EDELWEISS

05:04



EDELWEISS

Cinta itu abadi dan tak bersyarat. Cinta yang kupilih adalah cinta yang kan ku lepas dan cinta yang tak akan pernah aku miliki. Namun rasa cintaku ini, abadi, untuknya, selamanya…
Senyum hangat mentari menembus lebatnya pepohonan rindang hutan Orea.  Hutan pelindung bagi negeri Elsdon yang berdiri kokoh di baliknya. Makhluk kecil bersayap hijau lembut seperti kupu-kupu, dengan memakai baju yang terbuat dari mahkota bunga mawar merah hati ini terbang menuju salah satu sudut hutan Orea. Pepohonan dan hewan yang melihatnya, menyapa ramah peri pembawa berkah kekayaan dan kemakmuran ini. Hazel Goblinglow, membalas sapaan makhluk-makhluk Tuhan itu dengan senyum ramahnya.
Hazel sampai di tempat tujuannya. Sebuah pohon yew yang sudah berumur 1000 tahun. Pohon yew besar yang memiliki pintu dan jendela serta ruang singgah di dalamnya. Tempat tinggal salah satu sahabatnya. Hazel tersenyum lalu menyelinap masuk dari celah jendela yang terbuka.
“Selamat pagi, Amabel!” Sapa Hazel pada sahabatnya. Seorang penyihir yang sibuk di depan kuali besar entah membuat ramuan apa sepagi ini. Nenek renta dengan kulit keriput, hidung panjang dan besar serta beberapa kutil di wajahnya itu tak membalas sapaan Hazel, masih sibuk mengaduk-aduk isi kuali yang mulai mendidih. “Aku benci wujud ini!” Namun penyihir itu masih mengacuhkan Hazel membuat peri kecil itu mendengus kesal.
“Kau tidak lelah usai membagikan berkah musim semi semalaman dan langsung menggangguku sepagi ini?” Tanya Amabel Winola dengan suara rentanya.
“Kau tidak lelah usai membagikan ramuan kesuburan pada ladang-ladang petani semalaman dan langsung membuat ramuan sepagi ini?” Hazel balik bertanya. “Jadi aku tak salah lihat, nenek sihir dengan kostum serba hitam, duduk diatas sapu terbang semalam adalah kau, Amabel Winola.”
“Aku terlelap merajut mimpi semalaman.”
“Kau tidak pandai berbohong Amabel Winola. Bahkan kau belum merubah wujudmu. Kenapa? Kenapa wujud ini? Ini yang paling tidak aku sukai. Laki-laki setengah raksasa, tak mengapa, tapi nenek renta ini? Kau tampak mengerikan dan sedikit… menjijikan. Dan sapu terbang? Kemana Gentala? Raja naga yang banyak di perebutkan para penggila kekuasaan itu? Kau memilikinya namun memilih sapu terbang? Ayolah, Amabel, ini tidak lucu!”
Amabel tersenyum manis. “Beginilah masyarakat mengenal penyihir yang sesungguhnya. Gentala harus banyak istrirahat, luka bekas pertempuran itu baru pulih.”
“Baiklah, apapun yang kau katakan dan membuatmu nyaman.” Hazel menyerah. “Kau tak turun ke pusat kota? Perayaan musim semi dan sambutan bagi pasukan istana yang kembali pulang dengan kemenangkan. Pasti sangat menyenangkan. Ah, kau pasti tahu lebih banyak dari yang aku tahu. Amabel, kau akan bertemu dengannya kembali. Untuk kali ini saja, tunjukan wujud aslimu dan temui dia, bertatap muka dengannya. Panglima pejuang istana, hapus semua rasa penasaran padanya.”
“Selesai! Kaum Haley akan mengambilnya.”
“Kurcaci-kurcaci itu lagi? Berhenti meminta mereka melakukan ini. Lakukan sendiri, ayolah. Apa setelah tiga tahun ini kau akan tetap bertahan demikian?”
