My 4D Seonbae - Episode #5 "Kekuatan untuk Bertahan, Ketenaran, dan Kekuasaan"

05:48

               My 4D Seonbae - Episode #5 "Kekuatan untuk Bertahan, Ketenaran, dan Kekuasaan"




Aku hanya murid biasa. Sejak di Taman Kanak-kanak begitu adanya. Aku tidak pernah merasa kalau aku pintar, atau entah memiliki hal-hal lainnya yang membuatku menonjol. Aku juga bukan orang yang pandai bergaul. Tempatku menghabiskan waktu selain sekolah adalah rumah. Tidak ada yang lain.

Aku melakukan apa yang aku ingin lakukan. Tanpa paksaan dari orang tuaku sedikitpun. Termasuk urusan sekolah dan belajar. Ayah dan Bunda hanya memberi kami arahan, tapi selebihnya membebaskan kami untuk memilih dan menjadi apa yang kami mau. Kebetulan dalam urusan akademis, aku lebih baik dibanding kedua kakakku. Walau tak pernah mendapat peringkat pertama, aku selalu masuk tiga besar selama masa pendidikanku di Sekolah Dasar. Nilaiku stabil berada di peringkat kedua.

Belajar adalah kewajiban yang harus aku lakukan. Ketika tahu Ayah dipindahkan ke Korea, hal pertama yang terpikir olehku adalah aku harus belajar lebih keras. Karena, aku akan ikut bersama Ayah dan sekolah di luar negeri. Aku tidak menginginkan apa pun kecuali kekuatan untuk bertahan hidup di negeri yang sangat asing bagiku.

Tapi, Tuhan memberiku tidak hanya sebuah kekuatan untuk bertahan. Ia juga memberiku sebuah keajaiban hingga aku menjadi tenar dan memiliki kekuasaan. Walau aku tak ingin mengakuinya, tapi aku hanya manusia biasa yang masih memiliki rasa sombong. Sombong di depan sendiri tak apa kan? Bolehkah aku menggunakan kekuatan, ketenaran, dan kekuasaanku? Oh, Tuhan. Tolong jangan jadikan aku sebagai manusia yang serakah.

***


Sekolah berjalan seperti biasa di hari Senin ini. Murid-murid mengikuti pelajaran dengan tenang di kelas masing-masing. Pemandangan berbeda terlihat di kelas XI-E. Bangku Luna kosong. Luna tidak masuk sekolah. Hal tak biasa yang pertama kali terjadi sejak Luna bersekolah di SMA Hak Kun. Pertama kalinya gadis asal Indonesia itu absen dan membuat heboh murid-murid saat jam istirahat tiba. Berita absennya Luna mendadak menyebar ke seluruh sekolah. Bersamaan dengan itu, muncul sebuah nama murid laki-laki yang menjadi bumbu penyedap dalam berita absennya Luna.

“Lai Guanlin?” Jisung memiringkan kepala. “Murid asing juga ya?”

“Edward Lai atau Lai Guanlin. Dia murid asing. Negara asalnya adalah Taipei, Taiwan.” Sahut Woojin. “Dia teman Luna di Klub Orang Rantau.”

“Klub Orang Rantau?” Sungwoon menyela.

“Iya. Klub yang didirikan oppanya Luna. Yang artis itu. Sudah dua tahun berjalan. Mereka selalu mengadakan pertemuan rutin. Anggotanya, kaum muda asing yang tinggal di Korea.”

“Woojin-aa, kamu tahu banyak tentang Luna.” Seongwoo menggeleng kagum.

“Aku stalker semua akun sosial media Luna yang aku tahu. Hehehe.” Woojin tersenyum lebar. Hingga gigi gingsulnya terlihat.

“Wah. Niat banget!” Seongwoo kembali menggelengkan kepala.

“Aku penasaran sama Luna. Tapi, takut mau memulai pertemanan. Seneng banget pas tahu dia masuk kelas XI-E. Makin senang pas Kim Songsaengnim membentuk kelompok belajar dan aku satu kelompok sama Luna.”

“Pernah nggak sih kalian mikir kalau Luna ada di kelas XI-E itu seperti sebuah kesalahan?” Ujar Sungwoon tiba-tiba. Membuat Jisung, Woojin, dan Seongwoo kompak menatapnya.

“Sebuah kesalahan? Gimana maksudnya itu?” Tanya Seongwoo.

“Dia itu pintar dan menonjol. Aku rasa dia lebih pantas di kelas XI-G atau di kelas XI-B. Kelas anak jenius dan kelas artis.” Sungwoon menjelaskan maksud perkataannya. “Bukan di kelas XI-E yang isinya anak-anak biasa semua. Nggak ada yang menonjol.”

“Kelas XI kan diacak lagi. Walau kebetulan kelas XI-G didominasi anak-anak pintar kayak kelas X dulu. Dan, kelas XI-B di dominasi bintang-bintang sekolah.” Jisung berkomentar.

“Mungkin guru-guru sengaja menaruh Luna di kelas XI-E agar dia terlihat lebih bersinar?” Seongwoo menebak.

“Ya, harus kah kita menemui Lai Guanlin?” Woojin menyela dengan sebuah pertanyaan yang melencong dari bahasan Sungwoon. Ia pun segera mendapat perhatian ketiga rekannya.

“Untuk apa?” Tanya Seongwoo.

“Tanya alamat tempat tinggal Luna. Sebagai teman, kita harus menjenguk dia, kan? Surat ijin Luna surat ijin dari dokter lho. Jadi, dia sakit.”

“Luna bilang dia baik-baik saja. Kita nggak perlu khawatir. Aku udah menghubungi dia.” Jawab Jisung. “Dia hanya butuh istirahat.”

“Tapi, menjenguk Luna bukan ide buruk.” Sungwoon menyetujui usul Woojin.

“Kita tanya Lai Guanlin dan pergi diam-diam? Tanpa memberi tahu Luna.” Seongwoo pun setuju dengan usul Woojin.

Jisung menatap ketiga rekannya, lalu mendesah. “Baiklah. Selesaikan makan siang kalian, lalu kita temui Lai Guanlin.”

“Oke!” Sungwoon bersemangat. Begitu juga Seongwoo dan Woojin.

Usai makan siang, Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin segera pergi mencari Lai Guanlin. Menurut informasi yang dikantongi Woojin, Lai Guanlin adalah murid kelas X-F. Mereka berempat pun segera menuju kelas X-F.

Para junior menunduk sopan, memberi salam ketika Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin menyusuri koridor kelas X. Mereka pun sampai di kelas X-F. Mereka masuk dari pintu belakang. Mengejutkan seorang siswi yang sedang duduk sendirian di bangku paling belakang dekat jendela.

“Oh! Maaf!” Ujar Jisung ketika menyadari keberadaan siswi itu. Siswi itu pun berdiri dan membungkuk memberi salam.

“Semua sedang keluar?” Tanya Jisung.

“Iye.” Jawab siswi itu. “Ada yang bisa saya bantu, Seonbaenim?”

Jisung berjalan mendekati siswi itu. Mengamati gadis dengan ciri fisik yang jelas bukan orang Korea. Jisung membaca tag nama di seragam siswi itu. “Lin-da? Linda? Kamu murid asing ya?”

“Iye.”

“Wah! Dari mana?”

“Indonesia.”

Mata sipit Jisung melebar mendengar kata Indonesia. “Indonesia? Sama dengan Luna? Kenal Luna?”

“Tahu. Tapi, belum kenal.”

“Ya!” Jisung menoleh pada ketiga rekannya yang bertahan berdiri di dekat pintu. “Dia dari Indonesia juga. Duduknya paling belakang dekat jendela juga. Sama kayak Luna. Apa orang Indonesia suka duduk di belakang dan dekat jendela ya?”

Woojin berjalan mendekat. “Lai Guanlin, kira-kira dia di mana ya?” Ia langsung bertanya ketika sampai di dekat Jisung.

Gadis bernama Linda itu menatap Woojin sejenak. “Park Jihoon membawanya pergi.” Ujarnya lirih.

“Park Jihoon?” Jisung terkejut mendengar nama itu.

“Anak itu...” Woojin berkacak pinggang. Terlihat kekecewaan di raut wajahnya.

Linda diam. Memperhatikan kedua kakak seniornya yang kini sama-sama terlihat kecewa.

“Kau tahu kira-kira Lai Guanlin dibawa ke mana?” Tanya Jisung kembali fokus pada Linda.

Linda menggeleng pelan sambil berkata, “Maaf. Saya tidak tahu.”

“Jelas dia nggak tahu dan nggak mau tahu. Apalagi kalau urusannya dengan Park Jihoon.” Sahut Woojin. “Kita cari di tempat lain.” Woojin membalikan badan, berjalan menuju pintu tempat Sungwoon dan Seongwoo menunggu.

“Terima kasih ya, Linda. Senang bertemu denganmu.” Jisung tersenyum manis, lalu berjalan menyusul Woojin.

Linda hanya bisa menganggukkan kepala menanggapi ucapan terima kasih Jisung.


Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin sudah mencari Lai Guanlin ke tempat-tempat yang mungkin saja jadi tempat tongkrongan murid asing itu di saat istirahat. Tapi, mereka tak menemukan sosok yang mereka cari. Bahkan, Woojin sampai mengambil foto pemuda itu dari akun Instagram Luna untuk mempermudah pencarian. Tapi, hasilnya tetap nihil. Mereka pun kembali ke kelas karena jam istirahat telah habis.

***


Luna mengamati kaki kirinya. Bengkaknya sudah berkurang. Ia menghela napas dan meraih ponselnya. Luna terkejut. Ada sebuah pemberitahuan jika ia ditambahkan ke dalam sebuah grup chatting.

“Moon Kingdom?” Luna membaca nama grup chatting itu. Kemudian ia memeriksa siapa saja anggota dalam grup itu.

“Ha Sungwoon? Ong Seongwoo? Yoo Jisung? Park Woojin?” Luna membaca nama-nama anggota grup. “Mereka ini! Siapa yang buat nama grupnya? Norak banget!”

Luna membaca chat dalam grup Moon Kingdom. Jisung yang memulai obrolan usai grup itu dibuat. Woojin muncul sesudahnya. Lalu, Seongwoo dan terakhir Sungwoon. Setelah percakapan saling sapa dan mengucapkan selamat datang, selanjutnya keempat pria itu memanggil Luna, mengucapkan selamat datang, menanyakan kabar, dan bercerita tentang usul Woojin untuk menjenguk hingga usaha mereka mencari Lai Guanlin. Usai membaca semua pesan dalam grup, Luna paham jika Jisunglah yang membuat grup chatting itu.

“Mereka ini gila apa edan? Sampai nyariin Guanlin?” Luna berbicara pada ponselnya. Ia lalu mengetik sebuah pesan dengan cepat.

Nama grupnya norak tahu! Kayak Super Mario Odyssey aja! Nggak ada yang lain apa? Dan, ngapain sampai segitunya nyari Guanlin? Emang dia buronan? Oya, nggak usah jenguk. Aku baik aja kok. Awas kalau jenguk! Aku bubarin kelompok kita!

Luna tersenyum usai mengirim pesannya.

Jisung: Aku yang buat dan kasih nama grupnya. Nggak suka? Kamu kan putri bulan :-D

Luna mengirim emotion muntah.

Woojin: Luna bukan putri bulan, tapi dia si Kucing Hitam Ajaib. Iya kan? ;-)

Luna kembali mengirimkan emotion muntah.

Seongwoo: Semoga lekas membaik, Luna. Segera kembali ke sekolah ya :)

Sungwoon: Get well soon, Luna. We miss you <3 span="">

Jisung: Kami nggak berhasil nemuin Lai Guanlin karena keduluan Park Jihoon. Lai Guanlin diculik Park Jihoon dan menghilang entah ke mana.

Luna tercenung menatap ponselnya. “Park Jihoon nyulik Guanlin??” Gumamnya.

Luna mengerjapkan kedua matanya, bergegas meninggalkan grup chat Moon Kingdom, dan mencari kontak Guanlin. Setelah menemukan nama Edward Lai, ia pun segera mengetik pesan.

Tak lama kemudian, ponsel Luna bergetar. Nama Edward Lai muncul untuk sebuah panggilan video. Luna segera menerimanya. Wajah Guanlin muncul, memenuhi layar ponsel Luna.

“Are you OK?” Tanya Luna.

Guanlin mengatakan OK dengan gerakan tangan. “Seperti yang kamu lihat.”

“Bego! Kenapa malah video call?? Kamu lagi di mana?”

“Toilet.”

“Jorok!”

“Habis baca pesan kamu langsung ijin ke toilet. Kita mau ke lab tadi.”

“Ya udah sana!”

“Park Jihoon cuman nanya alamat kamu.”

“Trus, kamu kasih?”

“Iya. Dia keliatan khawatir banget. Aku nggak tega.”

“Kampret! Napa kamu kasih?”

“Ssh! Udahan ya. Ada yang masuk.”

Guanlin mengakhiri panggilan video. Luna mendesah kesal. Lalu, segera memeriksa pesan-pesan masuk. Ada satu pesan dari Jihoon untuknya.

Park Jihoon: Nanti aku mampir. Tolong jangan ditolak.


Sabtu malam harusnya Luna menghadiri pertemuan rutin Klub Anak Rantau. Klub yang di dirikan oleh Dinar—kakak keduanya—dua tahun yang lalu. Anggota klub semakin banyak, dan walau sudah kembali ke Indonesia, Dinar tetap memantau dan mendukung aktifitas klub. Tapi sial saat perjalanan pulang usai menghadiri pertemuan Klub Teater di sekolah, Luna dikejar anjing hingga jatuh dan kaki kirinya terkilir.

Luna membuat alasan sibuk dengan kegiatan sekolah pada sang kakak, hingga tak bisa hadir pada pertemuan rutin klub kali ini. Ia tak mau keluarganya di Indonesia khawatir karena insiden kecil yang ia alami itu. Ia pun tak membagi cerita sialnya itu di grup Pretty Soldier. Ia khawatir salah satu temannya memberi tahu keluarganya di Indonesia. Luna pun tak lupa meminta Bibi Jung yang mengantarnya ke dokter dan juga merawatnya untuk tutup mulut. Ia tak mau karena insiden kecil itu, bundanya yang kadang sedikit lebay itu jadi khawatir. Karena, tidak menutup kemungkinan bundanya akan langsung terbang ke Korea jika mendengar tentang insiden yang ia alami.

Dokter mengatakan kaki Luna tidak apa-apa. Hanya terkilir dan akan segera pulih. Dokter pun memberi Luna surat istirahat selama dua hari. Bingung tak tahu harus menitipkan surat pada siapa, Luna pun menelpon Edward Lai, teman yang ia kenal dari Klub Anak Rantau setahun yang lalu.

Keesokan harinya Edward Lai (Lai Guanlin) datang menjenguk Luna bersama Amber Liu. Gadis tomboy yang lebih dulu menjadi teman Luna. Ketiganya menjadi akrab karena menjadi trio anggota termuda dalam Klub Anak Rantau. Sayangnya Amber bersekolah di sekolah lain.

“Aku kan sering bilang, jangan lari kalau takut sama anjing. Malah dikejar, kan?” Amber menggeleng mengamati kaki kiri Luna yang bengkak.

“Keburu panik. Takut. Lari lah aku.” Luna membela diri.

“Ini nggak papa aku yang kasih suratnya?” Guanlin menyela.

“Emang kenapa?” Luna balik bertanya.

“Kamu kan tenar di sekolah. Nanti aku pasti kena dampaknya. Karena bawain surat ijin kamu ini.”

“Tenar?? Nggak ah! Aku biasa aja!”

“Kamu terlalu cuek sih. Padahal kamu beneran tenar lho! Banyak anak kelas X yang ngefans sama kamu. Cowok sama cewek banyak yang ngefans sama kamu.”

“Jangan bikin aku besar kepala!”

“Itu fakta lho!”

“Nggak papa kalau kamu ketahuan dekat sama Luna. Dekat sama orang tenar bisa bikin kamu disegani juga. Orang tenar pasti punya kekuasaan.” Amber menyela.

“Aku nggak merasa tenar di sekolah. Udahan jangan dibahas. Trus, kalau bukan kamu yang aku mintai tolong, siapa?”

“Daniel? Dia tinggal di sini juga kan? Dan, kamu bilang dia yang nolongin kamu.” Jawab Guanlin.

“Jangan! Dia nggak mau di sekolah tahu soal ini. Tentang dia nolongin aku dan kami tinggal di komplek yang sama.”

“Kok??” Amber bingung. “Biasanya orang seneng ngaku dekat sama orang tenar, nah Daniel kenapa nggak mau go public?”

“Entahlah!” Luna mengangkat kedua bahunya.

“Gimana kalau Park Jihoon? Pasti makin seru kalau dia yang bawa surat ijin kamu.”

Luna menatap sinis pada Guanlin. “Kalau kamu nggak mau, aku minta tolong Ibu Kecil aja. Biar ke sekolah antar surat ijinku!”

“Hahaha. Luna ngambek!” Guanlin terbahak. “Jangan ngambek. Aku bercanda. Lagian bukannya emang bagus kalau Park Jihoon yang lagi PDKT sama kamu yang bawain surat ijin ke sekolah?”

“Kalau mau ngarang cerita fiksi remaja ditulis aja ya. Nggak perlu temen yang disuruh jadi wayang praktekin ide gilanya.”

Guanlin dan Amber kompak tertawa mendengar Luna mengoceh menggunakan bahasa campuran—bahasa Inggris dan Indonesia.

“Nanti kalau Guanlin kena imbasnya gimana? Kasihan kan dia masih lugu kayak gini.” Gantian Amber menggoda Guanlin.

“Emang aku nggak lugu?” Protes Luna.

“Kamu kebanyakan trik tahu!”

“Nggak papa lah. Aku nggak takut ketahuan kalau aku teman Luna.” Jawab Guanlin. “Lagian foto kita pernah di posting di IG Luna. Kita bertiga sama pendiri Klub Anak Rantau, Dinar.”

“Gimana kalau sekarang kita juga selca? Buat klarifikasi kalau Guanlin kena masalah. Pos di IG kamu ntar.” Usul Amber.

“Ngawur! Emang aku apaan. Sampai segitunya mikir Guanlin bakal celaka. Lagian aku nggak kasih tahu keluarga di Indo soal insiden ini. Bahaya. Ntar bisa-bisa Bunda langsung terbang ke sini. Geng Pretty Soldier juga nggak ada yang tahu. Jadi, tolong rahasiain dari member klub juga ya.”

“Kalau ntar berita Guanlin bawa surat ijin kamu jadi viral gimana?” Amber ngotot.

“Halu banget sih ini anak!” Luna mengejek Amber dengan menyingkat kata halusinasi menjadi halu. Belakangan kata itu tren di Indonesia untuk menyebut atau mengolok orang yang gemar berkhayal tentang hidupnya yang jauh dari kenyataan.

“Hahaha. Ngomong apa kamu? Jangan pakek bahasa Indonesia dong! Oke. Oke. Kita bakal rahasaiin ini. Ya, kan?” Amber melirik Guanlin.

“Yap!” Guanlin membenarkan.

“Makasih ya.” Luna tersenyum manis.

“Hah... aku harus siap-siap. Sepertinya besok aku akan menjadi tenar hanya karena sepucuk surat ijin ini.”


Luna tersenyum mengingat kejadian kemarin saat Guanlin dan Amber menjenguknya.

“Guanlin benar-benar diburu. Hahaha. Masa iya sih aku setenar itu di sekolah?”

Luna terdiam. Menatap ponselnya, kembali membaca pesan dari Jihoon, lalu kembali mendesah. “Baiklah! Selamat datang di gubukku, Park Jihoon!”

***


Seperti yang ia tulis dalam pesan, Jihoon datang menjenguk Luna. Luna pun tak menolak. Ia menyambut Jihoon dengan senyum ramahnya seperti tempo hari. Ia juga menyajikan minuman serta cemilan untuk Jihoon.

“Itu cemilan khas Indonesia lho!” Luna berjalan dengan langkah pincang, lalu duduk menemani Jihoon. “Yang itu rasanya pedas, itu manis, dan itu asin gurih. Silahkan dinikmati.” Luna menunjuk cemilan dalam toples yang tertata rapi di atas meja.

Jihoon mencicipi cemilan yang menurut Luna memiliki rasa pedas. “Hm! Ini pedes banget!” Jihoon buru-buru meneguk minuman dalam botol yang disajikan Luna.

“Nggak suka pedas? Tapi, emang pedasnya Indonesia sama Korea beda sih.”

“Iya beda.” Jihoon berusaha mengusir rasa pedas di mulutnya. Setelah rasa pedas itu mereda, Jihoon mengambil sesuatu dari dalam tasnya. “Ini bagus untuk kesehatan. Saat dalam perjalanan ke sini, aku berpikir harus membawa apa untuk Seonbae. Karena, Seonbae sudah ke dokter, aku pikir lebih baik membawa vitamin saja.” Ia memberikan vitamin yang ia beli pada Luna.

“Terima kasih.” Luna menerima vitamin pemberian Jihoon.

Jihoon tersenyum melihatnya. “Bagaimana ceritanya sampai cidera begini?”

“Jatuh karena dikejar anjing. Saat pulang dari sekolah hari Sabtu siang kemarin lusa. Terkilir sampai bengkak. Ibu Kecil khawatir dan membawaku ke dokter. Lalu, aku dikasih surat istirahat itu.”

“Takut anjing?”

Luna menganggukkan kepala.

“Ibu Kecil siapa?”

“Ajumma pemilik rumah dan rooftop ini. Beliau minta dipanggil dengan panggilan ala Indonesia. Aku panggil saja Ibu Kecil. Beliau lebih muda dari ibuku.”

“Oh.” Jihoon mengangguk. “Panggilan kesayangan?”

“Seperti itulah. Jihoon-aa, harusnya aktingnya nggak perlu sejauh ini.”

Jihoon tercenung sejenak menatap Luna. Lalu, ia tersenyum. “Kalau jadi aktor, harus total kan dalam memainkan peran.”

“Trus, kamu mau aku bikin pengumuman kalau kamu jenguk aku? Oh... calon pacar yang tampan dan perhatian. Mereka pasti akan heboh seperti itu. Dan, sekeras apa pun berusaha, nggak akan dapat restu dari fansmu. Ya, kan?”

Lagi-lagi Jihoon tersenyum. “Aku nggak perlu restu dari mereka. Ini hidupku. Lagi pula tanpa membuat pengumuman, di sekolah pasti sudah heboh. Tunggu saja, sebentar lagi pasti ramai di komunitas sekolah. Berita Seonbae absen hari ini dan surat ijin yang dibawa Lai Guanlin sudah ramai dibicarakan.”

“Karena itu Gualin jadi trending topic? Dan, kamu tiba-tiba menculik dia. Wah, skenario yang sempurna.”

“Aku butuh alamat Seonbae. Jadi, aku menemuinya.”

“Kita pantas mendapat penghargaan untuk ini semua.”

Jihoon tersenyum dan mengangguk.

Terdengar suara ketukan di pintu. Luna dan Jihoon saling melempar pandangan.

“Aku sudah melarang mereka datang. Masa iya mereka datang?” Gumam Luna.

“Siapa?” Tanya Jihoon.

“Yoon Jisung, Ha Sungwoon, Ong Seongwoo, dan Park Woojin mungkin. Tadi mereka juga mencari Guanlin. Lalu, heboh dalam grup chat yang baru saja dibuat Jisung hari ini. Tahu apa nama grupnya? Moon Kingdom. Konyol kan?” Luna mengoceh, menceritakan tentang 'squad barunya' di kelas XI-E.

“Aku saja yang buka pintunya.” Jihoon bangkit dari duduknya dan berjalan menuju pintu.

“Padahal sudah kubilang tak usah menjenguk.” Gumam Luna sembari menatap punggung Jihoon.

Jihoon sampai di depan pintu dan membukanya. Ia terkejut. Bukan keempat teman Luna yang berdiri di depan pintu.

Luna yang masih memperhatikan, menatap gelagat reaksi Jihoon. “Apa benar itu mereka?” Tanyanya.

“Eung, bukan.” Jawab Jihoon masih menatap sosok yang berdiri di luar sana dan tak terlihat oleh Luna.

“Bukan? Lalu siapa?”

“Ini aku, Seonbae.” Jawab seorang pria di luar sana.

Luna tak asing dengan suara itu. “Daniel??”

Jihoon menatap Daniel yang masih berdiri di depan pintu, di luar rooftop. Daniel membalas tatapan Jihoon, lalu tersenyum.

***

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews