My Curious
Way: [170319] Road To Ngadas
Rasanya
masih seperti mimpi. Kemarin aku bisa berada di sana. Begitu dekat dengan
Bromo.
Sebelum
menulis cerita tentang perjalanan kemarin, aku mau ngucapin selamat Hari Jadi
Sarang Clover yang ke 11 (sesuai tahun diresmikannya nama Sarang Clover) dan ke
18 (sesuai tahun mulai rutinnya penghuni Sarang Clover ngumpul). Happy 1118 Sarang
Clover. Semoga makin jaya.
Ok! Mari
berkisah tentang perjalanan kemarin. Perjalanan yang tak direncanakan.
Perjalanan tak terduga. Perjalanan nekat.
Karena
Selasa lalu tensiku drop lagi, aku disarankan rajin minum susu segar biar
tensiku stabil. Jadi, nyusun rencana hari Minggu naik ke Gubugklakah untuk beli
susu segar di Nusa Pelangi. Dari hari Rabu udah nyiapin fisik. Biar tensi naik
dan bisa nyetir motor ndiri. Udah janjian juga sama Mbak Maimun.
Tanggal
17 Maret lalu Sarang Clover ultah. Dan, sebenarnya kami punya rencana ngumpul
dan makan-makan di salah satu cafe yang lagi in di wilayah kami. Sayangnya aku
tepar lagi dan banyak penghuni Sarang Clover yang nggak bisa ikutan. Gagalah
rencana kumpul bersama. Maafin aku ya, people.
Hari
Minggu tiba. Seperti biasa dimulai dengan membabu ria. Sampai bosen baca bagian
ini ya. Hahaha. Maklum, bisa bersihin markas cuman seminggu sekali. Pas hari
Minggu aja.
Penyakit
psikisku belum 100% sembuh. Tapi, aku pun nggak mau ngalah. Aku terus berusaha
melawannya. Aku terus berusaha untuk sembuh. Kemarin pun begitu. Sudah mandi,
sudah keramas, sudah sarapan nasi. Eh, pusing melanda. Badan tiba-tiba rasanya
nggak enak. What the!!!
Dapat
info kalau jalur ke Bromo rame karena ada event, itu bapak-bapak tentara
touring ke Bromo. Bagaimana ini? Memes sama Ebes pun mau besuk ke rumah sakit.
Tangki jagiya pun bocor. Ya ampun!!!
Setelah
rundingan sama Memes, akhirnya aku disuruh keluar dulu. Memes sama Ebes
besuknya sore. Menghindari macet karena ada konvoi Arema. Dan, aku disuruh
naik-naik sama si matic karena kondisi Jagiya yang nggak memungkinkan.
Duh, piye
iku? Aku belum pernah naik-naik bawa matic. Kalau nglasa selalu bawa Jagiya. Ke
mana-mana juga seringnya bawa Jagiya. Daku galau. Meragu. Waktu tahu Thata
libur dan nggak jadi keluar, aku pun langsung minta tolong dia buat jokiin
motornya. Kami pun berangkat pukul setengah sepuluh pagi. Jalurnya masih suka lewat
Drigu. Di Sedaer rame. Ah! Kapan aku bisa tubing. Hiks!
Karena
katanya jalur naik ramai, banyak polisi dan tentara. Aku pun memutuskan pakai
helm juga. Biasanya cukup yang depan aja yang pakai helm. Kostum? Aku pakai
kaos panjang dirangkepi jaket tipis yang biasanya aku pakek di rumah aja.
Maklum itu jaket udah miris banget kondisinya XD
Masih
tetep sandal jepit dan celana panjang doreng. Pikirku kan cuman ke Nusa
Pelangi. Ngapain juga pakek kaos kaki dan kaos tangan. Kaos kaki dan kaos
tangan nggak aku bawa. Bahkan, aku pun nggak pakek masker. Padahal kemarin itu
cuacanya mendung.
Banyak
bikers yang naik. Kawanan trail rider juga banyak. Rame dah pokoknya jalurnya.
"Ini
langsung ke Nusa Pelangi tah?" tanya Thata di tengah perjalanan.
"Yo
ojo tah. Aku kangen munggah. Lama nggak ke sana."
"Kalau
gitu kita foto di belokan di atasnya Coban Pelangi aja gimana? Bagus lho di
sana."
"Di
belokan mana sih?"
"Pean
kan udah pernah nyampek gapura itu. Udah nglewati belokan itu tah."
"Yang
mana se Mbak Tha?"
"Ya
udah. Kita ke sana ya."
"Ok!"
Semangat
banget dah kalau di ajak ngalas. Hahaha.
Di Coban
Pelangi juga ramai. Kami terus naik. Thata sebenernya takut. Dia belum pernah
naik jadi joki. Tapi, aku terus nyemangatin dia. Akhirnya, bismillah. Kami pun
naik.
Sampai di
belokan yang di maksud Thata, lumayan ramai orang berhenti di sana. Kami
memutuskan lanjut.
"Katanya
mau ke Ngadas. Udah ke sana?" tanya Thata.
"Belum.
Sekarang aja ayok! Mumpung bawa vario. Inshaa ALLOH kuat."
"Berani
a aku?"
"Berani!
Berani! Selama jalannya aspal, aku yakin sampean bisa ngatasi."
"Yowes.
Bismillah!"
Lanjut
naik. Sampai di gapura Selamat Datang Wisata Bromo Tengger Semeru. Aku bilang
ke Thata, nanti aja fotonya kalau turun. Ada dua sejoli lagi poto-poto di sana
juga. Khawatir menganggu. Hahaha.
"Aduh!
Bawa duit nggak?" Thata mendadak panik.
"Bawa.
Kenapa emang?"
"Bawa
berapa? Itu di depan sana nanti ada tarikan. Aku kapan hari ditarik tujuh puluh
lima ribu lho."
"Masak
sih? Tenang. Tujuan kita kan ke Ngadas."
"Tetep
aja nanti kita lhak di berhentiin. Soalnya kita pakek helm dobel."
"Percaya
sama aku. Udah, sampean tenang aka nyetirnya. Kalau harus bayar, aku bawa duit
kok."
Benar.
Ada pos pemberhentian. Di sana ada petugas yang duduk di pinggir jalan. Ada
banyak motor trail juga berhenti di sana. Petugasnya langsung berdiri begitu
melihat kami mendekat. Kawanan trail yang berhenti itu juga turut menatap kami.
"Mau
ke mana Mbak?" tanya petugasnya dengan nada, maaf ya, ketus. Petugasnya
cowok.
Aku
senyum. "Mau ke Ngadas, Mas."
"Ke
Ngadas ke siapa?" ini mas petugasnya masih ketus nadanya. "Ke Bidan
xxxxx, Mas."
"Oh,
ya. Monggo! Monggo! Silahkan." nadanya agak melunak.
"Monggo."
aku kembali tersenyum.
Anggota
kawanan trail liatin kami yang melintas santai di depan mereka yang lagi
berhenti entah registrasi atau ngapain.
"Itu
tadi anak trail." kata Thata.
"Iya."
"Tapi,
males ah. Banyak ceweknya. Nggak ramah juga kayaknya. Mungkin mereka bukan asli
anak trail. Tapi, nyewa trail buat naik."
"Hahaha."
aku tergelak. "Ya, mungkin. Nanti aja kalau ketemu kawanan trail yang
ramah kita ajak foto bersama. Biasae kalau beneran anak trail ramah-ramah kok.
Temen-temenku di Facebook sih gitu."
"Emang
berani minta foto?"
"Entahlah.
Yo sampean ae yang minta. Hahaha."
Awalnya,
setelah pos pemberhentian di Coban Trisula itu jalannya masih, apa ya. Kayak
batako. Cor gitu. Tapi, setelah itu udah aspal alus. Jalan raya Wates aja
kalah. Hehehe.
Di
persimpangan Jarak Ijo-Ngadas ada bapak-bapak tentara lagi jaga. Kami pun
menyapa. Lalu lanjut naik. Kanan tebing, kiri jurang. Hutan. Dan, hanya ada
motor kami. Hanya ada kami. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar perjalanan
kami lancar. Dan, agar tak ada hewan buas yang melintas.
Serius
itu masih hutan. Walau udah nggak seseram kayak pas aku pertama kali ke sana di
tahun 2003 kalau nggak salah. Jalannya juga udah lebar dan aspal alus.
Salah
satu bidan senior yang dulu pernah dinas di Ngadas cerita ke aku. Katanya dulu
pas beliaunya turun dari Ngadas. Nyetir motor sendiri. Di tengah jalan ada ular
jatuh dari pohon. Ularnya gede banget. Ibu Bidan Cantik itu udah pasrah pas itu
ular melata tak jauh di depannya. Pasrah kalau dimakan hidup-hidup, katanya.
Beliau gemeteran, di atas motornya yang berhenti. Bahkan, ini menurut pengakuan
beliau ya, beliau sampai, maaf, ngompol karena saking ketakutannya. Pasti itu
ularnya super gede. Serem.
Iya, di
markas aku dikenal nggak takut sama ular. Tapi, kalau ularnya segede itu.
Mungkin nasibku pun bakal sama kayak ibu bidan. Ketakutan sampai ngompol.
Apalagi aku yang sekarang nggak kayak aku yang dulu. Kata Ai, "Wes
tuwek!" Hahaha.
Kenapa
aku jadi keinget cerita itu pas di tengah hutan sih!!! Dan, begonya, aku
ceritain kisah itu ke Thata. Babo, Jara!!!
"Kalau
sekiranya motornya nggak kuat, bilango yo. Aku tak turun." kataku.
"Kuat
kalo matic ini."
Setelah
ngomong kayak gitu, ada perempuan jalan sendirian.
"Siapa
itu? Orang Ngadas kah?" tanya Thata.
"Bukan.
Mungkin motornya nggak kuat. Jadi, yang dibonceng jalan kaki."
Benar!
Sampai di puncak jurang ada motor yang nungguin. Mungkin kalau bawa Jagiya,
nasibku pun akan sama kayak ibu-ibu itu.
Sepanjang
perjalanan, aku mengumpulkan sisa ingatanku tentang perjalanan pertamaku ke
Bromo. Waktu itu aku naik ambulance. Diajak almarhum Pakde Matali. Jalannya
masih sempit. Papakan sama motor aja susah. Apalagi sama mobil. Waktu itu
ambulance yang kami tumpangi papakan sama truk. Aku udah ketar-ketir aja waktu
mobil di minggirin ke kiri. Itu sebelah kiri curah. Kalau kesenggol dikit,
habislah kami jatuh ke curah. Tapi, Pakdhe Matali menenangkan kami dan juga sopir
truk yang ragu jalan itu cukup untuk di lalui.
Ambulance
kami berhenti. Pakdhe Matali mempersilahkan truknya lewat. Selama proses itu
truk lewat super dekat dengan ambulance, aku tahan napas dan terus berdoa.
Posisiku duduk di depan, di samping Pakdhe Matali. Tahu kenapa? Karena aku
mabukan, makanya disuruh duduk di depan. Hahaha.
Begitu
berhasil, napasku langsung kembali. Lega rasanya. Pakdhe Matali emang keren.
Mobil
juga sempat berhenti lagi waktu ada bunga edelweiss yang tumbuh liar di tebing
di sisi kanan jalan.
"Itu
lho bunga edelweiss. Kalau mau metiko nggak papa. Kalau beli di Bromo
mahal." kata Pakdhe Matali.
Tapi, aku
menolak. Eman kalau dipetik. Mereka terlihat cantik di habitat aslinya. Kalau
aku petik dan aku sia-siain kan kasian. Jadi, aku cuman say hello aja ke
bunganya.
"Dulu
di sini banyak bunga edelweiss-nya lho! Sekarang kok nggak ada ya?" kataku
sambil mengamati tebing di sisi kanan jalan.
"Udah
dipetiki mungkin." jawab Thata.
"Eman
ya. Padahal dulu banyak tumbuh liar."
Kami
mulai memasuki lahan yang sudah di olah warga. Banyak warga yang sedang bekerja
di ladang mereka. Aku tersenyum, mereka balas senyum. Senangnya.
Aku sama
sekali nggak ingat gimana kondisi Ngadas dulu ketika aku pertama kali
berkunjung ke sana. Ngadas yang sekarang keren. Rumahnya udah bagus-bagus.
Hampir sama ma Batu lah. Aku terkesima.
Sampai di
persimpangan. Aku lupa, ndak minta nupe Mbak Bidan. Mau WA Memes nanya numz
Mbak Bidan, sinyal naik turun. Sampai-sampai data seluler pun aku matikan.
Akhirnya
kami lanjut ke arah kanan. Ke jalur menuju Jemplang, Bromo. Aku mah udah nggak
ingat sama sekali sama jalur ini xD
Itu jalan
keren juga serem. Kanan-kiri curah. Thata sampai nggak berani noleh. Takut
ketinggian dia. Tantangan baru dimulai. Jalannya sempit dan meliuk-liuk kayak
gerakan ular putih.
Kalau
papakan sama jeep, Thata selalu agak goyah dan ngomel sendiri. Dia takut sama
ban mobil jeep yang gede. Lucu ya XD
Pas naik,
aku yang nyantai. Thata yang bolak-balik ngomel. Pas tiba di tikungan yang
cukup aje gile, ada bapak-bapak tentara berjaga di sana. Begitu melihat kami
muncul, kami yang hanya berdua saja dan naik motor matic, salah satu dari
beliau-beliau itu menyemangati.
"Ayo!
Mbak, mbak, cewek, cewek, pasti bisa!" kata salah satu bapak tentara
sambil bertepuk tangan.
Aku cuman
bisa senyum singkat. Jalannya cukup bikin deg-deg ser. Begitu kami bisa
melewatinya, kami bersorak! Hurray!!! Bapak-bapak tentara yang ada di belakang
kami itu pun bertepuk tangan. Thata sampai terbahak-bahak. Senang bisa melalui
tikungan sulit itu dengan selamat. Sekaligus senang juga merasa lucu mendapat
perlakuan dari bapak-bapak tentara itu. Langsung aku jitak helm dia. Hahaha.
Terima
kasih bapak-bapak tentara yang udah menyemangati kami.
Sepanjang
perjalanan aku nggak bisa berhenti terkagum-kagum dan bolak-balik berkata,
"Woa!!!" Dari masuk area Coban Pelangi udah disambut pohon berbunga
kuning yang sedang lebat-lebatnya. Naik lagi, banyak bunga-bunga kec berwarna
ungu bermekaran. Makin naik banyak bunga ungu berukuran sedang bermekaran.
Entah bunga apa. Mirip dahlia. Sumpah cantik banget!
"Aku
kedinginan. Nggak ada warung a? Beli kopi." kata Thata.
"Aku
aja berasa beku. Apalagi sampean yang nyetir. Ada mungkin. Di depan sana."
"Kalau
ada berhenti ya. Sumpah dingin banget. Aku butuh kopi."
"Ok!
Aku pun harus minum."
Kami
sampai di rest area di Jemplang. Aku ternganga. Biasanya baper kalau liat
kawanan trail rider, kan? Ngakunya gitu kan? Nah, di sana, di rest area itu.
Banyak motor trail terparkir. Banyak kawanan trail rider yang juga ngaso.
"Rame."
suara Thata membuyarkan lamunanku. "Yang mana?"
"Itu
pojokan sepi. Ke sana aja."
Thata
parkir motor di depan warung. Begitu turun dari motor, aje gile. Dinginnya
minta ampun. Aku pakek jaket tipis dan tanpa kaos kaki dan kaos tangan juga masker.
Thata masuk pesan kopi dan teh panas. Aku langsung duduk. Gerak-gerakin kaki,
gosok-gosok tangan.
"Sampean
nggak papa a?" Thata mengamatiku.
"I'm
fine." Aku segera membuka air mineral bekalku, dan meminumnya beberapa
teguk.
"Aku
nggak percaya aku bisa nyetir sampai sini." Thata terlihat masih
keheranan.
"Faktanya,
umak berhasil. Umak memang jagoan. Aku yakin selama jalannya aspal, umak pasti
bisa. Umak keren."
"Kita
udah sampai. Itu turun udah Bromo."
"Tapi,
aku gamau turun. Aku masih trauma kalau harus ke Bromo."
Kunjungan
pertamaku ke Bromo memang menyenangkan. Tapi, saat sampai di puncak. Aku sesak
napas. Tubuhku kaku, nggak bisa digerakan. Dadaku sesak. Leherku tercekik. Aku
ketakutan setengah mati. Untung Memes sigap. Memes ambil air putih di tas
punggungku, dan aku disuruh neguk sebanyak yang aku bisa. Alhamdulillah. Aku
selamat.
Pas di
padang savana ada pendaki bule yang minta air. Mau aku kasih, sama Pakdhe
Matali nggak boleh. "Nanti kamu butuh banyak kalau naik ke gunung,"
kata beliau.
Beruntung
air bekalku yang hanya tujuh gelas itu nggak jadi aku kasih ke pendakinya. Aku
sendiri menghabiskan beberapa gelas untuk menetralkan kondisiku. Turun dari
gunung, aku teler sampai pulang. Untung ada Memes bersamaku. I love you, Mom.
You are my hero!!!
"Aku
nggak mau turun." aku menggelengkan kepala. "Nggak ada persiapan.
Nggak kuat dinginnya aku."
"Aku
lho belum tidur sama sekali ini. Kemarin kan aku jaga malam. Pasiennya rame.
Jadi, nggak bisa tidur."
"Tapi,
umak seterong. Ini di doping kopi. Hehehe."
Denger
Thata ngomong gitu, aku jadi inget diriku yang dulu. Diriku yang tetep seterong
walau tiga hari melek, ndak tidur sama sekali. Hiks!
Kopi dan
teh panas pesanan kami datang. Aku langsung memegang gelas teh dengan kedua
tanganku. Hangat. Tapi, kakiku masih beku rasanya.
Saat kami
asik ngopi dan ngeteh, ada motor trail berhenti di dekat warung tempat kami
singgah. Dua orang cowok turun dan masuk ke warung tempat kami berada. Kayaknya
orang situ aja. Akrab banget sama yang punya warung. Mas yang tinggi besar
ngajak kami ngobrol.
"Mau
ke mana, Mbak? Ke Bromo?"
"Tadi
sih nggak sengaja ke sini."
Mas
berkulit hitam dan agak pendek tertawa mendengar jawabanku. "Nggak sengaja
ke sini, tapi nyampek sini." oloknya. Mas yang tinggi ikutan nertawain.
"Iya,
nggak sengaja. Tujuannya ke Ngadas. Ke rumah Bu Bidan xxxxx." aku meralat.
"Oh,
Bu Bidan." sahut mbak pemilik warung.
"Iya.
Kalau hari Minggu gini apa ada ya? Kan kalau weekend biasanya pada turun."
"Iya,
Mbak. Kalau hari Minggu kan libur. Biasanya ndak ada. Pulang buat keluarga.
Setahuku kalau hari Rabu pasti ada." jawab mbak pemilik warung.
"Teman
sampean?" sahut mas berpostur tinggi.
"Yap.
Adik kelas dulu semasa sekolah. Tapi, masih nyambung sampai sekarang. Waktu dia
pindah dinas sini, aku disuruh main ke sini. Sempetnya baru hari ini."
"Tak
kira sampean yang dinas sini."
“Hehehe.
Bukan." Tunggu! Aku dikira bidan?? Astaga!!
"Turun
aja Mbak sekalian. Udah deket. Eman lho udah nyampek sini."
"Nggak.
Nggak. Nggak berani saya. Nggak kuat dinginnya juga."
"Kalau
habis hujan gini nggak dingin. Beneran. Ya, kalau pas ketigo (musim kemarau)
gitu dingin banget."
"Iya,
Mbak. Eman kalau nggak mudun. Sampean udah nyampek sini. Udah deket."
sahut mbak pemilik warung.
"Jalannya
udah bagus kok, Mbak. Aman walau sampean pakai motor matic. Apalagi vario ini.
Ngatasi. Turun o wes. Itu turun udah padang savana. Trus bukit
teletubies."
"Nggak,
deh. Kapan-kapan aja balik kalau udah bawa persiapan lengkap."
"Kalau
ada hujan gini bagus, Mbak. Padang savananya hijau. Nggak kering."
Ya. Pas
aku pertama kali ke Bromo, padang savananya kering kerontang.
"Kapan-kapan
aja." aku tetep kukuh nggak mau turun. Nggak berani ambil resiko.
Lalu kami
saling bertukar cerita tentang pengalaman pertama ke Bromo. Mas yang berpostur
tubuh pendek cerita, dia pertama kali ke Bromo bawa pick up dan selip. Ketemu
hartop ndak ditolong. Malah diolok dengan kalimat, "Alon-alon ae Mas. Tak
enteni karo rokokan."
Tega ya.
Aku pun, cerita saat kami bawa ambulance. Selip juga di segoro wedhi. Ketemu
hartop juga. Dan, nggak ditolongin juga. Yang ada ditolongin sama bapak ojek
yang bawa motor trail.
Lalu mas
yang berpostur tubuh tinggi, ngobrol sama bapak-bapak. Minta diantar entah ke
mana jalan kaki. Pokoknya jalur baru gitu. Dia balik duduk usai si bapak bilang
sanggup ngantar. Kata masnya ada klien yang minta di antar entah ke bukit dan
gunung apa namanya kemarin. Aku lupa. Minta jalan kaki dan aksinya itu di rekam
pakai drone. Wuik! Pasti keren banget tuh. Masnya juga bilang keren seandainya
beneran jadi.
Kopi dan
teh kami habis. Kami membayar dan pamit pergi duluan. Sebelum lanjut, aku ke
toilet dulu. Thata nemenin. Motor masih dititipin di depan warung.
Tarif ke
toilet Rp. 5000,-
Mahal ya?
Mahal emang. Tapi, murah lah daripada peper di hutan. Hehehe. Kata Memes air di
sana sulit. Mungkin itu yang bikin mahal.
Gara-gara
tarif toilet yang mahal ini, Thata sampai punya rencana bangun toilet di sana.
Biar cepet kaya katanya. Hahaha. Ada-ada aja itu anak. Mau nyewa tanahnya sapa
juga buat toilet. Ada-ada ae Thata. Tapi, emang bisnis yang menjanjikan itu.
Hehehe.
Toiletnya
lumayan bersih. Tapi, airnya kecil banget ngalirnya. Dan, dinginnya kayak lelehan
es. Sumpah dingin banget.
Habis
dari toilet makin kedinginan. Aku sampai loncat-loncat. Gerak-gerakin badan biar
nggak dingin. Alhamdulillah matahari muncul disaat aku berjuang melawan dingin.
Aku pun bersorak kegirangan.
Saat
balik buat ambil motor. Warung tempat kami ngopi tadi udah ramai disinggahi
satu kawanan trai rider. Untung kami udah hengkang.
Saat
menunggu Thata ambil motor, seorang bapak-bapak berwajah oriental
menghampiriku.
"Mau
turun ke Bromo, Mbak?" tanya bapak berwajah oriental itu.
"Iya?
Oh! Nggak. Nggak berani. Nggak bawa persiapan. Hehehe."
"Berdua
saja?"
"Iya."
"Bawa
matic?"
"Iya."
Bapaknya
geleng-geleng kepala.
"Ayo!"
Thata memanggilku.
"Permisi.
Kami duluan." aku berpamitan dan membungkukan badan.
"Oya!
Silahkan. Hati-hati ya."
"Iya.
Mari." aku berjalan menghampiri Thata.
"Siapa?"
"Gatau.
Tiba-tiba ngajak ngobrol."
Thata
melajukan motor dan berhenti di dekat pos sebelum jalan menurun menuju Bromo. Itu persimpangan. Kalau ke kiri ke Bromo. Kalau ke kanan ke Ranupani. Ah!
Ranupani. Aku pengen ke sana.
Rasanya
seperti mimpi. Selama ini aku hanya bisa membayangkan, tapi kemarin, aku
benar-benar berada di sana. Berdiri di sana dan menikmati keindahan
lukisan-Nya.
Subhanallah.
Indah sekali. Aku pun mulai mengabadikannya dalam kamera ponselku.
Saat
sedang asik foto-foto, ada dua motor trail menghampiri kami dan parkir tak jauh
dari kami.
"Tak
fotoin, Mbak." kata salah satu trail rider yang baru saja memarkir
motornya. "Nggak tak bawa kabur kok hapenya."
Aku hanya
tersenyum menanggapinya. Setelah motoin Thata, gantian Thata motoin aku. Itu
trail rider masih ngimbrung aja di belakang Thata. Bahkan, satu trail rider
lainnya sempet ikut ke foto pas aku pose ala gwiyomi. Lucu hasilnya. Sayang
nggak sengaja ke hapus sebelum di upload. Babo jara!
Akhirnya
Thata minta tolong trail rider yang sedari awal menawarkan bantuan untuk
memotret kami berdua. Di tengah sesi pemotretan (?), teman-teman satu kawanan
trail rider itu datang. Tak membuang kesempatan, Thata meminta mereka untuk
foto bersamaku.
"Wah,
itu yang aku tunggu dari tadi. Foto bersama." kata trail rider yang sebelumnya
membantu memotret kami.
"Trus,
aku piye?" kata Thata yang dapat tugas motret.
"Nanti
gantian tak fotoin." jawab salah satu trail rider.
Aku pun
foto bersama empat orang trail rider dari satu kawanan itu. Lalu gantian aku
dan Thata bersama tiga orang trail rider. Usai sesi pemotretan, kami pun
mengucap terima kasih.
Saat asik
menikmati indahnya pemandangan, trail rider yang dari awal parkir udah nawarin bantuan
memotret menghampiriku.
"Mbak, fotomu yang ini bagus." dia menunjukan fotoku di ponselnya.
"Eh?
Itu aku?"
"Iya.
Bagus ya."
"Iya,
bagus. Aku minta. Gimana? Bluetooth ya."
"WA
aja!"
"Eung??
WA??"
"Iya,
WA. Ada kan?"
"Ada."
"Ya
udah mana nomernya. Nanti aku kirim di WA."
"Mbak
Tha, tolong kasih nomerku. Aku ndak apal."
Thata
kasih tahu nomerku.
"Ok.
Aku simpen. Namanya mbak siapa?"
"Ayu."
jawabku dan Thata kompak.
"Ok.
Apa mau nomerku?"
"Nggak
usah wes. Kan nomerku udah sampean simpen."
"Ok.
Tapi, nanti ya aku kirimnya. Di sini nggak ada sinyal. Dan, aku masih mau
lanjutin perjalanan."
"Ok.
Makasih ya."
"Sama-sama."
Kawanan
trail rider itu melanjutkan perjalanannya. Aku terbengong-bengong.
"Kenapa?"
tanya Thata.
"Kok
aku bego banget sih?"
"Bego
apa?"
"Kok
aku langsung kasih nomerku? Kenapa tadi aku ndak bilang Facebook atau BBM
aja?"
"Aku
juga heran liat sampean bisa ngobrol, ramah tamah sama orang asing."
"Babo
jara! Kura-kura bego!!!"
Dan
ternyata, salah satu anggota kawanan itu masih ada di dekat kami. Tersenyum
kepada kami. Aku pun tersenyum kikuk.
"Aku
ndak ikut, Mbak. Ndak sanggup aku lewat jalur itu. Balik pulang aja aku."
kata trail rider yang masih ada di dekat kami itu. "Jalur itu yang
nantinya tembus Lumajang itu lho, Mbak. Nggak sanggup aku. Mending balik ae
wes." imbuhnya.
Aku
tersenyum. "Njenengan aslinya mana?" tanyaku.
"Wajak."
"Oh,
deket ya."
"Lha
sampean mana?"
"Kulo
Wates."
"Wah!
Luwih cedek sampean, Mbak. Yawes, aku turun dulu ya, Mbak. Monggo. Assalamualaikum."
trail rider itu pamit.
"Wa'alaikumsalam."
jawabku dan Thata bersamaan.
"Bener
kata pean. Mereka ramah-ramah." komentar Thata.
Aku tersenyum.
"Andai tadi Lexi ya."
"Hadeh!!!
Lexi lagi."
"Hahaha."
"Udah
puas? Balik sekarang a?"
"Ok!"
Kami pun
bersiap turun. Di jalan ketemu lagi sama trail rider yang pamit tadi. Kami duluan.
Trus beliaunya duluan lagi.
Kalau pas
naiknya Thata yang tegang dan aku cengingas-cengingis. Pas turunnya gantian.
Thata yang hepi, aku tegang sampai kakiku sakit. Saking tegangnya, aku pegang
erat pundak Thata sampai dia mengeluh kesakitan. Heuheuheu... Maafin aku ya,
Dek. Suer pas turun itu aku tegang.
Mesin
motor dimatiin sama Thata. Kalau jalan menurunnya agak curem (?) gitu. Berasa kayak
terbang. Seru seru serem.
Pas jalan
menanjak motor kan mesinnya mati. Jadi, berhenti sebentar buat nyalain
mesinnya. Ada satu motor, Win, yang barengan kami. Ikutan berhenti. Mungkin
dikira motor kami macet apa gimana gitu ya. Kalau mogok kasian gitu kali ya.
Yang bawa motor dua cewek soalnya. Kami dikasih jalan, lalu kami duluan.
Alhamdulillah
perjalanan lancar. Mampir di rest area Gubugklakah buat pipis doang. Soalnya
ciloknya nggak ada. Thata tuh yang nyari cilok.
Dari rest
area, ke Nusa Pelangi. Beli susu segar. Ada es krimnya juga lho sekarang di
sana.
Turun. Makan
siang di Kedai Mie Cetar.
Well,
itulah cerita hari Minggu si Kurayui. Hehehe. Makasih Thata. Kapan-kapan lagi
ya. Aku juga pengen naik ngajak Jagiya. Kasian hari Minggu kemarin dia aku selingkuhin.
Hiks! Maaf ya, Jagiya.
Maaf jika
ada salah kata. Terima kasih.
Tempurung
kura-kura, 20 Maret 2017.
.shytUrtle.
.