AWAKE "Rigel Story" - Bab XXV

05:29

AWAKE - Rigel Story

 
 

Bab XXV

 

Ketika Rue melakukan perlawanan bersama tim pelaksana ritual, di tengah pertempuran ia melihat Raja Buto berdiri di depannya. Ketika ia mendongak, tubuhnya seolah tertarik. Ia tak bisa mengelak. Saat sadar, Rue sudah berada di alam lain. Di depannya Raja Buto berdiri menantang dengan dikerumuni pasukannya. Rue menelan ludah. Raja Buto telah menyeret sukmanya ke alam gaib. Raja Buto tertawa. Suaranya menggelegar, memenuhi langit dan bumi.

“Rue!” Goong berdiri di samping kiri Rue.
“Goong-nim!” Rue kaget melihat Goong tiba-tiba muncul di sampingnya.
“Kamu nggak sendirian, Rue. Ada kami. Kami akan maju perang bersamamu.”
Rue menoleh, di belakangnya berdiri makhluk-makhluk astral penghuni SMA Horison. Ada kuntilanak, pocong, genderuwo, siluman, dan makhluk astral lainnya.
“Sudah kubilang, kami nggak mau dijajah. Setelah mengikuti rapat, aku juga mengumpulkan pasukan. Mereka adalah yang secara sukarela bergabung untuk memperjuangkan tanah tempat tinggal kami.”
Rue menoleh ke arah kiri, tersenyum menatap Goong. “Kamsahamnida, Doryeonim.
“Kau kuat,Rue! Kita pasti bisa mengalahkannya.”
Rue tersenyum dan menganggukkan kepala.
“Eh? Dia siapa?” Goong menuding ke arah kanan Rue.
Rue menoleh ke arah kanan. Kedua mata bulatnya terbelalak. Terkejut mendapati Malaikat Maut berdiri di samping kanannya. “Anda??” Tanyanya masih terkaget-kaget.
Malaikat Maut menoleh ke arah kiri dan tersenyum pada Rue. “Kita lawan bersama. Aku akan menemanimu sampai akhir.”
“Anda sebenarnya siapa?”
Malaikat Maut kembali tersenyum. “Kita selesaikan ini dulu. Baru kita duduk dan mengobrol.”
Rue tak paham dengan apa yang ia rasakan. Mendengar kalimat yang diucapkan Malaikat Maut, ia merasa terharu, senang, sekaligus sedih. Semua bercampur aduk di dalam dadanya. Ia hanya bisa menganggukkan kepala sebagai jawaban.
Rue kembali menatap ke arah depan. Ia menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya pelan. Kemudian ia menggelung rambut ikal panjangnya yang terurai. Lalu, melepas tasbih berwarna coklat yang ia jadikan kalung. Ia melilitkan tasbih yang terbuat dari kayu cendana itu menjadi tiga lilitan di tangan kanannya dan memegang ujungnya. Ia siap untuk maju berperang melawan Raja Buto dan pasukannya.
Ketika panglima dari pasukan Raja Buto berseru pada pasukannya untuk maju menyerang, Goong juga juga berseru memerintahkan teman-temannya untuk maju menyerang. Pasukan buto dan makhluk-makhluk astral SMA Horison bertemu di medan perang. Menyerang satu sama lain.
Tangan kanan Rue yang dililit tasbih mengeluarkan cahaya putih terang memanjang. Kemudian cahaya itu berubah menjadi sebuah pedang. Rue pun turut maju bertempur di medan perang. Membaur dengan pasukan buto dan makhluk-makhluk astral SMA Horison. Tanpa ampun, Rue menebas leher pasukan buto yang berusaha menyerangnya.

***


Api yang mengepung Rue dan dua rekannya berhasil dipadamkan. Api itu tidak menyisakan bekas juga asap. Posisi Rue segera bisa dilihat oleh siapa saja yang berada di lokasi ritual. Gadis itu duduk bersila dan diam. Rue bukan tak sadarkan diri, tapi sukma di dalam raganya sementara keluar karena diseret Raja Buto ke alam gaib. Pemimpin ritual mendekat. Membantu dua anggota timnya yang membuat pagar gaib demi melindungi raga Rue sekaligus membantu Rue berperang di alam gaib.

“Om, Rue kenapa Om?” Tanya Byungjae. Namun, tak ada balasan dari Toni. Byungjae pun menoleh ke arah kanan. Ia menemukan Toni sedang duduk bersila di bawahnya.
“Om Toni juga melakukan perjalanan astral. Pasti gawat. Tuhan, tolong lindungi kami semua.” Byungjae memanjatkan doa.
Dio dan Hanjoo pun mengkhawatirkan Rue. Yang bisa mereka lakukan hanya terus berdoa dan berdoa agar ritual pembersihan berjalan sukses.

“Apa dia baik-baik saja? Kenapa dia hanya diam?” Nicky panik karena sangat khawatir pada Rue.
“Tenangkan dirimu, Kak. Percayakan pada mereka yang lebih paham pada situasi ini. Sebaiknya kita berdoa saja.” Kevin menenangkan Nicky.

“Semua yang berada di sini, tolong bantu kami dengan doa ya.” Pemimpin ritual berbicara dengan lantang. “Saat ini sukma Rue sedang bertempur di alam sana. Kami semua pun sedang bertempur melawan pasukan setan yang hendak menguasai sekolah kita. Jadi, mari bersama-sama melawan mereka. Tolong bantu doa sesuai dengan keyakinan kalian. Doa kalian adalah sumber kekuatan bagi kami.”
Tubuh Rue bergerak. Ia terbatuk dan memuntahkan darah. Membuat orang-orang di sekelilingnya sedikit panik. Beberapa alumni yang menjadi anggota tim, duduk bersila di sekitar Rue. Sebagian dari mereka memutuskan untuk melakukan perjalanan astral untuk membantu Rue.

***


Tubuh Rue terhempas ketika ia berusaha menyerang Raja Buto. Satu-satunya jalan untuk mengakhiri perang dengan cepat adalah melumpuhkan sang raja. Namun, itu tidak mudah bagi Rue. Ada panglima yang melindungi raja. Rue yang sudah cukup kelelahan karena bertempur melawan pasukan buto mulai kulawahan menghadapi serangan panglima buto. Tubuhnya terlempar hingga ia muntah darah.

Sial! Dia kuat sekali. Apa yang harus aku lakukan? Aku harus melawan raja mereka dan mengalahkannya agar perang ini selesai. Rue bangun kembali. Ia menggerakan tangan kanannya yang memegang pedang. Bersiap kembali menyerang.
“Aku adalah ratu di sini. Aku ingin menantang rajamu!” Rue memberanikan diri menantang Raja Buto.
“Melawanku saja kamu kuwalahan. Mau menantang Maha Raja. Di alammu boleh kau sombong. Tapi, di sini kami yang berkuasa!” Ujar sang panglima.
Rue ingat. Sosok itu adalah sosok yang menggunakan raga Yano. “Kenapa rajamu nggak mau turun ke medan perang dan melawanku? Apa dia takut?”
“Kurang ajar!” Bentak Raja Buto yang kemudian meraung. Menunjukkan kedigdayaannya.
Telinga Rue sakit karena mendengar raungan itu. Namun, ia bertahan. Ia menyeringai karena berhasil memancing emosi Raja Buto. Menurut apa yang ia pelajari, buto adalah golongan makhluk gaib yang tidak terlalu pandai. Walau mereka memiliki kekuatan yang luar biasa, tapi tingkat kecerdasan mereka rendah. Mereka selalu menggunakan kekuatan, bukan kecerdasan.
“Lawan aku! Tujuanku ke sini memang untuk menghancurkanmu anak sombong!” Raja Buto sepenuhnya maju dan bersiap melawan Rue.
Rue mengeratkan genggaman tangan kanannya pada pedang. “Baik. Ayo kita duel!” Ia menerima tantangan Raja Buto.

Raja Buto bergerak maju, mulai menyerang. Rue diam di tempatnya berdiri. Ketika Raja Buto semakin dekat, Rue membungkukan badan. Dari balik punggung Rue, Toni muncul dan menyerang Raja Buto. Sedang Rue bergerak dan menyerang Raja Buto dari belakang. Dengan satu gerakan tangkas, Rue berhasil melukai paha kiri Raja Buto. Karena bersiap menghadapi serangan Toni, Raja Buto sedikit lengah. Saat itulah Rue menyerang dan berhasil menyayat paha kiri Raja Buto.
Rencana Rue dan Toni berhasil di tahap awal. Secara bersamaan keduanya bertarung melawan Raja Buto. Sedang dua anggota tim ritual yang juga turut dalam peperangan di alam gaib menghadapi Panglima Buto yang hendak membantu Raja Buto melawan Rue dan Toni. Anggota lain yang turut menyeberang ke alam gaib berperang melawan pasukan buto yang seolah tak habis-habis walau sudah banyak yang tumbang.
Rue dan Toni kompak melakukan serangan. Bantuan terus berdatangan. Rue dan Toni dibantu dua orang lainnya melawan Raja Buto. Kekuatan Raja Buto itu terus bertambah. Membuat Rue dan timnya mulai kuwalahan.
“Kekuatannya terus meningkat.” Ujar Rue yang berdiri di samping kiri Toni. Menyaksikan dua rekannya yang sedang bertarung melawan Raja Buto.
“Dia mampu menggandakan kekuatannya hingga sepuluh kali lipat.” Toni membenarkan.
“Apa sebaiknya langsung membakarnya saja?”
“Berhematlah. Senjata pamungkasmu tidak cukup untuk membinasakan dia sekarang.”
“Lalu, bagaimana?”
“Kita terus lawan. Memancing agar kekuataannya terus digunakan. Dia juga punya titik lemah. Saat itulah kita serang dengan senjata pamungkas kita.”
“Baiklah.”
Rue dan Toni kembali maju untuk bertarung melawan Raja Buto.

Perang sudah berlangsung cukup lama. Namun, pasukan Rue belum bisa menumbangkan separuh dari pasukan buto yang berjumlah seribu pasukan. Rue dan pasukannya pun mulai kehabisan tenaga. Walau ia mendapat kekuatan tambahan dari transfer energi yang dilakukan timnya, Raja Buto yang ia hadapi sangat kuat. Terlebih untuk Rue yang belum mumpuni. Bagi Rue ini adalah pertempuran pertamanya.
Tubuh Rue terlempar. Ia jatuh tersungkur di atas tanah. Tangan Raja Buto yang maha besar itu hendak menangkap tubuh Rue. Namun, dengan sigap Malaikat Maut mendorong tubuh Rue. Hingga tubuhnya lah yang menjadi sasaran Raja Buto.
Rue melihat tubuh Malaikat Maut terangkat tinggi. Sejak berpisah di awal pertempuran, ia tak lagi memperhatikan keberadaan Malaikat Maut. Ketika bertempur, sekilas ia melihat Malaikat Maut tak turut bertempur. Namun, tak beranjak dari medan pertempuran.
Rue kembali bangkit. Ia mendongak, menatap Malaikat Maut yang berada dalam genggaman Raja Buto.
“Ada yang ingin aku katakan padamu!” Malaikat Maut berteriak.
Rue mengerutkan kening.
“Aku bukanlah malaikat maut atau dewa kematian!”
Rue terkejut mendengar pengakuan itu.
“Aku hanya arwah biasa! Maafkan aku karena tidak bisa membantumu dalam pertempuran ini! Kau harus memenangkan perang ini! Aku bahagia, karena akhirnya kau mau berbicara denganku. Selamat tinggal, Rue.” Malaikat Maut itu tersenyum manis pada Rue.
Rue kembali menyerang Raja Buto. Bermaksud menyelamatkan Malaikat Maut. Tangan maha besar Raja Buto menangkis serangan Rue. Membuatnya kembali terhempas.
Raja Buto terbahak melihat Rue jatuh berguling-guling di atas tanah. “Sepertinya arwah penasaran ini sangat berharga bagimu. Akan aku jadikan dia tawananku. Hahaha.”
Rue kembali melakukan serangan yang lagi-lagi berhasil dihalau oleh Raja Buto. Tubuh Rue melayang di udara. Ketika ia akan jatuh menyentuh tanah, Rue memejamkan mata. Namun, ia terjatuh pada sesuatu yang empuk.
Rue membuka mata. Tangan kirinya yang bebas mengelus sesuatu yang empuk itu. Bulu halus membelai telapak tangannya. Ia pun buru-buru bangkit dan duduk. Rue terjatuh di atas punggung kucing raksasa berwarna putih. Rue terkejut sekaligus kagum.
“Terima kasih telah menyelamatkanku.” Rue mengelus kucing putih yang menangkap tubuhnya.
Kucing itu mengeong. Lalu, menggeram pada Raja Buto. Walau kucing putih itu berukuran raksasa, tapi tubuh Raja Buto lebih besar darinya.
Rue tak tahu kucing putih itu siapa. Namun , ia sangat bersyukur karena kucing itu menolongnya dan kini turut maju berperang membantunya. Rue, Toni, kucing putih raksasa, dan rekan-rekan Rue bekerja sama melawan Raja Buto. Malaikat Maut masih berada dalam genggaman Raja Buto. Tim Rue bekerja sama untuk melepaskannya juga.
Raja Buto kembali melemparkan tubuh Rue. Kucing Putih berusaha menangkapnya. Keduanya terhempas dengan tubuh Rue terlindungi tubuh Kucing Putih. Keduanya terhempas hingga beberapa meter yang juga memporak-porandakan beberapa pasukan buto.
Rue merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ia mengumpulkan sisa tenaga untuk kembali bangkit. Ia melihat Toni dan rekan-rekannya dibuat pontang-panting oleh Raja Buto.
Setelah berhasil menyingkirkan teman-teman Rue, Raja Buto berlari ke arah Rue. Rue panik, berusaha mengumpulkan sisa tenanga untuk bangkit. Kucing putih bangkit dan melindunginya dengan maju dan melawan Raja Buto. Namun, lagi-lagi Raja Buto berhasil menghempaskan kucing itu.
Rue berhasil berdiri, tapi jaraknya terlalu dekat dengan Raja Buto. Tangan maha besar itu sudah berada tak jauh di atasnya. Sadar tak bisa lagi menghindar, Rue pun pasrah. Satu-satunya yang terpikir olehnya adalah mengangkat tangan kanannya yang memegang pedang. Ia pun melakukannya dan berpasrah jika pada akhirnya Raja Buto berhasil menangkapnya.
Rue memejamkan mata dengan tangan kanan terangkat. Namun, ia tak merasakan sesuatu yang berat menimpanya. Ia pun membuka mata dan terkejut. Raja Buto terhuyung ke belakang. Tangan kanannya yang hendak menangkap tubuh Rue berlubang. Membuat Raja Buto meraung karena kesakitan.
Tangan kiri Raja Buto tak lagi memegang Malaikat Maut. Rue mengawasi sekitar dan menemukan Malaikat Maut jatuh tersungkur di atas tanah. Rue lega. Lalu, membalikkan badan. Rue terkagum-kagum menemukan sosok ksatria wanita yang berdiri di atas punggung seekor rajawali yang melayang di udara. Kedua tangan wanita itu memegang busur. Rue yakin anak panah dari busur itu lah yang membuat tangan Raja Buto berlubang.
Rue tersenyum pada kstaria wanita itu. Bersama rajawali yang menjadi tunggannya, ksatria wanita itu maju dan menyerang Raja Buto. Di belakangnya ada empat ksatria wanita lainnya yang turut maju. Rue kembali tersenyum melihatnya. Lalu, ia bergegas menghampiri Malaikat Maut. Pedang di tangan kanannya menjadi cahaya putih lalu lenyap.
Rue membantu Malaikat Maut untuk duduk. “Aku tahu kau sedang tak baik. Tapi, aku lega melihatmu selamat.”
Malaikat Maut tersenyum manis dan tulus. “Terima kasih telah mengkhawatirkan aku.”
“Jaga dirimu sampai perang ini usai. Kau punya hutang cerita padaku.” Rue yang berlutut pun bangkit. Ia menggerakan tangan kanannya. Tangan kanan Rue kembali mengeluarkan cahaya. Tasbih yang melingkar di tangan kanannya kembali berubah menjadi pedang. Rue kembali maju untuk berperang.

***


Karena mendapatkan bantuan dari ksatria wanita yang menunggangi rajawali, Raja Buto mulai bisa dikendalikan. Ksatria wanita itu berhasil membuat Raja Buto tunduk dan meminta ampun. Saat itu lah perang antara pasukan dihentikan. Raja Buto telah berhasil dikalahkan.

Rue menyimpan kembali pedangnya. Ia lega perang bisa dihentikan. Raja Buto berlutut di depan ksatria wanita yang masih menunggangi rajawali raksasa.
“Ampun! Ampun!” Raja Buto meminta ampunan.
“Kenapa kau menyerang sekolah ini?” Tanya ksatria wanita.
“Saya hanya menjalankan perintah.”
“Siapa yang nyuruh kamu datang dan menyebar teror di sekolah ini?!”
“Ada. Dukun sakti itu yang memberi perintah. Kalau saya menolak, saya disiksa. Saya diberi pasukan dan dijadikan raja. Lalu, diperintah untuk membuat teror di sekolah ini. Untuk membuat Ruta Way menderita.”
“Kenapa Ruta Way?”
“Dia nggak boleh jadi presiden sekolah lagi. Teror kami untuk membuat manusia takut dan meragukan Ruta Way agar tak menjadi presiden sekolah lagi.”
“Siapa yang memerintah kamu? Dukun itu? Lalu, yang memerintah dukun itu siapa?”
Raja Buto diam.
“Ayo bilang! Mau kamu, aku bakar hidup-hidup!”
“Ampun... ampun....” Raja Buto menyatukan kedua tangannya, memohon ampunan.
“Katakan! Tadi sombong, membusungkan dada. Sekarang mohon ampun dan nangis-nangis. Katakan siapa yang nyuruh kamu! Dukunmu bakalan berurusan denganku. Kamu jadi tawananku sekarang!”
Rue tersenyum. Menatap kagum ksatria wanita yang sedang menginterogasi Raja Buto.
“Ayo ngomong!” Ksatria wanita itu membentak.
“Dukun itu dibayar. Anak perempuan cantik. Namanya Pearl.”
Kedua mata Rue terbelalak. Ia terkejut, karena mendapati fakta bahwa orang di balik teror itu benar Pearl. Kecurigaan Dio tidak salah. Pearl adalah dalangnya.
Ksatria wanita mengalihkan pandangan dan menatap Rue. “Kau sudah mendapatkan jawabannya. Kembalilah. Dia dan si dukun adalah urusanku.”
Rue menatap ksatria wanita itu dalam diam selama beberapa detik. Lalu, ia pun mengangguk. Toni mendekati Rue dan merangkul gadis itu. Lalu, berjalan beriringan. Menuju cahaya putih terang yang merupakan pintu yang akan membawa keduanya kembali ke alam manusia.

***


Rue kembali ke raganya, tapi kemudian semuanya berubah gelap. Saat ia kembali membuka mata, ia sudah berada di satu kamar rawat inap dan diinfus. Ada Rita—ibu Hanjoo—yang menemaninya.

Rue masih merasakan sakit di sekujur tubuhnya, tapi ia merasa bahagia. Menurut Rita, ritual pembersihan sukses. Dio, Byungjae, dan Hanjoo pun dalam kondisi baik. Rita juga menyampaikan jika Rue tak sadarkan diri selama 24 jam.
“Kenapa kamu murung, Nak? Bukankah semua sudah beres?” Rita khawatir melihat Rue murung.
“Nggak papa Tante. Efek capek aja.” Rue mengembangkan senyum di wajah lesunya.
“Nanti pulang sekolah Dio, Byungjae, dan Hanjoo pasti ke sini. Udah kangen mereka ya?”
Rue menganggukkan kepala. “Om Toni bagaimana?”
“Dia baik. Lagi istirahat. Sebenernya dia mau nunggu sampai kamu sadar. Tapi, Tante suruh dia pulang dan istirahat.”
Rue kembali diam.
Rita menatapnya, lalu ragu-ragu berkata, “Pasti menyenangkan bertemu Berta walau hanya sekejap saja dan di dunia sana.”
Rue kembali tersenyum dan mengangguk. “Bunda terlihat lebih keren di dunia sana.”
“Kadang Tante pengen bisa kayak kalian hanya untuk melihat kekerenan itu.”
“Tante.” Rue tersenyum menatap Rita.
Rita memeluk Rue. “Sabar ya, Nak.”
Rue diam dalam pelukan Rita.


Rita keluar untuk mencari makan siang. Rue duduk termenung di kamarnya. Ia merasa lega karena berhasil memenangkan pertempuran melawan pasukan Raja Buto dengan bantuan bundanya, Berta. Ia menyesal karena tahu dalang di balik kerusuhan itu adalah Pearl. Cemburu yang membakar Pearl membuat teman masa kecilnya itu buta dan tega melakukan apa saja. Rue menyesal karena merasa gagal dan tidak bisa menolong Pearl. Namun, yang paling membuat dadanya terasa sesak adalah pertemuannya dengan Malaikat Maut. Ketika teringat momen itu, dada Rue kembali bergemuruh hingga terasa sesak. Keduanya matanya pun memanas hingga tak bisa menahannya lagi dan air mata itu pun runtuh.

Rue sempat melihat orang-orang di sekitarnya yang berusaha membuatnya kembali dalam kondisi sadar. Namun, mereka tampak buram dalam pandangan Rue. Kemudian semuanya berubah gelap. Lalu, ia merasakan sebuah keheningan yang menenangkan.
“Hey! Bangun! Rue! Ruta!” Samar-samar Rue mendengar suara seorang laki-laki yang memanggil namanya. Bukan suara Byungjae, bukan pula Hanjoo atau Toni.
“Rue. Ruta. Bangun.”
Dengan malas Rue perlahan membuka kedua matanya. Samar-samar ia melihat sebuah wajah di hadapannya. Wajah seorang laki-laki, tapi bukan Byungjae atau Hanjoo, juga Toni. Setelah kedua matanya terbuka sepenuhnya, Rue mengenali wajah itu sebagai Malaikat Maut. Rue terkejut dan segera bangkit dari tidurnya, duduk dan mengamati sekitar. Padang rumput nan hijau dan sejuk. Dengan bunga-bunga perdu yang sedang bermekaran.
Rue tercenung selama beberapa detik, lalu menghela napas. “Aku sudah mati ya?” Ujarnya lirih. “Karena itu aku ada di sini bersamamu.”
Malaikat Maut tergelak. “Sudah kukatakan aku bukan Malaikat Maut atau Dewa Kematian seperti yang kau kira. Aku hanya arwah biasa.”
Rue kembali mengamati sekelilingnya. Damai dan indah. “Lalu, ini di mana?”
“Aku juga bingung menemukanmu terbaring di sini.”
“Jadi, aku tersesat di dunia arwah?”
“Bukan begitu.” Malaikat Maut duduk di samping kanan Rue. Di tengah padang rumput hijau dengan bunga-bunga perdu warna-warni yang sedang bermerkaran. “Aku rasa kita memang diberi waktu untuk duduk dan mengobrol. Meluruskan segala kesalahpahaman di antara kita.”
“Jika kau bukan Malaikat Maut atau Dewa Kematian, maafkan aku karena telah menyebutmu seperti itu. Itu karena aku pertama kali melihatmu di pemakaman kakek. Aku pikir kau lah malaikat yang ditugaskan untuk membimbing arwah kakek.”
Malaikat Maut tersenyum kecut. “Kecelakaan maut itu ya?”
“Eh?” Rue menoleh ke arah kanan. "Kau tahu ya?”
Malaikat Maut tak mengalihkan pandangannya, tetap menatap lurus ke depan. “Yang merenggut semuanya, cinta, impian, cita-cita dan memisahkanku dari orang-orang yang aku cintai. Termasuk kamu.”
Rue terkejut mendengar pengakuan Malaikat Maut. “Ak-aku?” Tanyanya terbata.
“Setahun aku tersiksa karena kemarahan dan penyelasan itu. Aku ingin mengatakan semuanya padamu, tapi kau selalu menghindar. Kupikir, pasti kau sangat marah padaku.”
Rue bingung. Tapi, ia memilih diam dan menunggu Malaikat Maut melanjutkan ceritanya.
“Karenanya, aku tetap menunggu dan berharap kau mau menerima kehadiranku. Tapi, kau selalu menghindar dan menghindar.”
Rue menundukkan kepala. “Itu karena kupikir kau adalah Malaikat Maut. Maaf.”
“Malaikat Maut?” Malaikat Maut tersenyum. “Walau kadang aku merasa tersiksa, aku juga bersyukur. Aku memiliki lebih banyak waktu bersamamu.”
Rue mengangkat kepala, menoleh ke arah kanan. Mengamati detail wajah Malaikat Maut. “Kau ini sebenarnya siapa?”
Hening selama beberapa detik. Hanya terdengar desiran angin di sekitar Rue dan Malaikat Maut. Rue mengalihkan pandangan dari mengamati Malaikat Maut. Ia turut menatap lurus ke depan.
“Di hari kecelakaan itu terjadi, harusnya kita bertemu.” Malaikat Maut kembali bicara.
Lagi-lagi Rue dibuat terkejut, hingga menoleh ke arah kanan dan menatap Malaikat Maut.
Malaikat Maut menoleh ke arah kiri. Tatapannya bertemu pandang dengan Rue. Ia pun tersenyum. “Aku lah orang yang selalu mengirim surat untukmu. Aku lah orang yang meminta bertemu denganmu pada tanggal delapan. Sayangnya, takdir berkata lain. Aku dan kakekmu menjadi korban meninggal dalam kecelakaan maut itu.”
Rue tencengang. Syok dengan apa yang ia dengar. Ia tak menyangka jika sosok pemuda dengan kostum serba hitam yang selama ini ia kira Malaikat Maut ternyata adalah pemuda yang belakangam rajin mengirim surat untuknya dan membuat hatinya dipenuhi bunga.
“Hari itu, dalam perjalanan menuju tempat janjian, aku melihat kakekmu. Aku menghentikan motorku dan menyapa beliau. Karena masih ada waktu, aku menawarkan diri untuk mengantar kakekmu. Beliau mau, lalu kami pergi bersama.
“Kami berhenti di lampu merah bersama beberapa kendaraan lainnya. Tanpa kami tahu, dari belakang ada sebuah truk yang remnya blong. Truk itu menabrak kami semua. Banyak korban meninggal, termasuk aku dan kakekmu.
“Di saat-saat terakhirku, yang kuingat hanya kamu. Aku berusaha untuk kembali, tapi sia-sia. Waktuku tidak ada lagi. Aku terus mengingatmu dan merasa bersalah karena meninggalkan dirimu sendirian di tempat janjian.
“Ketika aku membuka mata, aku berada di ruang yang gelap. Sangat gelap. Aku melihat setitik cahaya dan berjalan mendekati cahaya itu. Setelah melewati cahaya itu, aku melihatmu dalam pemakaman kakekmu. Saat itu lah pertama kali kita melakukan kontak mata. Tapi, setelah itu kau selalu menghindar.
“Bagaimana aku bisa tahu itu kakekmu? Sejak aku jatuh hati padamu, diam-diam aku menyelidiki segala sesuatu tentangmu. Mungkin kirim surat adalah hal yang sangat kuno. Tapi, aku yakin kau akan tersentuh.”
Rue menatap Malaikat Maut dalam diam. Ia tak memungkirinya. Surat-surat cinta itu memang membuat hatinya tersentuh. Rasa itu lah yang mendorongnya untuk pergi bertatap muka. Rue penasaran, ingin tahu sosok yang menulis surat-surat cinta untuknya. Mendengar penuturan Malaikat Maut, dadanya terasa sesak. Hatinya perih. Kisah cinta yang baru dimulai itu harus berakhir untuk selamanya.
“Maafkan aku karena telah berani menyukaimu. Maafkan aku karena tidak memenuhi janji untuk bertemu. Maafkan aku karena harus menemui kamu dalam kondisi seperti ini.” Malaikat Maut meminta maaf dengan tulus. Raut wajahnya dipenuhi penyesalan.
“Kau bukan tidak memenuhi janji untuk bertemu. Maafkan aku yang terlambat menyadari hingga kita harus bertemu dengan cara seperti ini. Tapi, aku senang. Akhirnya aku bisa melihat sosok di balik surat cinta itu.” Air mata Rue meleleh. Meluncur menuruni wajahnya yang pucat.
Rue mengusap air matanya dan tersenyum. Ia mengangkat tangan kanannya dan mengulurkannya pada Malaikat Maut. “Hi! Aku Rue. Senang bisa bertemu denganmu.”
Malaikat Maut tertegun sejenak. Lalu, ia tersenyum, mengangkat tangan kanannya dan menjabat tangan Rue yang terulur. “Hi! Aku Jiro. Senang rasanya akhirnya bisa bertatap muka dan ngobrol denganmu. Kau pasti sudah membaca surat-suratku. Maafkan aku, tapi aku benar-benar menyukaimu.”
Rasa sakit itu menghujam dada Rue. Ia tak bisa menahan air matanya yang kembali meleleh. “Terima kasih. Terima kasih telah menyukaiku hingga akhir. Terima kasih telah mau menungguku. Aku mohon maafkan aku.”
Rue mengusap air mata yang meluncur menuruni pipinya. Dadanya terasa sesak. Selama ini ia salah paham. Menduga jika ia dipermainkan. Kenyataannya, Jiro, pemuda yang menyukainya tak ingkar sedikit pun. Hanya saja takdir tak berpihak pada kisah cinta mereka.
Rue menundukkan kepala. Air matanya mengalir deras. Ia tak menahan diri. Membiarkan dirinya terisak. Walau ia yakin ia hanya penasaran pada Jiro, tapi mendengar kenyataan tentang Jiro membuatnya sangat sedih dan merasa kehilangan. Ia tak tahu apakah itu yang dinamakan cinta.
***


Dio, Byungjae, Hanjoo, dan Nath datang menjenguk Rue. Mereka senang karena Rue akhirnya terbangun dari tidurnya. Dio dan Byungjae bergantian menceritakan kejadian di sekolah. Tentang video di Gedung Mati yang ramai dibicarakan dan banyak dibagikan. Di sekolah, video di Gedung Mati tak hanya menjadi bahasan Orion. Tapi, murid non Orion pun turut menonton dan membahas video itu.
Publik menghubungkan video di Gedung Mati dengan penyerangan yang dilakukan Dio, juga pemecatan Dio dan Pearl dari Dewan Senior. Mereka menarik kesimpulan bahwa Pearl lah yang menjadi dalang kekacauan yang dialami Rigel di Gedung Mati.
Berita tentang ritual pembersihan yang sukses dilakukan pun telah menyebar di sekolah. Murid-murid senang karena terbebas dari teror. Beberapa dari mereka bersimpati pada Rue yang jatuh sakit setelah mengikuti ritual pembersihan di sekolah.
Di hari yang sama, Nicky datang bersama rekannya—siswa anggota esktrakurikuler Metafisik yang bekerja sama dengan Rue saat kesurupan massal—dan Kevin. Nicky lega melihat Rue sudah bisa tersenyum dan bercanda lagi. Ia berharap Rue segera kembali ke sekolah.
Kevin pun sama. Ia yang juga berada di lokasi ritual sempat panik ketika Rue tak sadarkan diri. Ketika mendengar kabar Rue sudah sadar dari Hanjoo, ia pun langsung pergi menjenguk sepulang sekolah. Kebetulan ia bertemu dengan Nicky. Lalu, bersama-sama menjenguk Rue. Dalam kesempatan itu, Kevin mengingatkan Rue tentang kampanye calon ketua Dewan Senior. Ia pun menggoda Rue jika kini Rue adalah saingannya. Bukan atasannya lagi.
Suasana di kamar Rue dipenuhi keceriaan karena teman-temannya berkumpul. Selama satu setengah jam mereka menemani Rue. Lima belas menit setelah teman-teman Rue pamit pergi, Yano datang menjenguk bersama Esya dan Axton. Tiga junior Rue itu merasa senang Rue akhirnya kembali sadar. Mereka tak sabar menunggu Rue kembali ke sekolah.


Saat dirawat di rumah sakit, kepala sekolah SMA Horison dan beberapa guru menjenguk Rue. Pembina ekstrakurikuler Metafisik dan PMR juga menjenguk. Beberapa teman sekelas, sesama anggota ekstrakurikuler PMR, sesama Dewan Senior dan MPK juga datang menjenguk. Rio dan keluarganya juga tak ketinggalan. Morgan, ayah Rue juga datang menjenguk bersama Yano.
Tiga hari Rue dirawat di rumah sakit. Saat kembali ke rumahnya, Hongjoon menyambutnya. Pemuda itu langsung mengoceh, mengomeli Rue yang pergi cukup lama. Walau ia tahu Rue masuk rumah sakit, ia tak berani datang untuk menemui Rue di rumah sakit. Karena ia telah berjanji untuk menunggu Rue di rooftop. Rue pun meminta maaf pada Hongjoon dan meminta pemuda itu berhenti mengoceh. Hongjoon menurut. Ia menunggui Rue dalam diam.
***


Total selama satu minggu Rue tak masuk sekolah. Di hari pertama ia kembali aktif di sekolah, Orion memberinya kejutan. Rue terharu dan sangat berterima kasih atas perhatian Rigel.

Kembali aktif ke sekolah, Rue disibukkan dengan kampanye calon ketua Dewan Senior. Dio, Byungjae, dan Hanjoo membantu kampanye Rue. Dalam pemilihan itu, Rue bersaing melawan Kevin, Yano, dan salah satu siswa dari kelas X yang juga lolos untuk pencalonan ketua.
Saat kembali dari toilet kelas XI, Dio, Rue, dan Nath bertemu Pearl, Ruby, dan Linde. Bagi Rue, itu pertemuan pertamanya pasca ritual pembersihan. Melihat Pearl secara langsung, dada Rue bergemuruh. Ia berusaha keras meredam emosinya.
“Aku berharap kau segera kembali pada kesadaranmu, Pearl.” Ujar Rue saat berpapasan dengan Pearl. Ia menghentikan langkahnya. Dio dan Nath yang berjalan di samping kanan dan kirinya pun turut berhenti.
Pearl, Ruby, dan Linde menghentikan langkah. Namun, tetap memunggungi Rue dan kedua temannya.
Rue, Dio, dan Nath pun sama. Tak merubah posisinya. Tetap memunggungi Pearl.
“Aku tahu kau bukan orang yang seperti itu. Hanya saja, saat ini hatimu sedang dipenuhi dengan rasa benci karena cemburu. Percayalah, apa yang kau lihat tidak sepenuhnya benar. Kebencian itu hanya akan membuatmu hancur. Berhenti dan kembalilah. Karena Pearl yang aku kenal, bukan lah Pearl yang jahat.” Rue tetap memunggungi Pearl.
Tidak ada jawaban dari Pearl. Rue pun menghela napas dan melanjutkan berjalan. Diikuti Dio dan Nath. Ia sudah menyampaikan unek-uneknya. Ia berharap Pearl akan berubah. Jika tidak, ia siap menghadapi apa pun itu yang akan dilakukan Pearl untuk menyerangnya.

***


Rue mengunjungi makam kakeknya tanpa ditemani personel Rigel yang lain. Hari ini adalah tepat satu tahun kepergiaan sang kakek. Selain menggelar ritual doa, Rue juga datang ke makam untuk berdoa secara langsung di makam.

Selama setengah jam Rue berada di makam sang kakek. Saat hendak pergi, seorang wanita muda menyapanya.
“Ruta, kan?” Sapa wanita muda berparas ayu itu.
“Iya.” Rue tersenyum manis. Dalam hati ia bertanya-tanya wanita muda itu siapa. Ia menepis dugaannya sendiri jika wanita muda itu adalah Orion.
“Wah. Nggak sengaja ya ketemu di sini. Oh iya, hari ini peringatan satu tahun kakek Ruta ya?”
“Iya. Tapi maaf, Anda siapa ya?”
“Ah iya. Kau pasti nggak kenal aku. Aku senasib denganmu. Orang yang aku sayangi, meninggal dalam kecelakaan maut setahun yang lalu.”
Walau nada bicara wanita muda itu riang, hati Rue merasa sakit mendengarnya. Kecelakaan maut itu telah merenggut nyawa kakeknya. Orang yang sangat ia cintai.
“Sibuk kah? Mau ngobrol sebentar? Deket sini ada cafe. Kalau kamu mau sih. Aku pengen ngobrol sama kamu.”
Rue tak biasa menerima ajakan orang asing. Tapi, ia tak tahu, untuk wanita muda itu, hatinya tak menolak. Ia pun setuju untuk pergi bersama wanita muda itu.

Selama perjalanan menuju cafe yang ditempuh dengan berjalan kaki, wanita muda itu terus mengajak Rue ngobrol. Ia memperkenalkan dirinya sebagai Gina yang seorang wanita turunan Jepang.
Sepuluh menit berjalan kaki, keduanya tiba di cafe. Gina memilih meja di dekat dinding kaca. Rue menurut saja. Seorang pelayan menghampiri keduanya. Rue dan Gina sama-sama memesan minuman saja.
“Makasih ya udah mau pergi sama aku. Hari ini bener-bener nggak nyangka bakalan ketemu Ruta. Padahal aku sering ke makam.” Gina masih dengan suara riangnya.
“Panggil Rue saja Kak.”
“Ah iya. Rue nama panggungmu ya. Fufufu.” Gina tersenyum dengan tangan kanan menutupi mulutnya.
“Kak Gina, gimana bisa kenal saya?”
“Itu yang ingin aku bicarakan denganmu.”
Pelayan datang mengantarkan pesanan. Rue dan Gina berurutan mengucapkan terima kasih.
“Aku sering mendengar tentangmu dan pernah melihat fotomu. Karena itu tadi aku langsung bisa ngenalin kamu.”
Jangan-jangan dia beneran Orion. Eh, bukan! Temannya Orion? Rue berbicara dalam hati.
“Adikku sangat menyukaimu. Dia penggemar rahasiamu lho! Secret admire!” Gina sedikit berbisik saat menyebut secret admire.
Rue tersipu mendengarnya.
“Dia tahu banyak tentangmu dan selalu menceritakannya padaku. Kami sangat dekat.” Gina menghela napas. Eksrpesinya berubah redup. “Kami dua bersaudara. Dia adikku satu-satunya. Rasanya masih sama, sakit setiap kali menyadari bahwa ia telah pergi untuk selamanya.”
Rue menundukkan kepala. Ia pun masih merasakan hal itu hingga kini.
“Rue, kau tidak penasaran pada adikku?”
Rue mengangkat kepala. Ia tak tahu harus menjawab apa.
“Walau dia udah nggak ada lagi di dunia ini, tapi aku masih punya kenangan tentangnya. Sebentar ya.” Gina mengambil ponselnya dari dalam tas, lalu sibuk mengotak-atiknya.
“Nah! Ini dia adikku!” Gina mengulurkan ponselnya pada Rue.
Rue menerima ponsel Gina. Kedua mata bulatnya terbelalak ketika ia melihat foto di dalam ponsel Gina.
“Tampan, kan? Namanya Jiro. Dia sangat tergila-gila padamu.”
Rue merasakan sesak di dadanya. Pemuda dalam foto itu adalah Jiro. Pemuda yang ia kira Malaikat Maut yang mengobrol dengannya dua minggu yang lalu. Pemuda yang membuat hatinya berbunga-bunga, yang tidak akan pernah bisa ia temui lagi untuk selamanya.
***

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews