My Curious Way: Candi Jago dan Candi Kidal
05:18
My
Curious Way: Candi Jago dan Candi Kidal
Beberapa waktu lalu iseng mengetik 'Poncokusumo' pada kolom pencarian Mbah Google. Aku terkejut ketika menemukan beberapa artikel yang menceritakan tentang keindahan wisata alam di Poncokusumo. Terkejut sekaligus sadar diri jika selama ini aku terlalu lama mengurung diri dalam tempurung kura-kura dan tak peduli pada banyaknya perubahan di sekitarku. Dalam waktu dua tahun, begitu banyak perubahan. Dan aku nggak tahu tentang itu. Parah!
Aku malu. Aku warga Kecamatan Poncokusumo dan mengaku hobi menulis, tapi nggak pernah nulis tentang daerahku sendiri. Amat malu sekali pakek banget. Artikel yang aku baca dari hasil pencarian Mbah Google membuatku malu, sekaligus menyadarkanku jika aku harus melalukan sesuatu. Ya, melakulan sesuatu; menulis tentang daerah tempat tinggalku yang super duper indah sekali pakek banget ini. Namun, keinginan itu terhalang situasi dan kondisi; kondisi fisik dan mentalku yang lagi down.
Pertemuan dengan seorang pemuda trail rider pada tanggal 05 Juli 2016 silam yang menjadi permulaan bagiku untuk menulis kisah fiksi yang 'lebih Indonesia'. Kisah fiksi yang 'lebih Malang'. Bukan fan fiction atau kisah fiksi yang berbau Korea.
Dari pertemuan singkat di sore pada hari terakhir puasa Ramadhan itu menginspirasiku untuk menulis sebuah novel yang tokohnya Indonesia banget. Jawa banget. Malang banget. Setting-nya pun Malang banget. Poncokusumo banget malahan.
Kenapa harus menciptakan setting khayalan atau meminjam daerah lain jika aku punya tempat yang tak kalah cantik untuk di eksplor? Akhirnya, dalam waktu sepuluh hari, novel tentang gadis (masih tetep ya) pecinta Kpop dan pemuda trail rider itu pun selesai. Setting-nya Malang banget! Poncokusumo banget! Entah kenapa tiba-tiba aku merasa puas dan bangga. Hehehe.
Setelah novel selesai dan masuk tahap persiapan terbit, ide baru muncul di otak cancer-ku. Novel itu kan terinspirasi dari kisah nyata, dan tempat-tempatnya pun nyata. Kenapa nggak aku kumpulin aja foto tempat yang menjadi setting dalam novel itu? Bukan tempat-tempat di kota Malang, tapi tempat-tempat di sekitarku yang mungkin nantinya pembaca nggak tahu. Atau bahkan bertanya-tanya, "Tempat itu beneran ada nggak sih?"
Dengan munculnya ide itu, aku membulatkan tekad untuk pergi; keluar dari dalam tempurung kura-kura dan mengumpulkan foto-foto tempat yang menjadi setting novel 'Cintaku Bersemi di Kios Bensin'. Karena belum berani keluar sendiri, perburuan pertama aku pun minta bantuan Thata--adik sepupuku. Dia yang jadi joki. Nganterin aku berburu foto tempat yang menjadi setting dalam novel.
Aku pernah menuliskan dalam catatanku: "Mencoba keluar, melawan ketakutan dan berhasil itu membuat ketagihan. Serius!" Itu benar sekali. Setelah berhasil mengumpulkan foto-foto setting dalam novel, aku jadi ketagihan untuk keluar dan mengumpulkan foto-foto tempat indah di sekitarku.
Dorongan lain yang turut menjadi cambuk adalah sebuah komentar yang berbunyi: "Kamu penulis tapi nggak pernah nulis tentang daerahmu sendiri."
Itu nampar banget! Iya, nampar banget! Akhirnya, aku memutuskan untuk mengalahkan ketakutanku. Aku keluar dari dalam tempurungku dan mulai menjelajahi alam sekitarku yang cukup lama aku abaikan.
Ini adalah tulisan pertamaku tentang pesona keindahan alam di sekitarku. Aku mulai dengan dua situs sejarah yang berada tak jauh dari tempat tinggalku yaitu Candi Jago dan Candi Kidal. Walau beda kecamatan, tapi dua candi ini deket dari Sarang Clover. Jadi, mari kita mulai perjalanan kita!
Candi Jago
Candi Jago terletak di desa Jago kecamatan Tumpang. Kalau dari markas Sarang Clover, jarak tempuhnya kurang lebih lima kilometer. Deket banget. Lima belas menit naik motor udah nyampek.
Zaman masih SD dulu, Candi Jago adalah tempat wisata favoritku bersama teman-teman satu geng. Sebulan sekali kami pergi bersama-sama ke Candi Jago dengan naik mikrolet. Setelah mengumpulkan uang saku selama enam hari, pada hari Minggu beramai-ramai kami pergi ke Candi Jago. Berkumpul di telon Wates, naik mikrolet ke Tumpang. Dari terminal Tumpang jalan kaki ke Candi Jago. Nyampek candi, buka bekal yang berupa cemilan atau makanan ringan sambil bermain-main. Bahagia itu sederhana ya. Hehehe.
Kira-kira dua puluh tahun kemudian, pada hari Minggu 02 Oktober 2016 lalu, aku kembali mengunjungi Candi Jago sebagai langkah pertama ritual mengalahkan ketakutan diri.
Kenapa memilih Candi Jago? Pertama jarak tempuhnya dekat. Dan lokasinya pun berada di tengah pemukiman padat penduduk. Tidak mengharap sesuatu yang buruk terjadi, tapi jika terjadi apa-apa padaku, akan sangat mudah untuk meminta pertolongan orang lain.
Zaman SD dulu main ke Candi Jago gratis. Nggak ada pungutan biaya bila ingin masuk ke area candi. Aku pikir peraturan akan berubah. Jadi ada HTM-nya begitu. Tapi ternyata tidak. Masuknya gratis. Tapi kalau pengunjung pengen ngisi kas, boleh juga. Seikhlasnya.
Juru kunci Candi Jago laki-laki. Bapak-bapak gitu. Cuman pas aku ke sana, bapaknya lagi sibuk bersihin area candi. Jadi nggak sempet nanya-nanya. Bapaknya ramah banget. Selalu tersenyum dan nyapa pengunjung.
Setelah dua puluh tahun tentu saja banyak yang berubah dari Candi Jago. Kalau bentuk candinya nurut aku sama. Yang beda taman di sekitarnya. Tampilannya jadi makin cantik dan bersih. Tapi papan tulisan tentang sejarah Candi Jago yang dulu ada di sebelah barat, di deket pintu masuk udah nggak ada. Pintu masuk sebelah barat ini pun tertutup rapat sekarang. Jadi untuk masuk ke area candi hanya menggunakan pintu masuk di sisi utara-timur. Deket pintu masuk ada pos penjaga. Area parkir berada di dekat bangunan pos penjaga. Tapi yang bisa masuk hanya sepeda dan motor saja. Untuk mobil, parkirnya di pinggir jalan di dekat area candi.
Dulu, walau hari Minggu, candi selalu sepi. Tapi tidak dengan sekarang. Hari Minggu, suasana di area candi cukup ramai. Banyak anak-anak usia sekolah (kira-kira SD kelas enam atau SMP kelas tujuh) berada di area candi. Bahkan ada (entah mahasiswi atau siswi SMA) yang sedang melakukan penelitian. Dia membawa tumpukan kertas bergambar relief, sambil mencocokannya dengan relief sebenarnya di Candi Jago. Bahkan, jika beruntung, kita bisa bertemu wisatawan asing di Candi Jago. Sayangnya hari itu kami belum beruntung ketemu wisatawan asing. Tapi kami bertemu wisatawan lokal dari luar kota.
Sejarah tentang Candi Jago bisa cek di Wikipedia aja ya. Ini link-nya: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi_Jago
Atau baca di sini: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_jago
Atau baca di sini: http://sejarahbudayanusantara.weebly.com/candi-jago.html
Menurut artikel dari link terakhir, pada sisi kiri candi (barat laut) terdapat relief yang menceritakan tentang kisah kura-kura yang ingin bisa terbang. Aku pernah baca tentang fabel itu--kura-kura ingin bisa terbang lalu dibantu burung bangau- tapi nggak nyangka kalau fabel itu berasal dari relief di Candi Jago. Payahnya lagi, saat sampai di area candi, aku sempat mengalami serangan panik karena cuaca yang terlalu panas dan takut ketinggian. Jadi saat di sana, aku lebih banyak duduk menenangkan diri di tempat yang teduh.
Sebaiknya kalau mau berkunjung ke Candi Jago, jangan terlalu siang. Karena panas banget di sana. Pukul setengah sembilan saja udah panas banget. Sekedar saran, kalau mau berkunjung ke suatu tempat wisata, nggak ada salahnya googling dulu. Biar tahu apa aja keunikan dari tempat itu. Jangan kayak aku. Berkunjung dulu baru googling. Tuh jadinya nggak bisa mencari dan mengabadikan relief tentang fabel kura-kura ingin bisa terbang.
Kalau dulu, main ke Candi Jago harus bawa bekal cemilan dan air. Karena, dulu walau dekat pemukiman padat penduduk, nggak ada warung. Sekarang di sisi kanan candi, di pinggir jalan udah ada toko yang jual aneka macam cemilan dan minuman. Jadi jangan khawatir kelaparan dan kehausan. Hehehe.
Bapak penjaga candinya kelar bersihin area candi, eh masih ada aja pengunjung bandel yang 'MALAS BUANG SAMPAH PADA TEMPATNYA'. Heran deh sama golongan pengunjung macem gini. Udah dikasih enak masuknya gratis, tempat sampah pun udah disediakan. Tapi tinggal nyemplungin sampah sisa dia makan dan minum ke tempat sampah kenapa males sih? Sambil ngomel karena kesel sama sikap pengunjung macem gitu, kami memunguti sampah bekas minuman yang dibiarkan tergeletak di kursi taman, lalu membuangnya ke dalam 'juglangan' yang letaknya di sebelah selatan pojok.
Bapaknya juga balik nyapu taman karena ada plastik bekas snack berserakan. Bapaknya senyum, lalu menundukan kepala kepada kami yang juga sibuk memunguti bekas minuman di bangku taman di bawah pohon rindang yang sedang berbunga lebat berwarna kuning. Semoga para pengunjung jadi lebih sadar diri untuk membuang sampah pada tempatnya. Kasihan kan bapaknya panas-panas harus nyapu taman berulang-ulang. Jadilah pengunjung yang bijaksana. Terlebih di tempat-tempat wisata yang berlabel 'GRATIS'.
Ada sisa-sisa ritual.
Katanya yang ditutup ini adalah terowongan yang menghubungkan Candi Jago dan Wendit.
Candi Jago dari belakang
Candi Jago
Bonus
Candi Kidal
Walau sejak kecil hidup di kecamatan Poncokusumo yang masih masuk kawedanan Tumpang, yang sama artinya masih tetanggaan (walau jauh sekali) sama desa Kidal. Aku belum pernah sama sekali mengunjungi Candi Kidal. Karena kecanduan keluar dari dalam tempurung kura-kura untuk mencari udara segar, rute dan destinasi di minggu selanjutnya adalah Candi Kidal.
Perjalanan pada hari Minggu 09 Oktober 2016, aku dianterin Bapak dan ditemenin Rara. Karena hari itu cuaca dari pagi mendung dan jarak tempuh lumayan jauh, Ibu nggak kasih izin aku pergi sendiri. Akhirnya Ibu meminta Bapak nganterin aku ke Candi Kidal.
Keuntungan dibonceng adalah bisa fokus menikmati pemandangan selama perjalanan. Apalagi ini perjalanan pertama menuju desa Kidal tempat Candi Kidal berada. Aku pun menyiapkan pocket camera-ku. Siapa tahu ada obyek menarik yang bisa diabadikan saat dalam perjalanan.
Rute baru yang menyenangkan. Di rute ini, ada bagian kita disuguhi pemandangan hamparan sawah di kanan-kiri jalan. Dan jauh di depan kita tampak perbukitan hijau yang benar-benar indah. Jadi mending pelan-pelan aja laju kendaraannya. Biar puas nikmati lukisan Tuhan yang maha indah itu.
Dari markas Sarang Clover, lokasi Candi Kidal lumayan jauh. Bahkan, sempat kelewatan candinya karena tertutup truk yang memuat tebu dan berhenti di depan area candi.
Sama seperti Candi Jago, posisi Candi Kidal juga strategis. Malah lebih gampang di cari karena berada di tepi satu-satunya jalan utama di jalur besar itu. Candi Kidal pun terletak di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.
Artikel Wikipedia tentang Candi Kidal bisa baca di sini: https://id.m.wikipedia.org/wiki/Candi_Kidal
Atau bisa baca juga di sini: http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_kidal
Area parkir terdapat di bagian depan area candi. Di dekat pos penjaga. Pagi itu yang jaga mas-mas masih muda. Aku masuk ke pos jaga, nanya tata krama kalau berkunjung ke Candi Kidal. Kata masnya nggak papa masuk dulu. Jadi aku dan Rara masuk dulu ke area candi.
Kalau di Candi Jago, begitu masuk kita disuguhi pemandangan bagian belakang candi. Di Candi Kidal, kita langsung disambut sama kemegahan Candi Kidal dari bagian depan.
Jalan setapak berpaving di tengah-tengah taman itu membawa kami menuju area utama Candi Kidal. Sama seperti di Candi Jago, area Candi Kidal juga asri dan bersih. Banyak pohon rindang di sekitar candi.
Oya, buat yang beser (kayak aku) nggak usah khawatir. Di Candi Jago dan Candi Kidal ada toiletnya. Gratis dan bersih toiletnya. Jadi jangan takut kebelet pipis trus kesulitan nyari toilet.
Sama kayak Candi Jago, hanya ada satu buah bangunan candi di Candi Kidal. Kalau nurut aku bentuknya Candi Kidal lebih mungil dari Candi Jago. Kita bisa mengelilingi candi dari jarak dekat melewati jalan berumput. Atau jarak jauh melewati jalan cor. Pilih aja yang nyaman yang mana. Suka-suka elu deh. Hehehe. Kalau mau lebih dekat biar bisa nyentuh candinya dan memahami reliefnya, ya ambil jarak dekat aja.
Di bagian depan candi, tepatnya di tangga, ada tulisan peringatan kalau pengin naik ke atas candi harus menghubungi petugas. Aku pun melarang Rara yang sebenarnya pengin naik ke atas candi dengan menegaskan tulisan peringatan itu.
Tapi beberapa menit kemudian penegasanku itu diuji. Saat aku dan Rara duduk beristirahat di bawah pohon kelengkeng. Ada pengunjung datang. Seorang pria dengan dua anak kecil. Pria dan kedua anaknya itu langsung naik ke atas candi.
"Loh, Ma! Orang itu kok naik sih?" Rara protes sambil menuding pria dan kedua anaknya yang udah menaiki candi, lalu berselfie ria di atas sana.
"Padahal kan tulisannya kalau mau naik harus bilang petugas dulu!" Imbuh Rara terdengar kesal.
"Mungkin mereka nggak bisa baca tulisannya. Atau bisa baca tapi mengabaikannya. Rara mau jadi kayak gitu?" tanyaku.
"Ya nggak, Ma! Nanti kalau melanggar larangan, kata Omma bisa terjadi sesuatu."
"Iya. Larangan dibuat pasti karena ada alasannya. Ya, kan? Kalau nggak ada alasannya, pasti siapa aja boleh naik kayak di Candi Jago. Rara mau naik? Kalau mau ayo kita bilang dulu sama penjaga di depan tadi."
"Nggak deh, Ma. Liat dari sini aja udah bagus. Serem kayaknya di atas."
Ya, begitulah. Kalau bukan pengunjung yang 'SUKA BUANG SAMPAH SEMBARANGAN'. Kita bakalan ketemu sama 'PENGUNJUNG YANG HOBI MELANGGAR LARANGAN'. Padahal udah jelas tertulis kalau mau naik hubungi petugas, tapi ya tetep dilanggar. Nanti kalau terjadi sesuatu, nggak jarang nyalahin petugas. Repot wes!
Tetaplah menjadi pengunjung yang bijak. Yang taat pada aturan.
Oya, di Candi Kidal ini tamannya unik. Ada pohon beringin yang di potong menyerupai induk ayam. Trus ada tanaman bunga perdu yang dibentuk seperti bintang dengan lingkaran di tengah-tengahnya.
Suasana di Candi Kidal tenang banget. Cocok deh buat yang butuh ketenangan. Duduk di bawah pohon kelengkeng yang rindang sambil menatap kemegahan Candi Kidal itu sesuatu banget.
Sebelum pulang, kami kembali mengunjungi pos jaga. Juru kuncinya ternyata seorang ibu yang tadi, pas di dalem area candi sempet memperhatikan dan tersenyum pada kami. Mas-mas yang tadi masih ada. Anaknya mungkin.
Ibunya menyambut kami dengan ramah. Menyodorkan buku tamu untuk diisi sambil bertanya kami orang mana. Tanpa malu aku jawab aku orang Wates. Maaf ya, aku merasa geli baca buku tamu. Pengunjung sebelumnya menulis alamatnya 'Malang'. Ha?? Malang?? Masak orang Malang wisata ke Candi Kidal pakek baju baby doll sih? Nggak pakek helm juga. Ok! Stop kura-kura! Berhenti mengomentari itu semua! Bisa jadi emang anak Malang yang lagi berlibur di rumah saudaranya di sekitar area candi atau desa deket-deket situ, ya kan?
Ok! Aku hanya tersenyum, lalu menulis nama, alamat, dan tujuanku datang ke Candi Kidal di buku tamu.
"Selalu ramai ya Bu?" Iseng-iseng aku ngajak ngobrol.
"Nggak mesti, Mbak. Kadang ramai, kadang sepi."
"Hmm... Hari ini pengunjungnya lumayan ya."
"Alhamdulillah."
"Trus, ngisi kas nggak, Bu?" Candaku sambil tersenyum.
"Seikhlasnya, Mbak." Si Ibu ikutan senyum. Malu-malu gitu ekspresinya.
Setelah mengisi buku tamu dan mengisi kas. Aku menyalami ibu penjaga candi, lalu berpamitan. Parkirnya gratis. Kurang enak opo??
Wes, monggo yang mau wisata sejarah. Kunjungi saja Candi Jago dan Candi Kidal. Tempatnya bagus banget. Bersih, nyaman, dan tenang. Toilet, udah ada. Kalau butuh pemandu atau mau tanya-tanya, para penjaganya juga ramah-ramah. Pasti mau jadi guide kalau dimintai tolong nemenin keliling gitu. Panas emang, tapi jangan khawatir. Banyak tempat duduk di bawah pohon yang teduh kok. Gratis. Kalau mau isi kas monggo, nggak juga nggak papa. Nggak bakalan dimarahi juga sama penjaganya kalau nggak ngisi kas. Hehehe.
Candi Kidal
Selamat menikmati keindahan Candi Jago dan Candi Kidal, shi-gUi.
Bonus: burung berjajar di atas kabel
Bonus XD
Photo by: shytUrtle and Mbak Maimun si Fotografer Usil (Kekeke. Piss, Mbak!)
Tempurung kura-kura, 18 Oktober
2016.
.shytUrtle.
0 comments