bener kok. Alhamdulillah.
Naik
turun jurang di jalan makadam. Kembali dipertemukan pertigaan. Dan, dengan
PD-nya aku mengambil arah kanan. Sampai di perkampungan, ada pertigaan lagi.
Kami pun berhenti.
Silly
moment-nya, aku berhenti di depan sebuah... awalnya aku pikir sekolahan.
Karena, banyak bendera pramuka berkibar. Di gedung itu lagi ada acara. Begitu
motorku berhenti tepat di tengah gerbang, bapak-bapak yang jadi terima tamu
langsung berdiri. Tersenyum menyambut kami. Begonya aku masih nggak ngeh kalau
sebenernya aku berhenti di posisi nggak tepat. Aku malah balas senyum sambil
nundukin kepala.
Kalau
yang duduk diboncengan itu Tunjung, udah pasti aku bakal dapat hadiah sebuah
jitakan. Untung yang duduk di boncenganku Mbak Maimun. Dia cuman dorong-dorong
punggungku, nyuruh aku majuin motor. Dengan senyum canggung, aku pun majuin
motor. Sedang si bapak-bapak yang tadinya berdiri menyambut kami, kembali
duduk.
Babo
jara!!! Kura-kura bego!!!!
Aku
nepiin motor. Mbak Maimun nanya ke ibu-ibu yang ada di café—yang posisinya
berhadapan sama gedung yang ternyata sebuah pondok pesantren itu.
You know
what? Yeah! Kami nyasar. Hahaha. Maafin daku, people! Nyasar ke Pajaran. Trus,
sama ibu-ibunya dikasih petunjuk arah. Kami harus balik. Heuheuheu.
Yang
bikin aku heran, pas ibu itu ngobrol sama Mbak Maimun pakai bahasa Jawa. Begitu
aku mendekat, ibunya ngomong ke aku, ngejelasin arah-arahnya pakai bahasa
Indonesia. Walau hal itu bukan yang pertama. Tetep aja aku dibikin keheranan.
Kenapa orang harus pakek bahasa Indonesia sih waktu ngomong sama aku?
Putar
balik, lanjut jalan. Ketemu jalan belok ke kanan. Berhenti. Nanya lagi ke
ibu-ibu yang lagi jagongan. Masih kurang ke timur katanya. Dan, lagi. Ok!
Lanjut!
Jadi, di
pertigaan awal yang separo jalannya makadam itu aku harusnya belok kiri. Tapi,
aku dengan PD-nya belok kanan. Hahaha. Lanjut. Masih sepi jalannya. Tapi,
alhamdulillah udah aspal. Nyampek perkampungan. Begitu liat sekolahan, aku
senang. Senang karena nggak salah jalan. Aku lewat situ sama Ebes.
Kami
masuk desa Ketitang. Mbakku udah ngomel-ngomel. Hahaha. Inget kalau belok
kanan. Tapi, rasanya kurang afdol kalau nggak nanya dulu. Mbak Maimun kembali
turun. Nanya ke ibu-ibu yang jualan di depan sekolahan.
Benar
lagi! Belok kanan. Yey!!! Ingatanmu masih bagus kura-kura. Hehehe.
Jalan
terus. Ketemu makadam lagi. Tapi, cuman jalur pendek. Selanjutnya aspal halus walau
kanan kirinya masih hutan.
Dan
ketika melihat sebuah payung besar, aku berteriak, "Hurray! Kita sampai!"
Fiuh~~ akhirnya. Sampai juga!
Waktu
sama Ebes, cuman lewat doang. Nggak turun ke lokasi.
HTM-nya
murah. Rp. 5000,- buat motornya aja. Orangnya mah nggak dihitung. Jadi, kami
kemarin itu dua motor, limq orang cuman bayar sepuluh rebu rupiah. Murah kan!!!
Area
parkirnya luas. Cuman nggak ada kardus atau sejenisnya buat nutupin motor. Dari
tempat parkir itu jalan kaki ke lokasi. Lewat jalan setapak, lalu tanah lapang,
lalu jalan setapak lagi, lalu tangga menurun. Nggak jauh-jauh amat kok. Jadi,
jangan takut capek.
Ketika
sampai di area kolam, aku dibuat kaget. "Loh! Ini kan?"
"Kenapa?"
tanya Mbak-ku yang berjalan di belakangku. "Udah pernah ke sini? Dalam
mimpi?"
Aku
mengangguk antusias.
"Halah!
Bukannya itu udah biasa kamu alami?"
"Ya
sih. Tadinya aku pikir itu Umbulan. Tapi, kok beda banget. Ternyata di sini tho
tempatnya. Subhanallah..."
Tempatnya
sama persis kayak di mimpiku. Cuman di mimpiku, nggak jauh dari kolam pemandian
itu ada kerajaan. Ada apa ya, bangunan kayak di candi-candi gitu.
Tempatnya
bagus banget. Teduh, hening, sejuk, dan tenang. Bego-nya aku lagi, aku nggak bawa
baju ganti buat renang. Liat kolamnya luas dan airnya bening gitu. Jiwa
kura-kuraku muncul. Pengen nyebur dan berenang di dalamnya (TT.TT)
Pas lagi
jalan di sekitar kolam, aku liat di dalam kolam ada dua ikan gede lagi berenang
beriringan. Kayak emang pasangan dan lagi pacaran gitu. Hiks!
Like
usual lah. Daku heboh kegirangan liat dia makhluk Tuhan yang cantik itu. Aku
gatau itu ikan apa. Kayaknya sih ikan arwana.
"Itu
mungkin ikan yang nggak boleh dipancing itu, U!" bisik Mbak Maimun.
"Oh!"
mulutku membulat. "Jadi, sama kayak di Sumber Agung ya. Walau ikannya
banyak, nggak boleh dipancing. Apalagi dimakan."
Kami
berhenti sejenak. Menikmati indahnya lukisan-Nya.
Hal
pertama yang bikin aku senang adalah adanya penampakan toilet di sana. Hehehe.
You know lah. Daku punya kebiasaan beser. Jadi, liat ada toilet itu kayak nemu
surga. Hehehe.
"Kayunya
di sana lho!" bisik Mbakku.
"Ha??
Kayu?? Kayu apa? Jadi, kita ke sini buat nyari kayu? Buat obat ya
kayunya?" buruku.
Mbakku
langsung menghela napas dan memutar kedua bola matanya. "Kayu, U!
Kayu!"
Aku masih
bingung. "Kayu apa sih??" tanyaku sambil menggaruk kepala.
"Kayu
jelmaan ular itu lho. Yang kepalanya di Wendit. Nah, itu posisinya di
sana."
"Oh...
kayu itu. Eh? Emang ada?"
Mbak
Bidha sama Mbak Maimun melotot kayak mau nelen aku idup-idup. Aku nyegir kuda.
Ya maklum. Aku nggak tahu menahu tentang mitos yang ada di Sumber Jenon.
"Itu
kayu jelmaan ular pertapa. Badannya di sini, kepalanya di Wendit. Katanya gitu.
Trus, kalau kayunya dibacok, keluar darah." Mbak Bidha menjelaskan.
"Wow!
Boleh kita liat ke sana? Lebih dekat gitu?" pintaku.
"Boleh."
Kami pun
berjalan menuju ke tempat 'kayu' berada. Aku masih celingukan nyari keberadaan
si kayu. Gataunya kayunya ada di dalam kolam. Dan, pola yang dibentuk dari kayu
itu bagus banget. Bisa dilihat dengan jelas karena airnya bening banget. Dan,
di situ, ikannya lebih banyak.
Kami
duduk di pinggiran kolam. Di bawah kami ada makam. Tapi, kami nggak tahu itu
makam siapa. Oya, di sebelah barat juga ada bangunan megah yang udah nggak
dihuni. Nggak terawat. Kayak villa gitu. Tapi, aku gatau itu apa. Nggak ada
juru kunci yang bisa ditanya-tanya juga.
Oya,
kalau main ke Sumber Jenon dan lupa nggak bawa bekal. Don't worry, be happy! Di
pinggir kolam ada dua cafetaria sederhana yang jual bakso dan makanan instan
(baca: popmie) yang bisa buat ganjal perut kalau lapar.
Duduk di
tepi kolam, menikmati rindangnya pepohonan bikin aku teringat pada ucapan
Tunjung. Kata dia, biasanya kalau yang menghuni tempat-tempat kayak gitu adalah
para peri. Keinginan untuk bisa lihat peri kembali muncul. Tapi, nggak boleh
sama Njung Beb. Khawatirnya aku ndak siap dan terlena malah ikut ke dunia
mereka. Soalnya kata Njung Beb mereka tuh cantik-cantik dan ganteng-ganteng.
Trus, dunia mereka juga indah banget. Benar-benar bahaya buatku. Gimana kalau
aku kecantol peri ganteng kayak Mas Jeje gitu? Bahaya kan!!! Perinya mukanya
Jawa gitu kali ya. Heuheuheu...
Makin
mendekati dzuhur, ikan yang muncul makin banyak. Aki senang liatnya. Dan,
buru-buru ambil keripik, aku hancurin dan lempar ke kolam.
"Hey!
Ini makanan! Ayo, sini!" panggilku.
Kalau di
Umbulan itu, begitu makanan di lempar ke kolam. Ikannya langsung mendekat,
ngerubungi makanan yang dicemplungin ke kolam dan makan makanan itu. Di Jenon?
Daku dicuekin. Hiks!
Ketika
aku merasa galau (?) karena dicuekin ikan-ikan. Tiba-tiba satu ekor ikan yang
besar itu menepi. Nyamperin.
Eh? Daku
seneng lah disamperin sama ikan cantik itu. Aku maju ke pinggir kolam dan nyapa
dia. Aku bilang, "Assalamualaikum. Hallo. Kamu cantik banget deh!"
Mungkin
karena aku kura-kura dan dia ikan ya. Jadi, kita macam bisa komunikasi gitu.
Hehehe.
Ikan itu
tiba-tiba berenang ke arah selatan kalau nggak salah. Pokoknya ke pojokan kolam
di sisi timur. Gatau kenapa aku ikutin dia. Dia berenang di dalam kolam, aku
berjalan di tepian kolam. Ngikutin dia. Terus aku ikutin dia sampai hampir
mendekati pojokan kolam.
Mbak
Bidha berteriak, "Hey! Ojo ditutno iwake!" Dia bilang jangan diikutin
ikannya.
Aku
ditarik sama Rara. Di bawa menjauh dari ikan itu. Dibawa balik ke tempat kami
berkumpul.
"Ngawur
kamu itu! Jangan diikutin ikannya!" Mbak Bidha marah-marah.
"Emang
kenapa?" tanyaku.
"Kamu
mau dibawa ke alam mereka? Kamu lupa ya gimana kamu?"
Oh!
Astaga! Iya, aku lupa kalau aku ini punya tracak adem yang disukai sama barang
alusan.
Kami pun
bersiap pulang. Tapi, tiba-tiba kepalaku sakit dan mual. Aku seolah nggak bisa
ngerasain tubuhku sendiri. Sementara yang lain berjalan pergi, aku jongkok di
pinggir jalan. Kepalaku sakit dan aku mual. Gelaja yang sama yang aku rasain
pas aku hampir kesurupan.
Mbak
Maimun balik. Menghampiri aku yang jongkok di tepi jalan. "Kenapa,
U?" tanyanya.
"Gatau,
Mbak. Kepalaku sakit. Dan, aku mual banget."
Mbak
Maimun manggil Mbak Bidha. Mereka berdua nungguin aku yang lagi jongkok. Suer
itu kepalaku sakit banget.
"Muntahin
di situ aja." kata Mbak Bidha.
"Ngawur
ae! Banyak orang. Tolong minyak kayu putihku."
Udah hirup-hirup
minyak kayu putih masih mual. Tuhan... aku kenapa?
Di saat
aku mual parah itu. Di dalam kolam muncul ikan mas cantik. Cantik banget.
Bentuknya gede. Trus, ada warna biru di siripnya. Dan, siripnya itu berkilauan
di dalam air.
Boro-boro
abadiin dalam foto. Daku masih berperang lawan sakit kepala dan mual yang aje
gile rasanye. Tapi, Mbak Maimun sempet potoin itu ikan mas cantik. Tapi,
hasilnya blur. We can't see it clearly on pict!
Aku harus
ke toilet. Malu lah muntah di depan umum. You know what? Toilet yang juga ruang
ganti itu ada WC duduknya, but nggak ada air. Rrrrr!!! Tapi, ada kaleng di
sana. Yeah, akhirnya aku bersihin kaleng dan gayung itu lalu ambil air dari
kolam.
Di
tengah-tengah sakit kepala dan mual, harus ngambil air dari kolam. Mengangkatnya
ke toilet dab toiletnya gelap banget pas pintunya di tutup. Aku nggak jadi
muntah. Tapi, pipis. Hehehe. Maklum kalau habis nyetir kan minum air putih
banyak-banyak. Jadilah beser. (NB: Kalau pipis mending di toilet dekat parkiran. Aku cek ternyata melimpah ruah airnya di sana)
Oya! Air
putih! Aku harus minum banyak-banyak air putih buat netralin. But, I only bring
one. Dan, isinya udah nipis banget. Aku teguk, habislah sudah.
Udah
parno ya. Kalau aku gini, sapa yang boncengin pulang? Mbak Bidha sama Mbak
Maimun ga bisa nyetir motor. Tuhan, kuatkan hamba-Mu ini. Sempet berhenti lama
di ujung tangga terakhir. Air putih udah habis. Hirup-hirup minyak kayu putih.
Berharap sakit kepalanya hilang. Mualnya udah berkurang. Sambil terus
memanjatkan doa, minta kekuatan pada-Nya.
Alhamdulillah
pas naik, udah agak mendingan. Aku bisikin badanku sendiri, nanti kalau ada
toko kita beli air putih ya.
Start
nyetir. Aku ga berani bilang Mbak Maimun kalau sebenernya aku rada gemeteran
juga. Karena sakit kepalanya belum juga ilang walau intensitasnya udah mulai
berkurang. Aku khawatir Mbak Maimun panik. Jadi, aku nyetir sambil nahan itu
sensasi nggak karuan yang tiba-tiba aja nemplok di badan.
Jalan
pulang aku pasrahin Mbak Bidha Rara buat nyari jalur. Maklum, dia ngomel
gara-gara aku yang milih rute berangkat.
Yang
harusnya belok kiri, Mbak Bidha ambil jalan lurus. Aku ngikut aja. Sampai pada
belokan terakhir, aku baru nyadar kalau itu jalur yang aku tempuh beberapa
tahun yang lalu waktu diajak melayat ke Ngebruk.
Aku
menyeringai. You choose wrong way, Sista. Kenapa? Jalur itu lebih parah
daripada jalur yang aku pilih saat berangkat. Jalannya masih tanah semua. Dan,
tahulah gimana kondisi jalan tanah kalau musim hujan gini?
Finally,
benar-benar adventure. Bukan touring. Hahaha.
Jalurnya
lewat Sumber Agung. Tapi, nggak mampir. Dan, ehem, di jalur itu papasan sama
satu kawanan trail rider. Mungkin itulah hikmahnya dari pemilihan jalur itu ya.
Hehehe. Alhamdulillah.
Nyampek
rumahnya Mbak Bidha, langsung minum air putih banyak-banyak buat netralin
tubuh. Beberapa menit kemudian, sakit kepalaku hilang. Subhanallah. Alhamdulillah.
Aku nanya
Tunjung kenapa aku yang dituntun sama ikan itu. Kata dia, karena aku yang kasih
makan mereka dan godain mereka. Dan, tentu saja karena aku termasuk golongan
yang 'mereka sukai' (TT.TT)
"Kalau
tadi aku terus ngikutin dia, aku bakal gimana?"
"Ya,
ilang kamu. Dibawa ke alam mereka."
"Trus,
aku di sana ngapain?"
"Emboh!
Cantheng paleng!"
"Maksudku,
apa aku hidup kayak di dunia kita ini?"
"Iya.
Tapi, alam di sana lebih indah. Itu kenapa aku gamau buka mata batin kamu. Aku
khawatir kamu belum siap. Trus, ntar malah terlena dan ikut mereka. Di sini
kamu jadi ngengleng karena jiwamu dibawa mereka."
"Waduuu...
gamau aku."
"Nah,
makanya!"
Kenapa
selalu terselip creepy story dalam perjalanan kami? Apa karena aku? Atau Tunjung?
Dan,
petualangan di hari Minggu lalu di tutup dengan pesta Bakso SUJU. Hurray!!! Finally
bisa rasain Bakso SUJU.
You know,
waktu mau ketemuan ambil Bakso SUJU ini, aku sempat digoda sama beser. Akhirnya
mampir ke pasar Tumpang cuman buat ke toilet. Dan, ke toiletnya bayar lima rebu
rupiah karena nggak bawa uang dua rebuan. Bukan salah mas-masnya yang jag
toilet. Salahku ndiri nggak minta kembalian.
Well, ini
kisah petualangan kami, para penghuni Sarang Clover di hari Minggu kemarin.
Maaf jika ada salah kata.
Selamat
datang Maret. Btw, bentar lagi Sarang Clover ultah lho. Enaknya bikin event apa
ya? Giveaway buku AWAKE - It's Sarang Clover Creepy Story?
Tempurung
kura-kura, 01 Maret 2017.
.shytUrtle.
0 comments