Bilik shytUrtle: Diary Melawan Anxie #7
04:25
Bilik
shytUrtle: Diary Melawan Anxie #7
Posting terakhir: 05 Oktober 2016.
Update kondisi dari 06 Oktober- 10 Oktober 2016.
Kemarin baca postingan Mbak Sri Rahayu tentang puasa. Setuju sama Kakak Cantik satu itu; puasa memang terapi terbaik bagi penderita GERD. Dengan catatan yang lambungnya udah kuat ya. Aku dulu waktu masih dalam tahap harus makan tiap dua jam sekali, ya manut aja. Nggak puasa dulu. Bahkan, sempet takut nggak bisa ikutan puasa Ramadhan karena takut nggak kuat. Ramadhan tahun 2015 adalah Ramadhan pertama setelah dinyatakan membaik dari GERD.
Parno? Jelas ada. Dulu sebelum kena GERD, kalau puasa nggak pernah sahur. Setelah kena GERD, sahur. Karena waktu itu takut mau sahur buah, sahur tetep nasi dalam porsi kecil dengan lauk telur rebus. Banyak-banyak minum air putih (sampai beser) dan menjelang imsya' minum Ranitidine.
Ketika sukses menjalani puasa sehari penuh tanpa sensasi, rasanya senang sekali. Sampai ingin merayakannya dengan menyalakan kembang api. Hehehe.
Alhamdulillah puasa sebulan penuh berjalan lancar. Minum Ranitidine hanya tiga hari pertama. Sisanya bisa dilalui tanpa bantuan obat.
Kalau diajak puasa tubuh masuk fase angel. Keren kan? Karenanya jadi ketagihan. Lanjut dengan puasa-puasa sunah. Selama puasa, terasa berat pas bayar hutang puasa Ramadhan beberapa waktu lalu. Entah kenapa kok ada aja sensasi yang muncul. Padahal sahur udah, minun Ranitidine udah. Usut punya usut, baru inget kalau aku lagi pengobatan lagi, dan obat yang aku minum adalah obat hormon.
Kata Emak; biasanya kan kalau nggak puasa, pagi perut langsung dibanjiri air putih, lalu disambung buah-buahan. Jadi kamu nggak ngrasain mual atau pusing. Kalau puasa kan nggak bisa tuh.
Hmmm... masuk, masuk. Lalu konsultasi ke Mbak Dian sama Mbak Sri. Lalu proses sahur balik kayak zaman awal belajar puasa dulu; menjelang imsya' minum Ranitidine.
Alhamdulillah itu membantu. Puasa pun kembali lancar dan enjoy. Sebenernya aku sempet menolak. Masak iya mau minta bantuan Ranitidine terus? Tapi, setelah ngajak ngobrol tubuh, ada kalanya tubuh butuh bantuan Ranitidine, dan ada kalanya nggak. Ini kita sendiri yang bisa tahu. Makanya sering-sering aja ngobrol sama diri sendiri biar makin mengenali diri sendiri. Hehehe.
Aku sering gitu. Misal lagi kumat, aku tanya deh tubuhku mau apa. Kalau ada bisikan, misal: air putih anget. Aku turuti. Alhamdulillah sembuh. Kayak gitu deh pokoknya. Yang paling ngerti diri kita ya kita sendiri, kan?
Setiap hari adalah perjuangan. Diajak puasa kok masih ada aja sensasi muncul? Oh ya, aku lagi konsumsi obat hormon jadi itu pengaruhnya. Trus, gimana biar puasanya nyaman?
Karena makan sahur dan minum Ranitidine malah bikin sensasi A, B, C, D, muncul di pagi hari. Aku pun coba-coba sahur dengan minum air putih hangat saja. Dua mug air putih hangat. Menjelang imsya' minum Ranitidine.
Alhamdulillah puasa lancar. Tanpa sensasi. Hari berikutnya sahur dengan air putih hangat tanpa Ranitidine. Lancar lagi. Alhamdulillah. Berikutnya sahur air putih hangat lagi plus Ranitidine. Lancar sampai finish. Alhamdulillah.
Kadang percobaan itu memang perlu. Dengan begitu, tubuh akan menemukan apa yang cocok untuknya. Tapi nggak boleh takut atau ragu saat mau melakukan percobaan. Mikir simpel aja; kalau gagal berarti hari ini belum dikasih izin buat puasa (atau buat berhasil). Nggak papa. Besok coba lagi.
Gitu terus. Nanti yang namanya parno dan pikiran negatif jadi capek sendiri gangguin kita. Soalnya kita tetep tegar dan nggak mau nyerah. Kita mau coba lagi dan lagi sampai tubuh kita dimampukan.
Ingat! Musuh terbesar kita adalah diri kita sendiri. Sekutu terkuat kita adalah diri kita sendiri. Jadi, bagaimana kita mau menjadikan diri kita sendiri sebagai musuh atau sekutu, ya ada di tangan kita sendiri.
Beberapa waktu lalu kakak sulungku ngobrol dengan salah seorang temannya yang punya latar belakang psikolog. Tak membuang kesempatan itu, kakak sulungku pun mengkonsultasikan aku.
"Halah! Nduk Yu itu nggak papa. Dia cuman kurang keluar rumah aja. Suruh keluar. Jangan jadi vampir terus. Kemarin keluar baik-baik aja kan dia? Nah, dia itu nggak papa. Sehat. Suruh banyakin keluar aja. Jangan banyak ngetik. Ya ngetik emang kerjaan dia ya. Banyakin keluar aja dah. Nggak perlu ke psikiater juga. Dia itu nggak papa. Sehat dia."
Tuh kan. Kata Kak Lee juga gitu. Aku nggak perlu ke psikiater. Yang aku perlukan hanya self healing. Kak Kania pun berpendapat sama. Ada yang nggak beres sama jiwaku dan harus aku sendiri yang memperbaikinya.
Alhamdulillah makin ke sini makin membaik. Bisa mengendalikan keadaan kalau rasa tak nyaman atau gemetaran itu muncul. Misal muncul gangguan fisik semacam mual, pusing, dll, mulai bisa menghadapinya dengan kepala dingin. Nggak panik lagi. Kalau dilawan-lawan nggak hilang, jalan terakhir yang aku pilih adalah tidur. Jika bangun tidur semua sensasi hilang, maka itu cuman pengaruh dari pikiran/mental yang sakit. Kalau bangun tidur sensasi masih ada, ya mulai mencari cara untuk penyembuhan secara fisik. Pakai obat gosok dan pijit, misalnya.
Kondisi pada tanggal 6, 7, 8 Oktober stabil. Aku menikmati hari-hariku dengan baik.
Satu hal yang kadang masih menggangguku yaitu pagi. Pada hari-hari tertentu, pagi terasa berat bagiku. Untung setiap Senin (seperti hari ini) pagiku berjalan dengan baik. Mungkin karena pengaruh bahagianya hari Minggu masih nempel kali ya?
Pada hari-hari tertentu, pagi terasa bagai monster bagiku. Dan itu tak bisa ditebak munculnya pada hari apa.
Pada pagi di hari-hari tertentu tubuhku terasa tak nyaman. Mulai dari mual, pusing, kliyengan. Itu sangat mengganggu sekali. Terlebih munculnya ketika aku sudah berada di tempat kerja. Menjengkelkan sekali kan?
Menyerah? TIDAK! Aku menikmati setiap detik siksaan itu sambil terus meyakinkan diriku bahwa aku baik-baik saja. Aku sehat secara fisik dan mental.
Siksaan itu kadang berlangsung lama, kadang singkat. Kadang hilang setelah aku berjemur, kadang masih nemplok walau aku sudah berjemur. Kadang hilang setelah aku 'bergerak', kadang masih ada walau aku sudah 'bergerak'. Kadang hilang pada pukul sembilan pagi. Kadang hilang pada pukul dua belas siang. Dalam seminggu bisa muncul tiga kali, bahkan lebih.
Lalu aku berpikir; ada yang salah dengan mentalku. Mungkin, karena dulu sensasi selalu muncul di pagi hari, mentalku bisa jadi masih merekam trauma itu. Karena secara fisik aku telah melakukan hal yang benar mulai dari bangun tidur. Sedang sensasi itu seringnya muncul setelah aku mandi pagi dan bersiap berangkat kerja.
Kadang aku sampai ngomel ke diriku sendiri. Kamu ini mau aku nggak kerja? Bla bla bla!
Karenanya mulai memasukan sugesti baru saat meditasi. Sugesti untuk menghilangkan pikiran 'pagi seperti monster bagiku'. Aku sedang dalam tahap melawan hal itu.
Pagi adalah hal yang menyenangkan.
Setiap hariku berjalan menyenangkan dan seperti apa yang aku inginkan.
Anehnya, kalau hari libur, sensasi 'pagi adalah monster' tidak berlaku. Lucu kan? Jadi anggap saja "EVERYDAY IS SUNDAY", kayak kata Joger.
Perjuangan masih belum berakhir! Semangat!!!
Minggu, 09 Oktober 2016.
Mencoba keluar, melawan ketakutan dan berhasil itu membuat ketagihan. Serius!
Minggu lalu aku berhasil mengalahkan ketakutanku. Keluar, nyetir motor sendiri, mengunjungi tempat-tempat wisata di sekitar tempat tinggal. Itu menyenangkan! Dan aku ketagihan.
Minggu lalu, setelah touring, langsung menyusun rencana untuk perjalanan minggu berikutnya. Kami sepakat untuk mengunjungi Candi Kidal.
Jam berangkat dan rute pun mulai ditentukan. Jika minggu lalu hanya pergi berdua, minggu ini rencananya ada beberapa orang lagi yang mau ikut. Ah, senangnya! Kita touring kayak dulu lagi. Touring jarak pendek.
Manusia hanya bisa berencana. Tuhan-lah Yang Maha Menentukan. Hujan sejak Sabtu malam tak kunjung reda. Bahkan air PDAM mati. Itu bikin jengkel! Bisa bayangkan kura-kura hidup tanpa air? Nah, begitulah galaunya diriku saat air PDAM mati. (Bagian ini ngapain sih ditulis!)
Minggu pagi hujan masih mengguyur. Air PDAM pun masih belum ngalir. Alhasil di rumah nggak bisa masak. Nasi sisa kemarin tinggal sedikit. Ada pepaya nggak bisa ngupas, karena kalau dikupas nggak bisa nyuci buat bersihin getahnya.
Sampai pukul setengah delapan pagi, masih mendung. Jangan kau tanya bagaimana dinginnya. Super! Dalam kondisi seperti itu, Ibu membeli tempe menjes goreng. Masih panas. Tentu saja aku tergoda. Makanlah sebiji tempe menjes goreng. Enak. Nambah lagi satu. Jadilah menjes goreng panas sebagai menu sarapan.
Pukul setengah sembilan pagi, matahari ngintip malu-malu. Lalu sinarnya mulai benderang beberapa menit kemudian. Rencana ngambang, nggak digagalin, juga nggak dilanjut.
Akhirnya Ibu meminta Bapak mengantarku ke Candi Kidal saja. Mumpung masih pagi dan ada matahari, begitu kata Ibu. Jadilah kami pergi bertiga saja--aku, Rara, dan Bapak.
Karena nggak jadi joki yang nyetir motor sendiri, aku pun memilih mengenakan hoodie saja (tanpa kaos di dalemnya, atau jaket di luarnya). Dipadukan dengan celana panjang. Kaos kaki dan masker nggak ketinggalan. Di dalam tas, peralatan tempur masih setia menemani: air mineral, minyak kayu putih, safe care, counter pain, tas obat.
Berangkat! Aku pikir cukuplah persiapanku. Toh tujuannya hanya ke candi. Di candi pasti panas. Dan lagi, aku dibonceng, nggak membonceng. Itu cukup!
Keuntungan dibonceng adalah bisa senyam-senyun sendiri menikmati pemandangan indah di kanan-kiri jalan. Dan bisa fokus ke kamera kalau-kalau ada obyek yang menarik saat dalam perjalanan. Kawanan trail rider, misalnya. Hahaha. Masih aja itu! Heuheuheu...
Sampai di area candi, tepat sekali! Panas! Aku bersyukur menggunakan hoodie yang tak begitu tebal dan ada kupluknya. Jadi selama berkeliling area candi aku bisa memakai kupluk untuk melindungi kepala dari panas.
Selesai dengan Candi Kidal, aku pikir Bapak akan langsung mengajakku pulang. I'm wrong. Karena masih pagi dan masih panas, Bapak mengajak kami lanjut menuju kolam pemandian Jenon. Itu karena di perjalanan tadi aku nanya Jenon itu di mana. Akhirnya sama Bapak diajakin ke sana juga. Yawes. Aku manut jokine wae.
Pemandangannya indah. Blusukan gatau di desa apa. Ada bukitnya pula. Gunung apa gitu namanya. Cantik sekali. Makin bening ini mata karena lihat yang indah-indah. Hehehe.
Nyampek lokasi Jenon ternyata udah di bangun. Masuknya bayar. Aku? Nggak masuk. Bukan masalah bayarnya sih. Cuman kalau masuk trus di dalem nggak nyemplung kolam kan rugi. Mau ngapain di dalem sana? Foto-foto doang? Mau nyebur ke kolam juga nggak bawa baju ganti.
Akhirnya kami nggak masuk. Kata Bapak, "Kamu cukup tahu jalannya aja. Jadi kapan-kapan kalau mau maen sama temen-temenmu nggak bingung nyari-nyari lokasinya di mana."
Thanks, Dad.
Dari Jenon, blusukan lagi. Entah di mana. Jalannya makadam. Kanan-kiri hutan. Ada hutan bambu juga. Kebun kopi. Uh, indah banget. Coba kebun kopinya pas tanaman kopinya lagi berbunga, pasti baunya harum banget.
Tahu-tahu dibelokin ke Sumber Agung. Tempatnya teduh (cenderung singup). Sayang banget. Andai dikelola dengan baik, bisa jadi tempat wisata yang bagus itu. Sebentar saja kami di sana. Dan karena ada orang memotong pohon bambu, Bapak nggak kasih izin kami buat turun ke area kolam di Sumber Agung.
Aku pikir perjalanan selanjutnya adalah pulang. Ternyata aku salah lagi.
"Kita lanjut ke Gubugklakah ya? Katanya kamu mau survey lokasi buat tanggal tiga puluh. Aku kasih liat rute yang seru!" kata Bapak penuh semangat.
Aku bengong. Lanjut ke Gubugklakah? Naik? Dan aku hanya pakai hoodie tipis ini? Karena Rara setuju, lagi-lagi aku manut wae.
Merapatkan kupluk hoodie dan masker. Makin naik angin makin kenceng dan makin dingin. Nyampek di jalan menurun gerimis. Rara minta putar balik, tapi aku minta lanjut. Nekat? Biarin! Udah nyampek separo perjalanan juga. Kalau hujan ya ngiyub! Berteduh. Karena, kami nggak bawa mantel.
Akhirnya lanjut. Melewati jalan sempit berkelok-kelok di tengah-tengah hutan bambu. Makin dingin dan gerimis masih setia menemani.
Walau kedinginan, pemandangan alam yang benar-benar indah mengalihkan perhatianku. Rasa khawatir kena sindrom enter wind (masuk angin) langsung hilang.
Setelah menunjukan rute yang bisa menjadi alternatif untuk perjalanan tanggal 30 Oktober nanti, kami pun pulang.
Baru saja masuk rumah, hujan kembali mengguyur. Alhamdulillah. Hal lain yang membuatku senang adalah air PDAM sudah kembali mengalir. Hurray!!!
Harus mempersiapkan fisik dan mental untuk touring tanggal 30 Oktober 2016. Rutenya cukup menguji nyali. Pasti bisa!!!
Senin, 10 Oktober 2016.
Musim hujan telah tiba. Ayo, ayo persiapkan diri. Siapkan alat tempur! Semangat! Semangat!
Walau pagi ini amat sangat dingin sekali pakek banget, alhamdulillah Senin pagiku angel banget. Walau hujan mengguyur dan sempat menggigil kedinginan di toko, semua berjalan dengan baik. Alhamdulillah.
Barusan mempersiapkan makan siang. Lalu Wan Bos datang bergabung dan menceritakan salah seorang tetangga yang meninggal tadi pagi. Menurut Wan Bos, Pak A meninggal usai makan. Pak A tersedak lalu tak sadarkan diri dan meninggal.
Efeknya: aku makan siang dengan rasa tak nyaman. Jantung berdetub kencang nggak karuan. Jadi sambil makan diselingi minum air putih dikit-dikit.
Setelah makan masih berdetub kencang jantungku. Plus sendawa-sendawa. Aku nikmati saja. Mungkin karena dingin jadi terlalu banyak angin di dalam perut. Alhamdulillah sekarang udah normal lagi.
Ya ampun... selemah itu kah mentalku? Mungkin Wan Bos lupa jika aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Udah tahu aku makan dengan canggung, masih aja lanjut ceritanya. Tuhan...
Orang memang tak akan pernah bisa atau mungkin sulit memahami orang sepertiku. Jadi, berusaha memahami mereka saja dan berdamai dengan diri sendiri jika sensasi muncul.
Setiap hari adalah perjuangan. Semangat!!!
Tempurung kura-kura, 10 Oktober 2016, 12.15 PM.
.shytUrtle.
0 comments