The Black Bull “Kesenian Bantengan yang Sederhana dan Merakyat”
05:18
The Black Bull “Kesenian
Bantengan yang Sederhana dan Merakyat”
Pria-pria
dengan kostum serba hitam, alunan musik dari tabuhan ‘Jidor’ dan ‘Kendang’ berada
di barisan paling belakang dari arak-arakan yang sedang berjalan keliling
kampung. Para pemain musik menabuh ‘Jidor’ dan ‘Kendang’ menciptakan alunan
musik khas kesenian bantengan. Lima ekor bantengan yang berada di barisan
paling depan menari mengikuti alunan musik. Sesekali mereka berlari mengejar
penonton yang terus bersuit pada mereka. Di sekitar bantengan para pendekar
berulang-ulang memainkan ‘Pecut’ di tangan mereka. “Cetar! Cetar!” bunyi dari
‘Pecut’ yang dimainkan para pendekar membuat bantengan menari semakin menjadi,
membuat gerakan berputar-putar. Penonton bersuit semakin antusias mengiringi
permainan pecut para pendekar semakin membakar semangat para bantengan. Mereka
menari dengan membentuk gerakan berputar-putar semakin cepat dan cepat.
Kemudian beberapa roboh, jatuh tersungkur, kalap. Inilah puncak dari
pertunjukan yang paling di tunggu oleh penonton. Penonton bersuit semakin
antusias, suasana semakin riuh ketika beberapa bantengan yang jatuh kembali
bangkit. Mendengar suitan penonton, bantengan yang kalap segera mengejar.
Berlari menuju sumber bunyi suitan berasal. Inilah momen paling seru dari
pertunjukan ini. Kejar-kejaran antara bantengan dan penonton. Penonton yang
bersuit harus berlari secepat mungkin menghindari kejaran bantengan karena akan
sangat berbahaya jika mereka sampai tertangkap bantengan. Bantengan yang kalap
bisa menghajar mereka habis-habisan karena suara suitan yang mereka buat benar
membuat panas tak hanya telinga bantengan namun sekujur tubuhnya yang kerasukan
setan.
Itulah gambaran dari
pertunjukan kesenian bantengan. Kesenian asli kota Malang yang kini semakin di
kenal tak hanya di wilayah Malang Raya sendiri tapi juga Jawa Timur dan
nusantara. Bahkan dikatakan kesenian bantengan ini kini telah mendunia.
Kesenian bantengan merupakan kesenian favorit bagi kebanyakan masyarakat Malang
terutama masyarakat yang hidup di pedesaan. Hampir setiap ada hajatan, kesenian
bantengan selalu di tanggap—digelar- sebagai wujud hiburan tak hanya bagi warga
tapi juga bagi Danyangan atau makhluk astral tertua yang dipercaya ada menjaga
desa. Setiap kali pertunjukan kesenian bantengan digelar, antuiasme para
penonton sungguh luar biasa. Mulai dari anak-anak hingga orang dewasa rela
keluar rumah dan memadati jalan utama untuk menyaksikan pertunjukan kesenian
bantengan.
Kesenian bantengan
adalah kesenian tradisional asli Malang yang boleh dikatakan sederhana. Dalam
setiap kali pertunjukannya hanya dibutuhkan beberapa alat saja. Tak seribet
pertunjukan kesenian Jaran Kepang atau Kuda Lumping yang seringnya digelar
secara bersamaan sebagai satu rangkaian dalam sebuah pergelaran seni di beberapa
kelompok masyarakat Malang Raya. Material utama dari pertunjukan kesenian
bantengan adalah bantengan itu sendiri. Bantengan adalah sebuah alat yang
dibuat menyerupai banteng yang asli. Bantengan terbuat dari kain hitam yang
bertindak sebagai badan banteng. Kain hitam itu menyatu dengan replika kepala
banteng yang dibuat semirip mungkin dengan kepala banteng yang asli. Replika
kepala banteng ini biasanya dibuat dari kayu lengkap dengan dua tanduk khas
banteng yang runcing dan dicat hitam. Kain hitam dan kepala banteng diletakan
diatas sebuah kerangka badan banteng yang terbuat dari bambu. Kerangka ini
memiliki ekor yang menjulang tinggi ke atas. Bantengan dimainkan oleh dua orang
penari bantengan. Penari bagian depan bertindak sebagai penyangga kerangka dan
kepala bantengan. Sedang penari bagian belakang bertindak sebagai badan bagian
belakang yang bergerak mengikuti penari bagian depan. Selain dua penari
bantengan, ada dua orang penari lagi yang bertugas memegangi tali yang terikat
di bagian depan tepat di kanan dan kiri. Dua pemegang tali ini bertugas sebagai
pengendali bantengan agar tak benar-benar lepas mengejar para penonton yang
bersuit ketika mereka kalap atau kesurupan.
Material kedua dalam
pertunjukan kesenian bantengan adalah alat musik berupa ‘Jidor’ dan ‘Kendang’.
Dua alat musik ini dimainkan dan melantunkan lagu khas kesenian bantengan.
Alunan nada tersebut hanya akan ditemukan dalam pertunjukan kesenian bantengan.
Jidor adalah sebuah gendang besar yang menciptakan bunyi bass, sedang Kendang
adalah kendang yang biasa kita jumpai dalam Gamelan Jawa. Beberapa kelompok
kesenian bantengan juga menambahkan Angklung sebagai pelengkap musik pengiring.
Satu lagi elemen penting
dalam pertunjukan kesenian bantengan yang harus selalu ada dan tak boleh
ditinggalkan adalah Pendekar Bantengan. Pendekar Bantengan adalah sosok
pemimpin dalam satu pertunjukan kesenian bantengan. Pendekar Bantengan bertugas
membuka ritual sebelum pertunjukan kesenian bantengan dimulai. Penampilan
Pendekar Bantengan tak beda jauh dari penari bantengan yang lain. Mereka juga
mengenakan kostum serba hitam dan mengenakan ‘Udeng’ untuk mengikat kepala
mereka. Bedanya para Pendekar Bantengan ini membawa ‘Pecut’—cemeti-. Pendekar
Bantengan tak hanya bertugas memimpin jalannya pertunjukan mereka bertugas
membuat para penari bantengan kalap—kesurupan/kerasukan- sekaligus
menyembuhkannya. Pendekar Bantengan adalah orang-orang yang bisa merapalkan
mantra untuk memanggil makhluk astral yang nantinya akan masuk ke dalam tubuh
para penari bantengan sekaligus menguasai mantra untuk menyembuhkan para penari
bantengan yang kesurupan. Pendekar Bantengan juga bertindak sebagai mediator
bagi para penari bantengan yang kalap untuk berkomunikasi. Hal ini biasanya
terjadi ketika penari bantengan yang kalap meminta sesuatu sebagai sesaji.
Kesenian bantengan biasa
digelar setiap bulan yang disebut dengan istilah Gebyak. Gebyak di tiap wilayah
digelar berbeda-beda namun kebanyakan digelar pada Kamis Kliwon di sore hari
hingga malam hari dilanjutkan dengan pertunjukan kesenian Jaran Kepang—Kuda
Lumping-. Gebyak merupakan ritual wajib yang digelar setiap bulan. Biasanya
Gebyak juga merupakan ajang untuk menguji penari bantengan yang baru bergabung
dalam suatu kelompok seni. Selain itu kesenian bantengan biasa digelar oleh
warga yang memiliki hajatan atau dalam even tertentu yang berhubungan dengan
tanggal Jawa atau hari-hari keramat kalender Jawa.
Seiring perkembangan
zaman, kesenian bantengan tak hanya dipertontonkan pada even-even tertentu yang
berhubungan dengan kalender atau adat Jawa. Dalam karnaval untuk memperingati
kemerdekaan Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah Agustusan, setiap
desa mengirimkan perwakilan kelompok seni bantengan untuk turut meramaikan
karnaval. Dan pada perkembangannya kesenian bantengan tak hanya melulu tentang
penari yang kalap dan melakukan atraksi makan beling atau atraksi berbahaya
lainnya. Kesenian bantengan modern sering kali tak hanya diiringi oleh tabuhan
Jidor dan Kendang. Kerap kali bantengan dipertunjukan dengan diringi musik
modern seperti dangdut koplo atau house music dengan menampilkan gerakan tarian
yang lebih variatif. Bahkan di perkotaan pertunjukan bantengan menampilkan
sebuah cerita yang dimainkan oleh bantengan dan macanan. Bahkan bantengan kini
tak dimainkan oleh laki-laki dewasa saja, anak-anak dan wanita pun banyak
bergabung dalam kesenian bantengan. Tentu saja ukuran dan bentuk bantengan
turut disesuaikan. Untuk penari bantengan wanita misalnya, bantengan dibuat
lebih feminim. Kepala banteng dibuat dengan wajah cantik lengkap dengan
asesoris khas wanita seperti anting-anting yang dipasang di telinga bantengan.
Pemerintah sendiri kini
bertindak lebih terbuka dengan memberikan wadah untuk memajukan kesenian
bantengan. Di Malang sendiri diadakan Festival Bantengan Nusantara yang
melibatkan hampir seluruh kelompok kesenian bantengan dari seluruh desa.
Semakin maju zaman,
anak-anak tak menyebutnya sebagai bantengan lagi. Belakangan anak-anak sering
menyebutnya dengan sebutan “Black Bull”. Well, masa kanak-kanak dulu pun saya tak asing dengan kesenian satu ini.
Ketika bulan Agustus tiba, bisa dibilang ini bulannya bantengan karena akan
banyak sekali kesenian bantengan digelar di masing-masing kampung. Yang paling
seru dari pertunjukan bantengan ini adalah kejar-kejaran antara bantengan dan
penonton yang bersuit. Walau saya perempuan, tapi masa kanak-kanak dulu saya
cukup bandel kalau menonton bantengan. Saya dan Jed juga beberapa teman
perempuan lain kerap kali ikut maju dan menggoda bantengan dengan meniup
lifri—apa yang namanya? Kami menyebutnya lifri atau suitan- karena kami tak
bisa bersuit seperti teman laki-laki kami. Harus berlari kencang agar tak
terkejar bantengan pun kami lakukan, bahkan pernah saya dan Jed sampai
bersembunyi di ‘galengan’ sawah untuk menghindari kejaran bantengan. Untungnya
saya nggak pernah jatuh waktu dikejar bantengan. Hehehe.
Bantengan adalah
kesenian sederhana yang merakyat dan mendunia.
tempurung
kUra-kUra, 06 Juli 2014
shytUrtle
sebuah
catatan yang gagal diikutsertakan dalam sebuah lomba menulis.
0 comments