My 4D Seonbae - Episode #6 "Tuhan, Mari Kita Ciptakan Sebuah Skenario Yang Indah"

05:07

          My 4D Seonbae - Episode #6 "Tuhan, Mari Kita Ciptakan Sebuah Skenario Yang Indah"






Mungkin karena aku lahir di bawah naungan bulan dan berzodiak Cancer, aku jadi gemar berkhayal. Otakku tidak bisa berhenti memikirkan banyak hal bahkan ketika aku sedang terlelap. Terkadang hal-hal yang aku pikirkan muncul dalam mimpiku, dan ketika aku kembali terjaga, aku membuat benang merah dari semua runtutan kejadian itu. Kejadian yang aku temui di dunia nyata, lalu kejadian yang aku khayalkan di otakku yang merupakan lanjutan dari kejadian yang aku lihat di dunia nyata, dan kejadian dalam mimpi ketika aku terlelap.

Aku sendiri tak paham kenapa aku begini. Melihat beberapa kejadian, otakku langsung bekerja membuat banyak pemisalan. Bagaimana jika kelanjutan dari kejadian tadi seperti ini dan bla bla bla... Hal itu terus bermunculan di otakku dan tak bisa aku hentikan. Tak jarang hal itu membuatku tersiksa. Tak bisa tidur nyenyak hanya karena sebuah khayalan.

Mas Aro, kakak sulungku memberiku solusi. Tulis saja semua dalam diary. Bahkan, ia membelikanku sebuah buku diary berwarna hijau. Dari sana, aku mulai menuangkan khayalan di kepalaku. Saat itu aku masih kelas V SD. Solusi Mas Aro sangat banyak membantuku. Bahkan, dulu Mas Aro selalu menjadi pembaca tulisan buah dari otakku yang gemar berkhayal. Sampai-sampai ia mengatakan, "Kau berbakat jadi penulis." Mas Aro juga yang mendukungku untik menulis di blog. Agar ceritaku bisa dibaca dan dikenal orang, katanya. Aku menurut saja. Karena, terapi menulis itu memang efektif untukku.

Semakin bertambah usiaku, otakku semakin menjadi. Terkadang aku ingin mewujudkan isi dalam otakku ke dalam dunia nyata. Karenanya, Mas Aro menyarankan aku ikut kegiatan klub di sekolah. Klub yang bisa menjadi terapi untukku. Saat SMP, aku bergabung dalam Klub Jurnalistik. Sebenarnya ada Klub Sastra, tapi ini Korea. Aku pikir aku tidak akan sanggup jika bergabung. Karena, aku tidak paham tentang sastra Korea.

Bergabung dalam Klub Jurnalistik lumayan membantuku. Aku bisa belajar menulis artikel dan tulisan non fiksi. Tapi, aku juga masih bisa menulis fiksi berdasarkan khayalanku. Bahkan, ketika klub kami mendapat kesempatan untuk tampil dalam acara perpisahan kakak kelas, aku dipercaya untuk menulis naskah drama yang akan dipentaskan. Itu adalah pertama kalinya aku bisa mewujudkan isi khayalan otakku menjadi nyata.

Ketika masuk SMA, aku memilih bergabung dalam Klub Teater. Aku selalu berterima kasih pada Song Hyuri Seonbaenim. Karena dia, aku kembali menjadi pusat perhatian. Dengan cerita masa SMP yang disebarkan teman-temanku, aku menjalani seleksi masuk Klub Teater dengan mudah. Klub Teater termasuk dalam klub tiga besar di SMA Hak Kun. Karenanya, untuk bergabung harus melalui seleksi ketat. Jika bukan karena Song Hyuri Seonbaenim, aku pasti tidak akan melewati seleksi dengan mudah. Inilah yang dinamakan ketenaran membawamu pada banyak kemudahan. Naskah pertunjukan untuk acara kelulusan dan demo klub di depan para junior adalah buah khayalan otakku. Lagi-lagi aku bisa mewujudkannya menjadi sebuah kenyataan.

Bagaimana aku tidak semakin mencintai Tuhan jika Ia terus membuatku melambung tinggi seperti itu? Karenanya, aku selalu berbisik dan membujuk-Nya. Tuhan, mari bekerja sama denganku. Kita tulis sebuah skenario yang indah. Bukan hanya untukku, tapi juga untuk orang-orang di sekitarku. Agar kami semua hidup berbahagia.

***


Jihoon terkejut ketika membuka pintu rooftop tempat tinggal Luna. Bukan Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin yang berdiri di luar sana. Tapi, seorang pemuda yang tadi sempat ia lihat di sekolah. Pemuda yang ia temui di kelas X-F ketika ia mencari Lai Guanlin. Pemuda yang sedang asik ngobrol dengan seorang siswi di bangku paling belakang dekat jendela. Pemuda yang memberi tahunya di mana Lai Guanlin berada.

Sama sepertinya, pemuda yang ia tak tahu siapa namanya itu pun tampak terkejut ketika ia muncul dari balik pintu. Jihoon menatapnya dalam diam. Pemuda itu balas menatapnya, tanpa ragu.

“Apa benar itu mereka?” Tanya Luna. Membuyarkan kosentrasi Jihoon.

“Eung, bukan.” Jawab Jihoon masih menatap sosok yang berdiri di hadapannya.

“Bukan? Lalu siapa?”

“Ini aku, Seonbae.” Jawab seorang pemuda di hadapan Jihoon.

“Daniel??” Luna menebak.

Jihoon menatap Daniel yang masih berdiri di depan pintu, di luar rooftop. Daniel membalas tatapan Jihoon, lalu tersenyum.

“Iya. Ini aku.” Jawab Daniel.

“Oh. Masuklah!”

Jihoon minggir. Memberi jalan untuk Daniel. Daniel pun masuk, ia sempat menundukkan kepala saat melewati Jihoon. Jihoon bergeming, tak memberi respon apa-apa. Ia menutup pintu, lalu berjalan di belakang Daniel, dan kembali duduk di sofa tempat ia semula duduk.

Daniel berdiri di dekat sofa. Ia membawa sebuah bungkusan di tangannya. “Bagaimana kondisi Seonbae?” Tanyanya pada Luna.

“Malam harinya bengkak, Ibu Kecil khawatir dan langsung membawaku ke dokter. Sekarang sudah lebih baik.” Jawab Luna. “Jihoon, ini Kang Daniel. Dia yang menolongku dari kejaran anjing. Dia satu sekolah dengan kita dan kebetulan tinggal satu komplek denganku.” Luna tak lupa memperkenalkan Daniel pada Jihoon.

Jihoon menatap Daniel yang berdiri tak jauh di samping kirinya. Pemuda yang menjulang tinggi di hadapannya itu tersenyum padanya. Jihoon pun mengembangkan senyum. “Terima kasih sudah membantu pacarku.”

Daniel terkejut mendengar pernyataan Jihoon. Untung saja ekspresi itu tak terlalu kentara, tersamarkan oleh senyumnya. “Hanya kebetulan. Karena kami tinggal di komplek dan melewati jalan yang sama. Andai Seonbae tidak lari, Bogi tak akan mengejarnya. Dan, insiden itu tak akan terjadi.”

“Takdirnya hari Sabtu emang harus gitu.” Luna menyela. “Nggak ada yang perlu disalahkan.” Imbuhnya.

“Terima kasih juga karena tadi sudah membantuku di sekolah. Aku jadi bisa menemukan Lai Guanlin dengan mudah.” Jihoon kembali berterima kasih atas bantuan Daniel. “Dunia ini sempit sekali ya?” Imbuhnya sembari menyunggingkan senyum.

Daniel tersenyum saja. Lalu, teringat pada bungkusan yang ia bawa. “Oya, omma memintaku memberikan ini pada Seonbae.” Daniel meletakkan bungkusan yang ia bawa di atas meja.

Luna meraihnya. “Apa ini?” Tanyanya sambil membuka bungkusan pemberian Daniel.

“Kimchi. Kemarin omma membuat kimchi. Saat aku bercerita tentang Seonbae yang cidera dan tinggal sendirian di Korea, omma memintaku membawa kimchi ini untuk Seonbae.”

“Wah, terima kasih.” Luna tersenyum manis.

Jihoon memperhatikan setiap gerak-gerik Luna dengan tatapan tajam.

“Tolong sampaikan terima kasihku pada ommamu. Aku akan memakan kimchi ini.” Luna kembali tersenyum. “Duduklah.” Pintanya yang baru menyadari jika Daniel berdiri saja di dekat sofa sejak masuk ke dalam rooftop.

“Aku harus pergi.” Jawab Daniel.

“Buru-buru?” Luna tampak kecewa.

“Aku punya pekerjaan paruh waktu setiap selesai sekolah. Jadi, aku harus pergi.”

“Woa... kerja paruh waktu....” Luna terkesima. Membuat Jihoon mengerutkan kening saat menatapnya. “Baiklah. Terima kasih untuk kimchinya.” Luna kembali tersenyum.

“Aku pergi.” Daniel pamit pada Luna dan Jihoon. Lalu, berjalan pergi meninggalkan Luna dan Jihoon.

Luna menghela napas saat Daniel menghilang di balik pintu, lalu menatap Jihoon yang sempat ia abaikan.

Saat tatapan Luna bertemu pandang dengannya, Jihoon segera mengalihkan pandangannya. Ia memperhatikan sekeliling. Rooftop tempat Luna tinggal sangat rapi. Lalu, kedua mata sipit Jihoon menangkap gitar hitam yang bersandar di dinding di dekat rak buku. “Itu…” Jihoon menuding gitar itu.

Luna mengikuti arah pandangan Jihoon. “Gitar?”

“Mm!” Jihoon mengangguk antusias. “Yang biasa Seonbae gunakan di video, kan?”

“He’em. Punya oppaku yang kedua. Ia sengaja meninggalkannya agar aku tak kesepian.”

“Maukah Seonbae memainkannya untukku?” Pinta Jihoon sambil tersenyum malu-malu.

Sebelum Luna mengiyakan, Jihoon bangkit dari duduknya dan mengambil gitar milik Luna. Lalu, kembali duduk di sofa berhadapan dengan Luna. Ia memberikan gitar itu pada Luna. Luna menerimanya dan mulai memeriksa senar-senar gitarnya.

“Terakhir Seonbae mengunggah video saat menyanyikan BTS - Spring Day versi akustik kan?” Jihoon bersemangat. Ia telah lupa pada rasa kesal yang sempat merayapinya saat Daniel tiba-tiba muncul menyela pertemuannya dengan Luna.

“Mm. Aku meniru permainan gitar Jung Sungha. Dia keren sekali. Aku nggak bisa main sebagus dia.”

“Seonbae tahu, aku sangat menyukai BTS. Ketika tahu Seonbae menyanyikan lagu BTS dan mengunggahnya, aku senang sekali. Bahkan, aku menyimpan video Seonbae.” Jihoon dengan mata berbinar.

Luna menghentikan gerak tangannya dan menatap Jihoon. Wajah pemuda itu masih dihiasi senyum dan bersemu merah. “Kamu... men-download videoku dan menyimpannya?”

“Iya.” Jihoon tersipu.

“Semoga telingamu tidak sakit saat mendengar suaraku bernyanyi.” Luna kembali sibuk dengan gitarnya.

Bibir Jihoon sedikit mengerucut. Sebenarnya, bukan reaksi seperti itu yang ia inginkan dari Luna. Ia ingin Luna memujinya dan mengucap terima kasih.

“Aku mempelajari lagu ini saat luang,” ujar Luna. Membuat Jihoon kembali menaruh perhatian padanya. “Aku akan menyanyikannya di depanmu. Kau harus memberikan penilaian yang jujur.”

Jihoon mengangguk antusias. Memperhatikan Luna yang mulai memetik senar gitarnya. “Tunggu!” Ujar Jihoon tiba-tiba, lalu mengeluarkan ponsel.

“Apa yang akan kamu lakukan?” Tanya Luna dengan ekspresi bingung.

“Merekam penampilan Seonbae.”

“Mwo? Yakin?”

“Mm!” Jihoon selesai mempersiapkan ponselnya. “Seonbae, siap?”

Luna tersenyum, lalu kembali melakukan pemanasan dengan gitarnya. Jihoon pun mulai merekam aktifitas Luna dalam ponselnya. Usai pemanasan, Luna kembali memetik senar gitarnya, mulai memainkan sebuah melodi.


Wanna One - I.P.U (I Promise You) Indo ver.

Saat sakura mulai gugur
Pertama ku jumpa kamu
Saat kurasakan adanya getar itu tak asing untukku
Sekarang kan ku katakana
Aku sangat ketakutan
Kupikir saat itu saat terakhir ku melihat dirimu
Kau peluk aku saat ku sedih
Kau peluk aku saat ku tak baik
Ku masih ingat tatapan matamu itu
Akan kusimpan selamanya di hatiku

Ku berjanji takkan kulupakan
Kau yang buatku hidup kembali
I promise you I promise you
Aku kan jadi yang terbaik
Ku berjanji takkan ku tinggalkan
Dirimu yang buatku bersinar
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini
Ku berjanji

Saat ku berharap kan ada seseorang
Yang mau tinggal di sisiku
Walau dunia meragukanku
Hanya dirimu percayai ku
Seperti bunga yang tak mekar
Dan ku mulai menyerah
Tapi hanya kau yang lihat aku
Memelukku saat ku mulai goyah

Hari-hari yang kulalui sangatlah berharga
Seperti hadiah yang selalu buatku bahagia
Seperti bulan dalam pelukan sang mentari
Kau yang paling cantik dan bersinar selamanya

Ku berjanji takkan kulupakan
Kau yang buatku hidup kembali
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini
Ku berjanji

Setelah musim-musim berlalu
Bahkan waktu kita pun berlalu
Tolong jangan lupakan awal kita
I promise you baby
Ingat slalu...

Walau ku tak tahu diriku
Tapi kau kenali aku
Karena dirimu
Di sinilah aku
Jangan ragu I remember
Selamanya I remember
Forever and ever
I promise you

Berjanjilah kau takkan berubah
Kan tetap begini sampai akhir
I promise you I promise you
Di musim semi yang cerah ini
I promise you
Uh oh oh oh oh Uh oh oh oh oh
I promise you
Uh oh oh oh oh Uh oh oh oh oh
Di depanmu
Ku berjanji


Jihoon terkejut ketika Luna mulai bernyanyi. Ia menatap Luna, lalu tersenyum dan menikmati penampilan Luna. Saat Luna selesai bernyanyi, Jihoon menghentikan rekaman dalam ponselnya dan bertepuk tangan.

“I Promise You? Wanna One?” Jihoon menebak lagu yang dinyanyikan Luna.

“Mm!” Luna mengangguk. “Aku menerjemahkan liriknya ke dalam Bahasa Indonesia. Mereka sangat terkenal. Jika menyanyikan lagu milik idol yang sedang naik daun seperti mereka, kita akan dapat banyak keuntungan kan? Bagaimana menurutmu?”

“Mm?”

“Permainanku tadi.”

“Oh! Bagus!”

“Beneran?”

“Nee. Permainan gitarnya dan suaranya—“

“Hancur!” Potong Luna.

“Anio!” Bantah Jihoon.

Luna tergelak melihat reaksi Jihoon. “Aku hanya remaja SMA kurang kerjaan yang gemar memposting apa saja pada akun sosial mediaku. Padahal, kalau dipikir-pikir sekolah udah cukup menyita waktu, tenaga, dan pikiran. Tapi, aku masih melakukan hal-hal nggak berguna seperti itu. Respon positif dan negatif pasti ada. Netizen di mana-mana sama. Aku akan membuat video dan mengunggahnya. Membawakan lagu Wanna One, pasti akan memberiku banyak keberuntungan.”

Jihoon mengangguk setuju.

“Akan aku tulis, video ini aku unggah setelah menerima penilaian dari Park Jihoon.”

“Mm-mwo??” Jihoon kaget.

“Wae?? Kamu nggak suka??”

“Bukan begitu. Tapi, apa nggak papa ditulis seperti itu?” Jihoon diam sejenak. “Ah, iya. Seonbae selalu memberi keterangan detail pada setiap postingan. Seperti lagu ini adalah request dari bla bla bla.”

“Kalau kamu keberatan, kita akan menghapusnya dari rencana.”

“Kita??”

Luna mengangguk.

Jihoon tersipu. “Nggak papa. Tulis begitu saja.”

“Gomawo. Aku akan dapat dobel keuntungan. Aku yakin itu. Hehehe. Resikonya, aku bisa dibully dengan tuduhan numpang tenar ke kamu.”
Jihoon melongo.

“Netizen kan selalu punya bahan untuk dijadikan bully-an. Tapi, nggak papa. Itu sudah biasa aku dapatkan.”

Jihoon tersenyum. Menatap teduh pada Luna.


Jihoon duduk di bangku belakang, mengenakan headset dan memegang ponselnya, kembali menonton video yang ia buat setengah jam yang lalu. Itu ketiga kalinya ia menonton video Luna saat memainkan gitar dan bernyanyi untuknya. Lagi-lagi ia tersenyum dan menggeleng pelan.

“Jangan-jangan Seonbae mengetahui hal itu?” Jihoon bergumam sambil memiringkan kepala. “Mungkinkah? Atau jangan-jangan... dia memang memiliki kemampuan membaca jiwa orang lain? Ah! Park Jihoon! Apa yang kau pikirkan?” Jihoon memejamkan mata. Menyandarkan kepala pada punggung kursi belakang mobil yang membawanya pulang.

***


Luna mengenakan seragam. Ia berjalan menuruni tangga, meninggalkan rooftop-nya. Ia berjalan dengan pelan dan hati-hati. Sambil celingukan memperhatikan rumah Ibu Kecil. Pintu rumah di lantai dasar itu masih tertutup rapat. Luna berjalan sepelan mungkin saat sampai di tangga terbawah. Dengan pelan, namun sigap Luna mulai meninggalkan tempat tinggalnya.

Daniel yang hendak berangkat sekolah menemukan Luna sedang mengendap-endap. Ia tersenyum dan berlari menyusul Luna.

“Masuk sekolah sekarang?” Sapa Daniel saat sudah sampai di samping kanan Luna.

“Astaga!” Luna terkejut dan menoleh. “Ya! Kang Daniel!” Makinya pada Daniel yang menertawakannya.

“Kenapa Seonbae mengendap-endap seperti itu?”

“Ssh!!!” Luna menarik lengan Daniel. Membuat pemuda itu turut berjalan cepat sepertinya. Keduanya lalu menghilang dalam gang. Luna menghela napas lega sesudahnya.

“Bahaya kalau Ibu Kecil tahu. Hari ini harusnya aku masih istirahat di rumah.” Luna menjelaskan alasan kenapa ia mengendap-endap. Langkahnya kembali normal.

“Bukannya memang masih dapat izin istirahat ya?” Tanya Daniel yang berjalan di samping kanan Luna.

“Kakiku sudah baikan. Berobat di negara maju gini ya. Reaksi obatnya cepat. Setelah minum obat dan mengoleskan cream pemberian dokter, besoknya bengkaknya hilang. Hari ini aku sudah bisa berjalan dengan normal.”

“Sudah tidak sakit?”

“Masih ada. Tapi, sedikit saja. Asal nggak berlari, aku rasa semua baik saja. Lagian besok aku ada praktikum, aku nggak bisa percaya seratus persen pada kelompokku. Oya, terima kasih kimchinya. Enak sekali.”

Daniel tersenyum. “Akan aku sampaikan pada omma.”

“Oya, ada kerja part time apa setelah sekolah?”

“Di kafe.”

“Wah, seru dong! Kadang aku kepikiran buat nyoba kerja part time lho!”

“Buat apa? Nggak enak. Capek!”

“Kayaknya seru.”

“Seonbae kan udah dapat uang dari internet. Selebgram, kan?”

“Dih! Nggak juga. Yang bikin aku tertarik itu pengalamannya, bukan uangnya.”

Daniel diam sejenak, lalu tersenyum. “Aku selalu berpikir manusia yang selalu memandang orang lain lebih baik dari dirinya adalah manusia yang tidak pernah puas. Tapi, kalimat Seonbae barusan membuatku sadar. Bahwa nggak semua manusia itu serakah.”

Luna tersenyum mendengarnya. “Pengalaman itu nggak bisa diukur dengan materi, nggak bisa diukur dengan uang. Mungkin saja saat ini kamu merasa hidupmu kurang beruntung dari yang lain. Sepulang sekolah kamu masih harus bekerja. Tapi, tanpa kamu sadari kamu udah punya pengalaman jauh di depan teman-temanmu yang sepulang sekolah hanya bisa bermain sepertiku ini.”

Daniel menoleh, memperhatikan Luna yang berjalan dengan menundukkan kepala.

“Misalnya nanti setelah lulus dan harus bekerja, tentu orang sepertimu lebih siap dibanding kami. Karena alasan pengalaman itu, aku jadi iri padamu.”

Daniel tersenyum tersipu mendengarnya. “Aku benar-benar tersentuh. Seonbae benar-benar pandai membesarkan hati orang lain. Gomawo.”

“Itu pemikiranku aja. Syukurlah kalau orang lain terhibur karenanya.”

Luna dan Daniel tiba di halte bus. Mereka menunggu bus sambil terus mengobrol. Saat bus datang, keduanya naik dan kembali duduk berdampingan. Masih terus mengobrol.

“Sebentar lagi kita sampai di halte dekat sekolah.” Daniel menatap ke depan. Ada guratan kecewa tersirat di wajahnya. “Seonbae turun saja lebih dulu.”

“Kenapa kita nggak turun dan jalan sama-sama ke sekolah?” Luna menatap Daniel yang tetap melihat ke arah depan.

“Jujur saja, aku belum siap.”

“Mwo?? Belum siap??”

Daniel menoleh, menatap Luna sekilas, lalu tersenyum dan kembali menatap ke depan. “Nee. Untuk berjalan di samping Seonbae, membutuhkan banyak keberanian.”

Luna memperhatikan Daniel sejenak. Bus pun berhenti. Luna bangkit dari duduknya. “Nggak nyangka nyalimu nggak sebesar badanmu.” Ujar Luna yang kemudian berjalan turun lebih dulu.

Daniel terkejut mendengarnya. Ia tak menyangka Luna akan mengatakan hal seperti itu padanya. Langkah Daniel terhenti saat ia akan turun. Luna yang sudah berada di luar sana tiba-tiba membalikan badan dan menghadap padanya.

“Maaf atas ucapanku barusan. Aku hanya bercanda. Tolong jangan berkecil hati. Kamu lebih hebat dari yang kamu kira.” Luna tersenyum manis. “Baiklah! Aku ikut aturan main yang kamu buat. I like to play a game.” Luna kembali tersenyum, lalu berjalan lebih dulu.

Daniel turun dari bus. Menatap punggung Luna yang sudah berjalan beberapa langkah di depannya. Ia pun tersenyum. Lalu berjalan tak jauh di belakang Luna.

Luna menghentikan langkahnya, berhenti di depan gerbang sekolah yang terbuka lebar. Ia menatap gedung sekolah yang berada tak jauh di dalam pagar. Hal yang sama yang ia lakukan setahun yang lalu saat akan memulai pendidikan di SMA Hak Kun. Ia tak memiliki harapan apa-apa kala itu kecuali belajar. Tapi, kali ini ia percaya bahwa ada hal lain yang bisa ia lakukan di sekolah kecuali belajar.

Melihat Luna menghentikan langkah, Daniel pun ikut berhenti. Ia mengamati segala tingkah laku Luna. Daniel tersenyum, lalu kembali berjalan mendekati Luna.

Sampai ketemu saat jam pulang nanti.” Daniel berbisik saat lewat di samping kiri Luna dan berjalan masuk ke area sekolah. Ia tersenyum puas dan terus berjalan tanpa menoleh.

Luna sempat terkejut mendengar bisikan itu, kemudian ia tersenyum. Menatap punggung Daniel yang berjalan meninggalkannya. Luna menghela napas dan berjalan masuk ke area sekolah.

***


Luna menyusuri jalan yang akan membawa ke gedung sekolah. Ia tak ingin berpura-pura tak peduli lagi. Ia menatap murid-murid yang berada di sekitarnya yang juga menatapnya. Jika mereka tersenyum dan menyapa, Luna pun membalas dengan hal yang sama. Jika mereka hanya menatap sinis sambil saling berbisik, Luna tetap memberikan senyuman tulusnya.

Mezzaluna!!!” Song Hami menghambur memeluk Luna. “Syukurlah kau kembali. Bagaimana cideramu? Kau ini! Bagaimana bisa sampai cidera, ha?!”

Seperti diberi komando, murid-murid yang berada di sekitar Hami dan Luna langsung menaruh perhatian. Menonton adegan yang disuguhkan Hami dan Luna. Hami dan Luna sama-sama menyadari hal itu, tapi mengabaikannya.

Aku... berkelahi dengan seekor anjing.” Jawab Luna. Suaranya terdengar jelas. Membuat murid-murid yang sedang obrolannya dengan Hami menunjukkan berbagai macam ekspresi; ada yang terkejut, ada yang mencibir tak percaya.

Mwo?? Kamu berkelahi sama anjing? Ngapain? Rebutan tulang ayam yang dibuang di tong sampah?” Hami melontarkan candaan garingnya.

Luna terbengong sejenak, lalu tertawa. “Sebenarnya aku jatuh karena dikejar anjing sih. Hehehe.” Luna tersenyum canggung sambil sekilas mengamati sekitar. Para penyimak kembali menunjukkan ekspresi ragam; ada yang lega, ada yang kasihan, ada yang mencibir.

Makanya, ganti foto di semua SNS-mu! Jangan pakai foto kucing hitam dari bulan itu lagi! Dikejar anjing deh jadinya!” Lagi-lagi Hami melontarkan candaan yang membuat Luna terbengong.

Hehehe.” Hami tertawa garing. “Tapi, apa benar Park Jihoon menjengukmu?”

Mendengar pertanyaan Hami, para penyimak kembali menonton dan mendengarkan dengan seksama.

Kemarin dia pergi mencari Lai Guanlin. Siapa itu Lai Guanlin? Kenapa dia yang membawa suratmu? Kudengar, Park Jihoon mencari Lai Guanlin untuk tanya tempat tinggalmu. Dia sangat mengkhawatirkanmu dan ingin menjengukmu. Apa kau tidak menghubunginya? Park Jihoon? Kamu nggak bilang soal insiden dan cidera yang kamu alami? Ah, kau ini! Pantas saja Park Jihoon sangat khawatir! Atau, jangan-jangan kamu nggak punya nomer ponsel Park Jihoon?” Hami melanjutkan interogasinya pada Luna.

Para penyimak menunggu jawaban Luna usai menyimak pertanyaan panjang Hami.

Iya. Park Jihoon datang menjengukku.” Jawab Luna membuat para penyimak kompak menunjukan ekspresi kecewa.

Aw... senangnya dijenguk calon pacar!” Hami mengedip-ngedipkan kedua matanya menggoda Luna. “Kaja!” Ia melingkarkan tangan pada lengan kiri Luna dan mulai berjalan. “Sudah tidak sakit? Kaki kiri kan?”

Para penyimak mulai membubarkan diri. Kembali pada aktifitas masing-masing. Sedang Hami dan Luna melanjutkan perjalanan mereka. Bukan menuju kelas, tapi menuju ruang UKS.

Luna duduk di tepi ranjang, dan Hami duduk di kursi di dekat ranjang.

Kalau merasa belum baik benar, istirahat di sini saja. Lagian kan seharusnya kamu masih bed rest hari ini.” Ujar Hami.

Bed rest? Aku nggak separah itu kok! Hami, tadi kamu apa-apaan sih?”

“Bagus nggak aktingku? Harusnya aku ikut Klub Teater ya. Hehehe. Lihat, kan? Kamu itu beneran terkenal di sekolah ini.”

“Nggak lah. Mereka pasti fans Park Jihoon. Kepo soal Jihoon, bukan aku.”

Hami menyipitkan mata. “Ada fans kamu juga deh. Ah, sepertinya mereka akan heboh lagi hari ini. Park Jihoon menjenguk Mezzaluna kemarin, dan hari ini Mezzaluna kembali ke sekolah dengan keadaan baik. Kekuatan cinta itu memang luar biasa. Bagaimana? Kalau aku pos di komunitas sekolah, kira-kira reaksinya akan bagaimana ya?” Hami tersenyum geli membayangkan reaksi para pendukung Jihoon yang membenci Luna.

Kamu lebay tahu!”

“Hahaha. Apa artinya itu? Leb-bai??”

“Nggak penting!”

“Oya, apa Jihoon bilang sama kamu kalau dia terpilih jadi model untuk promosi sekolah tahun ini?”

“Nggak.” Luna menggeleng. “Nggak heran sih kalau dia terpilih. Cakep, kaya, berprestasi. Sekolah memilih orang yang tepat, kan?”

“Kemarin itu Senin yang dipenuhi banyak sensasi. Mulai dari absennya dirimu dengan surat izin yang dibawa Lai Guanlin. Siapa sih Lai Guanlin itu? Kok dia bisa bawa surat izin kamu? Trus, sensasi Park Jihoon mencari Lai Guanlin dan terpilihnya Park Jihoon sebagai the next school model menggantikan Song Hyuri Eonni dan Kim Myungsoo Seonbaenim.”

“Lai Guanlin temanku di Klub Anak Rantau. Aku, Amber, dan Guanlin lumayan dekat. Kami tiga anggota termuda. Guanlin yang paling muda. Karena dia datang menjenguk, ya aku nitip dia aja suratnya. Trus, Jihoon bakalan jadi model sama siapa?”

“Itu dia yang jadi sensasi selanjutnya.”

Luna mengerutkan dahi, menaruh perhatian pada Hami.

Banyak yang nggak nyangka model selanjutnya yang terpilih.”

“Siapa emang?”

“Ong Seongwoo.”

“Ong Seongwoo??”

“Iya. Anggota kelompokmu. Banyak yang komentar, kenapa Ong Seongwoo sih? Tukang lawak itu kenapa harus jadi model untuk promosi sekolah? Kenapa Ong Seongwoo yang prestasi akademisnya biasa aja.”

“Mereka itu! Walau prestasi akademis Ong Seongwoo tak begitu menonjol, tapi apa mereka tidak memandang kiprahnya di dunia fotografi? Dia masuk dalam salah satu ikon Klub Fotografi sekolah kita. Dasar orang-orang rempong!” Luna memaki dalam bahasa Indonesia. “Lagian Ong Seongwoo kan cakep. Tinggi pula. Dia pantas jadi model!”

“Oho! Mezzaluna membela Ong Seongwoo.”

“Iya lah! Dia kan squad baruku sekarang! Model ceweknya siapa? Aku dengar tahun ini tidak dua pasang satu siswi dan satu siswa dari tingkat senior dan junior. Tapi, hanya akan diambil dua siswa dan satu siswi saja.”

“Iya. Model tahun ini tiga orang. Bukan empat orang. Ceweknya lebih mengejutkan lagi. Kang Daerin yang terpilih.”

“Kang Daerin? Yang mana? Kok aku baru dengar nama itu?”

“Anak kelas XI-D.”

“Woa! Kelas kaum high class?”

“Nee.”

Di kelas XI, beberapa kelas tampak menonjol. Seperti kelas XI-G yang rata-rata berisi murid pintar. Atau kelas XI-B yang berisi para bintang sekolah seperti murid yang tertampan atau murid yang memiliki prestasi cemerlang di luar akademis seperti modeling dan bidang hiburan lainnya. Kelas XI-D dikenal sebagai kelas kaum high class karena murid-murid kaya raya berkumpul di kelas itu.

Kang Daerin baru memulai karirnya di dunia modeling. Itu saja yang aku tahu. Yang lain protes kenapa tidak memakai murid yang menonjol saja?” Hami melanjutkan.

“Jadi hanya Jihoon yang nggak dicela?” Tanya Luna.

Siapa bilang! Jihoon yang sempurna juga masih dicela. Ada yang bilang kurang mewakili citra sekolah.”

Luna tersenyum geli mendengarnya. “Aku harus memberi ucapan selamat pada Ong Seongwoo.” Luna bangkit dari duduknya, menyambar tas punggungnya yang tergeletak di atas kasur.

Beri selamat Park Jihoon juga. Dia kan calon pacarmu. Atau jangan-jangan kalian udah pacaran?”

“Belum.” Luna menyangklet tasnya, mulai berjalan ketika siswi itu tiba-tiba muncul dan mengejutkannya.

“Lucy?” Tegur Hami saat menyadari siapa yang membuat Luna terkejut.

Lucy, siswi kelas X itu menunduk sopan sambil mengucap kata maaf yang hampir tak terdengar oleh Hami dan Luna.

Cari apa?” Tanya Hami.

Obat sakit perut.” Jawab Lucy masih dengan suara lirih.

Sakit perut? Diare?” Tanya Hami lagi.

Bukan.”

“Lalu?”

“Nyeri haid ya?” Luna menebak.

Lucy menganggukkan kepala.

Kok kamu tahu?” Hami menatap heran pada Luna.

Kamu kelihatan pucat. Istirahat saja dulu di sini setelah minum obat.” Luna memberi saran.

Lucy menganggukkan kepala lalu menuju lemari tempat penyimpanan obat.

Aku pergi.” Luna pamit dan meninggalkan ruang UKS.

Hami menyusul Lucy, membantu gadis itu mencari obat untuk nyeri haid.

***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews