Hikmah Usus Buntu
07:03
Hikmah
Usus Buntu
“Semoga
dengan di potongnya usus buntu ini, semua ikut terbuang. Hal-hal buruk terbuang
dan semua masalah terselesaikan. Bismillahirohmanirohim. InsyaAlloh semua
lancar adikku.”
***
Bejat! Kata
itulah yang pantas bagi diriku yang dulu. Merokok, mencoba berbagai macam
minuman keras, mengkonsumsi NARKOBA, semua aku lakoni hampir di separuh usia
mudaku. Salah pergaulan? Tidak. Itu semua jalan yang aku pilih, jalan yang aku
mau. Aku memilih jalan itu sebagai pelarian. Pelampiasan atas rasa tidak puas
dan kesalku pada kenyataan hidupku. Hidup dalam keluarga sederhana yang cukup,
namun selalu diabaikan, di nomerduakan, di banding-bandingkan dengan adik
lelakiku. Ibu yang begitu membedakan aku dan adikku. Lebih menyanyangi adikku
daripada aku. Adikku yang selalu mendapatkan apa yang ia mau dengan mudah dan
aku yang harus selalu mengalah untuknya. Itu semua menyakitkan.
Tak hanya
kenyataan di dalam keluarga mungilku, juga tentang makian orang-orang yang
sering membeberkan masa lalu bapakku yang bejat kepadaku. Secara langsung.
Tanpa ditutupi sedikitpun. Kenyataan pahit yang membuatku memilih jalan hitam
itu. Diam-diam, sembunyi dibalik senyum patuhku kepada kedua orang tuaku.
***
Bapakku seorang
mantan preman. Walau telah berkeluarga dan memiliki dua anak, beberapa kebiasan
buruk bapak masih sering ia lakoni. Walau bapak nggak suka mabuk-mabukan lagi
bersama teman-teman edannya, bapak masih sering main judi. Walau bukan judi
besar, hanya judi kecil bersama teman sejawatnya. Bukan itu yang membuatku
kesal. Mau judi mau mabuk-mabukan itu terserah bapak. Sebenarnya aku benar tak
peduli. Tetapi kesalku memuncak karena hampir tiap hari rumah mungil kami
dijadikan markas judi bagi bapak dan teman-teman sejawatnya.
Hampir setiap
hari, setiap aku pulang dari sekolah, aku menemukan rumah mungil kami dalam
keadaan kotor. Pengab dan bau asap rokok juga putung rokok yang berserakan di
lantai adalah peninggalan rutin bapak dan teman-temannya usai main kartu,
berjudi bersama di rumah mungil kami. Tak jarang bapak dan teman-temannya masih
asik main kartu, berjudi ketika aku sampai di rumah. Bapak tak pernah peduli
dengan perasaanku. Bahkan ketika aku pulang bersama teman-temanku untuk belajar
kelompok, bapak pun tetap bersikap acuh.
Jika aku
menegur, pasti bentakan yang aku dapatkan. Ibu memilih diam karena alasan yang
sama. Jika diingatkan bapak pasti marah. Pada akhirnya kami hanya bisa diam,
menerima saja keadaan rumah mungil kami dijadikan markas judi bagi bapak dan
teman-teman kerjanya.
Tak hanya
kebiasaan berjudi yang masih dibawa bapak ke dalam rumah mungil kami. Bapak
yang seorang perokok berat sama sekali tak memiliki toleransi dan rasa
menghargai kami, istri dan anak-anaknya yang tak merokok. Rumah mungil kami
selalu dipenuhi asap rokok lengkap dengan bau khasnya. Bapak merokok di mana
saja dia suka di dalam rumah mungil kami. Tak peduli saat kami nonton TV
bersama bahkan saat makan bersama pun demikian. Seolah tak sedetikpun bapak
terlepas dari batang rokok di jarinya. Terkadang dadaku sesak dan sakit karena
terlalu banyak menghirup asap rokok yang terus mengepul dari batang demi batang
rokok yang bapak hirup. Dan lagi-lagi kami hanya bisa diam karena bapak akan
marah jika kami menegurnya.
Suatu ketika
aku mendengar obrolan seorang Dokter. Beliau mengatakan jika perokok pasif itu
lebih berbahaya daripada perokok aktif. Perokok pasif memiliki resiko lebih
banyak terserang berbagai macam penyakit akibat terlalu banyak menghirup asap
rokok. Hal itu membuatku tak berpikir panjang dan dari penemuan inilah kebejatanku
dimulai.
***
“Jika jadi perokok pasif itu
lebih berbahaya, kenapa aku tak menjadi perokok aktif saja? Bukankah itu lebih
baik daripada menjadi perokok pasif?”
Entah dari mana pemikiran konyol
itu. Bukannya menolak pemikiran konyol itu, aku malah menurutinya. Saat itu aku
baru naik ke kelas III SMA dan itulah pertama kali aku mulai mencoba merokok.
Walau tak begitu sering, aku mulai menjadi perokok aktif secara
sembunyi-sembunyi dari orang tuaku. Uang jajanku lebih sering aku habiskan
untuk membeli rokok selama masa sekolahku di SMA.
Lulus SMA aku hidup terpisah dari
orang tuaku. Aku kos di kota agar lebih dekat dengan kampus tempatku kuliah
melanjutkan pendidikanku. Kegilaanku semakin menjadi selama aku kuliah dan
hidup terpisah dari orang tuaku. Pergaulanku semakin luas di kota. Aku mulai
mengenal dunia malam, mulai berani coba-coba mengkonsumsi obat-obatan terlarang
dan mencoba berbagai macam minuman keras. Rasa penasaranku mendorongku untuk
mencoba barang-barang haram yang memberikan kenikmatan sesaat itu. Aku
menemukan dunia baru yang penuh kenikmatan bersama rokok dan NARKOBA.
Kenikmatan yang sejenak meembawaku lupa pada kenyataan hidupku yang
menyakitkan. Karena kegemaranku ini sering kali aku menghabiskan jatah uang
jajanku untuk membeli NARKOBA. Jika kehabisan uang jajan, aku pun menjual
beras, mie instan dan telur yang dikirim ibu sebagai bahan makananku di kosan.
Tak apa aku tak makan asal aku bisa ngrokok dan seneng-seneng. Begitu prinsipku
kala itu. Ibu sedikit sulit jika dimintai tambahan uang jajan, tapi ibu tak
pernah perhitungan soal bahan makanan. Jika aku katakana beras dan bahan
lainnya habis, dengan segera ibu akan mengirimkan bahan makanan baru untukku.
Dan aku memanfaatkan hal itu sebagai jalan lain untuk mendapatkan tambahan uang
untuk bersenang-senang.
Memasuki dunia kerja semakin
mudah aku mendapatkan semua kenikmatan itu. Hidup terpisah dari orang tua, bisa
menghasilkan uang sendiri yang bisa denga bebas aku gunakan untuk membeli apa
saja yang aku mau. Inilah kebebasan yang selama ini aku impikan. Aku tak perlu
pusing atau sakit hati lagi melihat bagaimana ibu tak adil membagi kasih
sayangnya untukku dan adikku. Dengan uang yang aku hasilkan dari kerja kerasku,
aku bisa membeli apa saja yang aku mau termasuk NARKOBA yang telah menjadi
teman akrabku selama setahun aku kuliah. Kebrutalanku dalam mencoba-coba
NARKOBA semakin menjadi ketika aku sudah bekerja. Tak hanya obat-obatan
terlarang kelas bawah yang aku cicipi, Putaw yang kala itu dikenal sebagai
primadonanya NARKOBA karena harganya yang sangat mahal pun aku pernah
mencobanya.
Kerja keras dan bersenang-senang
begitulah aku mengisi hari-hariku. Dugem, clubbing, nge-drugs semua aku lakoni.
Tapi satu hal yang masih aku jaga. Aku menarik diri dari gaya hidup seks bebas
walau sebagian besar teman-teman edanku telah melakoni hal itu. Seks bukanlah
hal yang menarik bagiku. Karena tidak ketertarikanku pada seks bebas dan
kedekatanku dengan seorang teman wanitaku yang dinilai tak wajar, kami pun
disebut pasangan lesbian Bandar NARKOBA. Begitulah kami dikenal di lingkungan
kerja. Kami cukup disegani di lingkungan kerja dan kos tempat kami tinggal
karena pamor lesbian dan Bandar NARKOBA itu.
***
Bertahun-tahun menjalani hidup
seperti itu aku pun mulai bosan. Aku mulai muak dengan diriku sendiri. Lelah
dengan semua yang aku jalani. Aku rindu pada hidupku yang sehat seperti sebelum
aku mengenal rokok dan NARKOBA. Aku pun memutuskan pisah dari teman dekat
wanita yang sering dikatakan sebagai pasangan lesbianku. Walau ia sempat
menolak keputusanku, namun akhirnya ia memutuskan pergi dari tempat kos kami.
Aku mulai menata hidupku kembali dan kebetulan tetangga kosku, Mas Dikin dan
istrinya mendukung keinginanku untuk kembali hidup bersih dan normal seperti
dahulu.
Mas Dikin adalah sosok yang religious.
Dia sangat bijaksana dan sabar membantuku, membimbingku untuk kembali hidup
normal. Aku merasa beruntung bertemu Mas Dikin dan istrinya yang menganggapku
seperti adik kandung mereka sendiri. Aku menemukan sosok kakak yang penyayang
dan sosok ayah yang melindungi dalam diri Mas Dikin dan menemukan sosok ibu
yang perhatian dan penuh kasih sayang pada istri Mas Dikin. Berkat dukungan
keduanya aku mulai meninggalkan dunia malam, minuman keras dan NARKOBA walau
aku masih belum bisa lepas dari rokok.
Pelan-pelan aku pasti bisa lepas
dari rokok sebagaimana aku bisa lepas dari minuman keras dan NARKOBA. Aku terus
meyakinkan diriku sendiri dan terus berusaha mengurangi konsumsiku pada rokok.
***
Suatu malam ketika seluruh
penghuni kos pulang kampung, aku mengalami kesakitan luar biasa. Sakit yang
jauh lebih sakit dari nyeri haid yang sering aku rasakan setiap bulan. Tubuhku
menggigil luar biasa. Demam hebat yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
Perut bagian kanan bawah kram hingga merambat ke kaki yang turut merasa kaku.
Aku tak berani menelfon ibu. Aku takut ibu jadi khawatir. Aku memilih bertahan
dan mengobati sakit yang luar biasa itu dengan obat penghilang rasa sakit yang
selalu aku sediakan di kamar kos.
Hingga pagi tiba, sakitku tak
kunjung reda. Aku tak mampu lagi menahannya. Aku memilih pulang. Bertahan
mengalahkan rasa sakit untuk pulang. Alhamdulillah aku sampai di rumah dengan
selamat setelah menempuh perjalanan selama tiga jam.
Melihat kondisiku yang tak
kunjung membaik, ibu membawaku ke Dokter. Barulah penyakitku terdeteksi. Aku
menderita radang usus buntu akut. Menurut Dokter kondisiku cukup parah. Usus
buntuku telah bengkak dan akan fatal akibatnya jika sampai pecah. Aku harus
segera dioperasi.
Tak mau mengambil resiko, malam
itu juga ibu membawaku ke rumah sakit umum untuk operasi. Agar mendapat
penanganan cepat, aku sengaja diajak berangkat malam itu e UGD. Aku pasrah. Tak
terlintas sebelumnya aku akan mengalami penyakit separah ini bahkan harus
sampai menjalani operasi. Ya Alloh, apakah ini karma yang harus aku tebus atas
semua kebejatanku?
Berada sendirian di ruang UGD
untuk menunggu giliran operasi membuatku teringat akan semua dosa dari
kebejatanku. Ada rasa sesal. Bagaimana jika ini akhir dari hidupku? Aku hanya
bisa pasrah. Jika benar ini akhir hidupku, aku ingin Tuhan memaafkan aku dan
memberiku kesempatan meminta maaf pada ibuku. Jika aku masih diberi kesempatan
hidup, aku janji aku kan berubah.
Di tengah kegundahanku itu ibu
masuk menemuiku. Ibu menunjukan SMS yang dikirim Mas Dikin untukku. Dalam
perjalanan ke rumah sakit aku sengaja mengirim SMS pada Mas Dikin. Meminta
bantuan do’a agar operasiku lancar.
“Semoga
dengan di potongnya usus buntu ini, semua ikut terbuang. Hal-hal buruk terbuang
dan semua masalah terselesaikan. Bismillahirohmanirohim. InsyaAlloh semua
lancar adikku.”
Aku terharu membaca SMS Mas Dikin
sekaligus mendapat suntikan keberanian untuk menghadapi operasi itu. Aku sempat
menggenggam tangan ibu dan meminta maaf. Air mataku runtuh ketika ibu mengelus
lembut kepalaku dan membisikan bahwa semua pasti baik-baik saja dan aku pasti
sembuh. Aku merasa lega dan tenang sesudahnya. Aku pasrah ya Alloh…
Pukul 01.00 dinihari aku
menjalani operasi usus buntu. Satu memori yang masih hangat dalam ingatanku
hingga kini. Momen di mana aku masih terkapar lemah setengah sadar usai
menjalani operasi. Aku kedinginan. Mataku tak bisa terbuka, namun aku bisa
mendengar semua yang ada di sekitarku. Aku bisa mendengar rintihan dan jeritan
kesakitan orang-orang di sekitarku. Aku sendiri merasakan sakit, namun tak bisa
berkata apa-apa. Dalam hati aku menjerit, bawa aku keluar dari sini ibu. Aku
tak tahan dengan suara rintihan kesakitan itu. Ya Alloh… bawa ibuku kemari.
Katakan pada ibu aku ingin keluar dari tempat ini.
Tiba-tiba aku mendengar suara
pintu terbuka. Aku merasakan ranjang tempatku berbaring bergerak. Aku di bawa
ke ruangan yang lebih tenang, tak ada suara rintihan tapi aku masih merasa
kedinginan karena AC yang menyala. Tak lama kemudian aku kembali mendengar
suara pintu terbuka. Ada angin hangat masuk seiring dengan terbukanya pintu.
Ibu masuk dan mengecup lembut keningku. Seketika itu tubuhku terasa hangat dari
puncak kepala hingga ke ujung kaki. Air mataku pun kembali meleleh.
“Sudah jangan menangis. Semua
sudah selesai. Sebentar lagi kita keluar dari sini,” bisik ibu seraya mengusap
air mata yang meleleh di pipiku.
***
Alhamdulillah operasiku berjalan
lancar. Perlahan aku pun mulai pulih dan sepenuhnya sembuh. Sebulan kemudian
aku mengakui semua kebejatanku di depan ibu. Aku lega bisa mengungkap semua
kepada ibu. Menangis dalam pangkuannya dan memohon ampunannya. Ibu yang
sebenarnya telah meraba perubahanku sejak aku lulus kuliah bersedia memaafkan
aku. Ibu memintaku untuk lebih berhati-hati dan perlahan menata ulang langkahku
agar tak lagi terjatuh di lubang yang sama.
Seminggu setelah pengakuan
jujurku pada ibu, aku memotong habis seluruh rambutku. Langkah yang sengaja aku
pilih untuk memulai hidupku yang baru. Perlahan aku pun mulai terbiasa tanpa
rokok dan akhirnya benar-benar meninggalkan rokok.
Setelah perjalanan panjang itu
aku pun bersyukur kini. Aku benar-benar berhenti merokok. Aku terbebas dari
minuman keras dan NARKOBA. Aku pun memilih busana muslim dan berhijab sebagai
penampilanku sehari-hari kini.
Terima kasih ya Alloh karena
telah memberiku kesempatan untuk merasakan bagaimana itu hidup bejat dan terima
kasih paling agung atas indahnya nikmat yang Engkau berikan berupa kesempatan
untuk bertobat.
tempurung
kUra-kUra, 05 Juli 2014
Based on
true story
shytUrtle
0 comments