Nyanyian Hujan di Bulan November

07:01



Nyanyian Hujan di Bulan November

          Pagi ini hujan turun begitu lembut bak butiran salju berwarna putih bersih.  Hawa dingin yang dibawa semlilir angin khas bulan November menyertai senandung nyanyian hujan yang membawa ingatanku kembali padamu. Duduk menikmati pemandangan hujan pagi ini membuat otakku kembali memutar deretan memori tentangmu. Wajah ayumu, senyummu, semangatmu, segala tentang kisahmu yang kini hanya tersisa dalam bingkai kenangan di benakku.

***

            “Yun, Vera pengin ketemu sama kamu,” Ibu mengintip dari balik pintu kamarku.

            Aku mengerutkan dahi. Untuk apa Vera pengin ketemu aku? Batinku.

            “Pagi ini dia dipindahkan ke sini. Di rawat di PUSKESMAS sini.”

            Dipindahkan ke sini…? Apa mereka bercanda…? Lelucon apa ini? Memindahkan seorang pasien kanker ke PUSKESMAS kecil seperti ini. Peralatannya saja masih sangat tak memadai. Aku masih bergumam dalam hati.

            “Kok malah dipindahin ke sini sih, Bu’? Bukannya ibu cerita kapan hari kalau Vera udah nggak bisa ngapa-ngapain lagi? Trus kok malah dirawat di sini?” tanyaku penasaran.

            “Ini permintaan Vera.”

            DEG! Jantungku terasa hampir copot ketika ibu mengatakan ‘ini permintaan Vera’.

            “Sejak siang tadi Vera terus nanyain kamu. Dia pengin ketemu kamu.”

            Aku menengok keluar jendela kamarku. Hujan turun sangat lebat di luar sana. Walau jarak dari rumah ke PUSKESMAS hanya beberapa meter, namun berjalan di bawah hujan lebat ini akan tetap membuatku basah walau aku berpayung.

            “Tunggu hujan reda saja ya,” aku menyanggupi.

            “Baiklah. Kalau begitu aku ke sana dulu. Mengantar makan malam untuk Vera. Vera dirawat di kamar depan paling pojok, nanti kamu nyusul saja ya. Aku nunggu di sana.”

            Aku mengangguk pelan. Mungkin ibu tak sempat melihatnya karena sudah menghilang di balik pintu kamar yang kembali tertutup. Kembali hening di dalam kamarku. Yang terdengar hanyalah pesta pora hujan yang begitu deras membasahi bumi di luar sana.

            Aku terdiam menatap hujan di luar sana dari jendela kamarku. Otakku terus memikirkan tentang keputusan Vera yang minta dipindahkan dan dirawat di PUSKESMAS dekat rumah. Tempat dimana ibuku dan ibu Vera bekerja. Tak mungkin jika Vera tak tahu bagaimana kondisi di PUSKESMAS itu, tapi kenapa ia malah memilih tempat itu? Bukan rumah sakit yang lebih menjamin untuk perawatannya.

***

            Kami—aku dan Vera berteman sejak kami masih kecil. Hal ini lantaran kedua orang tua kami berteman baik. Saat masih kanak-kanak, kami lumayan dekat dan sering menghabiskan waktu bersama. Hampir setiap akhir pekan, Vera sering diajak bekerja oleh ibunya, Budhe Iryani ke PUSKESMAS. Saat itu aku dan keluargaku masih menempati rumah dinas dibagian paling belakang PUSKESMAS. Karena tak ada yang berani tinggal di rumah dinas itu, akhirnya bapakku yang berprofesi sebagai pesuruh di PUSKESMAS ini yang diminta tinggal dan merawat rumah dinas itu. Kondisi inilah yang membuatku tak asing dengan PUSKESMAS beserta para pekerjanya, teman-teman bapak dan ibu.

            Ketika para orang tua sibuk berkutat dengan pekerjaan mereka, kami para anak sibuk mengisi waktu untuk bermain bersama di kebun di samping rumah dinas yang aku tempati bersama keluargaku. Tak hanya aku dan Vera, namun ada beberapa teman lain sesama anak dari pegawai PUSKESMAS. Aku yang paling tua dipercaya untuk menjaga adik-adik yang tak lain adalah anak-anak dari teman-teman ibu dan bapakku, termasuk Vera. Mau tak mau aku harus menemani mereka bermain hingga pekerjaan orang tua mereka selesai.

            Seiring berjalannya waktu, keakraban kami pun terkikis. Semakin usia kami bertambah semakin jarang kami berkumpul. Dari keseluruhan teman-teman masa kecil ini, dengan Vera-lah aku masih sering bertemu. Walau tak ada komunikasi secara khusus, kami biasa meng-update kabar masing-masing melalui ibu kami.

            Semasa SMA hampir setiap jam pulang sekolah aku bertemu Vera di terminal. Namun tak banyak yang kami lakukan. Lebih sering Vera yang setahun lebih muda dariku itu menyapa lebih dulu dengan sapaan biasa, Mbak pulang ya? Seringnya kami hanya saling melempar senyum sebagai simbol kami saling kenal.

            Saat turut rombongan berwisata bersama keluarga besar PUSKESMAS kami pun tak saling berkumpul seperti masa kanak-kanak dulu. Vera tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, supel dan periang. Benar-benar sempurna. Hingga aku merasa tak pantas untuk bersanding bersamanya seperti zaman kanak-kanak dahulu.

***

            Rasa iri itu mungkin wajar bagi siapapun yang melihatnya. Dan sebenarnya aku tak membenci gadis cantik bernama Vera ini. Hanya saja sebagai anak kandung dari kedua orang tuaku ada rasa perih di hati ketika mendengar kedua orang tuaku justeru lebih membanggakan Vera yang cantik ini daripada aku anak kandung mereka sendiri. Benar terasa perih mengiris hati.

            Hanya karena aku menolak keinginan orang tuaku untuk kuliah di Akademi Kebidanan dan lebih memilih memperjuangkan keinginan untuk kuliah di Akademi Pariwisata yang berujung aku tak mendapatkan keduanya sedang Vera berhasil masuk ke sebuah Akademi Kebidanan, kedua orang tuaku menjadi lebih membanggakan Vera daripada aku, anak kandung mereka sendiri.

            Aku memaklumi ini semua sebagai tindakan wajar. Toh selama ini kedua orang tuaku memperlakukan Vera seperti anak sendiri. Namun tetap saja rasa perih itu muncul mengiris-iris hatiku yang telah hancur karena tak mendapatkan impianku untuk kuliah di Akademi Pariwisata.

***

            “Yun, Vera divonis mengidap kanker kelenjar stadium 3,” suatu siang ketika ibu pulang dari bekerja. Raut wajah ibu redup.

            Aku pun terkejut mendengarnya. “Kanker…? Vera masih kuliah kan?”

            “Sebentar lagi wisuda.”

            “Kok bisa nggak ketauan?”

            Bagiku sangatlah tidak mungkin jika Vera tak menyadari keganjilan di dalam tubuhnya sendiri. Terlebih ia kuliah di jurusan kesehatan--kebidanan yang pasti juga mempelajari sedikit banyak tentang penyakit kanker.

            “Sebenarnya sudah lama Vera merasakan ada yang aneh di lehernya, tapi dia takut untuk periksa. Aku yakin saat itu dia sudah meraba sendiri tentang penyakit apa yang diidapnya. Sekarang hanya pengobatan alternatif yang ia jalani. Katanya itu lebih terasa manfaatnya daripada pengobatan secara medis.” Ibu dengan tatapan sendu seolah anaknya sendiri yang sedang sakit parah.

            Aku bungkam. Rasa iba itu muncul. Menyeruak memenuhi seluruh ruang di dadaku. Rasanya sangat tak adil. Kenapa harus Vera yang menderita seperti ini? Dia gadis yang cantik, pandai dan baik, tapi di usia semuda ini harus divonis menderita kanker kelenjar stadium 3.

            Setelah mendengar berita tentang Vera dan penyakit kanker yang ia derita, pernah sekali aku bertemu, bertatap muka dengannya. Pertemuan tak sengaja ketika kami sama-sama menonton lomba gerak jalan yang menjadi agenda tahunan setiap bulan Agustus tiba. Tak ada yang berubah dari Vera. Malah ia semakin ayu dalam penampilan berjilbab. Raut muka Vera tetap saja ceria seperti sebelumnya. Tak menunjukan jika ia sedang berjuang keras melawan kanker yang mulai menggerogoti tubuhnya. Bahkan Vera terlihat sangat sehat secara kasat mata.

***

            Bulan-bulan berikutnya kembali mendengar kisah Vera dari ibu yang hampir setiap pulang bekerja bercerita tentang teman kecilku itu. Vera telah lulus dan menjadi bidan. Ia sudah bekerja di sebuah PUSKESMAS. Di tengah perjuangannya melawan kanker, Vera masih saja bekerja keras tanpa lelah. Ia sama sekali tak mengeluh karena harus menempuh jarak yang jauh dari rumah menuju PUSKESMAS tempat ia bekerja.

            Aku benar-benar salut pada perjuangan dan semangat Vera. Ada rasa iri juga. Iri pada kegigihan Vera yang nyata-nyata sakit namun masih saja penuh semangat berjuang merubah nasibnya agar menjadi lebih baik. Demi mengejar impiannya. Sedang aku yang sehat ini masih sering berkeluh kesah dalam memperjuangkan mimpiku.

            “Vera udah nikah, Yun.” Kata ibu siang itu.

“Nikah…? Subhanallah. Alhamdulillah. Kok aku nggak diundang, Bu?”

“Nikahnya semalam. Memang tak ada pesta. Budhe Iryani hanya mengundang teman-teman di PUSKESMAS dengan alasannya syukuran. Tadi kami rombongan ke sana. Kami sendiri baru tahu itu syukuran pernikahan Vera saat sampai di rumah Budeh Iryani.”

“Vera sehat, Bu?”

“Terlihat lebih segar, nggak kayak waktu ketemu di Kebun Teh pas acara jalan sehat kapan hari itu.”

“Alhamdulillah. Semoga mereka bahagia.”

Subhanallah. Sungguh berita menggembirakan yang aku dengar perihal Vera. Vera menikah. Dalam kondisinya yang semakin menurun, Tuhan menyelipkan kebahagiaan untuk Vera. Keinginannya untuk menikah muda terpenuhi.

***

Cantik, pandai dan baik. Lulus menjadi bidan dan mendapatkan kontrak kerja, lalu keinginan untuk menikah muda pun tercapai. Subhanallah, betapa sempurna hidup Vera. Memiliki suami yang pengertian dan mau menerima Vera apa adanya. Sempurnalah hidup Vera sebagai wanita.

“Yun, Vera pengin hamil.” Sore itu ibu kembali bertutur tentang Vera.

Aku memaklumi keinginan Vera. Pastilah belum merasa sebagai wanita sepenuhnya jika belum merasakan menjadi seorang ibu. “Lalu… apa memungkinkan bagi Vera untuk hamil?”

“Melihat kondisinya yang terus drop, sepertinya nggak mungkin.”

“Nggak stabil lagi kondisi Vera? Trus dia masih maksa bekerja? Budhe Iryani nggak minta Vera istirahat saja atau meminta pindah untuk Vera di PUSKESMAS yang lebih dekat?”

“Udah, Yun. Masih nunggu katanya. Kalau nggak ada rolling bidan, kayaknya susah juga. Kayaknya sangat nggak mungkin bagi Vera buat hamil.”

“Keajaiban Tuhan siapa tahu, Bu. Buktinya Vera bisa bertahan hidup sampai sekarang. Itu mukjizat. Kita doakan yang terbaik aja ya buat Vera.”

Ibu mengangguk pelan.

Semua pasti menginginkan yang terbaik, namun siapa yang kuasa menolak takdir?

***

Satu bulan kemudian aku kembali mendengar berita perkembangan Vera. Bukan kabar baik yang dituturkan ibu, namun sebaliknya. Vera sudah tak bekerja lagi. Tak ada yang bisa ia lakukan kini. Vera hanya bisa terbaring di ranjangnya namun ia menolak dirawat di rumah sakit. Hanya sesekali dibawa ke rumah sakit ketika sesak napasnya kambuh parah. Setelah normal, Vera pun dibawa pulang kembali dan dirawat di rumah.

Pengobatan secara medis sepenuhnya ditinggalkan Vera. Saat ini ia hanya bergantung pada pengobatan alternatif. Hanya itu yang membantunya bertahan hidup selain selang oksigen yang membantunya bernapas.

“Vera pindah ke rumah neneknya. Rumah almarhum papanya.” Ibu bertutur tentang kabar terbaru Vera. “Tinggal di rumahnya yang sekarang terlalu bising menurutnya.”

“Bising…? Bukankah di rumah nenek Vera yang bising..? Di tengah kota gitu.”

“Iya, tapi bagi Vera di sana lebih tenang. Vera pengin di rawat neneknya. Di sana Vera merasa lebih dekat dengan almarhum papanya.”

DEG! Lagi-lagi jantungku berdetub kencang. Seolah hampir terlepas.

“Sore kemarin ia menuturkan jika ia melihat almarhum papanya datang mengunjunginya, tersenyum dan menunggunya di depan pintu kamarnya. Apa ini artinya waktu Vera tak lama lagi Yun?” ibu tertunduk. Menangis.

Aku hanya bisa diam merangkul ibu. Mengusuk lengan ibu. Dalam hati, aku berharap Tuhan memberikan yang terbaik untuk Vera.

***

Hujan di luar sana mulai reda. Menyisakan sedikit gerimis. Aku masih terdiam, duduk menatap keluar jendela kamarku. Baru kemarin ibu bercerita tentang Vera dan pagi ini Vera dipindahkan dari rumah neneknya ke PUSKESMAS di samping rumah.

Aku menghela napas dan bangkit dari dudukku melangkah malas keluar kamar. Aku menyambar handukku bersiap mandi sebelum hawa dingin ini benar-benar mengalahkanku.

“Kamu nggak jenguk Vera dulu?” cegah Mbak Dah yang baru saja memasuki halaman samping rumah.

“Mau mandi dulu, Mbak.”

“Lebih baik jenguk Vera dulu. Ntar mandinya habis jenguk Vera aja. Ibu ada di sana kok.”

Aku diam sejenak lalu kembali menatap Mbak Dah. Tiba-tiba aku merinding. Aku kembali meletakan handukku dan buru-buru menyusul ibu. Menembus hujan gerimis tanpa membawa payung yang ditawarkan Mbak Dah.

“Assalamuallaikum,” salamku saat sampai di depan pintu kamar tempat Vera dirawat.

“Wa’alaikumsalam,” jawab tiga suara secara hampir bersamaan dari dalam ruangan.

Pintu kamar Vera terbuka. Ibu menyambutku. Ada Lek Anti juga di kamar Vera. Budhe Iryani juga turut menyambut.

“Ini lho Yuna,” ibu menuntunku mendekti ranjang Vera.

Astaghfirullahalazim. Kakiku terasa lemas melihat Vera terbaring tak berdaya. Tubuhnya kurus kering dengan selang oksigen di hidungnya. Benar-benar miris melihat Vera seperti ini. Aku menguatkan langkahku mendekati Vera yang menyambutku dengan senyum manisnya dan sapaan riangnya walau agak tak lancar ia bicara. Kami berjabat tangan.

Sungguh tak terbayangkan olehku beginilah kondisi Vera yang sebenarnya. Di hatiku aku berbisik memaki diriku sendiri yang beberapa hari yang lalu benar marah kepada Vera. Aku marah karena ibu dan bapak lebih memilih mencarikan obat untuk Vera daripada membeli obat untukku, anak kandung mereka yang juga terkapar karena sakit.

Dalam kondisinya yang seperti ini, dengan napas tersenggal-senggal dan sulit bicara, Vera bertanya beberapa hal tentangku. Bercerita tentang masa kecil yang kami lalui bersama-sama. Hatiku menjerit. Haru. Vera masih mengingat semuanya.

Saat aku pamit menjelang Maghrib, aku kembali menjabat tangan Vera. Vera meminta maaf padaku. Aku pun melakukan hal yang sama. Meminta maaf pada Vera atas semua salahku padanya. Lumayan lama kami berjabat tangan dengan saling meminta maaf. Vera melepaskan genggaman tangannya sembari tersenyum.

Inilah pertemuan terakhir kami. Maghrib menjelang Isya’ saat hujan gerimis kembali turun, seseorang mengetuk rumah kami. Seorang wanita yang sangat asing bagiku datang mencari ibu. Wanita ini mengabarkan jika Vera telah meninggal dunia.

Aku berdiri sedikit gontai. Tak percaya mendengar kabar duka itu. Baru saja aku membaca status di akun facebook Vera yang isinya Vera berpamitan kepada teman-temannya dunia mayanya. Ia mengatakan ingin tidur sejenak karena teramat lelah hari ini. Namun tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu rumah kami dan mengabarkan berita duka kematian Vera.

Vera menyerah dan menghembuskan napas terakhirnya dalam pelukan suami tercintanya.

***

Sejak semalam rumah duka ramai dikunjungi para pelayat. Gadis ini pastilah sangat baik semasa hidupnya. Begitu banyak orang yang datang untuk melayat. Dan hujan gerimis kembali turun mengiringi prosesi pemakaman Vera.

Selamat jalan teman. Tuhan, tolong jagalah teman kecilku ini dalam peluk-Mu, dalam kasih-Mu.



tempurung kUra-kUra, November 2012.

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews