AWAKE "Rigel Story" - Bab XX

04:23

AWAKE - Rigel Story

 


 


Bab XX

 

Nath mengantar Rigel pulang. Ia pun turut tinggal sejenak di markas Rigel. Rue menyibukan diri dengan memasak untuk keempat temannya. Dio duduk di atas sofa. Turut menonton video rekaman di Gedung Mati yang sedang ditonton Nath dan Byungjae. Sedang Hanjoo sibuk dengan buku sketsanya.

“Itu mengerikan sekali. Momen Byungjae diseret makhluk astral. Kamera bergoyang hebat. Pantas Dio marah besar pada Pearl. Aku juga pantas dimarahi.” Kedua mata Nath berkaca-kaca usai menonton video rekaman Rigel di Gedung Mati.
“Makanya! Jangan mudah percaya pada Pearl!” Dio ketus.
“Ini jadi pelajaran buatku. Aku benar-benar minta maaf.”
“Udah berlalu. Kami juga selamat. Jenna nggak boleh terus-terusan merasa bersalah, oke? Itu membuat kami nggak nyaman.” Byungjae menenangkan Nath.
Nath tersenyum dan mengangguk.
“Rue! Ponselmu terus bergetar!” Dio berseru. Karena ponsel Rue diletakan di nakas dekat dengan sofa tempat ia duduk.
“Biarin aja!” Rue berteriak dari dapur.
“Dio beneran nggak papa dikeluarin dari Dewan Senior?” Nath penasaran.
“Aku keliatan nggak baik ya?” Dio balik bertanya.
“Nggak sih. Heran aja liat Dio bisa nyantai banget gitu.”
Dio tersenyum lebar. “Aku udah tau resikonya. Itu kenapa tetep aku lakuin di ruang publik. Karena alibiku kuat. Aku juga sengaja bongkar kebusukan Pearl di depan forum. Tujuannya emang biar dia gagal jadi calon ketua Dewan Senior.”
“Wah! Dio berpolitik.” Byungjae kagum.
“Harus dong! Walau Pearl punya bad attitude, dia tetap punya pendukung. Dia pasti akan memanfaatkan kesempatan apa aja untuk menjatuhkan Rue. Kalau begini, bener nggak akan bikin dia berhenti, tapi seenggaknya dia nggak jadi calon ketua lagi.
“Jujur nih ya. Dari awal aku udah curiga teror di sekolah itu ada hubungannya sama Pearl. Nggak tahu kenapa feeling-ku lebih condong ke dia daripada ke nominasi sekolah. Terlebih waktu Nath cerita soal pertemuannya dengan Pearl yang nggak sengaja itu. Trus, kejadian ini. Bisa jadi teror itu ulah dia juga.”
“Masa dia bisa datengin pasukan setan?” Byungjae tak percaya.
“Pasukan setan?” Nath kaget.
“Bisalah. Pearl punya duit. Tinggal ke dukun, beres urusan. Karena dia tahu kalau melawan Rue secara terang-terangan dia nggak mampu.” Dio dengan yakin.
“Ada ya manusia kayak gitu?” Byungjae masih terheran-heran.
“Tapi masa iya Pearl segitunya ke Rue? Alasannya apa?” Nath pun sama. Merasa heran. Jika dugaan Dio benar, baginya tindakan Pearl sangat keterlaluan.
“Itu dugaanku aja. We never know until we found the truth, right?”
“Nyari buktinya gimana?” Tanya Byungjae.
“Tanya Rue. Dia yang tahu.”
Rue tiba di ruang tamu dengan membawa masakannya. Ia memasak mie goreng untuk dimakan bersama-sama.
“Wah. Sedapnya.” Byungjae menghirup masakan yang dibawa Rue. “Aku siapin alat makannya.” Ia pun bangkit dari duduknya dan menuju dapur. Di sana Rue telah menyiapkan peralatan makan. Byungjae pun langsung membawanya ke ruang tamu.
“Rue yang terbaik.” Byungjae kembali duduk. “Dio kalau nggak bisa duduk bawah, duduk di atas sofa aja nggak papa.”
“Nggak papa ya aku duduk atas. Maaf.” Dio merasa sungkan.
“Lagian kamu emang ratu kami hari ini. Hehehe.”
“Ratu apaan. Aku dah bongkar aib Rigel tau!”
“Ratu Arogan!” Byungjae tergelak.
“Dasar!” Dio memukul pundak Byungjae.
“Hanjoo. Makan dulu.” Rue meminta Hanjoo menghentikan aktivitasnya.
“Bentar. Ntar lagi kelar.” Hanjoo masih fokus menggambar.
“Rue, apa yang dibilang Dio itu beneran?” Tanya Nath.
“Yang mana?”
“Pearl kirim pasukan setan buat neror sekolah lewat bantuan dukun.”
“Bisa dong.”
“Ya ampun. Dia itu kenapa sih? Sampai segitunya ke kamu? Salah kamu apa?”
“Orang yang sedang cemburu itu bisa jadi sangat mengerikan. Dia bisa melakukan apa saja. Termasuk membunuh.” Hanjoo menyahut. Ia meletakkan buku sketsa dan pensilnya. Lalu, bergabung untuk makan.
“Cemburu? Ke Rue?”
“Cemburu itu maknanya luas, Jenna.” Byungjae bersuara di sela mengunyah makanan di dalam mulutnya.
“Iya juga sih.”
“Gimana masakan Rue?”
“Enak as always.”
Nath dan Byungjae kompak tersenyum.
Rue makan sambil memeriksa ponselnya. Nath meliriknya, lalu tersenyum. Ia teringat ketika Pearl menegurnya di food court. Teman masa kecilnya itu masih mengingat bagaimana Rue selalu menegurnya setiap kali ia makan sambil membaca buku. Ia masih belum bisa mempercayai jika Pearl bisa bertindak nekat pada Rue.
Kening Rue berkerut. Dio menyadarinya dan bertanya, “Kenapa?”
“Pesan dari Yano.”
“Kenapa lagi? Neneknya ngambek? Kemarin gimana?”
“Monoton. Tetep aja kayak gitu.”
“Itu Yano ngapain kirim pesan?”
“Hari ini Jin Hongjoon nggak masuk katanya.”
“Trus, ngapain dia ngomong itu ke kamu? Minta kamu terawangin Jin Hongjoon lagi di mana? Eh, itu anak yang nyasar waktu jurit malam, kan?”
“Iya. Katanya Esya juga nggak masuk.”
“Siapa lagi itu?”
“Saudaranya Hongjoon.”
“Trus ngapain Yano ngasih tahu kamu?”
“Nggak tahu juga.”
“Kamu bales apa?”
“Ntar aja.” Rue meletakkan ponselnya dan lanjut makan.

Rigel menikmati makan malam bersama di markas. Lalu, terdengar sebuah ketukan di pintu.

“Hola! Halo! Spada! Kak Rue? Di dalam?”
Dio menghela napas usai menelan makanan di dalam mulutnya. “Rio?”
Rue tersenyum dan mengangguk.
“Kenapa dia selalu dateng saat kamu masak sih? Aromanya kecium sampek bawah apa?”
Rue mengangkat kedua bahunya.
“Biar aku aja yang buka.” Hanjoo bangkit dari duduknya dan membuka pintu.
Pemuda bernama Rio yang tinggal di lantai dasar rumah Kakek Rue itu tersenyum lebar saat pintu terbuka. “Wah! Ada Kak Hanjoo.” Ia langsung menerobos masuk. “Wah. Lagi pesta. Pantesan aku pengen banget ke sini. Kali ini Kak Rue masak apa?”
“Mie goreng. Ambil piring kalau mau.” Jawab Hanjoo seraya berjalan melewati Rio dan kembali duduk.
“Ada yang nitip hadiah lagi?” Tanya Dio pada Rio yang membawa tas kertas.
“Iya. Namanya Jin Hongjoon. Katanya, dia murid yang hilang saat jurit malam.” Jawab Rio sembari duduk bergabung.
Rigel kompak menghentikan acara makan mereka. Baru saja mereka membahas Hongjoon, tiba-tiba Rio datang membawa hadiah dari Hongjoon. Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo saling memandang dalam diam.
“Kapan dia nitipnya?” Tanya Dio pada Rio.
“Semalam. Dia anak orang kaya ya? Sebagai balasan nitip hadiah ini, dia ngasih aku sekotak coklat impor yang terkenal dan mahal itu.”
Dio, Rue, Nath, Byungjae, dan Hanjoo kembali saling memandang dalam diam.
***


Hongjoon kebingungan. Ketika ia membuka mata, ia sedang terbaring di padang rumput yang sejuk dan hijau. Ia bangkit dari tidurnya dan mengamati sekitar. Tidak ada apa-apa selain dirinya dan padang rumput hijau yang subur.

Hongjoon pun bangkit dan mulai berjalan. Ia tidak tahu arah. Hanya terus berjalan. Ia tersenyum ketika menemukan rombongan orang yang sedang berjalan ke satu arah. Hongjoon bergegas mendekati rombongan itu.

“Permisi. Kalau boleh tahu, kita ini di mana ya?” Hongjoon mencoba bertanya pada salah satu pria yang sedang berjalan mengikuti rombongan.
Hongjoon kaget. Pria itu berwajah pucat dan tatapannya kosong.
“Kenapa kau berdiri di sana! Cepat masuk ke dalam barisan!” Seorang pria dengan kostum serba hitam membentak Hongjoon. Lalu, menyeretnya masuk ke dalam barisan.
Walau bingung, Hongjoon tetap berjalan di dalam barisan. Mengikuti arus.

Hongjoon berjalan mengikuti arus. Barisan panjang itu sampai di sebuah tempat yang memiliki dua gerbang maha besar. Terbuat dari besi yang kokoh dengan ukiran-ukiran yang tidak bisa ia pahami. Di depan gerbang terdapat sebuah pos yang dijaga oleh dua orang pria yang juga mengenakan kostum serba hitam.

Merasa ada yang aneh, Hongjoon mengamati penampilannya. Ia mengenakan setelan putih yang baju bagian atasnya berkerah Shanghai. Ia bingung, karena ia pergi dengan tidak mengenakan kostum itu.
Hongjoon kembali mengamati sekitar. Orang-orang di sekitarnya berwajah pucat pasi dan tanpa ekspresi. Ia semakin dibuat bingung. Tak tahu di mana ia berada.

“Berikutnya!” Panggil salah satu petugas yang berjaga di bangunan di depan pintu besi raksasa.
Hongjoon maju.
“Nama.”
“Jin Hongjoon.”
“Tanggal lahir.”
“31 Oktober 2003.”
Petugas yang berhadapan dengan buku catatan maha tebal di hadapannya membolak-balik lembaran buku. “Tidak ada.”
“Tidak ada?” Petugas yang memanggil dan menanyai Hongjoon bingung.
“Iya. Tidak ada data itu dalam buku ini.”
Petugas yang memanggil Hongjoon mengamati Hongjoon dari atas ke bawah. Ia pun mengambil buku bersampul putih. “Jin Hongjoon, 31 Oktober 2003.” Ia mengucapkan kalimat itu di atas buku maha tebal bersampul putih.
Hongjoon terkejut ketika melihat buku itu terbuka sendiri. Lembaran demi lembarannya terbuka. Lalu, berhenti di satu halaman.
Petugas memeriksa halaman itu, lalu mendesah. “Kenapa kalian membawa jiwa orang yang masih hidup ke sini?” Ia menegur orang-orang berkostum hitam yang mengawasi barisan.
Hongjoon terkejut mendengarnya. Jiwa orang yang masih hidup?
“Kau tersesat, Nak. Belum waktunya bagimu untuk ada di barisan ini.” Petugas itu menjelaskan kepada Hongjoon. “Kembalikan dia ke dunia asalnya!”
“Tunggu. Tuan, tolong bisa jelaskan saya diman—” belum selesai Hongjoon bertanya, dua orang bertubuh besar dengan kostum serba hitam menangkapnya dan menyeretnya keluar barisan.
Hongjoon berusaha berontak, namun sia-sia. Dua orang itu menyeretnya mendekati sebuah lingkaran maha besar berwarna putih bersih. Bagian tengah lingkaran itu berputar-putar membentuk pusaran. Melihatnya, Hongjoon pun ketakutan.
“Tut-tunggu! Apa yang akan kalian lakukan? Hey!” Hongjoon masih berusaha berontak ketika dua orang pria bertubuh besar itu mengangkat tubuhnya. Ia menjerit ketika tubuhnya di lemparkan ke dalam pusaran.
Tubuh Hongjoon berputar-putar. Tubuhnya tersedot ke dalam pusaran. Tidak ada yang bisa ia lakukan kecuali pasrah. Setelah cukup lama berputar-putar dalam pusaran, Hongjoon berhasil lolos. Namun, tubuhnya melayang di udara bebas. Ia terkejut menyadarinya.
“Aaa!!!” Jerit Hongjoon ketika tubuhnya bergerak bebas ke bawah. Meluncur dalam udara bebas.
“Auw!” Pekik Hongjoon ketika tubuhnya menimpa sesuatu dan mental, lalu terjatuh di atas sebuah permadani.
Hongjoon tidak merasakan sakit walau tubuhnya berputar-putar dalam pusaran dan kemudian terjatuh. Ia pun bangkit dari posisi tengkurap. Ia yang berlutut mengamati karpet biru nan lembut tempatnya terjatuh.
“Di mana lagi ini?” Gumamnya sambil mengamati sekitar. Kedua mata sipit Hongjoon melebar ketika ia menemukan seseorang tengah duduk menekuk kedua kaki di atas sofa.
Seorang anak perempuan yang menatapnya dengan ekspresi penasaran. Seorang anak perempuan yang ia kenal sebagai Ruta Way.
Hongjoon tertegun menatap Rue yang juga menatapnya. Ia bingung, tak tahu bagaimana ia bisa jatuh di depan Rue.
***


 


 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews