My 4D Seonbae - Episode #4 "Seonbae vs. Hoobae"

05:50

                               My 4D Seonbae - Episode #4 "Seonbae vs. Hoobae"










Ketika kita memasuki jenjang sekolah baru, kita pasti akan mempunyai sosok yang di idolakan. Entah itu sesama teman atau kakak senior. Di sini kasta antara Seonbae (senior) dan hoobae (junior) sangat kentara. Tapi, tetap saja seonbae dan hoobae bisa berteman dan saling berinteraksi. Walau tidak sebebas di Indonesia. Pertemanan dan keakraban kami dan senior ataupun bersama junior seperti masih memiliki batas. Hmm, mungkin hanya perasaanku saja. Tapi karena saking kentaranya perbedaan itu, kadang aku merasa tak nyaman juga tak bebas. Lagi-lagi keyakinanku tentang "semua adalah teman" aku ragukan.

Idolaku di kalangan senior adalah Song Hyuri dan Kim Myungsoo. Mereka sangat baik padaku sejak hari pertama kami bertemu. Song Hyuri Seonbae memilihku untuk membacakan tata tertib MOS di depan teman-teman seangkatanku, dan juga para senior yang tergabung dalam OSIS. Song Hyuri Sunbae kala itu menjabat sebagai Ketua Seksi Bidang 10 yaitu Seksi Pembinaan Komunikasi dalam Bahasa Inggris. Ia sangat menyukai Bahasa Inggris. Karenanya, ia selalu berusaha dekat dengan murid asing untuk bisa berkomunikasi dengan mereka demi meningkatkan kemampuan Bahasa Inggrisnya.

Aku pernah bertanya kenapa ia memilihku, sedang banyak murid asing lain di angkatanku. Song Hyuri Seonbae menjawab, "Entahlah. Kau memancarkan aura yang menarik perhatianku. Menurutku kau unik. Dan, ternyata aku tak salah."

Sialnya, aku merasa jatuh cinta pada pandangan pertama pada seonbae cantik itu, karena ia terus memperlakukan aku dengan baik. Hatiku yang rapuh pun tak bisa berpaling darinya. Ketika bersamanya, aku merasa tak ada batasan di antara kami. Dinding kaca yang memisahkan kami sebagai senior dan junior memudar ketika aku bersamanya.

Kim Myungsoo Seonbae adalah pacar Song Hyuri Seonbae. Yang aku dengar mereka sudah menjalin hubungan sejak semester kedua di tahun pertama mereka di SMA Hak Kun. Awet ya! Kim Myungsoo Seonbae sangat tampan. Banyak junior yang mengidolakannya. Aku? Aku dulu tak suka padanya. Dia jarang tersenyum. Terlebih pada junior. Sebut saja gayanya sok cool, sok keren. Tapi, hatiku jadi luluh ketika melihatnya membantu salah satu teman seangkatanku yang pingsan saat MOS. Setelah mengenalnya dari Song Hyuri Seonbae, baru aku tahu jika Kim Myungsoo Seonbae lumayan bawel. Hehehe. Tak kenal maka tak sayang.

Hanya mereka seonbae yang aku suka. Lainnya biasa saja. Eum, mungkin ada beberapa yang aku tidak suka. Tapi, ya kita semua adalah teman. Maklumi dan terima sikap mereka. Karena, setiap manusia diciptakan berbeda. Kalau semua manusia sama, dunia dan kehidupannya pasti sangat membosankan.

***


Luna tiba di basecamp Klub Teater. Belum ada siapa-siapa di sana. Ia pikir hanya orang Indonesia saja yang hobi ngaret alias tidak tepat waktu. Ternyata, di negara maju seperti Korea Selatan pun banyak orang yang hobi ngaret, tidak on time.

Luna berjalan memasuki basecamp, menghampiri meja, dan duduk di salah satu bangku yang mengitari meja kotak itu. Ia melihat jam di tangan kanannya. Pukul sembilan kurang lima menit. Sepertinya dia datang terlalu cepat. Ia pun mengeluarkan ponselnya dan mulai mengotak-atiknya. Ada banyak pemberitahuan dari Instagram.

“Dih! Mas Dinar apa-apaan sih?!” Gumam Luna sembari menatap layar ponselnya.

Dinari, kakak keduanya yang seorang artis di Indonesia kembali berulah. Pemuda itu memposting fotonya bersama Luna dan turut menyebut akun Instagram Luna. Jadilah notifikasi Luna ikut menumpuk karena fans-fans kakaknya yang turut menyebut akunnya dalam komentar.

“Ngapain posting foto ini sih! Nggak lucu banget kan! Mana aku pas bangun tidur lagi!” Luna menatap ponselnya dengan kesal.

Me and my lil sister. Cute ya! Muka bau iler semua. Hahaha. Tulis Dinar, kakak kedua Luna pada postingan terbarunya yang berupa foto dirinya bersama Luna saat baru bangun tidur.

“Woojin pasti udah liat ini! Seongwoo? Sungwoon? Jisung? Dan...”

“Annyeong!” Jihoon memasuki basecamp. Membuat Luna yang sedang asik menduga-duga tentang squad barunya tertegun.

Luna mengatupkan kedua mulutnya. “Annyeong.” Jawabnya dengan nada datar.

Jihoon tersenyum manis. Berjalan mendekati Luna dan duduk di bangku kosong tepat di samping kiri Luna. “Sudah kuduga, Seonbae pasti yang pertama datang.”

Luna mengembangkan senyum di wajahnya. “Bagaimana hari-harimu? Menyenangkan?”

Jihoon menganggukkan kepala.

“Mereka tidak mengganggumu lagi?”

“Masih mengawasi, tapi dengan jarak yang lumanyan jauh. Aku bisa bernapas lega. Terima kasih, Seonbae.”

“Jangan dibahas lagi. Dinding sekolah punya banyak telinga.”

Jihoon kembali tersenyum, sambil menganggukkan kepala. “Ah, Seonbae.”

“Mm?” Luna menatap Jihoon, memberinya perhatian penuh.

“Seonbae terlihat cute dan cantik dalam postingan itu.”

Mata bulat Luna melebar. “Kau melihatnya?!”

Jihoon tersenyum dan mengangguk antusias.

“Ya! Ngapain kamu kepoin akun masku?!”

Jihoon melongo. Menatap Luna dengan ekspresi bingung. Ia tak paham karena Luna berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.

“Kenapa kamu melihat-lihat akun oppaku?” Luna kembali bicara dengan Bahasa Korea.

“Emang nggak boleh? Aku juga penasaran pada Seonbae dan keluarga Seonbae.”

“Penasaran?? Ya! Park Jihoon! Kamu nggak usah ikut-ikutan kepo gitu. Anu, maksudku kamu nggak usah penasaran sama aku dan oppa-oppaku. Nggak ada yang menarik. Beneran. Apalagi oppaku yang kedua, postingan dia selalu gaje. Nggak jelas!”

Jihoon tertawa. Baginya Luna yang berbicara dengan bahasa campuran—Bahasa Korea dan Bahasa Indonesia—terlihat lucu.

“Ya! Kenapa kamu malah tertawa?”

“Maaf. Seonbae terlihat lucu dan menggemaskan saat berbicara dengan bahasa campuran seperti tadi.”

“Lucu? Emangnya aku badut ya? Kok lucu? Eh? Badut itu seram. Nggak lucu.” Luna memiringkan kepala. Sedang Jihoon masih menatapnya dengan wajah yang dihiasi senyum.

“Kalian terlihat sangat dekat. Itu menyenangkan.” Ujar Jihoon.

“Bukannya kamu juga punya kakak laki-laki ya?”

“Seonbae tahu?”

“Tahu lah. Kamu kan idola di sekolah kita. Kenapa kamu jadi idola di sekolah kita? Bukan hanya karena tingkah cute-mu saja. Tapi, karena kamu tampan, kaya, dan berprestasi. Harusnya kamu nggak sekolah di sini. Kamu pernah jadi model anak-anak juga kan? Jadi cameo di beberapa drama juga. Kenapa kamu nggak jadi idol aja?”

Jihoon melongo menatap Luna. Sejauh yang ia tahu, Luna adalah sosok yang cuek pada hal-hal seperti itu—berburu informasi tentang seseorang—karena terlalu asik dengan dunianya sendiri. Tapi, ternyata gadis itu juga memiliki perhatian pada hal yang mungkin saja tidak ia sukai—seperti mencari informasi tentangnya.

“Ekspresinya biasa aja kali. Nggak usah gitu banget!”

“Seonbae! Berhenti menggunakan Bahasa Indonesia. Aku nggak paham.” Protes Jihoon.

“Pantas saja para seonbae itu menggila.”

“Nee? Para seonbae itu menggila.”

“Caramu berbicara seperti itu, pasti sangat cute di mata mereka. Lalu mereka akan bersorak, aaa neomu kiyowo! Bisa nggak sih nggak akting di depanku?”

“Ak-ku nggak akting kok. Memang kayak gini cara bicaraku.”

“Jinjaro?” Luna mengamati Jihoon. Ia yakin jika apa yang dilakukan Jihoon hanya akting.

“Annyeong!” Seorang anggota Klub Teater memasuki basecamp. “Ah! Kenapa Park Jihoon sudah ada di sini?” Keluhnya sembari berjalan mendekati meja. “Padahal aku sudah berusaha dengan keras untuk sampai lebih awal.” Ia pun duduk di samping kiri Jihoon. Mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Lee Daehwi, kamu habis lari?” Tanya Luna sembari memperhatikan pemuda yang duduk di samping kiri Jihoon.

“Nee.” Lee Daehwi membenarkan. “Aku berusaha secepatnya sampai di basecamp. Untuk berbicara dengan seonbae. Tapi, Park Jihoon sudah ada di sini.”

“Minum ini!” Luna memberikan sebotol air mineral pada Daehwi.

“Aku bawa kok!” Tolak Daehwi yany kemudian mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya dan segera meneguk isinya.

Luna dan Jihoon menunggu. Keduanya kompak menatap Daehwi. Memperhatikan segala tingkah pemuda itu.

“Pengen ngobrol apa sama aku?” Tanya Luna setelah melihat Daehwi selesai dengan aktifitasnya.

“Ini masalah pribadiku. Aku nggak enak sama Jihoon, jadi lain kali saja. Aku benar-benar ingin ngobrol berdua saja dengan seonbae.” Daehwi kemudian menatap Jihoon yang meliriknya tajam. “Tolong jangan cemburu. Aku hanya butuh konsultasi dengan seonbae. Dan, maaf itu nggak bisa aku lakukan di depanmu.”

“Memangnya kenapa kalau ngobrol bertiga denganku?” Jihoon yang merasa terganggu dengan sikap Daehwi pun menuntut penjelasan.

“Aku nggak bisa. Malu.”

“Malu? Malu sama aku yang sesama cowok, tapi nggak malu ke seonbae?”

“Bukan begitu. Jihoon-aa, mohon pahami aku.”

Luna tersenyum menatap Jihoon dan Daehwi yang sedang berdebat.

“Gimana aku bisa paham kalau kamu nggak cerita?” Jihoon dibuat bingung dengan sikap Daehwi yang datang-datang langsung berbicara tentang hal yang sama sekali tak ia pahami.

“Yang pasti aku nggak akan merebut Luna Seonbae darimu. Itu cukup, kan?” Daehwi menegaskan. Membuat kedua mata sipit Jihoon melebar saat menatapnya.

“Sejak pertama bertemu seonbae, aku merasa seonbae adalah sosok kakak yang baik. Seonbae membantuku di saat aku benar-benar membutuhkan bantuan. Karenanya, aku ingin ngobrol berdua saja dengan seonbae. Aku butuh pendapat dari seonbae. Aku butuh solusi.” Daehwi mencoba memberi penjelasan lebih detail agar Jihoon—yang mengaku sedang dalam masa pendekatan dengan Luna—tak cemburu.

“Kalau begitu kita harus membuat janji.” Luna menyela. Daehwi dan Jihoon kompak menatapnya. “Tapi, aku nggak janji bisa ngasih solusi seperti yang kamu harapkan lho ya. Apa pun masalahmu. Tapi, aku bisa jadi pendengar yang baik.”

Daehwi tersenyum lebar. “Kamsahamnida, Seonbae. Dari awal kita bertemu, aku tahu seonbae adalah orang yang baik dan bisa diandalkan.”

“Dari awal kita bertemu? Ish!” Jihoon mencibir.

“Tolong jangan cemburu.” Daehwi merangkul Jihoon. “Jihoon-ie yang tampan dan baik, tolong jangan cemburu ya... ya...”

“Berhenti merayuku!” Jihoon menggerakan bahunya. Menjatuhkan tangan Daehwi yang merangkulnya.

Lagi-lagi Luna tersenyum melihat tingkah kedua juniornya. Anggota teater yang lain mulai berdatangan. Anggota lama dan anggota baru Klub Teater berkumpul di basecamp dan memulai agenda pertemuan mereka hari ini.

***


Daehwi berjalan pelan sambil memegang perutnya. Wajahnya pucat. Ia meringis, menahan rasa sakit yang menghujam perutnya. Tak tahan dengan siksaan itu, ia pun menghentikan langkah dan berjongkok.

Luna berjalan sendirian sambil membuka-buka buku yang ia bawa. Ia mengalihkan perhatian setelah mendengar suara rintihan. Luna menghentikan langkahnya. Ia melihat seorang siswa sedang berjongkok di pinggir jalan menuju lapangan basket out door. Ia pun bergegas menghampiri siswa itu.

“Kamu baik-baik saja?” Tanya Luna setelah sampai di samping kanan Daehwi yang sedang berjongkok sambil memegang perutnya. Terlihat jelas di wajah Daehwi jika pemuda itu sedang kesakitan.

“Saya terlambat mengikuti kegiatan di lapangan basket.” Jawab Daehwi sopan dan menggunakan bahasa formal.

“Murid baru ya? Kamu sakit?”

Daehwi mengangguk. Masih meringis karena sakit di perutnya.

“Ayo, aku antar ke ruang UKS. Nggak usah ikut kegiatan di lapangan.”

“Tapi, Seonbae—“

Luna membantu Daehwi berdiri dan berjalan memapahnya. “Takut di hukum ya?”

Daehwi mengangguk.

“Kamu kan beneran sakit. Kalau nanti para senior menghukummu, aku akan bantu. Sekarang istirahat dulu dan pulihkan dirimu.”

Mendengarnya Daehwi merasa tenang. Rasa hangat pun menjalari seluruh tubuhnya. Ia bungkam dan membiarkan Luna memapahnya menuju ruang UKS.

Daehwi dan Luna tiba di ruang UKS. Luna mendudukan Daehwi di salah satu ranjang di ruang UKS. Seorang siswi muncul dan menyambut keduanya.

“Oh! Luna? Kenapa dia?” Sambut siswi itu. Song Hami, nama itu tertera di tag nama yang ia kenakan.

“Hami. Kebetulan kamu di sini. Dia sakit.”

“Sakit apa?”

Luna menoleh pada Daehwi, mengamatinya sejenak. “Perut yang sakit sebelah mana?"”

“Kiri.” Jawab Daehwi.

“Perih ya?”

“Iya. Sakit sekali.”

“Tadi nggak sarapan?”

Daehwi menggeleng’

Luna kembali menatap Hami. “Kasih aja obat buat lambung.”

“Sebentar.” Hami segera menuju ke lemari tempat penyimpanan obat. Lalu, ia pun sibuk mencari obat yang diminta Luna.

Luna menghampiri Hami. “Obat yang fungsinya untuk menetralkan asam lambung. Ada kah?”

“Ada kok. Itu kan termasuk obat pokok yang harus ada di kotak obat.”

“Bagus. Aku pergi sebentar ya.”

“Eh? Mau ke mana?”

Luna mengabaikan pertanyaan Hami dan berjalan keluar meninggalkan ruang UKS.

Sepuluh menit kemudian Luna kembali ke ruang UKS. Hami menyambutnya.

“Dari mana kamu?” Tanya Hami.

“Udah dikasih obatnya?” Luna balik bertanya.

“Yang ini bukan sih?” Hami menunjukkan obat di tangannya.

“Komposisi dan indikasinya apa?” Lagi-lagi Luna balik bertanya.

Hami pun membacakan fungsi dari obat yang ia bawa.

“Oke. Itu nggak papa. Yuk, kasih ke dia.” Luna berjalan memimpin. Hami mengikuti di belakangnya.

Daehwi yang berbaring segera bangun ketika Luna dan Hami datang.

“Ini air mineral dan roti. Minum obatnya dulu. Lalu makan rotinya. Kalau bisa, kunyah obatnya biar cepat bereaksi.” Luna memberikan botol air mineral dan tiga bungkus roti yang ia bawa pada Daehwi. Sedang Hami memberikan satu butir obat.

Daehwi menerima obat itu, lalu memakannya seperti saran Luna. Lalu, buru-buru ia meneguk air mineral pemberian Luna.

“Tunggu lima belas menit. Baru makan rotinya ya.” Luna tersenyum manis.

“Kamsahamnida Seonbaenim.” Daehwi menundukkan kepala di depan Luna.

“Kenapa nggak sarapan?”

“Bangun kesiangan. Jadi, tidak sempat sarapan.”

“Ada riwayat sakit lambung? Maag?”

“Nggak ada.”

“Kamu tahu dari mana kalau dia sakit lambung?” Hami menyela.

“Perut sebelah kiri kan lambung.”

“Oh iya ya.”

“Perawat jaga kapan datang?”

“Sebentar lagi.”

“Semoga lekas membaik...” Luna membaca tag nama yang dikenakan Daehwi, “Lee Daehwi.”

“Kamsahamnida, Seonbaenim.” Daehwi tersenyum manis, usai membungkukkan badan.

Luna membalas senyum. “Hami, jaga dia ya. Aku pergi dulu!” Luna menepuk lengan Hami, lalu pergi meninggalkan Hami dan Daehwi.

“Istirahat saja. Aku ada di ruang jaga. Kalau butuh sesuatu, panggil saja.” Ujar Hami.

“Iye, Seonbaenim. Kamsahamnida.” Daehwi kembali membungkukkan badan sebagai tanda terima kasih.

Hami tersenyum dan meninggalkan Daehwi sendirian.



Kening Jihoon berkerut. Ia menyimak cerita Daehwi tentang pertemuan pertamanya dengan Luna. Usai pertemuan dengan anggota Klub Teater, Jihoon meminta waktu pada Daehwi untuk bicara. Daehwi menuruti permintaan Jihoon. Keduanya duduk di salah satu bangku taman sekolah. Di sana Jihoon meminta penjelasan Daehwi tentang permintaannya pada Luna.

“Benar hanya itu saja?” Jihoon memastikan.

Daehwi mengangguk antusias. “Percaya padaku. Aku memang menyukai Luna Seobaenim, tapi bukan rasa suka seperti yang kamu miliki. Aku suka dia seperti perasaan adik pada kakak. Jadi, tolong jangan salah paham dan jangan cemburu.”

“Lalu, kenapa aku nggak boleh tahu tentang apa yang mau kamu obrolin sama Seonbae?” Jihoon menatap Daehwi penuh selidik.

“Itu karena...” Daehwi diam sejenak. Jihoon diam dan menunggu. “Karena aku malu.” Imbuh Daehwi lirih.

“Malu??” Mata sipit Jihoon melebar. “Sama aku??”

Daehwi mengangguk.

“Tapi, nggak ke Seonbae??”

“Kan tadi udah aku bilang, aku rasa Seonbae bisa kasih aku solusi. Sebenarnya malu juga. Tapi, aku pikir itu jalan terbaik. Ngomong sama Seonbae.”

“Hah...” Jihoon menghela napas. “Kenapa harus Seonbae?”

“Aku juga malu kalau harus cerita ke Eommaku!”

Jihoon tercenung. Menatap Daehwi dangan heran.

“Udah ah!” Daehwi bangkit dari duduknya dan meraih tas ranselnya. “Aku mau pulang!” Ia berjalan meninggalkan Jihoon.

Jihoon menatap punggung Daehwi yang berjalan semakin menjauh. “Dia itu kenapa sih?” Gumamnya lirih. Jihoon meraih tasnya, lalu bangkit dari duduknya dan menyusul langkah Daehwi.

***

Luna berjalan dengan langkah sedang—tidak cepat, juga tidak terlalu lambat. Usai pertemuan dengan Klub Teater, ia langsung kembali pulang. Menolak ajakan makan siang Jisung dan Jaehwan. Ia masih punya jadwal Sabtu malam nanti, karenanya ia harus pulang untuk istirahat sejenak lalu bersiap untuk jadwal kegiatan selanjutnya.

Seorang pemuda melihat Luna yang berjalan dengan kepala tertunduk melintas. Ia tersenyum, lalu mengikuti Luna. Berjalan agak jauh di belakang Luna.

Luna melihat jam di tangan kananya. Ia mendesah pelan dan menggigit bibir bawahnya. Bersamaan dengan itu langkahnya menjadi pelan, lalu berhenti.
Pemuda yang berjalan mengikuti Luna turut berhenti. Ia memperhatikan Luna dari belakang.

Luna menghembuskan napas cepat. Mengepalkan tangan lalu kembali berjalan dengan langkah penuh percaya diri. Ia berbelok ke arah kanan.

Pemuda bertopi hitam itu segera mengikuti Luna. Walau masih menjaga jarak dari Luna.

Luna menambah kecepatan langkahnya. Kedua tangannya memegang erat tali tas punggung yang tergantung di kedua bahunya. Ia merapat ke sisi kiri jalan. Kepalanya tertunduk semakin dalam.

Luna menelan ludah. Kedua tangannya menggenggam tali tas punggung semakin erat. Dengan hati-hati ia melirik ke arah kanan. Di sana berdiri sebuah rumah berwarna merah maroon. Secepat kilat ia mengamati rumah dengan pagar dengan warna senada itu. Lalu buru-buru ia kembali menunduk.

Luna tersentak kaget ketika mendengar suara gongongan anjing saat melintas di depan gerbang rumah berwarna merah maroon itu. Ia berusaha mengabaikan dan menahan diri untuk tidak menoleh ke arah gerbang. Ia menundukkan kepala semakin dalam, tapi tak bisa menahan godaan untuk tak melirik gerbang. Ia melihat gerbang itu sedikit terbuka. Kedua mata bulatnya menangkap sekelebat sosok seekor anjing.

Luna tak bisa menyembunyikan kepanikannya ketika kembali mendengar suara gonggongan anjing. Ia tetap menundukkan kepala dan berusaha berjalan secepat mungkin. Ketika ia mendengar gonggongan anjing untuk yang ketiga kalinya, Luna pun menoleh. Kedua mata bulat Luna semakin melebar ketika menemukan anjing berbulu coklat itu sudah berada di luar gerbang dan menatap ke arahnya.

Anjing itu kembali menggonggong. Membuat Luna goyah. Tak kuasa membendung rasa takutnya, Luna pun berjalan semakin cepat dan berlari. Anjing berbulu coklat itu kembali menggonggong dan mengejar Luna.

“Jangan lari! Yah!” Keluh pemuda yang mengikuti Luna. Ia pun turut berlari mengejar Luna.

Mendegar teriakan pemuda bertopi hitam, pria pemilik rumah berwarna merah maroon keluar gerbang. “Bogi!” Ia memanggil anjingnya. Lalu, ia melihat pemuda bertopi hitam berlari. Di depan pemuda itu anjing peliharaannya berlari mengejar seorang gadis yang berlari. “Bogi! Bogi! Berhenti!” Pria itu berlari. Mengejar di belakang pemuda bertopi hitam.

Luna terus berlari sekencang yang ia bisa. Di belakanganya, anjing berbulu coklat berlari mengejarnya. Di belakang anjing berbulu coklat, pemuda bertopi hitam yang mengikuti Luna berlari mengejar. Di belakang pemuda itu, pria pemilik rumah merah maroon turut berlari mengejar.

“Bunda! Ayah! Mas Aro! Mas Dinar! Tolong aku!” Luna berteriak sambil terus berlari. “Cue! Siput! Onyet! Irog! Tolong aku! Huaaa!!!” Luna berlari sambil mengoceh dalam Bahasa Indonesia memanggil nama keluarga dan gengnya yang berada di Indonesia.

“Guk! Guk! Guk!” Anjing berbulu coklat terus menggonggong dan mengejar Luna.

“Tolong berhenti! Jangan lari lagi!” Pemuda bertopi hitam berusaha memanggil Luna.

“Bogi! Berhenti!” Pria pemilik rumah merah maroon berlari sambil berteriak memanggil anjingnya.

Luna, anjing berbulu coklat yang dipanggil Bogi, pemuda bertopi hitam, dan pria pemilik rumah merah maroon saling mengejar.

“Aw!” Pekik Luna yang terjatuh. Kaki kirinya terasa ngilu. “Sialan! Kenapa pakek kesleo gini sih!” Umpatnya di sela napas yang terngah-engah.

Luna menggeser posisi tubuhnya, melihat anjing berbulu coklat itu berhenti jarak beberapa langkah di depannya. Jantungnya berdetub kencang. Bukan hanya karena efek lari, tapi karena ia ketakutan. Ia menelan ludah. Dalam hati terus memanjatkan doa, sambil mengingat-ingat bagaimana cara menghadapi anjing yang menggonggong pada manusia.

“Ya. Jangan lihat matanya. Jangan lihat matanya!” Luna menurunkan pandangannya. Menatap kaki-kaki anjing yang bergerak maju-mundur.

“Guk! Guk!” Anjing berbulu coklat itu kembali menggonggong. Kaki-kakinya masih bergerak maju-mundur. Membuat Luna yang menatapnya semakin gemetaran.

“Bogi-ya...” Terdengar suara seorang pria. Luna mengangkat kepala, ia menemukan sesosok pria bertopi hitam sedang berdiri membungkuk. Kedua tangannya memegang lutut. Tubuhnya bergerak naik-turun, mengatur napas yang juga terengah-engah.

Pria itu menegakkan badan. Luna mengamatinya. Ternyata sosok itu adalah seorang pemuda yang kira-kira seumuran dengannya. Lalu, ia beralih pada anjing berbulu coklat yang kini menoleh pada pemuda bertopi hitam itu. Anjing itu menggonggong sekali. Lalu datang seorang pria dan berhenti tepat di samping kiri pemuda bertopi hitam.

“Bogi-ya... Kenapa kau kabur lagi?” Keluh pria itu sembari mengatur napasnya yang terengah-engah.

“Bogi. Ke sini.” Panggil pemuda bertopi hitam.

Anjing berbulu coklat itu pun mendekat. Pemuda bertopi hitam segera jongkok dan mengelus-elus anjing bernama Bogi itu. Luna bergidik ngeri melihatnya.

“Aku rasa dia berhasil melepas talinya lagi.” Kata pria yang berdiri di samping kiri pemuda bertopi hitam.

Luna masih bertahan dalam posisinya—duduk di atas aspal—sambil menyaksikan adegan ramah tamah antara pria berkaos lengan panjang warna biru tua, pemuda bertopi hitam, dan anjing berbulu coklat bernama Bogi. Ia merasa bersyukur karena bisa terbebas dari kejaran anjing bernama Bogi itu.

Luna mendadak siaga, karena ketiga makhluk yang tadinya sedang saling beramah tamah itu tiba-tiba berjalan ke arahnya. “Tolong jauhkan anjing itu dari saya!” Tolak Luna membuat langkah ketiga makhluk itu berhenti. “Maaf. Saya takut pada anjing.” Imbuhnya lirih.

“Agashi, tidak apa-apa?” Tanya pria berkaos hitam.

“Nee. Saya baik-baik saja.” Luna berusaha bangkit dari duduknya. Menyembunyikan rasa sakit di pergelangan kaki kirinya. Setelah berdiri, ia pun tersenyum manis. “Saya tahu harusnya saya tidak berlari, tapi saya terlalu takut. Maaf.” Luna membungkukkan badan.

“Aa-aniya. Saya lah yang harus meninta maaf.” Pria berkaos hitam merasa sungkan.

“Bogi senang berinterksi dengan orang. Sepertinya ini hanya salah paham.” Ujar pemuda bertopi hitam. Ia kemudian tersenyum pada Luna.

Salah paham katamu?! Umpat Luna dalam hati.

“Bogi! Ayo kita pulang!” Pria berkaos hitam membawa anjingnya. “Aku harus mengganti tali pengikatmu. Ah, kenapa kau gemar sekali kabur?” Pria itu menggerutu sambil berjalan pergi menuntun anjingnya.

Pemuda bertopi hitam berjalan menghampiri Luna. “Seonbae baik-baik saja?” Tanyanya setelah sampai di hadapan Luna.

“Seonbae??” Pekik Luna. Wajahnya menunjukkan ekspresi tak paham.

“Mm.” Pemuda itu mengangguk. “Aku adik kelas Seonbae di SMA Hak Kun.”

“Iya kah? Maaf. Aku nggak tahu.” Luna merasa sungkan.

“Hah... padahal Seonbae pernah menolongku.” Keluh pemuda itu.

“Iya kah?? Eum, maaf. Aku benar-benar nggak ingat.”

“Nggak papa kok.”

“Siapa namamu? Anak kelas X apa?”

“Kang Daniel. X-E.”

“Oh! Kelasku dulu! Kamu murid asing?”

“Bukan. Aku asli Korea.”

“Oh. Aku pikir murid asing. Sama sepertiku. Maaf ya.”

“Nggak papa. Banyak orang salah paham setelah aku mengganti namaku.”

Luna menanggapinya dengan sebuah senyuman.

“Mari aku antar pulang.”

“Kau tahu rumahku?”

“Kita kan satu komplek. Aku sering berjalan di belakang Seonbae, baik saat pulang atau berangkat sekolah.”

Mata bulat Luna melebar mendengar pengakuan Daniel.

“Aku bukan penguntit. Hanya saja aku takut untuk menyapa Seonbae.”

Luna terbengong sejenak, lalu tersenyum. Entah Daniel orang ke berapa yang mengatakan takut untuk menyapa lebih dulu. Luna kembali berpikir apa dia seangkuh itu?

“Seonbae?” Suara Daniel membuyarkan lamunan Luna.

“Oh iya.” Luna tersenyum lalu berjalan. “Aw!” Ia memekik karena rasa sakit di pergelangan kaki kirinya.

“Aku bantu!” Daniel memapah Luna yang berjalan pincang. Tapi, baru beberapa langkah, Luna kembali memekik kesakitan.

Daniel tiba-tiba membungkuk di depan Luna. Ia memunggungi Luna. Membuat gadis itu menatapnya dengan bingung.

“Naik ke punggungku.” Pinta Daniel.

“Mwo??” Luna terkejut hingga mulutnya membulat ketika mendengarnya. “Aku bisa jalan pelan-pelan. Ayo!” Luna kembali berjalan dengan pincang. Berusaha keras menahan rasa sakit di pergelangan kaki kirinya.

***


Luna terdiam. Membisu. Sejak ia naik ke punggung Daniel, ia tak tahu harus berkata apa. Perjalanan mereka pun hening.

Luna sudah berusaha untuk berjalan sendiri. Tapi, rasa sakit di pergelangan kaki kirinya tak bisa ia lawan. Walau sudah mengutarakan berbagai alasan untuk menolak bantuan Daniel—yang bersedia menggendongnya, pemuda itu tak mau menyerah. Bahkan jika Luna tak mau naik ke punggungnya, Daniel mengancam akan mengendongnya paksa ala bridal style. Akhirnya Luna menyerah dan naik ke punggung Daniel.

“Sudah kubilang aku ini berat.” Luna akhirnya berbicara. Memecah keheningan. “Karena aku bukan orang Korea yang super kurus-kurus.”

Daniel tersenyum mendengarnya. “Tadinya kupikir Seonbae takut ketahuan Park Jihoon.”

“Mwo??”

Daniel tertawa mendengar reaksi Luna. “Dia nggak nganterin Seonbae pulang? Tadi Klub Teater ngumpul di sekolah, kan?”

“Tradisi calon pacar di Korea gitu ya?”

“Nggak juga sih. Tumben tadi Seonbae lewat gang itu? Biasanya Seonbae berjalan ke arah kiri.”

“Aku buru-buru. Lewat gang sebelah kanan lebih cepat. Tapi, resikonya melewati rumah berwarna merah maroon yang ada anjing coklat yang gemar menggonggong pada pejalan kaki yang lewat. Sialnya hari ini pintu pagar terbuka dan yah seperti yang kau lihat tadi. Eh? Kamu tahu aku suka pilih jalan memutar?”

“Kan tadi aku udah bilang. Aku sering jalan di belakang Seonbae saat berangkat atau pulang sekolah. Bogi jinak kok.”

“Jinak apanya?! Kenapa main kejar gitu?”

“Mungkin dia penasaran pada Seonbae.”

“Ngeri tahu!”

Daniel kembali menertawakan Luna. “Kenapa takut pada anjing?”

“Dulu waktu SD, temanku pernah digigit anjing. Sejak saat itu aku takut pada anjing.”

“Bagaimana ceritanya sampai digigit anjing?”

“Ada salah satu rumah yang memiliki banyak anjing di jalan yang kami lewati saat pulang sekolah. Hari itu kami berlima pulang bersama, dan anjing-anjing itu sedang di luar pagar. Karena takut, kami berlari. Tiga ekor anjing mengejar kami. Satu anjing berhasil menyusul temanku dan menggigit tangannya. Dia sampai harus dirawat di rumah sakit.”

“Pantas saja Seonbae takut. Selanjutnya, kita berangkat dan pulang bersama saja. Kalau lewat gang sebelah kiri kan lebih jauh. Aku jamin Seonbae akan aman dari Bogi kalau kita sama-sama lewat gang sebelah kanan. Bagaimana?”

Luna diam sejenak. Menimbang-nimbang tawaran Daniel.

“Aku akan menjemput Seonbae. Di komplek ini hanya kita yang sekolah di SMA Hak Kun. Hanya sampai di bus saja. Saat keluar dari bus, kita bisa pura-pura nggak saling kenal. Seperti sebelumnya.”

“Kita sering berada dalam bus yang sama?”

“Mm.” Daniel mengangguk. “Seonbae selalu asik dengan diri sendiri. Pantas saja jika tidak pernah menyadarinya.”

Luna tersenyum mendengarnya. “Mian.”

“Jadi, kita bisa berangkat dan pulang bersama?”

“Boleh.”

“Baik! Hanya sampai di bus, selanjutnya kita akan berjalan seperti sebelumnya.”

“Kenapa harus begitu?”

“Aku takut pada Park Jihoon.”

“Ya ampun! Kau ini ada-ada saja. Kenapa takut pada Park Jihoon?”

“Dia itu monster berwajah imut kan?”

Daniel dan Luna tertawa bersama.

Sepuluh menit berjalan kaki, Daniel dan Luna tiba di rumah tempat Luna tinggal. Bibi pemilik rumah terkejut melihat Luna datang digendong Daniel. Wanita itu mengenal Daniel, ia yang panik langsung memberondong Daniel dengan banyak pertanyaan.

Daniel menggendong Luna hingga sampai di rooftop tempat Luna tinggal. Bibi Jung mengekor di belakanganya. Luna turun dan duduk di bangku yang berada di depan rooftop. Daniel duduk di samping kanannya. Sedang Bibi Jung membuka pintu rooftop. Lalu keluar membawa air mineral untuk Daniel dan Luna.

“Anjing itu selalu membuat masalah. Bukan hanya kamu yang takut padanya. Sebenarnya sudah banyak yang protes.” Bibi Jung berkomentar usai mendengar cerita Luna.

“Tapi, Bogi baik padaku.” Sanggah Daniel.

“Ey! Tidak semua orang berani pada anjing sepertimu. Aku juga takut pada anjing." Bibi Jung lalu berdecak. “Bagaimanapun terima kasih sudah membantu Luna.”

“Ibu Kecil,” Luna memanggil Bibi Jung. Nama panggilan pemberian Luna yang sangat disukai Bibi Jung. “Aku yakin Daniel pasti akan menderita sakit di seluruh tubuh usai menggendongku. Tolong lakukan sesuatu untuknya.”

“Eung? Ah! Tunggu sebentar. Aku punya minuman herbal yang bagus untuk kalian.”

Bibi Jung bangkit dari duduknya dan berjalan cepat menuruni tangga, menuju kediamannya.

“Terima kasih. Maaf, aku menyusahkanmu.” Luna merasa sungkan.

“Anggap saja kita impas.” Daniel tersenyum manis.

“Kapan aku menolongmu?”

“Sama sekali tidak ingat?”

“Belum ingat.”

“Nanti saja. Bukankah setelah ini kita akan sering bertemu? Jadi, tolong jangan penasaran.”

Luna berdecak. “Kamu tahu kan, penasaran itu nggak enak rasanya?”

Daniel tertawa geli melihat Luna.

“Baiklah. Aku akan mengingatnya.”

“Kalau nggak ingat juga, bilang padaku. Ya?"”

“Oke.”

Daniel dan Luna saling menatap dan kemudian sama-sama tersenyum.

***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews