My 4D Seonbae - Episode #10 "Rasa Penasaran Itu Selalu Merepotkan"

06:02

                                           "Rasa Penasaran Itu Selalu Merepotkan"





Usai membersihkan diri, Luna merebahkan tubuh lelahnya di sofa. Hari yang panjang dan melelahkan. Ia ingin terlelap barang sejenak saja. Tapi, wajah-wajah itu berseliweran di otaknya. Daniel, Jihoon, Daehwi, Jaehwan, Minhyun, Bae Jinyoung, Lucy. Ia mendesah dengan kasar. Untuk saat seperti ini, ia jadi membenci otaknya yang terlampau aktif.

Luna tipe orang yang gampang penasaran, hanya saja ia pandai menyembunyikan rasa itu. Dan, sebenarnya ia tak suka jika sudah dibuat penasaran pada suatu hal. Terlebih jika ia tak mendapatkan jawaban yang memuaskan atas rasa pensaran itu. Ia juga tipe orang yang lebih banyak menggunakan otaknya dibanding fisiknya. Walau ada kalanya ia terlampau aktif menggunakan fisiknya, otaknya jauh lebih aktif.

Daniel muncul pertama kali di otaknya karena saat pulang tadi ia lega tak melihat pemuda itu persimpangan jalan. Ia sudah bersiap marah jika Daniel muncul dan menunggunya di sana, seperti kemarin. Luna menatap langit-langit kamarnya. Mencoba mengingat kapan ia pertama kali bertemu Daniel sebelum pemuda itu menyelamatkannya dari kejaran Bogi. Saat itu Daniel mengatakan jika Luna pernah menolongnya. Tapi, Luna sama sekali tidak ingat kapan dan di mana.

“Biasanya ingatanku tak seburuk ini,” keluhnya. “Mungkin saja di sekolah. Tapi, kapan? Saat hari pertama masuk sekolah?” Luna terus berusaha mengingat pertemuan pertamanya dengan Daniel. “Atau kejadiannya bukan di pertemuan yang pertama? Ah! Kenapa aku jadi begini penasaran? Bukankah menolong seseorang nggak boleh diingat-ingat?”

Luna bergerak gusar. Membenahi posisinya agar lebih nyaman. “Ada rahasia dibalik setiap peristiwa. Tapi, kali ini apa? Aku, Daniel, Jihoon, Bae Jinyoung. Jihoon ... apa yang mendorongnya bertindak terlampau jauh? Apa dia memang haus perhatian dan ketenaran? Lalu, Bae Jinyoung. Kenapa aku selalu tabrakan sama dia sih setiap kali ketemu?!”

Luna kembali diam. Reka adegan pertemuannya dengan Bae Jinyoung kembali terputar di otaknya. “Masa iya Bae Jinyoung seperti itu? Keliatannya sih nggak. Lagian tubuh kami nggak saling menyentuh saat tabrakan. Setidaknya tidak sepenuhnya saling menyentuh.” Tiba-tiba Luna menyilangkan tangan di dada. Memeluk dirinya sendiri, membuat perlindungan untuk dirinya sendiri.

“Polisi sudah memberi pernyataan bahwa dia bersih, kan? Dari kasus itu. Tapi, wajar kalau orang masih curiga padanya. Sambil terus mengingat masa lalunya, pasti orang masih berpikir ah ya Bae Jinyoung memang gitu. Dia pasti sangat kesepian, karena dikucilkan.” Luna mengusuk lengannya sendiri. Lalu, ia teringat pada Lucy. Bagaimana junior itu menatapnya, lalu menatap Bae Jinyoung, dan berlanjut pada luka di lengannya.

“Gawat!” Luna tiba-tiba bangkit dan duduk. “Itu bisa jadi salah paham! Lucy bisa aja mikir luka itu ulah Bae Jinyoung. Dan, citra Bae Jinyoung yang malang itu akan semakin suram. Bagaimana ini?” Ia mendadak panik sendiri.

“Bae Jinyoung ... Lucy ....” Luna berpikir keras. “Jaehwan kan sekelas sama Bae Jinyoung. Dan, Daehwi sekelas sama Lucy. Aaa!!! Apa sih ini! Aw!” Luna menjatuhkan kepalanya terlalu keras ke sandaran lengan pada sofa hingga ia memekik karena sakit terbentur sandaran lengan pada sofa.

“Apa yang harus aku lakukan?” Luna yang sudah terbaring kembali bicara. “Lee Daehwi juga. Anak itu! Aku harus bagaimana?”

Ponsel Luna yang tergeletak di atas meja bergetar. Luna meraihnya. Sebuah pesan masuk.

Guanlin: Apa kamu sudah di rumah?

Luna membaca isi pesan dari Guanlin. Lalu, terdiam sejenak. Ia menduga-duga apakah Guanlin mengirim pesan karena Daniel. Mengingat selama berteman Guanlin tak pernah berbasa-basi seperti itu. Pemuda itu mengirim pesan seperlunya dan selalu to the point.

Kenapa?

Balas Luna singkat. Ia menunggu balasan Guanlin dengan sedikit tidak sabar. Ponselnya kembali bergetar. Sesuai harapan Luna, balasan dari Guanlin tiba. Pesan yang lumayan panjang. Seperti yang ia duga, Guanlin mengirim pesan karena Daniel. Pemuda itu memberi bonus Luna sebuah ceramah cukup panjang yang intinya sebaiknya Luna memberi Daniel nomer ponselnya. Karena Guanlin tidak mau lagi jadi “Pak Pos” bagi keduanya.

“Dih! Pak Pos!” Luna memaki ponselnya. Ia kembali terdiam. Kali ini pikirannya terfokus pada Daniel. Ia menimbang, haruskah memberi pemuda itu nomer ponselnya.

Luna termasuk tipe yang pilih-pilih dalam memberikan kontak pribadinya. Orang-orang yang memiliki nomer ponselnya hanyalah orang-orang pilihan atau orang-orang yang beruntung seperti Jisung cs yang kebetulan jadi satu kelompok dengannya. Jisung beralibi agar lebih mudah berkomunikasi saat membahas tugas kelompok, membuat Luna akhirnya menyerah dan memberikan nomer ponselnya. Dengan syarat Jisung dan tiga anggota kelompoknya yang lain tidak boleh memberikan nomer ponselnya pada sembarang orang.

“Ah! Lebih baik aku menyanyi saja!” Luna bangkit dari tidurnya dan mengambil gitar. “Let the music heal your soul ...” ia bersenandung menyanyikan lagu Let The Music Heal Your Soul, single dari Bravo All Stars yang dirilis pada tahun 1998. Ia mengenal lagu itu dari Aro, kakak sulungnya.

Luna kembali duduk di sofa. Menyetel gitar akustik di pangkuannya, lalu memainkannya. Luna menggenjreng gitarnya. Lalu, kembali diam.

“Apa sebaiknya direkam sekarang? Lalu, di upload seperti yang aku janjikan pada Jihoon? Tapi, situasi masih keruh. Tapi kalau aku nggak nyebut namanya seperti yang aku janjikan apa dia akan baik-baik aja? Atau dia akan ngamuk? Bodo amat ah! Ribet banget kucing satu ini!”

Luna memaki dirinya sendiri, lalu bergegas menyiapkan kamera ponselnya. Menyesuaikan posisi, mengatur sudut yang pas untuk dirinya terekam dalam kamera. Setelah yakin posisi itu pas, Luna menekan tombol merah pada layar ponselnya. Proses rekaman pun dimulai. Seperti biasa, nantinya ia akan mengunggah video itu ke Instagram dan kanal Youtube miliknya.

Karena kebiasaannya itulah—menyanyikan lagu Korea yang sedang populer dengan lirik dalam bahasa Indonesia—Luna mendapatkan banyak followers di Instagram dan juga mendapat banyak subcribe di kanal Youtube miliknya. Buah dari usahanya sendiri, di samping bantuan kakak keduanya yang seorang artis dan gemar menyebut nama akunnya di Instagram.

Dinar yakin jika Luna melakukan semua itu dengan serius, Luna bisa menjadi Youtuber terkenal dan Selebgram. Sayangnya, Luna melakukan hobi itu hanya untuk bersenang-senang yang murni bersenang-senang. Tanpa ada tujuan untuk meraup keuntungan dari sana. Video yang ia unggah pun tanpa editan sama sekali. Luna malas untuk melakukan editing yang bisa mempercantik tampilan videonya.

Luna memberi salam dan berbasa-basi sejenak. Lalu ia mulai menggenjreng gitarnya, memainkan sebuah melodi. Luna menyanyikan lagu I.P.U (I Promise You) milik Wanna One versi akustik dengan lirik dalam bahasa Indonesia.

Saat sakura mulai gugur
Pertama ku jumpa kamu
Saat kurasakan adanya getar itu tak asing untukku
Sekarang kan ku katakana
Aku sangat ketakutan
Kupikir saat itu saat terakhir ku melihat dirimu

Kau peluk aku saat ku sedih
Kau peluk aku saat ku tak baik
Ku masih ingat tatapan matamu itu
Akan kusimpan di hatiku selamanya

Ku berjanji takkan kulupakan
Kau yang buatku hidup kembali
I promise you I promise you
Aku kan jadi yang terbaik

Ku berjanji takkan ku tinggalkan
Dirimu yang buatku bersinar
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini
I promise you

Saat ku berharap kan ada seseorang
Yang mau tinggal di sisiku
Walau dunia meragukanku
Hanya dirimu percayai ku
Seperti bunga yang tak mekar
Dan ku mulai menyerah
Tapi hanya kau yang lihat aku
Memelukku saat ku mulai goyah

Hari-hari yang kulalui sangatlah berharga
Seperti hadiah yang selalu buatku bahagia
Seperti bulan dalam pelukan sang mentari
Kau yang paling cantik dan bersinar selamanya

Ku berjanji takkan kulupakan
Kau yang buatku hidup kembali
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini
I promise you

Setelah musim-musim berlalu
Bahkan waktu kita pun berlalu
Tolong jangan lupakan awal kita
I promise you baby
Ingat slalu...

Walau ku tak tahu diriku
Tapi kau kenali aku
Karena dirimu
Di sinilah aku
Jangan ragu I remember
Selamanya I remember
Forever and ever
I promise you

Berjanjilah kau takkan berubah
Kan tetap begini sampai akhir
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini

I promise you
Uh oh oh oh oh
Uh oh oh oh oh
I promise you
Uh oh oh oh oh
Uh oh oh oh oh
Di depanmu
Ku berjanji

Luna melambai ke kamera dan mengakhiri rekaman. Kemudian, ia memeriksa video rekaman yang ia buat. Untuk ukuran amatir, permainan gitarnya boleh dibilang lumayan. Modal yang Luna miliki hanyalah percaya diri. Ya, percaya diri untuk mempublikasikan video-video cover song yang ia buat. Walau penampilannya jauh dari kata sempurna.

Bukannya tak terpengaruh oleh komentar pada postingannya. Baik komentar negatif, juga positif pasti mempengaruhi Luna yang lebih banyak menggunakan otak daripada fisik. Tapi, ia selalu kembali pada prinsipnya; semua itu untuk menyenangkan dirinya sendiri, terserah apa kata orang. Toh selama ini yang ia buat bukanlah hal negatif.

Setelah yakin videonya tanpa cela—menurut standar penilaiannya sendiri, Luna mengunggah video tersebut pada kanal Youtube-nya. Kemudian, ia memotong video itu untuk diunggah ke Instagram sebagai langkah promosi.

Selesai dengan itu semua, Luna kembali merebahkan tubuhnya di sofa. Bernyanyi memang selalu membuatnya merasa lebih baik. Selanjutnya, Luna pun jatuh tertidur di atas sofa. Menutup hari yang amat melelahkan baginya.

***


Karena tidur di sofa, Luna merasakan sakit di sekujur tubuhnya saat bangun. Ia berjalan dengan malas menuruni tangga. Dan seperti yang ia duga, Daniel sudah menunggunya.

“Selamat pagi!” Sapa Luna.

“Selamat pagi!” Balas Daniel lengkap dengan senyum manisnya. Keduanya pun berjalan beriringan.

“Senangnya hari ini nggak perlu lari-lari.” Daniel memulai obrolan.

“Benar sekali. Kemarin adalah hari yang melelahkan.”

“Bagaimana kaki Seonbae?”

“Udah nggak sakit.”

“Syukurlah.”

Keduanya kembali terdiam. Berjalan dalam diam membuat Daniel bosan. Sesekali ia melirik Luna.

“Seonbae, tahu apa yang terjadi di komunitas sekolah pagi ini?” Tanya Daniel, kembali memulai obrolan.

“Nggak. Aku jarang kunjungi komunitas sekolah. Pagi ini kenapa?”

“Ada yang membagikan link video yang Seonbae unggah semalam.”

“Benar kah?” Luna sampai menghentikan langkah.

Daniel yang juga menghentikan langkah, mengangguk mantab.

“Apa-apaan sih mereka itu.” Luna kembali berjalan.

Daniel turut kembali melangkah. “Aku juga udah nonton.”

Luna serta merta menoleh. Ia kaget mendengar pengakuan Daniel. Wajahnya tiba-tiba terasa panas. Luna menggerakan kepalanya, kembali menatap ke arah depan. Ia tak mau Daniel melihat wajahnya yang memerah. “Gomawo. Aku heran apanya yang menarik sampai kalian menontonnya.”

“Bukannya tujuan dari di upload-nya video itu, biar ditonton orang, kan?”

“Hehehe. Iya sih. Tapi ... ah sudahlah. Walau aku bilang itu hanya untuk bersenang-senang, tetap saja tujuan akhirnya disimpulkan begitu.”

Daniel tersenyum melihat tingkah Luna. Ia jadi membenarkan komentar yang menyebut Luna gadis aneh.

Luna beralih ke samping kanan Daniel ketika melewati rumah merah maroon tempat Bogi tinggal. Walau Bogi menggonggong dari dalam pagar yang tertutup rapat, Luna tetap merasa takut. Terlebih melihat tingkah anjing itu yang berjalan kesana-kemari, lalu melompat-lompat berusaha keluar dari pagar.

Daniel tertawa, lalu menyapa Bogi tanpa menghampiri dan mengelus puncak kepala anjing berbulu coklat itu. Luna ngeri melihatnya. Manusia berakrab-akraban dengan anjing masih menjadi hal yang mengerikan baginya.

Daniel dan Luna tiba di halte. Mereka naik bus dan duduk berdampingan. Tapi, Luna masih diam. Sejak melewati rumah Bogi, gadis itu diam. Hingga sampai di halte dan naik bus. Daniel bertanya-tanya, ada apa gerangan. Tapi, ia tak berani bertanya. Karena mungkin Luna memang sedang tak ingin mengobrol.

Bukan karena Bogi, Luna diam karena memikirkan kemungkinan yang akan ia temui saat ia tiba di sekolah. Efek dari video yang di unggahnya semalam. Tiba-tiba ia merasa menyesal karena terburu-buru menggunggah video itu. Sedang masalah postingannya di komunitas sekolah belum redam.

Memang ia tak punya tujuan khusus. Ia hanya melakukan apa yang ia ingin lakukan saat itu. Tapi, seperti yang dikatakan Daehwi, persepsi tiap orang berbeda. Daehwi? Ketika nama itu muncul dalam ingatannya, Luna tersentak. Daniel yang duduk di sampingnya sampai bisa merasakan reaksi tubuh Luna itu.

“Seonbae, baik-baik saja?” Tanya Daniel.

“Ah, iya. Aku baik-baik saja. Hanya teringat sebuah tugas yang hampir aku lupakan.” Kilah Luna.

“Tugas sekolah?”

“Mm!” Luna mengangguk.

“Semoga saja tidak jadi masalah besar. Bukan guru killer, kan?”

“Nggak sih. Cuman bawel.”

“Oh. Sama parahnya.”

“Mm.” Luna tersenyum lesu.

Keduanya kembali diam hingga bus sampai di halte di dekat sekolah. Luna turun lebih dulu, lalu Daniel menyusul di belakangnya. Luna yang sudah berjalan tiga langkah, tiba-tiba berhenti. Daniel yang berjalan di belakangnya turut berhenti. Luna menghela napas, menggeleng pelan, lalu berjalan dengan langkah lebih cepat.

Daniel yang masih bertahan di posisinya memandang punggung Luna yang berjalan semakin menjauhinya. Daniel tersenyum getir, lalu kembali melangkah. Menyusul Luna menuju sekolah.

***


“Nggak papa.” Jihoon tersenyum manis. “Itu demi kelompok kita. Kebetulan aku sama Daehwi berada di klub yang sama. Kemarin dia udah bawa kartu anggotaku. Lain kali, kamu bisa bilang padaku atau yang lain jika butuh sesuatu.”

“Gomawoyo.” Joohee membungkukan badan.

“Bilang terima kasih pada Daehwi juga. Dia yang membantumu, kan?”

“Nee.” Joohee mengangguk dan tersenyum. Ia senang melihat Jihoon yang begitu ramah padanya pagi ini. Bahkan pemuda itu tak mempermasalahkan ide Daehwi yang meminjam kartu anggotanya tanpa izin dulu.

“Nanti kita akan berkumpul dan membahas materi yang udah kita rangkum. Lalu, kita bikin laporannya sama-sama. Ntar tinggal siapa yang bersedia ngetik.”

Joohee hanya menganggukan kepala.

Jihoon pun kembali tersenyum. Lalu, ia mengalihkan pandangannya. Senyum yang lebih lebar terkembang di wajah tampannya. Joohee mengikuti arah pandangan Jihoon. Ternyata pemuda itu sedang menatap Luna yang berjalan menuju kelasnya. Gadis itu berjalan dengan langkah cepat dan kepala tertunduk.

Kenapa gadis setenar dia jalan sambil menundukkan kepala? Gumam Joohee dalam hati.

Jihoon mengeluarkan ponsel dari saku celananya. Joohee memperhatikan apa yang sedang dilakukan Jihoon. Pemuda itu segera sibuk dengan ponselnya. Jihoon mengetik sebuah pesan di ponselnya. Pesan untuk Luna.

Terima kasih untuk videonya. Aku nggak nyangka Seonbae menyanyikannya dalam Bahasa Indonesia. Padahal waktu itu menyanyikan dalam bahasa asli, kan? Aku sangat suka lagu ini. Mewakili apa yang aku alami. Aku harus rajin-rajin mengunjungi akun Seonbae. Jika tidak ada yang membaginya di grup, aku nggak akan tahu kalau video itu sudah dibuat dan diunggah. Seonbae, jjang! :)

Jihoon tersenyum puas usai mengirim pesan yang ia ketik pada Luna. Lalu, ia tampak terkejut saat melihat Joohee masih berdiri di hadapannya. Dia masih di sini? Batinnya.

Joohee tersenyum. “Aku ke kelas dulu.” Pamitnya.

“Oke.” Jihoon menggaruk kepalanya dengan canggung ketika Joohee berjalan pergi meninggalkannya. Kedua matanya menangkap sosok Daehwi yang berdiri melipat tangan dan menatapnya lurus dari jarak yang agak jauh dari tempatnya berada. Jihoon menyunggingkan senyum di wajahnya. Lalu melangkah pergi.

***


Daehwi sengaja berangkat lebih awal. Lalu, ia berhenti tak jauh dari gerbang sekolah dan menunggu di sana. Tak lama kemudian ia melihat Jihoon datang. Ia hampir melambaikan tangan, tapi ia urungkan. Karena pemuda itu segera melengos, membuang muka.

Daehwi masih memperhatikan Jihoon ketika Joohee tiba-tiba menghentikan Jihoon. Ia menyipitkan mata, mengamati Jihoon dan Joohee. Daehwi memutar kedua bola matanya melihat Jihoon tersenyum dan beramah-tamah dengan Joohee. Tapi, ia merasa lega Jihoon tak marah pada Joohee perihal kartu anggota perpustakaan itu.

Luna melintas, menyela pengintaian Daehwi. “Seon—“ Daehwi hendak memanggil Luna, tapi ia urungkan. Ia teringat Jihoon yang ada di seberang sana. Dan, tepat seperti dugaannya, pemuda itu langsung memandang Luna dengan ekspresi khas seseorang yang sedang jatuh cinta.

Bibir Daehwi mengerucut, ekspresinya sewot melihat tingkah Jihoon. Ia melipat tangan, menatap lurus pada Jihoon. Saat Jihoon menatapnya, ia bergeming. Ia melihat cibiran itu sebelum Jihoon beranjak dari tempatnya.

Daehwi mendengus. Menurunkan kedua tangannya, lalu berjalan menuju kelasnya. Sesampainya di kelas, tatapan Daehwi tertuju pada Lucy yang sedang duduk di mejanya. Gadis itu duduk di bangku paling depan, tepat di sebelah jendela. Kepalanya sedang tertunduk. Di atas mejanya terdapat sebuah buku yang sedang terbuka. Sepertinya gadis itu sedang membaca.

Daehwi menghela napas. Berjalan memasuki kelas, melewati Lucy dan duduk di bangkunya yang berada dua baris di belakang Lucy. “Tindakan selalu lebih sulit,” keluhnya sembari menatap keluar jendela.

***


Daehwi membawa nampan berisi menu makan siang. Ia berdiri mengawasi suasana kantin yang ramai, mencari bangku kosong untuknya duduk. Kemudian, ia berjalan menyusuri deretan meja panjang yang di kedua sisinya terdapat kursi-kursi. Rata-rata kursi dari meja-meja itu sudah terisi.

Daehwi menghentikan langkahnya, hanya ada satu kursi di meja itu. Ia tidak punya pilihan lagi. Usai menghela napas panjang, ia pun berjalan menuju meja itu.

“Permisi. Saya bergabung di sini ya.” Daehwi meletakan nampannya dan duduk.

Jaehwan mengangkat kepala. “Oh, Lee Daehwi!” Sapanya usai melihat siapa yang minta izin untuk duduk di hadapannya

“Oh, Seonbaenim!” Daehwi tersenyum lega melihat Jaehwan. Lalu ia melihat ke arah kanan, melihat orang yang duduk di samping kiri Jaehwan. “Seonbae,” Daehwi menyapa Minhyun.

Minhyun tersenyum tulus. “Silahkan makan. Jangan sungkan.” Ujarnya.

“Nee. Kamsahamnida. Selamat makan.” Daehwi pun mulai makan.

“Kemarin apa yang kalian lakukan?” Jaehwan tiba-tiba menyerang Daehwi.

“Mm?” Daehwi mengangkat kepalanya, menaruh perhatian pada Jaehwan.

“Kau, Jihoon, dan Luna.”

Daehwi seketika menghentikan gerak mulutnya yang sedang mengunyah makanan dan melirik Minhyun. Dia dan juga Jaehwan tahu jika Luna adalah musuh lama bagi Minhyun. Tapi, kenapa Jaehwan malah membahas Luna di tempat yang Minhyun juga ada di sana.

“Itu….” Daehwi ragu.

“Saat kami datang, kalian sudah di sana. Selesai rapat, kalian pun pergi sama-sama. Itu mencurigakan.” Jaehwan melanjutkan interogasinya.

“Bukan kah Kim Jaehwan Seonbaenim dekat dengan Luna Seobaenim. Kenapa nggak nanya ke Luna Seonbaenim langsung?” Daehwi kembali melirik Minhyun. Pemuda itu terlihat tak terusik. Tetap khidmat memakan menu makan siangnya.

“Kenapa semua beranggapan aku dekat dengan Luna? Dulu, saat kelas X kebetulan tempat duduk kami berdekatan. Itu saja. Kami tidak sedekat itu. Luna itu tipe orang yang sulit dibaca dan dipahami. Dia bahkan jarang berinteraksi dengan orang lain. Saat kelas X, ke mana-mana ia hanya bersama Song Hami. Tapi, belakangan aku lihat dia berubah.”

“Seonbae sangat memperhatikan Luna Seonbae. Apa Luna Seonbae tahu?”

“Kenapa dia harus tahu?”

Daehwi kembali melirik Minhyun, lalu menatap Jaehwan lagi. “Mungkin saja Seonbae menyukai Luna Seonbae,” Daehwi mencondongkan tubuhnya ke depan. Berbicara lirih pada Jaehwan.

“Mwo??” Mulut Jaehwan membulat.

Minhyun yang turut mendengar ucapan Daehwi menahan tawa.

“Nggak lah!” Bantah Jaehwan. “Kami memang dekat, tapi sebatas teman”

“Tadi katanya nggak terlalu dekat.”

“Itu… Pokoknya nggak seperti itu!”

“Oke.” Jawab Daehwi santai. “Lagian udah ada Park Jihoon di sisi Luna Seonbae.”

Minhyun tiba-tiba tersedak. Membuat Jaehwan dan Daehwi kompak menoleh dan menatapnya. Minhyun tetap cuek, meminum air putih dalam gelas tanpa mengalihkan pandangan. Jaehwan dan Daehwi kembali fokus pada menu makan siang mereka.

“Luna nggak komentar soal hasil rapat kemarin?” Jaehwan kembali memulai obrolan.

“Nggak.”

“Lalu, kalian pergi untuk apa?”

“Seonbae pengen tahu banget sih!”

“Aku penasaran. Luna kenapa nolak jadi kandidat ketua klub.”

“Ya tanya aja sendiri.”

Jaehwan menatap Daehwi dengan gemas. “Udah jiplak jawabanku saat tes masuk, sekarang begini sikap kamu.”

“Jiplak?” Pupil Daehwi melebar saat menatap Jaehwan. “Oh itu! Aku nggak tahu menahu soal Seonbae sebelumnya. Alasan mirip wajar aja kan? Aku merasa tidak bisa menonjol kalau bergabung Klub Musik. Di sana pasti banyak orang mahir bermusik. Tapi di Klub Teater, aku bisa jadi lebih berguna. Karena, di sana nggak semua bisa main alat musik.”

“Itu dulu juga alasanku masuk Klub Teater. Karena aku yang lahir duluan, jadi kamu yang jiplak!”

“Terserah apa kata Seonbae lah.”

“Orang memiliki pemikiran yang hampir sama itu wajar.” Minhyun tiba-tiba berkomentar. Membuat Daehwi kaget hingga melongo.

“Pikiran kita tak terbatas, jadi wajar aja kalau menangkap sebuah ide yang sama. Seperti yang terjadi pada kalian.” Imbuh Minhyun.

“Itu mirip jawaban Luna Seonbae. Saat di seleksi penerimaan, dan kami debat seperti barusan. Daebak!” Daehwi menutup mulutnya dengan kedua tangan.

Minhyun tersenyum. “Bukti dari apa yang aku jelaskan barusan, kan?”

“Iya. Intinya sama.” Daehwi mengamini.

“Kau tahu? Kadang aku juga berpikir begitu, Minhyun dan Luna sangat mirip. Tapi, kenapa mereka bisa berantem dan nggak akur sampai sekarang? Betah banget!” Jaehwan menyela.

Daehwi menatap Minhyun. Pemuda itu hanya tersenyum menanggapi ocehan Jaehwan. “Orang yang mirip dalam banyak hal terlebih dalam hal pemikiran, kadang egonya sama-sama tinggi. Aku rasa pada kasus Luna Seonbae dan Minhyun Seonbae seperti itu.”

Lagi-lagi Minhyun hanya tersenyum.

“Padahal cuman karena tugas dan Luna sudah menggantinya.” Jaehwan menggeleng heran. “Oh!” Mulut Jaehwan kembali membulat. “Jihoon ke kantin dengan seorang gadis.”

Daehwi dan Minhyun mengikuti arah pandangan Jaehwan. Jihoon ke kantin bersama Joohee.

“Oh, itu teman sekelasnya, sekaligus teman satu kelompoknya.” Daehwi memberi penjelasan. “Reaksi Seonbae seperti itu, apa mau menciptakan gosip baru?”

Jaehwan terkekeh. “Bukannya seru kalau ada bumbu-bumbu seperti itu dalam cerita? Luna dan Jihoon adem ayem aja. Bikin bosan.”

“Seonbae pikir kita sedang main drama apa?”

“Jaehwan emang kayak gitu orangnya.” Ujar Minhyun.

“Mungkin ada kabel yang konslet di otak Jaehwan Seonbaenim.” Komentar Daehwi, membuat Minhyun terbahak.

“Aku setuju sama kamu.” Minhyun di sela tawanya.

“Awas kamu ya! Berani mem-bully senior.” Ancam Jaehwan.

Daehwi menjulurkan lidah. Ia lalu memperhatikan Minhyun yang berusaha menghentikan tawanya. Ia tersenyum, lalu melanjutkan makan.

***


Luna menyipitkan mata. Sedang Guanlin terus mengoceh di depannya. Keduanya sedang berada di dalam kelas, bersiap untuk mengikuti pelajaran tambahan English Conversation (EC). Walau keduanya boleh dibilang mahir dalam berbahasa Inggris, keduanya tetap memilih EC sebagai pelajaran tambahan.

Luna ingin memperdalam kemampuan bahasa Inggris-nya. Karena itu ia memilih EC. Sedang Guanlin, entah karena alasan apa. Mengingat kemampuan bahasa Koreanya yang masih minim, harusnya pemuda itu mengambil pelajaran tambahan bahasa Korea khusus untuk murid asing. Seperti yang dilakukan Luna di tahun pertamanya menempuh pendidikan di SMP. Tapi, pemuda itu justeru memilih EC.

“Intinya, kamu harus ngasih nomer hape kamu ke Daniel. Aku capek jadi pak pos buat kalian.” Saat berdua saja dengan Luna, Guanlin selalu memakai bahasa Inggris yang tidak mengikat mereka sebagai senior dan junior. Seperti setiap kali dalam pertemuan Klub Anak Rantau. “Lagian niat Daniel kan baik. Dia nepatin janjinya ke kamu. Dia anak yang baik kok. Atau, kalau dia macam-macam, bilang aja ke aku. Aku akan hajar dia!”

Luna berdecak. “Badan aja gedean Daniel, mau sok-sok hajar dia.” Oloknya.

“Kecil-kecil gini aku kuat lho!” Guanlin mengangkat kedua lengannya ala-ala atlet binaraga.

“Kamu cuman menang tinggi aja dari Daniel. Jangan sok-sokan gitu dah.”

“Aku kuat tahu!”

“Jadi, dia ceritain semua ke kamu?”

“He’em. Mulai dari insiden dikejar anjing itu sampai kesanggupan dia nemenin kamu tiap pulang.”

Luna diam. Merenungi penjelasan Guanlin. “Sebenernya dia pernah minta langsung ke aku.”

“Nah! Trus, kenapa nggak dikasih?”

Luna diam tak menjawab.

“Dia bisa aja minta ke aku. Tapi, dia nggak lakuin itu. Artinya dia sangat menghormati kamu.”

Luna masih diam.

“Tapi, semua terserah kamu sih. Sebenernya waktu dia nungguin kamu, dia sempet kirim pesan ke akunmu di komunitas sekolah. Tapi, kamu nggak bales. Karena itu dia nanya aku. Karena dia tahu kita deket. Aku sih yang cerita kalau kita lumayan deket.”

“Annyeong!” Hami masuk ke dalam kelas XI-F yang akan digunakan sebagai kelas EC. Ia tersenyum lebar, lalu berjalan mendekati Luna. “Sekarang berdua-duaan sama Guanlin? Eh! Kamu Guanlin, kan?”

“Nee.” Jawab Guanlin lengkap dengan senyum manisnya.

Hami membalas senyum.

“Kamu ngapain di sini?” Tanya Luna.

“Aku kan ikut EC.”

“Eh?”

“Nggak usah kaget gitu lah!” Hami duduk di bangku di samping kanan Luna. “Kamu kenapa tiba-tiba nanya soal Lucy?”

“Cuman penasaran.”

“Kenapa penasaran sama cewek sih? Kamu normal? Ah ya! Normal! Buktinya kamu dalam proses mau pacaran sama Jihoon. Atau udah pacaran? Atau hubunganmu sama Jihoon cuman sandiwara buat nutupin ketidaknormalanmu?”

Luna menatap sinis pada Hami. Sedang Guanlin melongo, mendengar ocehan Hami.

Tawa nyaring Hami memenuhi kelas. “Bercanda. Aku tahu kamu normal. Tapi, maaf. Aku nggak terlalu dekat sama Lucy walau kami satu ekskul PMR. Setahuku dia itu anak yang pendiam dan penyendiri. Tapi, dia bisa mengikuti jalannya ekskul dengan baik.”

“Jadi, selalu diam dan memperhatikan?”

“Betul! Kalau disuruh maju ke depan, dia sedikit kikuk memang. Tapi, dia menguasai materi dan bisa mempraktekannya dengan baik.”

Luna diam. Berpikir tentang Lucy usai mendengar penjelasan Hami.

Pintu kelas kembali terbuka, Daniel muncul dari balik pintu. Masuk ke dalam kelas dengan senyum manisnya.

“Wah! Siapa dia? Senyumnya manis sekali!” Komentar Hami.

“Teman sekelas saya. Namanya Kang Daniel.” Jawab Guanlin.

Daniel berjalan mendekat dan memberi salam pada kedua seniornya.

“Kamu gabung EC juga?” Sambut Guanlin.

“Nee. Banyak orang salah duga karena namaku. Mereka berpikir aku orang asing atau berdarah campuran. Aku pikir aku harus belajar bahasa Inggris dengan baik. Agar aku tak mengecewakan mereka.” Daniel kemudian tersenyum kikuk sambil melirik Luna.

Luna tersenyum samar. Daniel melihat senyum itu dan ikut tersenyum.

“Alasanmu lucu. Aku Song Hami. Kelas XI-A. Dan dia, kamu pasti sudah tahu siapa dia. Mezzaluna yang terkenal itu, dari kelas XI-E.” Hami memperkenalkan diri dan Luna.

Satu per satu murid peserta EC masuk. Guru pembimbing pun datang. Guru pembimbing meminta murid menata bangku menjadi melingkar. Lalu, pelajaran pun dimulai.


Luna berjalan pelan, keluar dari area sekolah. Ia merasa lelah, tapi ia masih harus melakukan satu hal lagi. Daniel yang menunggunya tak jauh dari gerbang melihat Luna berjalan ke arah berlawanan. Ia ingin memanggil Luna, tapi ia tak bisa. Walau sebenarnya beramah tamah dengan sesama murid itu normal, tapi Daniel sudah berjanji akan bersikap seperti sebelumnya—tak saling bertegur sapa—saat di sekolah.

“Dia mau ke mana?” Gumam Daniel sambil memiringkan kepala.

Guanlin keluar tak lama setelah Luna. Ia melihat Daniel yang berdiri mematung, menatap ke arah kiri. Ia pun menoleh ke arah kiri dan menemukan Luna yang sedang berjalan sendirian. Guanlin menggeleng, lalu berteriak, “Luna Seonbaenim!”

Daniel kaget karena teriakan Guanlin. Luna pun menghentikan langkah dan berbalik.

“Seonbae mau ke mana? Kok berjalan ke arah sana? Halte kan ada di sana?” Guanlin menunjuk arah kanan.

Luna melihat Guanlin, lalu Daniel yang berdiri di sana. “Belajar kelompok.” Jawabnya.

Guanlin tersenyum. Ia yakin Daniel juga mendengarnya. “Baiklah. Hati-hati di jalan. Jangan sampai kelelahan. Ingat, kaki Seonbae baru pulih dari cidera. Aku pulang dulu!” Guanlin melambaikan tangan pada Luna. Ia sempat menoleh dan tersenyum pada Daniel sebelum pergi.

Daniel dan Luna saling menatap dalam jarak yang lumayan jauh itu. Luna tersenyum, lalu membalikan badan dan kembali berjalan. Daniel menghela napas. Lalu berjalan ke arah yang berlawanan dengan Luna.

***


Luna masuk ke dalam kedai ramen yang letaknya tak jauh dari sekolah. Ia celingukan mengamati sekitar. Park Woojin melambaikan tangan padanya. Ia sudah duduk di kursi yang mengitari meja nomer 8. Luna tersenyum, lalu mendekati Woojin yang tak sendirian di meja nomer 8. Ada Jaehwan bersamanya.

“Kalian belum pesan?” Tanya Luna seraya duduk bergabung.

“Nungguin kamu.” Jawab Woojin.

“Ya udah. Pesan sekarang.” Perintah Luna.

“Kenapa ngajak ketemu di sini?” Tanya Jaehwan. “Kamu bilang kamu duduk di meja nomer delapan. Saat aku tiba, udah ada dia.” Ia menunjuk Woojin.

“Sudah kubilang aku juga menerima pesan yang sama!” Woojin membela diri.

“Benar kok. Aku memang mau ketemu sama kalian berdua.” Luna menengahi. Membuat Woojin dan Jaehwan kompak menatapnya. “Aku pengen ngobrol santai sama kalian.”

Woojin dan Jaehwan saling memandang dalam diam.

“Buruan pesan makanan dulu. Kalian nggak laper apa?” Perintah Luna.

Woojin selesai menyerahkan pesanan. Ia kembali duduk, bergabung bersama Jaehwan dan Luna.

“Sebenernya pengen ngobrol apa sih? Sampai bikin jebakan kayak gini?” Tanya Woojin. “Aku kayak kena jebakan kencan buta. Eh, yang duduk di meja nomer delapan ternyata cowok!”

Luna tersenyum mendengarnya. “Emang kamu ngarepnya siapa yang duduk di sini?”

“Ya kamu lah!”

“Kan udah aku tulis, siapapun itu yang datang lebih dulu, duduk di meja nomer delapan ya. Kalau meja itu udah ada orangnya, duduk di meja yang dekat sama meja nomer delapan.”

“Dan, sialnya aku yang datang duluan. Trus harap-harap cemas nungguin kamu. Eh, yang muncul ternyata Park Woojin!” Jaehwan kesal.

“Maaf, maaf. Ternyata seru ya. Yuk, kapan-kapan kita coba metode ini. Buat jodohin sapa gitu.” Usul Luna riang.

“Kamu sama Minhyun?” Celetuk Jaehwan yang sukses membuat senyum di wajah Luna sirna.

Woojin menatap Luna dengan khawatir. Ia segera menendang kaki Jaehwan.

“Palingan dia langsung kabur begitu liat aku!” Jawab Luna. Nadanya terdengar santai.
“Jadi gini, aku ngajak kalian ketemu di sini karena aku ingin dengar banyak hal tentang….” Luna menatap Jaehwan, lalu Woojin. Dua pemuda itu menaruh perhatian penuh padanya. “Bae Jinyoung!” Luna menyelesaikan kalimatnya.

“Bae Jinyoung?” Pekik Jaehwan kaget.

“Kenapa Bae Jinyoung?Ada apa dengan Bae Jinyoung?” Woojin yang sebenarnya juga kaget lebih bisa menguasai emosinya. Tergambar dari nada suaranya yang tetap tenang.

“Kim Jaehwan teman sekelas Bae Jinyoung, dan Park Woojin teman satu klub Bae Jinyoung di Klub Basket. Apa pilihanku salah?”

“Kenapa kamu tiba-tiba tertarik sama Bae Jinyoung?” Tanya Woojin.

“Iya. Kamu tahu kan gimana dia?” Sambung Jaehwan.

“Ada yang bilang pasti ada rahasia di balik sebuah peristiwa. Ketika seseorang datang dalam kehidupanmu, pasti ada rahasia di balik peristiwa itu.”

“Bae Jinyoung datang ke dalam kehidupanmu?” Tanya Woojin.

“Aku nggak bilang gitu.”

“Itu tadi—“ Woojin tak melanjutkan ucapannya karena pemilik kedai datang dan menyajikan pesanan. Ketiganya berterima kasih pada pemilik kedai.

“Silahkan makan!” Luna mempersilahkan. “Ah, kenapa aku suka sekali pada segala sesuatu yang berbau mie?” Ia mulai mengaduk-aduk hidangan di hadapannya.

Woojin dan Jaehwan juga sibuk dengan makanan di hadapan mereka.

“Ketika seseorang datang dalam kehidupanmu, pasti ada rahasia di balik peristiwa itu. Jadi, Bae Jinyoung datang ke kehidupanmu?” Woojin mengulang pertanyaannya yang sempat terjeda.

“Mm!” gumam Luna sembari mengunyah makanan di dalam mulutnya. “Aku hanya penasaran.”

“Ya! Penasaran pada Bae Jinyoung sebaiknya dihentikan!” Jaehwan menyela.

“Kenapa? Dia teman kita juga kan?”

“Kalau kau bosan pada Park Jihoon, kau boleh cari yang lain. Tapi, jangan Bae Jinyoung!” Jaehwan kukuh.

“Ini nggak ada hubungannya sama Park Jihoon!”

“Cewek yang udah punya pacar kenapa penasaran sama cowok lain? Itu aneh tau!”

“Cara pandangmu hanya sebatas itu?”

Jaehwan tak bisa berkata-kata.

“Polisi menyatakan Bae Jinyoung tidak bersalah. Surat wasiat yang ditinggalkan korban sebelum bunuh diri pun menyatakan bahwa Bae Jinyoung bukanlah pelaku. Tapi, kenapa orang-orang masih berpikiran buruk tentangnya? Bae Jinyoung yang malang.”

“Kamu tidak tahu betapa mengerikannya dia.” Ujar Jaehwan.

“Emang kamu pernah diapain sama dia?”

“Ya… nggak pernah sih.”

“Pernah nggak kamu mikir seandainya kamu di posisi dia?”

Jaehwan terdiam. Menatap Luna. Begitu juga Woojin. Luna menghela napas. Lalu kembali makan.

“Sebenarnya aku gabung Klub Basket hanya iseng. Klub itu berisi orang-orang keren. Tapi, di sana aku lebih banyak jadi kacung pelatih.” Woojin mulai bicara. “Aku nggak nyangka Bae Jinyoung milih Klub Basket. Sedang reputasinya di sekolah seperti itu. Kupikir, dia cari mati saja.”

Luna makan sambil menyimak ocehan Woojin. Jaehwan pun sama.

“Kami sering bersama karena sama-sama sering jadi kacung pelatih.” Woojin melanjutkan. “Sangat canggung memang. Apalagi di awal-awal. Tapi sebenarnya kalau di ajak ngobrol, dia bisa merespon juga kok. Maksudku nggak melulu jadi pendengar. Dia emang nggak banyak bicara. Kadang kami bercanda saat membersihkan lapangan atau merapikan bola usai latihan. Menurutku dia hanya terlalu takut untuk memulai.”

“Lalu, bagaimana kesehariannya di kelas?” Luna beralih pada Jaehwan.

“Sama seperti yang dikatakan Woojin. Dia amat sangat jarang sekali pakek banget bicara. Kalau tidak ada yang bertanya padanya, seharian pun dia bisa diam di kelas. Aku satu kelompok dengannya. Jika tidak ditanya, dia akan diam saja. Diberi bagian apa pun akan dia terima. Walau itu hal sulit, dia nggak pernah menolak.” Jaehwan menjabarkan kebiasaan Bae Jinyoung sejauh yang ia tahu.

“Kenapa kamu tiba-tiba penasaran sama Bae Jinyoung? Maksudku kenapa baru sekarang? Kita kan udah satu tahun jadi teman seangkatannya.” Woojin kembali bicara.

“Saat kelas sepuluh, kita masih junior. Tidak ada hal lain yang bisa dilakukan kecuali belajar. Tentang apa pun itu. Bukan hanya tentang pelajaran, tapi tentang teman-teman, sekolah, dan guru. Mungkin kita hanya terfokus pada teman sekelas saja di awal. Tapi, semakin lama berkembang pada teman seangkatan dan senior. Tapi walau ada rasa penasaran, kita akan menahan diri.” Luna diam sejenak.

Woojin dan Jaehwan menunggu.

“Harusnya pakai kata aku, bukan kita kan? Karena, itu semua yang aku rasakan. Entah yang lain bagaimana.” Luna melanjutkan, seolah berbicara dengan dirinya sendiri.

“Aku juga gitu kok.” Woojin berkomentar. “Itu mengapa aku hanya diam dan mengawasimu. Kelas sebelas kita satu kelas dan satu kelompok. Aku senang.”

“Kamu penasaran padaku?” Luna tak percaya mendengar pengakuan Woojin.

“Aku rasa bukan aku aja. Tapi, banyak siswa lain juga.”

“Tapi, di antara semua kenapa Bae Jinyoung? Apa benar cerita dalam novel?” Jaehwan menyela.

“Kenapa cerita dalam novel?” Tanya Luna.

Good girl always falling in love with bad boy.”

“Bae Jinyoung bad boy?” Giliran Woojin bertanya.

“Definisi bad boy kan beragam. Bukan pemuda berandalan yang gemar tawuran aja. Tapi, bisa jadi pemuda dengan masa lalu kelam seperti Bae Jinyoung.”

“Ya, Kim Jaehwan. Penasaran itu bukan berarti jatuh cinta. Tapi, kalau jatuh cinta sudah pasti penasaran. Dan, satu hal yang sama dari keduanya. Penasaran itu selalu merepotkan!” Luna menyanggah tebakan Jaehwan yang menduga dirinya jatuh cinta pada Bae Jinyoung.

“Jika publik sampai tahu, pasti akan heboh. Karena selama ini Luna dan Jihoon adem ayem aja. Tapi, tiba-tiba muncul Bae Jinyoung. Bagaimana jika cerita ini sampai ke telinga publik?” Goda Jaehwan.

“Dasar tukang gosip!” Maki Luna.

“Tapi, aku nggak akan berani lakuin itu. Nyebarin gosip Jihoon-Luna-Jinyoung. Sama aja aku bunuh diri.” Jaehwan terkekeh.

“Baiklah. Aku akan jujur pada kalian. Jujur alasanku kenapa tiba-tiba bertanya tentang Bae Jinyoung pada kalian.”

Woojin dan Jaehwan langsung menaruh perhatiannya pada Luna. Luna pun menceritakan semuanya, tentang dirinya dan Bae Jinyoung. Tanpa ada yang disembunyikan.

“Aku percaya kalian. Jika masalah ini sampai bocor, berarti pelakunya salah satu dari kalian.” Luna menutup penjelasannya.

“Gawat juga kalau Lucy sampai berpikiran seperti yang kamu prediksikan. Dia mengira Bae Jinyoung yang melukai lenganmu.” Komentar Woojin.

“Lalu, kita harus bagaimana?” Tanya Jaehwan.

“Mengawasi dan bersiap melakukan misi penyelamatan.” Jawab Luna.

“Wah! Kita seperti detektif aja.” Jaehwan tiba-tiba tersenyum dan wajahnya bersemu merah.

“Kontrol emosi dan ekspresimu Kim Jaehwan!” Luna menegur. “Mulai sekarang kalian adalah sekutuku. Aku ingin kita melakukan ini sama-sama. Kita tidak mungkin tutup mata dan tutup telinga jika Bae Jinyoung mengalami hal yang semakin buruk lagi kan di sekolah?”

Woojin dan Jaehwan sama-sama terdiam menatap Luna.

“Oke. Aku ralat. Aku nggak mungkin tutup mata dan tutup telinga lagi. Karena aku nggak mampu lakuin misi ini sendirian, aku minta bantuan kalian untuk jadi sekutuku.”

“Aku pria bebas seperti burung camar. Aku siap membantumu.” Woojin tersenyum lebar.

“Ini terdengar keren. Lalu, apa yang harus aku lakukan?” Sambung Jaehwan.

Luna tersenyum menatap Woojin, lalu Jaehwan.

***

Hari sudah gelap saat Luna berjalan pulang. Ia merasa lelah. Terlebih karena tak ada Daniel bersamanya, ia harus memilih gang lain dan memutar demi menghindari Bogi. Ia menaiki tangga dengan pelan dan langsung merebahkan tubuh di sofa ketika sampai di rooftop-nya. Satu per satu kejadian hari ini terputar ulang dalam ingatannya. Luna menimbang apakah yang ia lakukan sudah benar. Mencari jawaban untuk memuaskan rasa penasarannya.

Ponsel dalam saku seragam Luna bergetar. Membuyarkan lamunannya. Ia pun mengeluarkan ponsel itu dan melihat nama Dinar muncul di layar untuk sebuah panggilan video. Luna pun menerima panggilan video dari kakak keduanya itu.

“Kok masih pakek seragam?” Tanya Dinar saat wajahnya muncul di layar.

“Baru pulang. Tadi ada tugas kelompok.”

“Udah makan?”

“Udah.”

Jeda hening sejenak.

“Besok keluarga kedua akan terbang ke Korea.” Dinar kembali bicara.

“Besok ya?”

“Emang kamu nggak dapet kabar?”

“Dapet kok. Dari Bunda.”

Dinar memiringkan kepala. “Kok kayaknya nggak seneng gitu?”

“Canggung pasti lah. Empat tahun nggak ketemu mereka.”

“Iya juga sih. Apalagi kamu dasarnya pemalu. Walau sekarang malu-maluin.”

Luna mendelik menatap layar ponselnya. Dinar tertawa melihatnya.

“Yang pasti kamu harus berkunjung. Ada banyak titipan buat kamu. Oya, aku udah liat video terbarumu. Permainan gitarmu makin bagus. Gimana kalau ntar kamu balik ke Indo kita bikin band?” Dinar kembali menawarkan bisnis di dunia hiburan pada Luna. “Ah! Pasti seru! Kita bakal tenar dengan mudah. Karena, kamu udah lumayan tenar sekarang.”

Luna mendengus, merespon ocehan Dinar.

“Mas Aro nitip salam. Makasih produknya udah kamu pakai di video cover terbaru kamu.”

“Desainnya makin bagus. Sekarang nggak dominan warna hitam?”

“Nggak. Warnanya mulai bervariasi. Desainnya juga. Kamu udah liat foto yang aku kirim kan? Banner kita full body yang dipasang distro. Kita memang cocok jadi model.”

“Stop deh! Aku nggak minat jadi artis!”

“Nggak minat, tapi apa-apa yang dilakuin dah kayak artis. Artis Youtube sama Instagram.”

“Udahan? Aku capek!”

“Hmmm….”

Luna memberengut.

“Ya udah. Buruan istirahat sana. Jangan lupa mengunjungi keluarga kedua.”

“Ntar kalau mereka udah kelar beberes.”

“Kenapa kamu nggak bantuin beberes?”

“Gue di sini nggak nganggur!”

Dinar terbahak. “Ya ya ya. Oke. Met istirahat adekku sayang. Mimpi indah ya.”

Luna tersenyum menatap ponselnya setelah Dinar mengakhiri panggilan videonya. Ia pun bangkit dari duduknya dan membersihkan diri, bersiap untuk istirahat.

Saat berbaring di ranjang, Luna kembali mengecek ponselnya. Ada pesan dari Dinar. Ia meminta Luna mengecek akun Instagramnya. Luna buru-buru membuka Instagram. Dinar kembali usil. Ia mengunggah screenshot video call-nya bersama Luna. Wajah Luna terlihat kuyu dalam gambar itu.

“Mas Dinar! Ah! Lagi-lagi usil!” Luna kesal. Segera mengetik pesan panjang, meluapkan amarahnya pada Dinar.

***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews