My
Curious Way: [271120] Road To Coban Jahe
Perjalanan hari ini tuh bukan touring, tapi adventure. Subhanallah. Alhamdulillah selamat dari berangkat hingga pulang.
Sebenarnya jadwal hari ini adalah naik ke Coban Pelangi. Nggak hanya berhenti di depan pintu masuk, tapi rencananya turun sampai ke Coban Pelangi. Tapi, di hari... apa ya. Lupa aku tepatnya. Dapat info tentang Coban Jahe. Katanya jalan ke Coban Jahe udah bagus sekarang. Udah rame juga. Bahkan, katanya ada tubing juga di sana.
Ok. Rencana ke Coban Pelangi dibatalin dan diganti ke Coban Jahe. Patner udah setuju.
Sebagai persiapan, kemarin aku bawa Jagiya ke dukunnya di bengkel. Maklum Jagiya sempet ngadat nggak mau hidup pas tanggal 18 Nopember lalu. Jadi, kemarin diselakne bawa Jagiya ke bengkel.
Sepulang dari servisin Jagiya, mampir ke Embung. Sekalian nyoba motor yang habis diservis. Hehehe. Tadinya mau ke Sumber Ringin juga. Tapi ruame. Ada banyak anak sekolah. Jadi keinget zaman SMA dulu. Heuheuheu.
Kolam Pemancingan Embung Malangsuko
Aku bersyukur karena cuaca pagi ini cerah. Pukul delapan tepat, kami memulai perjalanan menuju Coban Jahe. Dua motor, empat orang, satu anak-anak. Nggak ada yang tahu jalan ke Coban Jahe. Aku yang diandalkan sebagai penunjuk jalan pun nggak tahu. Hahaha. Payah.
Zaman SMA dulu pernah ke Coban Jahe. Tapi kan diklat PMR. Jadi nggak lewat jalan utama. Hiking. Jalan kaki dari SMANETA. Jangan tanya seberapa jauhnya. Jauh banget. Lewat perkampungan, sawah, kebon tebu, sungai. Zaman SMA itu kapan? Tahun... berapa ya? Kira-kira lima belas tahun yang lalu. Tentu saja tidak bisa mengingat dengan jelas kenangan lima belas tahun yang lalu. Dan pastinya sudah sangat banyak sekali perubahan yang terjadi.
Berbekal informasi yang minim, kami pun berangkat. Nanti di jalan pasti nemu petunjuk arah. Kalau nggak, ya nanya.
Lewat Kenongo (tapi nggak mampir ke rumah Jeffin. Ssh!!!) Terus naik. Aku nggak lihat ada petunjuk arah. Pas Mbak Maimun bertanya ke orang di bengkel, baru ketemu petunjuk arahnya. Kata masnya di masjid belok. Ok, kami lanjut.
Nyampek masjid emang ada gang, tapi masnya bilang belok kiri. Hello! Itu kiri sawah. Adanya belok kanan. Daripada nyasar, Mbak Maimun turun. Nyari mangsa lagi buat ditanya-tanya. Ketemu ibu-ibu. Kata ibunya masih terus. Nanti kalau ada bensin (?), pertigaan belok kanan.
Ok! Lanjut. Ada pertigaan, tapi nggak ada bensin. Lanjut. Ketemu petunjuk arah. Bener kata ibunya. Pertigaan belok kanan. Hurray!!! Tapi, ini masih jauh dari lokasi Coban Jahe.
Lanjut. Ketemu pertigaan lagi. Belok kanan. Sampai di kampung itu aku heran. Banyak seragam tentara dijemur. Banyak tentara lagi semacam apa ya kerja bakti atau apalah gitu di sebuah rumah besar.
Lanjut. Jalannya udah aspal. Ok. Informasinya benar. Jalan menuju Coban Jahe sudah bagus. Lanjut! Ketemu pertigaan lagi. Ada petunjuk arah. Belok kanan. Tulisannya Desa Taji, Coban Jahe, Coban Siak. Coban Siak? Wow! Ada coban baru lagi? Bolehlah nanti sekalian mampir.
Jalannya makin sempit, tapi masih aspal. Lalu sampailah kami di sebuah gapura. Kalau ke Coban Jahe lurus. Kalau belok kanan ke Coban Siak.
Di sini keberanian kami mulai diuji. Bagi orang normal sih ok aja. Tapi buat aku yang punya anxie, udah pasti keberaniannya diuji. Jalannya bukan aspal lagi, tapi tanah. Ok! Ini mengingatkanku pada jalur menuju Ledok Amprong minggu lalu. Tapi, aku bilang lebih baik jalur ini. Ya, sampai di titik itu aku bilang lebih baik jalur ini.
Seingatku jalan tanah ini dulu nggak ada. Atau ada tapi nggak selebar ini. Jalan tanah, berbatu, dan habis diguyur hujan mungkin kemarin. Bisa bayangin gimana kondisinya? COOL! Dan aku masih bisa pegang kendali. Hurray!!!
Makin naik jalannya makin aje gile. Tapi, aku masih bisa bawa Mbak Maimun dalam boncenganku. Naik terus naik. Ketemu truk milik orang yang lagi panen singkong. Seingatku jalan ke Coban Jahe emang full kebun singkong.
Lanjut. Ketemu jalan cor. Alhamdulillah. Mungkin makin ke atas udah dicor begini. Tapi, yang ada cornya rusak dan batu-batu lagi. Setelah jalan menanjak, kami sampai di Taman Makam Pahlawan. Makamnya udah berubah. Udah dibangun bagus. Dulu, lima belas tahun yang lalu cuman di pagari bambu aja. Sekarang udah di pagar tembok dan bagus. Tapi, pohon beringin besar yang menaungi makam udah nggak ada. Nyisa satu aja pohon beringinnya.
Makam Pahlawan
Jalan dari makam buat naik ke Coban Jahe bukan jalan setapak lagi. Tapi, udah lebar. Mobil pun bisa masuk sana. Ok, lanjut. Keberanian makin diuji karena jalannya makin licin. Tapi, masih bisa bawa Mbak Maimun dalam boncengan. Sampai di jalan berbatu dan menanjak. Aku ndak berani kalau harus bawa Mbak Maimun dalam boncengan. Akhirnya Mbak Maimun turun dan aku bawa motor sendiri naik. Alhamdulillah bisa. Sampai atas nungguin motor satunya. Agak susah naiknya karena matic. Bolak-balik nyantol katanya. Alhamdulillah bisa juga melewati rintangan berat pertama.
Berhenti lagi sejenak. Ambil napas. Minum air putih. Sambil menatap medan yang rimbun. Hutan. Mikir lanjut apa nggak. Tapi, akhirnya lanjut. Jalannya makin sempit. Yang dibonceng harus turun lagi karena jalan menanjak, berbatu dan licin. Sampai atas, ketemu jalan tanah yang licin lagi. Oh my God! Kami berhenti. Nunggu yang jalan.
Karena kaca helm-ku bolak-balik melorot dan kalau melorot bikin aku jadi nggak nyaman nyetir di medan yang sulit, helm aku lepas dan dibawa Mbak Maimun. Padahal Mbak Maimun udah bawa tas ranselku juga. Beneran hiking deh itu Mbak Maimun. Hehehe.
Saking nguji keberanian banget medannya, Mbak Maimun sampai lupa nggak ambil foto rute jalan. Lanjut! Sedikit lagi. Jalannya tanah dan tetep licin. Tapi aku udah minta Mbak Maimun naik ke boncengan lagi. Awalnya lancar. Sampai di jalan menanjak dan aku salah milih jalan. Ban motor nyleyot, motor roboh. Untung Mbak Maimun langsung melompat turun. Aku pun nggak sampai jatuh. Susah payah menahan motor, lalu mengangkatnya. Fiuh!!!
Jalan yang bikin Jagiya Roboh
Ini yang udah biasa ke sini aja kesulitan. Apalagi daku (TT.TT)
Kami berhenti di persimpangan itu. Ada petunjuk arah. Ke Coban Jahe masih kurang turun. Kira-kira 3 km. Satu motor di depan kami turun lebih dulu. Yang dibonceng jalan kaki. Ridernya turun sendiri, bawa motor. Aku masih menepi di puncak jalan menanjak. Berdiri di dekat motor, minum air putih lalu atur napas. Yang lain pada rembukan untuk lanjut turun apa balik jalan.
Lalu ada seorang bikers naik. Kami tanya apa masih kurang jauh. Kata masnya udah dekat. Kami tanya apa jalurnya licin. Kata masnya nggak terlalu, lanjut aja tapi mending yang dibonceng jalan kaki soalnya jalannya menurun. Aku nanya apa ada parkirnya. Kata masnya ada lahan kosong yang bisa buat parkir. Masnya nungguin temennya yang ternyata seorang cewek. Aku pun SKSD nanya mbaknya.
"Udah dari bawah, Mbak?" tanyaku.
"Iya." jawab mbaknya. Napasnya ngos-ngosan.
"Bagus nggak dibawah?"
"Kecewa aku. Jelek. Sepi pula."
"Masak sih jelek?"
"Itu lho, banjir. Kan musim hujan." sahut masnya.
Lalu mas sama mbaknya pamit pulang duluan. Kami saling melempar pandangan. Milih antara lanjut atau tidak. Lalu akhirnya kami memutuskan balik kucing alias balik dalan. Nggak jadi turun ke cobannya.
Turun lebih sulit daripada naik. Atur napas lagi. Bismillah. Yang dibonceng tetep jalan kaki. Alhamdulillah bisa melewati jalan yang bikin motorku roboh dengan selamat. Sempet kesulitan di jalan berbatu. Alhamdulillah bisa lewat juga dengan selamat.
Turun-turun!
Aku ralat! Medannya lebih sulit ke Coban Jahe daripada ke Ledok Amprong. Huft! The real adventure! Dua botol air mineral ukuran tanggung habis ku teguk. Hahaha.
Aku mengalami kayak di video trail yang biasa aku tonton di Youtube. Kata Mbak Maimun, "Hari ini kamu ngalamin kayak apa yang biasa dilakuin Lexi, U!"
Yew! Jangan bikin aku kegerean. Hahaha. Dasarnya emang suka adventure. Cuman kalau dulu naik sepeda gunung atau jalan kaki (hiking). Sekarang sama Jagiya. Kalau buat anak trail, jalur ke Coban Jahe mah biasa aja. Buatku? Aje gile! Mantab!
Karena menghabiskan dua botol air mineral ukuran tanggung, aku pun beser. Hiks! Untung di jalur yang kami lewati ada SPBU. Jadilah mampir ke sana.
View di jalan menuju Coban Jahe
Panen Singkong
Perjalanan dilanjutkan menuju Coban Pelangi. Karena lihat jam kayaknya masih nutut. Nggak kekejar hujan. Maklum kalau udah di atas jam dua belas nggak berani lanjut. Khawatir hujan. Di tengah jalan kebelet pipis lagi. Ngebut naik, lalu berhenti di rest area. Parkirin motor langsung lari ke toilet. Ngaso di rest area sebentar. Mau naik lanjut ke Coban Pelangi, mendung sudah menggantung. Jadi, kami memutuskan balik turun lagi. Pulang.
Rest Area Gubugklakah
Di tengah perjalanan pulang kebelet pipis lagi. Huft! Mampir lagi ke SPBU. Trus makan siang di Bakso Dumpul. Lalu pulang dengan sedikit rasa sesal karena belum berhasil turun ke Coban Jahe.
Kata Tunjung, "Kamu belum boleh aja ke sana. Belum dikasih izin. Kapan-kapan inshaa ALLOH bisa kok turun. Ambil hikmahnya aja dari perjalanan kemarin."
Aku jadi mikir. Apa itu ada hubungannya sama peristiwa lima belas tahun yang lalu?
Jadi, gini ceritanya. Lima belas tahun yang lalu, hiking dalam rangka diklat PMR berakhir di Coban Jahe. Sesampainya di Coban Jahe, kami kembali digojlok. Kami harus gandengan tangan dan berjalan mendekati coban. Aku males kalau harus basah-basah. Jadi, aku pura- pura sakit. Pura-pura nggak tahan dingin. Sementara teman-temanku berbasah-basah ria di bawah air terjun, aku duduk manis di atas batu di pinggir sungai menonton mereka.
Saat tengah asik menonton teman-temanku yang sedang bergandengan tangan dekat di bawah air terjun, tubuhku tiba-tiba kedinginan. Padahal aku memakai celana training panjang, kaos, flanel, sepatu, dan kaos kaki. Makin lama makin menggigil. Aku pun memanggil kakak senior untuk minta bantuan. Waktu itu Mbak Iza yang nolongin. Tanganku dibalur minyak kayu putih, aku dipeluk. Tapi, aku masih kedinginan. Salah satu kakak alumni langsung melepas jaketnya dan menyelimutkannya padaku. Aku masih dipeluk sama Mbak Iza, tapi aku masih menggigil kedinginan.
Sadar aku salah, aku langsung membatin. Minta maaf karena sudah pura-pura sakit dan kedinginan. Aku terus nyambat dan minta maaf. Alhamdulillah perlahan badanku mulai terasa hangat. Ketika Mbak Iza melepas pelukannya, aku sudah tidak kedinginan lagi. Kapok aku. Tempatnya masih wingit ternyata. Setelah peristiwa itu aku nggak berani macem-macem lagi di tempat-tempat yang masih wingit.
Tapi, kata Tunjung tidak ada hubungannya sama peristiwa itu. Hanya saja aku memang belum boleh ke sana.
Kalau dipikir ulang, emang eman banget. Itu lokasi coban sudah di depan mata, tapi kami malah milih balik. Jika dibanding sama perjuangan sampai motor roboh mah rugi banget.
Tapi, siapa bisa menolak takdir? Takdir kami kemarin sudah tertulis seperti itu. Sekuat apapun berusaha menolak tak akan bisa.
Ya, benar kata Tunjung. Ambil hikmahnya saja. Next time kalau udah nggak musim hujan, dibaleni maneh. Sekalian mampir ke Coban Siak. Aku googling bagus banget view-nya. Heuheuheu.
Kata Mbak Maimun, "Gini ini naik motor trail enak ya." Banget! Andai daku bisa motor koplingan. Udah daku ajak nyewa motor trail dan adventure tiap hari Minggu. Hahaha. Tapi, jujur ya. Daku takut naik motor trail. Heuheuheu.
Kemarin ada yang memuji kemampuan daku nyetir. Katanya "lanyah". Makasih. Hehehe. Lanyah karena itu Jagiya. Kalau bukan Jagiya dan medannya kayak gitu, nggak tahu dah gimana jadinya. Kalau Jagiya kan udah soulmate. Jadi udah paham cirinya.
Sepanjang perjalanan dikhawatirin anxie kambuh. Alhamdulillah nggak kambuh sama sekali itu anxie. Tapi, pas Jagiya habis roboh, katanya mukaku pucet. Dasarnya emang pucet, tapi itu kelihatan lebih pucet lagi. Kaget sih ada pas Jagiya tiba-tiba roboh. Tapi, nggak berlebihan. Terlebih setelah aku tanya Mbak Maimun baik-baik saja, aku lega. Dia langsung mencolot turun pas Jagiya roboh. Sigap ya. Hahaha. Mungkin reaksi alami tubuh kali ya. Kaget jadinya pucet. Capek juga. Bener-bener menguras tenaga. Untung sarapannya makan besar, bukan sarapan buah. Hihihi.
Menurut informasi dari Nurse Yulia dan Nurse Nila. Di bawah sana, di lokasi Coban Jahe udah ada fasilitas parkir, toilet, dan tubing. Yap! Tubingnya memang ada. Menurut informasi dari Jeffin dan Bu Ellys, harga tiket masuk Rp. 5.000,- Kalau untuk tubing Bu Ellys bilang tarifnya Rp. 50.000,- Kalau menurut Nurse Nila tarif tubingnya Rp. 75.000,-
Mungkin kayak di Ledok Amprong gitu kali ya. Tergantung trip yang dipilih.
Tadi ketemu sama Bidan Desa Wonorejo juga. Katanya kemarin beliau papasan sama aku di jalan. Setelah diingat-ingat ternyata mobil APV yang ngedim-ngedim itulah mobil beliau. Maafkan daku yang tidak tanggap Ibu. Kata beliau, di bawah bagus. Jalan kakinya nggak jauh. Fasilitas main-main buat anak-anak juga memuaskan. Airnya bening, nggak butek. Bisa naik kuda juga. Pas kami naik emang ketemu dua orang lelaki naik kuda. Yang punya kuda gitu kali.
Pelajaran yang bisa dipetik dari peristiwa kemarin adalah jangan mudah percaya sama penilaian orang lain. Karena, cara pandang masing-masing orang beda. Contohnya, si Nbak Biker bilang kecewa, jelek, sepi. Tapi, Ibu Bidan bilang di bawah view-nya bagus, ramai pengunjung, fasilitas juga memadai. Jadi, lain kali langsung terjun ke lokasi langsung aja. Biar tahu faktanya gimana.
Well, today my body is rencem kabeh. Hehehe. Efek adventure kemarin. But, I'm happy and I feel great cuz udah berani ambil tindakan untuk mengalahkan ketakutan. Alhamdulillah. Subhanallah. ALLOH lah yang menguatkanku.
Lagi-lagi dibuat terkesima sama indahnya lukisan-Nya. Seniman paling hebat yang tiada tandingannya. Next time I'll go there again. Bismillah. Semoga bisa. Aamiin.
Terima kasih untuk kelancaran perjalanan kemarin Tuhan. Kejutan yang Engkau berikan sungguh luar biasa.
Tempurung
kura-kura, 28 Nopember 2016.
.shytUrtle.