“Gentala!” Panggil Amabel seraya membuka pintu. Naga bersayap dengan ukuran luar biasa itu segera mendarat di depan sang majikan. “Kita harus memetik beberapa ramuan obat di bukit dan di tepi air terjun. Ayo kita bekerja.” Amabel naik keatas punggung naga dan kemudian naga itu terbang meninggalkan Hazel yang melayang tepat di depan pintu.
Tak lama kemudian tujuh kaum Haley (kurcaci) sahabat Amabel datang dan mengambil ramuan yang sudah tertata rapi dalam beberapa anting anyaman bambu. Hazel menggelengkan kepala melihat mereka dan kembali menatap langit dimana naga terbang sudah tak terlihat lagi.
***
Tujuh kaum Haley menyambut rombongan pejuang istana. Mereka berhenti untuk istirahat dan bermalam sebelum melanjutkan perjalanan pulang ke negeri Elsdon. Butuh waktu lima hari untuk melewati hutan lebat ini dan di hari ketiga baik itu berangkat atau pulang kembali, rombongan pejuang istana akan berhenti di titik ini. Untuk menerima segala kebaikan dari tujuh kaum Haley, sejak tiga tahun yang lalu.
Handaru, Hedona, Kamala, Taraka, Taksa, Layana dan pemimpin mereka Gantari dengan setia melayani para pejuang istana ini. Menjamu mereka dengan hidangan lezat dan ramuan yang selalu mampu mengembalikan tenaga mereka kembali. Hazel mengikuti tujuh kaum Haley ini sejak mereka meninggalkan kediaman Amabel. Ia duduk tenang diatas pundak Gantari. Para manusia itu tak dapat melihatnya karena wujud Hazel yang sebenarnya hanya mampu terlihat oleh manusia biasa saat bulan purnama tiba. Tatapan Hazel hanya terfokus pada panglima pasukan ini.
“Wahai sahabatku, ini tahun ketiga kami menerima segala kebaikan ini, namun tak satupun dari tujuh sahabatku ini yang mau berbicara tentang kebenaran atas dugaan kami, benarkah segala kebaikan ini berasal murni dari tujuh sahabatku ini atau ada campur tangan orang lain.” Pangeran Alden Carney kembali mengusik pertanyaan yang sama. Tujuh kaum Haley menunduk dan saling menyikut.
“Tidak bisakah kami bertemu langsung dengannya? Ini tak luput dari penyihir baik hati bernama Amabel Winola bukan?” Sambung panglima pejuang, yang sedari awal terus di perhatikan oleh Hazel, Edsel Yodha Jarvis.
“Dia tahu tentang Amabel Winola?!” Seru Hazel kaget. “Katakan itu benar! Iya, ini ulah Amabel Winola! Penyihir baik hati yang selalu membantu dan menjaga negeri Elsdon. Katakan kebenaran ini Gantari!” Hazel antusias.
“Maaf kami harus pergi. Selamat istirahat dan kami akan kembali saat makan malam tiba.” Gantari pamit pergi. Hazel mendengus kecewa saat tujuh kaum Haley ini benar-benar pergi.
***
Seekor burung hantu coklat besar hinggap tenang diatas dahan sebuah pohon. Kedua mata bulat dan tajamnya mengamati tujuh kaum Haley yang sedang melayani para pejuang istana makan malam. Hazel duduk disampingnya, turut mengamati kegiatan di bawah sana.
“Selama tiga tahun bertahan seperti ini, mengaguminya dalam sisi yang tak bisa terlihat olehnya, panglima itu, Panglima Edsel. Dia memang benar tampan dan menawan. Aku masih bisa mengingat setiap detail sikap bodohmu, Amabel Winola. Capung kecil dan kupu-kupu yang tiba-tiba muncul mengiringinya, itu kau. Bunga-bunga yang selalu kau selipkan untuknya. Cinta? Ini yang kau sebut cinta dan mencintai? Aku tak paham akan cinta yang kau pilih ini. Kalian sesama manusia, harusnya kau mencoba menunjukan cinta itu padanya. Kalian bisa bersatu dan memupuk cinta itu bersama.”
Blup! Burung hantu di samping Hazel berubah menjadi seorang pria, seorang kakek. “Cinta yang aku pilih tak bersyarat. Cinta yang aku pilih tak ingin aku ungkap. Cinta yang aku pilih akan ku lepas, agar ia bebas terbang memiliki hati yang ia pilih. Hanya ini yang bisa aku lakukan untuk cintaku.”
“Kau bisa lebih dari ini namun kau enggan melakukan yang lebih dari ini. Manusia itu penuh misteri dan sulit di pahami. Kau mengatakan cinta namun kau melakukan tak seperti yang aku tahu kebanyakan tentang cinta pada manusia. Ah, itu membuat kepalaku sakit. Aku pergi! Sisa-sisa tugasku menunggu. Selamat menikmati pengintaian ini Amabel Winola!” Hazel terbang kemudian menghilang dalam kegelapan malam.

Tiga tahun yang lalu, saat musim dingin tiba. Amabel dibuat iri oleh kecantikan mawar ditengah musim dingin, bunga Camellia Japonica. Bunga yang tetap bertahan dan mekar indah menebarkan wanginya di tengah musim dingin yang beku. Amabel telah menguwasai semua, berganti wujud menjadi berbagai macam manusia dan hewan, namun tidak mudah untuk wujud tumbuhan. Hari itu ia berlatih keras di tengah hawa dingin, Amabel berusaha merubah wujudnya menjadi tanaman semak berbunga yang di kenal sebagai spesies terbaik dari kamelia ini.
Berhasil. Amabel berhasil berubah wujud. Entah karena benar berhasil atau karena efek terkejut ketika seseorang tiba-tiba muncul di area itu. Seorang pemuda dengan baju khas pejuang istana. Pemuda tampan berambut pirang ini, tatapannya langsung tertuju pada semak yang sedang berbunga lebat, bunga indah berwarna putih bersih bak salju. Pemuda tampan itu menghampirinya, tersenyum dan mencium wangi bunga mawar di tengah musim dingin yang tak lain adalah penyihir Amabel Winola ini. Amabel tak pernah merasakan ini sebelumnya, jantung yang berdetub kencang tak karuan ketika pemuda ini mendekatinya dan mencium salah satu bunga yang tak lain adalah punggung telapak tangan kanannya.
“Kau sangat cantik, cantik sekali. Di tengah musim dingin yang beku ini, kau mekar sempurna dan menebarkan wangimu. Aku Edsel Yodha Jarvis, panglima pasukan pejuang kerajaan. Andai kau bisa bicara, ingin aku bertanya, siapakah namamu wahai makhluk cantik.” Ia tersenyum kemudian pergi. Dan Amabel tertegun dibuatnya.
Hanya dengan media air dalam periuk, Amabel bisa melihat semua tentang seorang Edsel Yodha Jarvis. Semuanya, tanpa terkecuali. Amabel melakukan ini karena sejak pertemuan tidak sengaja itu, wajah Edsel terus membayangi dirinya. Panglima itu benar telah mencuri perhatiannya. Dan sejak saat itu Amabel menjadi pengagum rahasia Edsel. Diam-diam dan tak pernah menampakan wujud aslinya. Capung kecil yang tiba-tiba hinggap di bahu Edsel. Kupu-kupu cantik yang mengiringi Edsel ketika pemuda itu berburu di hutan Orea, dan juga wujud-wujud lainnya, hewan dan tumbuhan. Tiga tahun berjalan demikian.
***
Edsel tersenyum manis mendapati seikat bunga lili putih. Ia kemudian mengamati sekitar namun taak berkata sepatah kata pun. Hanya tersenyum.
“Kau melakukannya lagi.” Hazel melayang di samping monyet coklat yang duduk di atas pohon, mengamati rombongan pasukan pejuang istana yang bersiap pergi. “Kau masih menganggapnya tak wajar? Rasa yang kau miliki, yang kau rasakan untuknya? Kau juga manusia, Amabel Winola.”

Rakyat Elsdon menyambut riang kepulangan para pejuang istana yang lagi-lagi membawa kemenangan. Putri Yocelyn tersenyum bahagia menyambut kepulangan pasukan pejuang istana. Ia tak hanya bahagia karena pasukan kerajaan kembali menang dan sang Kakak, Pangeran Alden Carney pulang dengan selamat. Namun ia juga bahagia melihat sang kekasih, Panglima Edsel kembali tanpa kurang satu apapun. Apalagi Edsel memberikan seikat bunga lili putih nan harum untuknya. Perjalanan kali ini Edsel mendapatkan bunga lili dan seperti sebelumnya, ia memberikan bunga-bunga itu untuk sang pujaan hati, Putri Yocelyn.
“Perjalanan kali ini… lili putih.”
“Em.” Edsel tersenyum dan mengangguk. “Apa bunga lili adalah lambang dari musim semi?”
“Sangat cantik bukan?”
“Apa artinya?”
“Lili putih, sederhana. Ia biasa tumbuh subur di hutan, itulah kenapa para pencari kayu bisa dengan mudah menemukannya dan memetiknya kemudian di bawa pulang untuk sang istri tercinta. Sederhana namun bermakna dalam. Bagi para penebang kayu, bunga ini hanya melambangkan perasaan kagum mereka kepada sang istri, namun di balik itu, lili putih berarti cinta yang dalam namun di liputi duka. Bunga bagi bintang dan matahari.” Putri Yocelyn menghentikan langkahnya di ujung balkon lantai dua istana. Tatapannya lurus, menatap rimbunnya hutan Orea yang bisa terlihat jelas dari sini. Edsel berhenti di samping kanannya.
“Kau tak ingin bertemu dengannya?”
“Bertemu dengannya?” Edsel menoleh menatap Putri Yocelyn.
“Kau tidak penasaran? Benarkah ini ulah penyihir misterius Amabel Winola? Penyihir baik hati yang sangat di sayangi rakyat Elsdon. Dia memberikan kasih sayang pada kita semua, namun jika benar ini ulahnya, kau pasti sangat istimewa baginya.”
“Tuan Putri menyetujui pendapat Pangeran Alden?”
“Nafas hutan Orea, hampir semua mengatakan Amabel Winola. Dialah ratu hutan Orea. Sungguh kau tak ingin bertemu langsung dengannya? Melihat wujud aslinya? Menghapus rasa penasaran itu di hatimu? Hanya sekedar untuk mengatakan terima kasih atas nama pasukan pejuang kerajaan dan juga negeri Elsdon.”
Edsel menghela nafas, beralih ke hadapan Putri Yocelyn. Menatapnya. “Ada apa sebenarnya? Kekasihku ini, kenapa tiba-tiba mengatakan hal demikian? Apakah dia mulai mencurigaiku? Meragukan aku?”
Putri Yocelyn tersenyum lalu mengelus lengan kiri Edsel dengan lembut dan penuh kasih. “Tak pernah meragukanmu, sama sekali tak pernah. Hanya saja aku merasa tak enak jika kau menahan diri untuk tak mencari tentang kebenaran ini hanya karena alasan takut melukaiku. Tak mungkin jika kau tak penasaran bukan?”
Edsel membentuk lengkungan indah di bibirnya. Senyuman yang selalu mempesona siapa saja yang melihatnya. Begitu juga bagi Putri Yocelyn. “Gadis ini yang sangat aku cintai dan aku ingin ia berbagi kehidupan denganku, melahirkan anak-anakku kelak. Tak akan aku bagi rasa ini dengan siapapun. Namun tak bisa aku pungkiri jika kebaikan yang diberikan, yang mungkin adalah ulah Amabel Winola kepada kami membuatku penasaran. Tapi aku rasa itu tak mungkin karena aku. Ada Pangeran Alden bersama kami, selama tiga tahun ini.”
“Apa Pangeran Alden mendapatkan bunga-bunga dan segala kebetulan itu?”
“Jadi kau benar berpikir Amabel Winola itu menyukai ku? Membenarkan analisis Pangeran Alden yang juga di rundung penasaran?”
“Itu yang aku rasakan sebagai sesama wanita. Aku merasakannya.”
“Itu tidak mungkin.”
“Penyihir juga manusia, begitu juga Amabel Winola. Begitu banyak gambaran tentang Amabel Winola… yang mana yang benar? Aku pun sangat penasaran. Siapakah pesaingku ini.”
“Putri…”
Putri  Begitu banyak gambaran tentang Amabel Winola… yang mana yang benar? Aku pun sangat penasaran. Siapakah pesaingku ini.”
“Putri…”
Putri Yocelyn tersenyum menatap langit senja.
***
Lelaki tua, wujud Amabel kali ini, duduk di atas bukit, menatap pemandangan yang paling ia sukai. Senja. Gentala tertidur lelap tak jauh darinya. Lelaki tua ini. Amabel Winola, tersenyum. Masih menikmati indahnya senja.
Langit berubah hitam. Cahaya terang purnama penuh menemani kilauan bintang-bintang. Hiasan malam. Hazel terbang sejauh ini. Memasuki kawasan istana. Harapan hanya satu, bertemu Edsel. Tapi dimana tempat tinggal panglima tampan itu? Taman. Tujuan yang pasti dipilih Hazel. Ia terbang di atas rimbunnya perdu bunga sedap malam yang sedang mekar sempurna.
“Oh!” Hazel menarik diri, bersembunyi.
Edsel melihatnya. Cahaya germelap diantara rimbunya bunga sedap malam. Hamparan putih lengkap dengan wanginya yang tajam. Perlahan Edsel mendekat. “Aku melihatmu. Dan aku yakin kau masih disana. Keluarlah, siapapun itu.” Kata Edsel yang kemudian berhenti jarak satu lengan dari satu tangkai bunga sedap malam yang di penuhi bunga-bunga putih yang sedang mekar sempurna. Harumnya semerbak, semakin tajam tercium hidung mancung Edsel yang sedikit membungkuk lebig dekat pada tanaman perdu ini.
“Keluarlah. Aku tidak akan menyakitimu.”
Malu-malu Hazel keluar dari tempat persembunyiannya. Dengan kedua tangan yang ia simpan di balik punggungnya, Hazel menampakan diri. Edsel terbelalak. Ia tak percaya pada apa yang di lihatnya. Ia melihat seorang, peri. Makhluk mungil yang cantik dan bersayap.
“Hallo! Aku Hazel Goblinglow. Aku peri pembawa kekayaan dan kemakmuran. Kau bisa melihatku karena malam ini adalah malam bulan purnama, puncak cahaya penuh.” Hazel memperkenalkan diri.
“Hallo. Aku panglima pasukan pejuang istana, Edsel Yodha Jarvis.”
“Aku tahu! Setiap tahun, kau melewati hutan Orea bukan?”
“Kau tinggal di hutan Orea? Dan kau mengenalku?”
“Seluruh nafas kehidupan berasal dari hutan Orea dan aku mengenalmu, dengan baik. Aku rasa begitu, menurutku.”
Edsel tersenyum tulus, ia sedikit tersipu mendengarnya. “Terima kasih. Jadi malam ini kau datang untuk menebar berkah kekayaan dan kemakmuran bagi istana?”
“Tidak untuk kali ini. Aku datang karena alasan lain. Bertemu denganmu.”
“Bertemu denganku?”
“Karena sahabatku.”
“Karena sahabatmu?”
“Dia mengagumi mu.”
“Mengagumi ku?”
“Ah, aku tak suka teka-teki seperti ini.” Hazel meletakan satu tangannya di pinggang. Terbang lebih tinggi setara pandangan lurus Edsel. “Kau tahu tentang Amabel Winola?”
“Seluruh negeri mencoba tahu tentangnya, begitu juga aku, namun hanya sedikit yang aku tahu.”
“Dialah sahabatku. Karenanya aku menempuh jarak dalam waktu istirahatku dari tugas, kemari, untuk bertemu denganmu.”
“Dia memintamu kemari? Menemuiku?”
“Tidak. Ini keinginanku sendiri. Bagaimana menurutmu? Tentang Amabel Winola itu?”
“Em?” Edsel sedikit terkejut. Ia tampak berpikir sejenak. “Dia bukan penyihir, tapi peri sepertimu.”
“Kau tak ingin bertemu, bertatap muka dengannya?”
“Tak seorang pun tahu siapa sebenarnya Amabel Winola, dimana ia tinggal. Bahkan tujuh kaum Haley yang setia menyambut kami setiap tahun tak satupun dari mereka mau membuka mulut tentang Amabel Winola.”
“Jadi kau tahu itu ulahnya? Amabel Winola?”
“Benar orang di balik itu semua adalah Amabel Winola?”
“Demi hutan Orea! Adakah penguasa lain disana? Nafas dari hutan Orea, segala kebaikan dari dalamnya, karena Amabel Winola. Entah apa menurutnya, kenapa dia mengagumi mu?”
“Mengagumi ku? Amabel Winola mengagumi ku?”
“Demi semua  makhluk! Kau bukan orang bodoh kan? Panglima Edsel. Sejak… aku tak tahu kapan pastinya, yang jelas sudah berjalan tiga tahun ini.”
“Kau mengatakan aku bisa melihatmu karena malam ini adalah malam bulan purnama dengan puncak cahaya penuh, jadi itu tujuanmu?”
“Mungkin setelah ini hidupku akan berakhir. Aku mengkhianatinya. Mungkin dia akan membekukan aku selamanya. Aku hanya peri pembawa kekayaan dan kemakmuran, bukan peri pejuang. Aku tak akan sanggup melawannya. Riwayatku akan tamat.” Hazel terus bergumam sambil terbang makin jauh meninggalkan Edsel yang masih menatapnya, kebingungan.

Hazel terbang pelan dengan kepala tertunduk. Sebentar lagi fajar akan segera terbit. Ia tak akan bisa menghindar. Amabel pasti mengetahuinya. Apa yang telah ia lakukan.
“HAGH!!!” Hazel terkejut dan berhenti seketika. Melayang dalam jarak ini dari sekuntum bunga tulip, tempat tinggalnya. Nenek renta itu berdiri di atas salah satu helai daun pohon bunga tulip yang menjadi tempat tinggal Hazel. Tamatlah riwayatku! Batin Hazel ketakutan.
“Aku jamuran menunggumu! Kenapa kau malah melayang seperti itu?”
“Am-mabel, kak-kau…”
“Bantu aku mempersiapkan bibit-bibit bunga edelweiss terbaik. Aku butuh bantuanmu. Waktu kita tak banyak.”
“Bunga edelweiss?? Kau tak marah padaku??”
“Aku tak mau membuang sia-sia energiku untuk marah pada capung kecil sepertimu! Lagipula hatiku sedang senang, mood ku sempurna. Aku ingin menanamnya, bukan hanya bunga edelweiss namun bunga-bunga lainnya. Ayo pergi!”
Hazel tersenyum lega dan segera terbang menyusul Amabel.
***

Hazel paham. Inikah alasan kenapa Amabel meminta bantuannya memilih bunga edelweiss dengan kualitas terbaik. Pernikahan Putri Yocelyn dan Panglima Edsel. Malam itu diam-diam Amabel menyelinap masuk dalam gedung dan membuat dekorasi yang sangat indah untuk pesta perayaan pernikahan putri dan panglima.
Tidak hanya kedua mempelai yang dibuat terpesona, namun semua yang melihat dekorasi tempat pesta yang menurut para pelayan istana terjadi secara misterius. Pesta di gelar begitu meriahnya. Undangan yang datang berjumlah tak sedikit. Putri Yocelyn dan Panglima Edsel terlihat sangat bahagia.
Sepasang mata elang Edsel menangkap sekelebat gadis. Gadis yang memperhatikannya lalu sempat tersenyum padanya. Edsel bisa melihatnya walau wajah gadis itu tertutup cadar ungu yang ia kenakan. Mata bulat nan indah gadis itu tak bisa menyembunyikan senyum di balik cadar itu. Edsel mengejarnya. Menembus kerumunan para tamu hingga keluar dari tempat pesta. Edsel berjalan cepat tak jarang berlari kecil mengejar sosok misterius itu. Sampai di taman istana. Hening. Tak ada siapapun disana. Hanya seikat bunga edelweiss yang tergeletak diatas bangku taman yang berhasil ia temukan. Edsel memungutnya dan mengakati sekitar. Benar-benar hening. Tak ada tanda-tanda adanya manusia lain selain dirinya. Edsel tersenyum. Lalu ia mendongakan kepala, menatap langit malam yang begitu terang karena cahaya bulan purnama di awal musin gugur ini. Edsel terbelalak melihatnya. Naga terbang namun nun jauh tinggi di angkasa dan hanya tampak seperti bayangan hitam yang bergerak mendekati bulan purnama yang sedang bersinar sempurna.
***

“Aku tak paham apa itu cinta dan mencintai. Aku pun tak hentinya dibuat heran kenapa manusia menjadi sangat bodoh karenanya.” Hazel duduk menyangga dagu dengan kedua tangannya.
“Senja di musim gugur, sempurna bukan?” Suara yang terdengar kali ini begitu lembut, suara seorang gadis.
Angin musim gugur berhembus sedikit kencang diatas bukit hingga menyibak cadar hitam yang menutupi wajah gadis ini, penyihir baik hati, Amabel Winola. Hazel tersenyum melihat kecantikan yang sedikit mengintip dari balik cadar yang bergoyang karena tiupan angin. Inilah wujud sebenarnya dari seorang Amabel Winola. Gadis muda yang selalu mengenakan cadar, berkulit putih dan rambut coklat keriting yang tergelung sebagian.
Cinta itu abadi, seperti keindahan bunga edelweiss. Cinta yang ia miliki adalah cinta yang tak bersyarat. Cinta yang ia pilih adalah cinta yang kemudian ia lepas untuk orang lain. Bukan karena ia terlambat atau bukan karena ia tak bisa mendapatkannya. Ia bisa mendapatkan apa yang ia inginkan dengan mudah, termasuk cinta yang ia pilih. Namun ia tak melakukannya, walau ia memiliki mantra dan ramuan-ramuan yang mampu membuat siapa saja bertekuk lutut di hadapannya. Ia memilih menumbuhkan cinta itu abadi di dalam hatinya tanpa harus memiliki cinta yang ia pilih. Cinta yang tak ia ungkapkan secara langsung dan tak akan pernah ia ungkapkan secara langsung. Kami mencintai nafas hutan Orea ini tanpa bukan karena mantra-mantra yang ia rapalkan atau ramuan-ramuan yang sengaja ia sebar. Kamu mencintainya seperti dia mencintai hutan Orea dengan segenap jiwa dan raganya. Aku pun sama. Aku akan tetap berada di sisinya. Berjuang bersama seperti dahulu. Karena aku mencintainya seperti ia mencintai hutan Orea dan negeri Elsdon.
“Kau bergumam dalam hati?” Tanya Amabel membuyarkan lamunan Hazel.
“Tid-tidak!”
“Sudah gelap. Ayo kita bekerja.” Suara wujud wanita muda itu berubah kembali menjadi nenek renta.
Hazel tersenyum lalu terbang dan duduk di pundak Amabel yang sudah duduk diatas sapu terbangnya.
THE END

shytUrtle

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews