My 4D Seonbae - Episode #9 "Kata-kata Yang Membakar Seperti Api"

05:56

                    My 4D Seonbae - Episode #9 "Kata-kata Yang Membakar Seperti Api"





Mengekspresikan perasaan terhadap orang yang kau sukai adalah hal yang sangat sulit, dan juga hal yang indah.

Tulis akun dengan username parkjihoon99 yang tak lain adalah akun milik Jihoon. Postingan itu diunggah di grup komunitas SMA Hak Kun. Sama seperti postingan Luna yang diunggah pada siang harinya, postingan Jihoon pun segera mendapat banyak perhatian.

Banyak murid yang beralibi bahwa postingan Jihoon merupakan jawaban dari postingan Luna. Sama seperti postingan Luna, postingan Jihoon pun menuai komentar pro dan kontra. Ada yang memuji, ada pula yang mencemooh.

Setelah mendapat informasi tentang postingan Jihoon dari Woojin di grup chat Moon Kingdom, Luna tak bisa tenang. Sebenarnya ada rasa penasaran dibalik keterkejutannya saat ia membaca screenshot yang dikirim Seongwoo.

Seongwoo mengirim banyak screenshot ke grup Moon Kingdom. Dari sanalah Luna memantau perkembangan postingan Jihoon. Notifikasinya pasti membludak, karena banyak yang menyebutkan nama akunnya di komentar.

Keempat anggota squad Moon Kingdom, terutama Jisung, aktif di komentar untuk memberi pembelaan pada Luna. Hal yang sama mereka lakukan di postingan Luna yang tak luput dari hujatan dari kubu yang tidak menyukai Luna.

Luna mengumpat kesal. Kenapa berita tentang postingan Jihoon datang menjelang jam tidur seperti sekarang. Andai saja ia tak membuka ponselnya. Tapi, sudah terlanjur. Luna berusaha memejamkan kedua matanya.

Besok, apa kata besok. Sekarang tidurlah, Luna. Apa yang akan terjadi besok, hadapi saja. Luna bergumam dalam hati. Ia mengangguk dengan yakin sambil menatap langit-langit kamarnya. Aku adalah Mezzaluna yang kuat! Ya, aku pasti bisa menghadapi hari esok dengan baik! Luna kembali menganggukkan kepala. Lalu, ia memejamkan mata dan berusaha untuk tidur.

***



Karena semalam tak bisa tidur, Luna bangun sedikit terlambat. Usai mempersiapkan diri, ia bergegas keluar dan sedikit berlari menuruni tangga. Ia lupa pada kaki kirinya yang baru pulih dari cidera.

“Oh, Daniel!” Luna yang berlari kecil menuruni tangga menyapa Daniel.

“Seonbae. Kenapa lari-lari?” Daniel bingung melihat tingkah Luna.

“Kita bisa ketinggalan bus!” Luna sampai di depan Daniel. “Kaja!” Luna berjalan cepat mendahului Daniel.

Daniel berlari kecil, lalu berjalan cepat sejajar di samping kanan Luna. “Kaki Seonbae, baik-baik saja?” Ia mengkhawatirkan kondisi kaki kiri Luna.

“Mm!” Luna menganggukkan kepala.

“Apa benar tidak apa-apa? Jalan cepat begini?”

“Bukannya harus dibuat banyak bergerak ya? Biar lekas membaik.”

“Iya kah?”

“Setahuku kalau ngilu-ngilu begitu.”

“Itu kan nyeri sendi. Bukan cidera!”

“Hehehe. Jangan khawatir. Udah baikan kok. Kenapa kamu malah nunggu aku? Bisa terlambat kan?”

“Seorang lelaki nggak akan menarik kata-katanya. Aku kan udah janji, kita akan berangkat dan pulang bersama.”

“Ralat! Tergantung situasi.”

“Tergantung situasi?”

“Kalau aku nggak datang, kamu harus pergi. Jangan sampai merugikan dirimu sendiri.”

“Tapi…” Daniel tak melanjutkan ucapannya. Kemarin ia sudah meminta nomer ponsel Luna. Tapi, gadis itu tak memberinya. Jika ia mengulangi permintaannya lagi, ia yakin hasilnya tak akan baik. “Berapa lama waktu tunggunya? Setengah jam?”

“Lima belas menit?”

“Tiga puluh menit. Bagaimana?”

“Setengah jam ya? Kamu sanggup?”

“Seharian pun aku sanggup!” Daniel tersenyum lebar.

“Dih! Oke. Setuju!”

Daniel dan Luna sampai di halte. Tapi, bus sudah mulai melaju pelan. Keduanya panik melihatnya. Daniel menarik tangan kanan Luna, dan menuntunnya berlari. Sambil berlari, ia berteriak memanggil bus. Beruntung ada penumpang yang melihat mereka berlari. Bus pun berhenti. Daniel menarik Luna naik ke dalam bus.

Napas keduanya terengah-engah. Kondisi di dalam bus sudah padat. Setelah merasa cukup bisa bernapas normal, Daniel menarik Luna. Ia memberi ruang untuk Luna yang harus berdiri sedikit berdesakan dengan penumpang lain. Daniel berdiri tepat di belakang Luna. Menjadikan dirinya sebagai tameng pelindung Luna yang berdiri di dekat seorang nenek-nenek yang duduk di kursi penumpang. Luna sedikit menekuk kaki kirinya yang kembali terasa ngilu. Daniel menyadari hal itu.

“Gwaenchana?” Tanya Daniel yang berada dekat di belakang Luna. Jika bus bergoyang, dagu Daniel terantuk mengenai pundak Luna yang berada di depannya.

“Mm!” Luna bergumam dan mengangguk.

“Sudah kubilang, sebaiknya nggak lari.”

“Gimana lagi. Kita bisa telat. Semalam aku nggak bisa tidur. Jadi, tadi bangunnya rada telat.”

Daniel tersenyum mendengarnya. “Gara-gara Park Jihoon ya? Di grup sekolah ramai lho sampai tengah malam.” Godanya.

Luna menggerakan tangan kanannya, menyikut perut Daniel. Daniel memekik pelan. Sambil mengusuk perutnya.

Nenek yang duduk di bangku di depan Luna tersenyum melihat dua muda-mudi berseragam SMA itu. “Masa SMA memang masa yang paling manis. Kalian terlihat cocok. Serasi.”

Luna terbengong mendengar komentar nenek yang duduk di hadapannya. Daniel yang berada di belakangnya pun sama.

“Tidak seperti yang Halmoni pikirkan. Kami, hanya teman.” Luna memberi penjelasan.

“Awalnya teman, lama-lama bisa jadi lebih dari teman. Itu wajar kok. Aku dulu juga mengalaminya.” Nenek itu tersipu.

Daniel tersenyum melihat wajah nenek yang tersipu itu. Sedang Luna, masih terbengong.

“Tadi aku yang melihat kalian berlari sambil bergandengan tangan. Aku juga yang meminta sopir berhenti.” Nenek itu kembali bicara.

“Wah, terima kasih. Kami selamat berkat Halmoni.” Daniel mengucap terima kasih.

“Teman lelaki yang mungkin nanti bisa saja jadi pacarmu ini pria yang baik. Lihat bagaimana cara ia memperlakukanmu. Sikapnya sangat melindungimu. Jaga dia baik-baik. Pria bertanggung jawab seperti dia mulai langka kini.”

Luna terbengong hingga mulutnya ternganga mendengar ocehan si nenek. Sedang Daniel, tertawa geli di belakangnya.

Bus berhenti di halte dekat sekolah. Luna turun lebih dulu. Daniel menyusul di belakangnya. Suasana jalan menuju sekolah sudah ramai karena mereka tiba terlalu siang.

Luna melihat jalan yang akan membawanya ke sekolah, juga murid-murid dengan seragam yang sama dengannya yang sedang berjalan di jalan itu. Daniel tiba-tiba berjalan mendahuluinya. Luna mengerjapkan kedua matanya, lalu menyusul berjalan di belakang pemuda itu.

Dipandanginya sosok belakang dari seorang Kang Daniel. Postur tubuhnya sangat baik. Pemuda yang tinggi dengan berat badan ideal. Bahunya lebar dan terlihat kokoh. Luna tiba-tiba tersenyum usai melakukan pengamatan. Ia berjalan cepat, menyusul langkah Daniel, lalu mendahului pemuda itu.

Daniel tersenyum melihat tingkah Luna. Ia memperhatikan Luna sejenak, lalu menghela napas, dan melangkah lebar-lebar agar tak terlambat memasuki gerbang yang akan di tutup.

***


Luna buru-buru menuju kelasnya. Bukan menghindari tatapan dan bisikan murid-murid yang melihatnya, tapi karena ia datang sedikit terlambat dari hari biasanya, sedang praktikum Biologi akan diadakan pada jam pertama. Ia harus memeriksa persiapan praktikum yang kemarin dibawa Jisung usai berbelanja bersama.

Saat tiba di persimpangan koridor, Luna melihat beberapa murid yang berkumpul. Ia ingin mengabaikannya, tapi ia melihat Park Jihoon di tengah-tengah murid yang berkerumun. Luna pun menghentikan langkah, mengamati apa yang sedang terjadi dalam kerumunan itu.

Tiga orang seonbae yang pernah menghadang Luna sedang ribut dengan tiga orang murid laki-laki. Luna menyipitkan mata mengamati tiga murid laki-laki itu. Mereka adalah murid-murid yang selalu menyapanya dengan ramah setiap hari.

“Apa yang terjadi?” Tanya seorang siswi yang baru saja bergabung dengan temannya yang berdiri tak jauh dari tempat Luna berada.

“Seonbae perempuan itu menyatakan rasa sukanya pada Park Jihoon. Lalu, tiga seonbae laki-laki itu meributkan sikap seonbae perempuan itu. Seonbae laki-laki yang di tengah itu sepertinya pembela Luna Seonbae, pacar Jihoon.” Temannya menjelaskan.

Mau tak mau Luna mendengar obrolan itu. Karena posisinya cukup dekat dengan dua gadis kelas X itu.

“Nekat sekali Seonbae itu. Sudah tahu Jihoon pacaran dengan Luna Seonbae. Kenapa dia malah menyatakan cinta?”

“Seonbae itu mengambil tindakan seperti yang diinstruksikan Luna Seonbae.”

“Luna Seonbae memberi Seonbae kelas XII itu instruksi?”

“Alibi aja. Dari postingan Luna Seonbae kemarin. Karenanya, lebih baik katakan saja tentang apa yang kau rasakan. Masalah diterima atau ditolak, pasrahkan saja.”

“Seonbae itu bodoh apa gimana? Gara-gara kalimat itu langsung menyatakan rasa sukanya pada Jihoon?”

“Oh! Seonbae!” Siswi yang memberikan penjelasan di awal menyadari keberadaan Luna. Ia menunduk sopan. Begitu juga temannya.

Luna tersenyum menanggapi dua juniornya itu. Ia memberi kode agar keduanya tetap diam. Tak memberi reaksi yang menunjukkan keberadaannya di sana. Dua siswi itu mengangguk paham. Mereka pun kembali fokus pada kerumunan.

Terjadi sedikit keributan. Tiga seonbae perempuan dan tiga murid laki-laki yang membela Luna saling dorong dengan Jihoon berada di antara mereka. Seonbae perempuan yang pernah mencegat dan mengancam Luna tiba-tiba menjerit.

“Jihoon-ie, jeosonghae,” ujar Seonbae perempuan yang berada di tengah—seonbae yang pernah mengancam Luna. Kedua tangannya masih terangkat. Kuku-kukunya yang panjang, tak sengaja mencakar tangan Jihoon.

“Omo! Tangan Jihoon berdarah!” Tuding murid laki-laki yang berada di tengah gengnya—yang ternyata juga seorang seonbae yang membela Luna.

Luna masih diam di tempat ia berdiri. Memperhatikan Jihoon yang masih berdiri di antara dua kubu seonbae yang ribut. Kepala Jihoon tertunduk. Luna melihat pemuda itu mengepalkan kedua tangannya. Luna pun bergegas maju, membelah kerumunan dan memegang tangan kiri Jihoon. Tapi, Jihoon mengibaskan tangan Luna.

“Ini aku!” Kata Luna sembari kembali memegang tangan kiri Jihoon.

Jihoon mengangkat kepala, ia terkejut melihat Luna sudah berada di tengah kerumunan dan memegang tangan kirinya. Luna tersenyum samar, lalu menarik Jihoon dari kerumunan dan membawanya pergi.

Murid-murid yang berkerumun bergumam mengomentari tindakan Luna. Seonbae yang tak sengaja mencakar Jihoon tercengang melihat Luna muncul dan membawa Jihoon pergi. Sedang seonbae yang membela Luna, menyunggingkan senyum melihat tindakan Luna.

***


Jihoon pasrah. Membiarkan Luna memegang tangan kirinya dan menuntunnya pergi menjauhi kerumunan. Selama ini ia bersikap ramah kepada siapa saja. Ia selalu berusaha ramah kepada mereka yang memberi dukungan padanya, mereka yang mencintainya pada batas fans dan idola.

Jihoon dulunya adalah seorang artis cilik. Ia beberapa kali muncul di drama televisi dan acara ragam. Tentu saja bergabungnya ia ke SMA Hak Kun menarik perhatian. Terlebih ketika MOS, Jihoon banyak melakukan hal-hal aegyo yang membuat hati para gadis luluh.

Selain prestasi non akademis itu, secara akademis Jihoon termasuk dalam jajaran murid pintar. Jadilah aura sebagai bintang sekolah semakin bersinar dalam dirinya. Jihoon mempunyai banyak penggemar di sekolah.

Setiap pasang mata yang menatapnya pasti menunjukkan ekspresi kagum. Tapi, tidak dengan Luna. Saat itu Jihoon bersama murid kelas X lainnya datang ke basecamp Klub Teater untuk mengembalikan formulir pendaftaran. Setiap murid kelas X diwawancara oleh para senior saat menyerahkan formulir. Hari itu Luna juga berada di sana. Bersama Jisung, Jaehwan, dan beberapa senior Klub Teater lainnya.

Senior yang bertugas mewawancara calon anggota baru terkejut ketika melihat Jihoon maju. Tapi, tidak dengan Luna. Gadis itu menatap Jihoon dengan ekspresi wajar, bahkan cenderung datar. Walau ia satu-satunya gadis yang berada bersama jajaran senior.

Jihoon penasaran kenapa Luna bersikap seperti itu padanya. Gadis yang tak suka padanya saja bisa tersipu ketika di depannya, tapi kenapa tidak dengan Luna. Karenanya, ia merasa tertantang untuk menjadi dekat dengan Luna. Dan, Tuhan memihaknya. Karena suatu hal, ia pun menjadi dekat dengan Luna.

“Hami!” Suara Luna membuyarkan lamunan Jihoon. Tahu-tahu ia sudah berada di ruang UKS. Ia mengamati sekitar dengan ekspresi bingung. Jihoon tersenyum melihat tangan kanan yang dihiasi jam tangan itu masih menggandeng tangan kirinya.

“Oh! Lucy!” Luna kembali bersuara. Jihoon turut memandang gadis yang dipanggil Lucy oleh Luna.

Lucy berdiri tertegun. Menatap Luna, lalu turun ke tangan Luna yang menggandeng tangan Jihoon.

“Aku butuh peralatan untuk perawatan luka. Bisa bantu aku?” Luna meminta bantuan pada Lucy.

Lucy mengangguk dan bergegas menyiapkan apa yang diminta Luna.

Luna membawa Jihoon ke ranjang dan meminta pemuda itu duduk. Jihoon pun duduk di tepi ranjang. Luna memeriksa tangan kanan Jihoon. Jari tengah tangan kanan Jihoon terluka hingga berdarah.

“Hanya luka kecil. Nggak perlu khawatir.” Ujar Jihoon.

“Bukan lukanya yang bikin aku khawatir, tapi kamu.” Jawab Luna masih memegang dan mengamati jari tengah tangan kanan Jihoon.

“Aku??”

“Mm!” Luna menatap Jihoon. “Kamu nunduk dan aku melihat tanganmu mengepal. Bahkan mulai gemetar. Aku takut kamu meledak di sana.”

Jihoon tercenung. Menatap Luna yang berdiri di depannya. Benar yang dikatakan Luna. Ia tadi menundukkan kepala karena sudah berada di puncak emosinya. Ia berusaha meredam, tapi ketika tangannya terluka. Emosi itu semakin meluap-luap dalam dirinya. Jika Luna tak datang, mungkin ia sudah ‘meledak’. Mengamuk, meluapkan emosinya.

“Ini, Seonbae.” Lucy datang dan menyerahkan permintaan Luna. Setelah itu ia pergi, meninggalkan Luna dan Jihoon.

Luna membongkar kotak pemberian Lucy. Ia membersihkan luka di jari Jihoon dengan antiseptik. Jihoon meringis, karena luka itu terasa perih ketika terkena antiseptik.

“Lukanya cukup dalam.” Luna sembari membersihkan luka Jihoon dengan pelan dan hati-hati.

Jihoon memperhatikan Luna yang berada sangat dekat di hadapannya. Ia mengamati detail wajah gadis yang sukses menarik perhatian dan membuatnya penasaran itu. Tiba-tiba detub jantungnya meningkat.

“Apa seonbae tadi itu werewolf? Lukanya cukup dalam lho!” Luna kembali mengomentari luka Jihoon. Ia meniup luka yang baru dibersihkan itu, lalu mengoleskan antibiotik. Terakhir ia menutup luka itu dengan plester karakter berwarna pink.

“Aku heran. Kenapa laki-laki bisa suka warna pink?” Luna selesai merawat luka Jihoon. Ia merapikan peralatan dan pergi untuk mengembalikannya.

Jihoon menatap jarinya yang sudah tertutup plester. Ia tersenyum melihatnya.

“Jihoon-aa!” Kepala Luna menyembul dari balik gorden.

Jihoon terkejut dan menurunkan tangannya.

“Aku pergi dulu.”

“Nee??”

Luna tersenyum dan melambaikan tangan, lalu kepalanya menghilang di balik gorden.

“Seonbae!” Jihoon tak berhasil menghentikan Luna. Ia tersenyum, kembali menatap jari tangannya yang terbungkus plester. “Gomawo,” ujarnya yang kemudian turun dari ranjang, dan meninggalkan ruang UKS.

***


Murid kelas XI-E sudah berada di dalam laboratorium Biologi. Luna bersama kelompoknya sudah siap di meja yang berada paling depan, di sisi kanan meja guru. Karena Luna lebih banyak diam dan terlihat lelah saat tiba di kelas, Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin tak berani mengusiknya. Keempatnya tahu tentang insiden yang menimpa Jihoon dan keterlibatan Luna sebelum jam masuk sekolah. Walau ingin mendengar penjelasan versi Luna, melihat ekspresi Luna yang kurang bersahabat, anggota squad Moon Kingdom lainnya memilih untuk diam dan menunggu.

Katak dalam kotak kaca, papan bedah, pinset, pisau bedah, gunting bedah, paku bedah bertangkai, jarum bedah bertangkai, alat tulis dan jarum sonde, alkohol 70%, kapas, tisu, dan kantong plastik tertata rapi di atas meja. Luna menyiapkan semua bahan dan alat praktikum dengan terampil. Ia lega kelompoknya mendapat tugas meneliti organ tubuh katak, bukan kelinci.

Kemudian, Seongwoo membagikan celemek, handskun, dan masker pada anggota kelompoknya. Mereka segera memakainya. Luna berdiri di tengah-tengah. Woojin ada di samping kanan Luna, dan Seongwoo di samping kanan Woojin. Sungwoon ada di samping kiri Luna, dan Jisung ada di samping kiri Sungwoon.

Di depan kelas, Lee Songsaengnim memberi instruksi apa saja yang harus dilakukan sebelum praktikum dimulai. Setiap murid mendengarkannya dengan seksama. Selesai dengan penjelasannya, Lee Songsaengnim mempersilahkan murid-murid untuk memulai praktikum.

Jisung memeluk papan berisi kertas catatan untuk tugas praktikum. Woojin membasahi kapas dengan cairan alkohol 70%. Lalu, memberikannya pada Luna. Luna mengapit kapas itu dengan pinset dan memasukannya ke dalam kotak kaca yang berisi katak. Ia mendekatkan kapas itu pada katak.

“Sebentar lagi dia pasti mabuk.” Komentar Sungwoon memecah kebisuan.

“Akhirnya ada yang bicara. Aneh sekali bekerja kelompok dalam diam.” Sambung Jisung.

Luna masih diam, hanya tangan kanannya yang bergerak. Pinset dalam kotak bergerak mengikuti gerakan katak.

“Lihat! Dia mulai oleng!” Woojin menuding katak dalam kotak kaca.

“Maafkan kami katak.” Seongwoo memasang ekspresi sedih.

“Semoga saja dia bukan salah satu pasukan Gamabunta. Bisa gawat nanti kalau pasukan dari negeri katak menyerbu kita untuk balas dendam.” Luna akhirnya bersuara.

Jisung, Sungwoon, Woojin, dan Seongwoo kompak menatapnya.

“Kalian nggak pernah nonton Naruto ya?” Tanya Luna menanggapi respon keempat teman lelakinya.

“Tahu kok. Cuman seneng aja akhirnya kamu bersuara.” Jawab Sungwoon.

“Kamu kenapa sih?” Tanya Woojin.

“Capek. Tadi pagi harus ngejar bus. Sampai di sekolah disuguhi adegan ribut-ribut.” Jawab Luna.

“Para seonbae itu ribut kayak anak SD aja!” Komentar Jisung. “Tapi, Jihoon nggak papa kan? Tangannya terluka, kan? Ada yang bilang kamu datang di saat yang tepat. Dia bisa aja ngamuk kalau kamu nggak datang dan bawa dia pergi.”

Luna menyunggingkan senyum.

“Kataknya udah pingsan!” Tuding Seongwoo pada katak dalam kotak kaca.

Luna mengangkat pinset dan meletakannya di tatakan tempat peralatan praktikum tertata. Ia membuka tutup kotak kaca dan mengeluarkan katak yang sudah pingsan. Ia melakukannya dengan cekatan.

Jisung dan Seongwoo sama-sama menunjukkan ekspresi ngeri melihat apa yang dilakukan Luna. Ekspresi yang bisa terbaca dari mata mereka yang menyipit karena separuh wajah mereka tertutup masker. Luna mengangkat katak yang ia pegang dengan kedua tangan sejajar wajahnya. Keempat teman sekelompoknya menatapnya dengan heran.

“Terima kasih untuk jasamu. Terima kasih telah membantu kami. Maafkan kami. Aku doakan arwahmu tenang di sana. Aamiin...” Luna meletakan tubuh katak di atas papan bedah dengan posisi telentang. Kemudian, Luna menusukan jarum sonde pada keempat kaki katak agar tubuh katak tidak bergeser saat proses pembedahan.

“Luna...” Seongwoo merengek, merasa ngeri.

“Tutup saja matamu!” Perintah Luna.

“Bagaimana dia bisa setenang itu.” Jisung berbisik di dekat Sungwoon.

“Dia telanjang?” Komentar Woojin sukses menarik perhatian keempat rekannya. Woojin menatap katak yang telentang di atas papan bedah itu dengan mata melotot.

“Yap! He’s naked!” Jawab Luna. “Emang ada ya katak pakek baju?” Imbuhnya.

“Tahu nih anak!” Olok Sungwoon.

Sorry!” Woojin meringis. “He is??” Tanyanya kemudian.

“Kata penjualnya kemarin, katak ini jantan kan!” Jawab Jisung.

“Jadi, nggak usah segitunya kali! Masa iya kamu naksir katak jantan!” Sambung Luna.

“Ya! Kamu pikir aku apaan!” Protes Woojin.

“Komentar kamu tadi menggambarkan apa yang kamu pikirkan! Hahaha. Kamu pikir katak ini apa?” Sungwoon ikut mengomentari tingkah Woojin.

“Kalian!” Woojin kesal.

“Siapa yang mau mulai pembedahan?” Tanya Luna. “Dimulai dari dada secara melintang.” Imbuhnya.

“Aku kan tugasnya mencatat hasil praktikum.” Jisung menolak.

“Aku nanti bagian nyuci alat-alat aja.” Sambung Seongwoo.

“Alat apa yang kamu butuhkan? Pisau bedah?” Sungwoon sembari menyentuh peralatan yang sudah di tata Luna.

“Melintang itu gimana sih?” Tanya Woojin.

Luna menghela napas, lalu mengambil pisau bedah. Kemudian menekan-nekan dada katak, mencari titik yang pas untuk memulai pembedahan. Setelah menemukannya, Luna menancapkan pisau bedah dan dengan pelan memulai proses pembedahan.

“Aaa... katak... maafkan kami...” Seongwoo kembali merengek karena tak tega.

Jisung memalingkan muka, tak tega melihat katak yang mulai di bedah. Sungwoon dan Woojin diam, memperhatikan apa yang sedang dilakukan Luna.

Praktikum berjalan lancar walau diwarnai ke-lebay-an Seongwoo selama proses pembedahan. Jasad katak dan kelinci dikumpulkan. Lalu dua murid laki-laki membawanya keluar kelas. Jasad-jasad itu akan dikubur di taman belakang sekolah. Tukang kebun sudah menyiapkan kubangan besar sebagai makam.

Itu semua adalah permintaan Luna. Sebagai penghormatan terakhir atas jasad hewan-hewan yang digunakan untuk praktikum. Walau sempat menertawakan ide Luna, akhirnya Lee Songsaengnim setuju untuk mengubur jasad-jasad hewan yang digunakan untuk praktikum itu.

Usai dengan pelajaran Biologi, murid kelas XI-E bersiap untuk pelajaran olah raga. Para murid ganti pakaian olah raga dan menuju gedung olah raga indoor.

Luna masih berada di ruang ganti. Kebetulan kelasnya berbarengan dengan kelas X-E. Siswi di kelas Luna harus berbagi ruang ganti bersama siswi kelas X-E. Ia kembali bertemu Lucy yang juga kebetulan berada paling akhir di ruang ganti.

“Mau barengan?” Tanya Luna pada Lucy.

“Saya masih belum selesai. Seonbae, pergi saja dulu.” Tolak Lucy.

“Mm! Baiklah!” Luna pun meninggalkan Lucy.

Seragam olah raga SMA Hak Kun terdiri dari T-shirt putih dan celana traning hitam. Dilengkapi jaket untuk musim semi dan musim dingin.

Luna pun meninggalkan ruang ganti. Berjalan sendirian menyusuri koridor yang kosong. Jaket olahraganya ia ikatkan di pinggang. Ketika keluar dari koridor dan sampai di dekat taman, tali sepatunya lepas. Luna berjongkok untuk membetulkan tali sepatunya.

“Aw!” Pekik Luna saat ia berdiri dari posisi jongkok. Tubuhnya menabrak sesuatu. Dan, beberapa benda jatuh berserakan di bawahnya.

Luna mengangkat kepala dan menemukan Bae Jinyoung sudah berdiri jarak satu langkah di belakangnya. Pemuda itu lagi-lagi membawa tumpukan buku.

Kenapa sih tiap ketemu anak ini selalu tabrakan!  Umpat Luna dalam hati.

“Mian. Gwaenchannayo?” Tanya Jinyoung.

Luna tak menjawab. Ia memungut beberapa buku yang berjatuhan. Lalu, ia melihat gulungan solasi besar yang tergeletak di bawah bangku taman. Sambil berjongkong, Luna bergerak mendekati bangku. Ia mengulurkan tangan kanan untuk mengambil solasi itu.

“Aw!” Luna kembali memekik saat menarik tangan kanannya. Ia berdiri dan melihat luka berdarah memanjang pada bagian luar lengan kanannya bagian bawah.

“Gwaen-chana?” Jinyoung panik melihat tangan Luna berdarah.

Luna berdiri, meletakan buku dan solasi yang ia kumpulkan di atas tumpukan buku yang dibawa Jinyoung. Kemudian ia memeriksa lukanya. Jinyoung ikut melihat luka di tangan Luna dari tempatnya berdiri.

Lucy yang hendak menuju gedung olah raga menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan Luna dan Jinyoung yang berdiri tak jauh di jalan yang ia lalui. Lucy terkejut melihat Luna memegang tangan kanannya yang berdarah pada lengan bawah. Ia juga melihat tangan kanan Jinyoung yang memegang cutter kecil.

Luna dan Jinyoung menyadari kehadiran Lucy. Keduanya menatap Lucy yang berdiri mematung sambil menatap ke arah mereka.

Jantung Lucy seolah terjun bebas ke tanah ketika Jinyoung menatapnya. Tatapan tajam dari mata yang dihiasi lingkar hitam pekat itu seolah mengadilinya. Ia pun menundukkan kepala dan bergegas pergi. Meninggalkan Luna dan Jinyoung.

Luna menyipitkan mata melihat reaksi Lucy. Kemudian ia mengamati Jinyoung. Ia menemukan cutter kecil di tangan kanan Jinyoung. Apa dia pikir?? Batinnya kemudian kembali melihat luka di tangannya.

“Aku antar ke ruang UKS.” Suara Jinyoung membuyarkan lamunan Luna.

“Nggak usah.” Luna melepas ikatan jaketnya dan memakai jaket olah raga berwarna putih itu. “Sakit emang, tapi nggak parah kok. Lagian aku udah telat.”

“Mian.” Jinyoung menundukkan kepala.

Luna tersenyum. “Aku juga minta maaf. Setiap kali ketemu pasti nabrak kamu.”

“Kali ini salahku. Aku beneran nggak liat jalan.”

“Tumpukannya kurang tinggi.”

Jinyoung tersenyum samar.

“Aku harus ke gedung olah raga.” Luna pamit. Berjalan cepat meninggalkan Jinyoung.

Jinyoung menyincingkan bibir, tersenyum sinis. Lalu, ia pun kembali berjalan.


***


Luna masuk ke gedung olah raga ketika pemanasan telah dimulai. Lucy yang juga berada di gedung yang sama langsung menaruh perhatian pada seniornya itu. Ia melihat Luna meminta maaf pada guru olah raga kelas XI, lalu segera bergabung ke barisan untuk melakukan pemanasan.

Lucy kembali teringat kejadian di dekat taman. Tangan Luna yang berdarah dan Bae Jinyoung yang memegang cutter kecil di tangannya. Walau Jinyoung membawa setumpuk buku yang hampir menutupi wajahnya, Lucy yakin ada yang tak beres sebelum ia tiba di sana.

Jinyoung mungkin saja melukai Luna sebelum ia datang. Lucy merasa yakin akan hal itu. Luka di lengan bawah tangan kanan Luna tampak seperti luka sayatan. Lucy kembali menatap Luna. Ia berpikir tentang apa yang harus ia lakukan.

Sepanjang jam pelajaran olah raga, Lucy sering curi-curi pandang. Memperhatikan Luna. Ia penasaran apakah gadis itu baik-baik saja. Ia penasaran apa yang terjadi di antara Luna dan Bae Jinyoung sebelum ia datang di lokasi itu. Tapi, ia tak punya seseorang untuk membagi cerita itu.

Lucy merasakan sesuatu menghantam lengannya. Konsentrasinya pada Luna pun buyar.

“Mian!” Ujar suara pemuda itu.

Lucy menoleh ke arah kiri. Daehwi sudah berdiri di sampingnya.

“Oh.” Lucy bergumam tak jelas.

“Gwaenchanayo?” Daehwi memastikan.

“Mm.” Lucy mengangguk. Lalu, ia menatap Daehwi dan teringat kalau Daehwi adalah anggota Klub Teater.

Melihat Lucy menatapnya lurus-lurus, Daehwi pun salah tingkah. “Wae?” Tanyanya hati-hati.

Lucy mengerjapkan kedua matanya. Walau Daehwi anggota Klub Teater, belum tentu pemuda itu mengenal Luna dengan dekat. Satu-satunya murid kelas X yang dekat dengan Luna hanya Park Jihoon. Lucy tak akan mampu untuk berusaha dekat dengan murid populer itu.

Lucy teringat satu lagi murid kelas X yang dekat dengan Luna yaitu Lai Guanlin. Lagi-lagi ia tak punya nyali untuk mendekati pemuda itu. Mendekati murid perempuan saja ia kesulitan, apalagi murid laki-laki.

“Lucy?” Panggil Daehwi.

Lucy tersadar. Ia tersenyum kikuk pada Daehwi.

“Jangan kebanyakan melamun. Nggak baik.”

Lucy tersenyum dan mengangguk. Ia menepis rasa penasarannya. Berusaha berpikir positif tentang Luna dan Bae Jinyoung.

Walau berusaha menepis rasa penasarannya, Lucy masih terus memikirkan tentang Luna dan Bae Jinyoung. Saat jam istirahat tiba, ia bergegas menuju ke ruang UKS. Berharap Luna akan ke sana untuk perawatan lukanya. Tapi, sayang seniornya itu tak muncul. Lucy semakin yakin jika luka itu bukanlah luka biasa.

***


Luna duduk sendirian di dalam basecamp Klub Teater. Ia menggulung lengan kemejanya, kembali memeriksa luka di lengan kanannya. Luka karena tak sengaja tersayat besi yang menjadi bahan bangku di tepi taman saat ia mengambil solasi yang dibawa Bae Jinyoung.

Darah yang mengering membuat luka itu berwarna merah tua. Luna sengaja tak pergi ke ruang UKS untuk melakukan perawatan luka. Ia hanya membersihkan luka itu dengan air usai pelajaran olah raga di kamar mandi ruang ganti untuk murid perempuan. Jika Hami tahu perihal luka itu, ia bisa kerepotan karena harus menjelaskan detail bagaimana ia mendapat luka itu. Terlebih jika turut menyebut nama Bae Jinyoung demi menjelaskan secara jujur dan gamblang.

“Siapa yang melukai Seonbae?”

Luna terkejut. Tiba-tiba ada yang memegang tangan kanannya dan bertanya tentang luka itu. Pemilik suara itu tak lain adalah Jihoon. Luna mengangkat kepala dan tercenung menatap Jihoon yang berdiri menjulang di samping kanannya. Ia tak menyadari kehadiran Jihoon.

“Apa Seonbae mengalami seperti apa yang aku alami pagi tadi?” Buru Jihoon masih memegang tangan Luna. “Katakan! Siapa yang melakukannya!”

“Tidak seperti yang kamu bayangkan.” Luna menarik tangannya dan menurunkan kembali lengan kemeja panjangnya. Membuat Jihoon tahu tentang cerita sebenarnya jauh lebih mengerikan daripada Hami.

“Terjadi karena kecerobohanku. Murni kecerobohanku. Bukan karena orang lain.” Luna menegaskan. Luka itu memang murni karena ulahnya, kan? Jadi, dia sepenuhnya jujur.

Jihoon duduk di bangku kosong di samping kiri Luna. “Baiklah. Aku percaya. Reaksi dari postingan Seonbae cukup mengerikan.”

“Maafkan aku. Padahal tadi pagi aku datang penuh emosi dan ingin menegurmu. Tapi, aku tahu aku juga salah. Harusnya tulis motivasi tentang belajar yang benar saja. Bukan tentang apalah itu rasa suka dan sejenisnya.”

“Penuh emosi? Menegurku?”

“Semalam aku berpikir, kamu sudah bertindak terlalu jauh. Postinganmu itu, seolah-olah pendapat teman-teman benar. Sebagai balasan atau entah apalah itu dari postinganku. Atau hanya timing-nya saja yang tepat? Tentang postingan kita? Kebetulan gitu?”

“Aku sengaja kok.”

Luna menoleh. Menatap Jihoon dengan ekspresi heran, juga tak paham.

Timing-nya memang tepat. Aku sengaja membuat postingan itu.” Jihoon tersenyum manis.

“Jihoon-aa, aku tahu kita memang sedang dipandang dekat sekarang. Tapi menurutku, kamu sudah bertindak terlalu jauh. Karena kita—”

“Yah! Keduluan lagi!” Daehwi memasuki basecamp dan terlihat kecewa melihat Luna sudah duduk ditemani Jihoon. Ia berjalan mendekat lalu berkata, “Park Jihoon, aku butuh kartu anggota perpustakaan yang ada padamu.”

“Untuk apa?” Tanya Jihoon yang menatap Daehwi dengan ekspresi tak paham. Ia bingung Daehwi tiba-tiba meminta kartu tanda anggota miliknya.

“Kemarin siang teman satu kelompokmu meminjam empat buku sekaligus. Itu tidak bisa. Peraturan perpustakaan kita hanya dua buku untuk satu kali peminjaman dengan waktu pinjam selama satu minggu. Karena ia memaksa dan mengatakan bahwa itu untuk tugas kelompok dan dia satu kelompok denganmu, aku mencatat dua buku lainnya pada kartumu di perpustakaan. Harusnya hari ini dia membawa kartumu, tapi sepertinya dia tidak akan datang karena aku pikir dia takut padamu. Terlebih pagi tadi mood-mu sudah dikacaukan oleh seonbae-seonbae itu.” Daehwi mengoceh menjelaskan kronologi kejadian.

“Teman kelompokku? Siapa?”

“Han Joohee!” Daehwi dengan lancar menyebut nama Joohee.

“Oh dia.”

“Harusnya kamu membantunya. Dia kan tipe gadis pemalu.”

Jihoon tercenung menatap Daehwi. “Aku tidak pernah menekan kelompok belajarku. Kami sepakat akan mengerjakannya bersama-sama.”

“Ah, pasti dia merasa terbebani karena satu kelompok denganmu!”

“Kenapa harus merasa terbebani?” Tanya Jihoon.

“Persepsi orang itu beda-beda. Tapi, rata-rata pada takut sama Park Jihoon.”

“Takut padaku? Kenapa?”

“Haruskah aku jelaskan secara detail? Kamu kan pinter, coba cari sendiri. Kira-kira kenapa mereka pada takut ke kamu.”

“Trus, kamu takut juga sama Jihoon?” Luna yang sebelumnya hanya diam menyimak, buka suara.

“Oh, Seonbae!” Daehwi segera tersenyum pada Luna. Jihoon mengerutkan kening melihatnya. Sebelumnya Daehwi berbicara padanya tanpa senyum sedikitpun. Tapi ketika berbicara pada Luna, wajah teman seangkatannya itu berubah berseri.

“Tujuanku sebenarnya adalah Seonbae. Tapi, jadi teralihkan karena melihat Jihoon juga ada di sini.” Daehwi melanjutkan.

“Tujuanmu adalah aku?”

“Mm!” Daehwi mengangguk yakin. “Aku telah merenungi kata-kata Seonbae di postingan itu. Aku telah memantabkan hati. Aku akan mengakuinya.”

Luna dan Jihoon kompak tertegun, menatap Daehwi.

“Tidak apa-apa. Aku akan mengakuinya di depan Park Jihoon juga. Aku sudah tidak tahan lagi. Menahan rasa itu benar-benar menyiksa. Walau tidak mudah, aku akan mengakuinya.”

“Apa maksudmu?” Tanya Jihoon. Nada bicaranya datar dan tajam.

“Aku...”

“Oke!” Jaehwan memasuki basecamp bersama Jisung. “Jadi, ketua pasrah pada kita? Oke! Oke! Kita akan mengambil peran keseluruhan. Oh, Luna?” Ia baru menyadari keberadaan Luna di dalam basecamp.

“Luna, ketua kita angkat tangan. Dia bilang dia sibuk dan fokus belajar.” Jisung segera mengeluh. “Apa semua senior tingkat tiga semua begini? Menyerahkan semua pada kita murid tingkat dua saat murid tingkat satu sudah resmi bergabung?”

“Mereka harus fokus belajar, kan? Dan, memang dibebastugaskan dari kegitan klub. Tapi, nggak dilarang juga kalau mau aktif.” Jawab Jaehwan. “Sebentar lagi juga pergantian pengurus. Aku setuju kamu jadi ketua.” Ia menepuk bahu Jisung.

“Apa aku bisa? Anggota Klub Teater tahun ini naik drastis.”

“Kan nanti dibantu sama pengurus lain.”

“Huft... Apa kata nanti saja. Anggota lain sedang menuju ke sini. Luna, kamu nggak pengen jadi ketua?”

“Aku nggak suka terikat jabatan.” Jawab Luna. “Jadi pengurus berarti punya tanggung jawab lebih besar dari anggota biasa. Aku tidak suka itu.”

“Tapi, setahun ini kamu udah banyak bantu klub. Bahkan, udah kayak pengurus. Atau jangan-jangan kamu udah daftar klub lain?” Jaehwan curiga. “Fotografi?” Tebaknya.

“Aku nggak seserius itu di dunia foto-foto. Lagian modalku cuman kamera hape.” Bantah Luna.

“Aku tahu kamu bohong!” Jaehwan tidak begitu saja mempercayai alasan Luna.

“Kalaupun ada klub lain yang ingin aku ikuti, yang pasti bukan Klub Fotografi.”

“Karena Minhyun ada di sana?” Tebak Jaehwan.

Luna mengerutkan kening. Jihoon, Daehwi, Jisung menatap Luna, lalu Jaehwan. Sebagian besar dari mereka tahu cerita lama tentang Luna dan Minhyun. Tapi, mereka tak menyangka Jaehwan akan membawanya pada obrolan non pribadi seperti sekarang ini.

“Ups!” Jaehwan menutup mulutnya.

“Salah satunya iya.” Jawab Luna santai.

“Kemarahannya awet ya. Sampai tahunan. Padahal hanya gara-gara tugas sekolah.” Komentar Jisung. Ia lega Luna tak marah.

“Persepsi orang kan beda-beda. Sifatnya juga beda. Orang sentimental biasanya kalau ngambek awet.” Daehwi ikut berkomentar.

Jaehwan melirik Luna yang menatapnya tajam. Ia mengucap kata sorry tanpa bersuara. Membuat Luna melengos.

Anggota Klub Teater satu per satu memasuki basecamp. Setelah semua berkumpul, diskusi pun dimulai. Kali ini tidak hanya membahas rencana pergantian pengurus. Tapi, juga tentang festival sekolah yang akan digelar saat musim panas nanti.

Di tengah-tengah diskusi, Luna teringat pada Daniel. Ia jadi sedikit gusar hanya karena sebuah pertanyaan di benaknya; apakah Daniel menunggunya di halte.

Pagi tadi mereka sepakat waktu tunggu adalah tiga puluh menit. Jika ia tidak muncul dalam waktu tiga puluh menit, maka Daniel boleh pergi. Ia percaya Daniel akan melakukannya. Terlebih seluruh sekolah pasti telah mendengar pengumuman tentang diharuskannya anggota Klub Teater berkumpul setelah jam pulang sekolah. Luna berusaha meyakini jika Daniel telah pulang lebih dulu. Tapi, ia masih merasa gusar.

Luna mengeluarkan ponselnya, hendak menghubungi Gunlin yang satu kelas dengan Daniel—dan kemarin Daniel juga bertanya pada pemuda itu perihal dirinya yang tak kunjung datang di halte. Tapi, ia urungkan. Walau Guanlin tipe pemuda yang cuek pada urusan orang lain, meminta bantuannya tentang Daniel tetap akan jadi masalah tersendiri bagi Luna.

Luna mendesah pelan. Kembali menyimpan ponselnya. Saat ia mengangkat kepala, ia mendapati Jihoon yang duduk tak jauh di depannya sedang fokus menatapnya. Tatapan tajam dan menyelidik yang membuat Luna merinding.

Luna mengedarkan pandangan pada seluruh anggota Klub Teater yang duduk melingkar di atas lantai. Dan juga ketua klub yang sedang berdiri di tengah-tengah lingkaran, memimpin jalannya diskusi. Luna kembali menatap Jihoon. Pemuda itu masih menatapnya. Luna menghela napas dan meraih kertas yang sempat ia abaikan di atas lantai. Ia berusaha konsentrai pada kertas itu. Walau pikirannya tidak bisa diajak kompromi untuk fokus pada isi kertas itu.

***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews