AWAKE "Rigel Story" - Bab XXII

04:16

AWAKE - Rigel Story

 

 

Bab XXII

 

“Selamat datang!”
Rue terkejut ketika memasuki rooftop-nya. Karena tiba-tiba ada yang mengucapkan selamat datang. Ia mengerjapkan mata. Kemudian menatap Hongjoon yang berdiri dengan kedua tangan terbuka. Senyum manis menghiasi wajah pemuda itu.
Rue menghela napas, tersenyum, dan menggelengkan kepala. Baru ia ingat jika sejak semalam ada roh Hongjoon yang menumpang tinggal di rooftop-nya.
“Bagaimana di sekolah hari ini?” Hongjoon mengikuti Rue yang kemudian duduk merebahkan diri di sofa. “Melelahkan sekali ya?”
“Aku belum menemukan di rumah sakit mana kau dirawat. Esya belum masuk. Hari ini pemakaman Paman Darwin. Sebenarnya aku ingin mengajakmu ke sana. Tapi, pemakaman digelar pukul sembilan pagi. Aku tidak bisa meninggalkan sekolah. Maaf ya.” Rue sambil menyamankan posisi punggungnya yang bersandar pada punggung sofa.
Hongjoon menatap Rue yang memejamkan kedua matanya. Ia merasa bersalah karena telah membuat Rue kerepotan. “Kenapa mencari rumah sakit tempat aku dirawat?”
“Di sana pasti ada keluargamu. Aku ingin bertemu mereka. Ada hal yang harus aku sampaikan. Pesan Paman Darwin. Permintaan maaf darinya.”
Setiap kali mendengar kata Paman Darwin, Hongjoon merasakan sakit di dadanya. Ia teringat fakta tentang Paman Darwin yang kehilangan nyawa dalam menjalankan tugas untuk menjaganya.
“Bagaimanapun juga, kita tidak bisa melawan takdir. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri.” Rue berbicara dengan kedua mata masih terpejam. Kemudian ia membuka mata. “Seharian ini apa yang kau lakukan?”
“Mm?” Hongjoon mengangkat wajahnya yang tertunduk dan menatap Rue. “Berjalan-jalan di sekitar. Tak apa kan?”
“Asal jangan menyusulku ke sekolah.” Rue tersenyum, bangkit dari duduknya, dan berjalan menuju kamarnya.
Hongjoon menghela napas dan tersenyum menatap punggung Rue yang kemudian menghilang di balik pintu.
***


Rue masih belum terbiasa dengan keberadaan Hongjoon. Walau sudah berjalan tiga hari, ia masih sering dibuat kaget setiap kali pemuda itu menyapanya atau menyambutnya saat pulang. Ia membagi cerita itu pada Dio, Byungjae, dan Hanjoo. Juga tentang Malaikat Kematian yang lebih sering muncul sejak roh Hongjoon bersamanya.
“Apa itu artinya seperti, baiklah aku beri kesempatan kau bersama Rue, lalu aku akan membawamu pergi?” Dio menebak.
“Bukannya Hongjoon cerita kalau di udah hampir menyeberang, tapi di balikin lagi ke dunia manusia?” Hanjoo ingat Rue pernah menceritakan tentang itu.
“Iya. Pada saat itu, karena ia belum waktunya mati. Kalau udah waktunya mati, ya tetep aja bakalan dibawa pergi lagi kan?” Dio mengaduk jus jeruk di hadapannya.
Sepulang sekolah, Rigel berkumpul di salah satu kafe yang berada di jalan yang mereka lewati saat berangkat dan pulang sekolah. Sejak roh Hongjoon tinggal bersama Rue, mereka belum pernah berkumpul di markas.
“Iya juga sih. Trus, gimana caranya biar roh Hongjoon bisa balik ke raganya?” Hanjoo bertanya pada Rue.
“Entahlah. Ini pertama kalinya aku didatengin roh orang koma. Aku sempet nanya ke Om Toni, katanya itu misteri.”
“Misteri?” Byungjae merasa salah dengar.
“Iya. Kalau arwah penasaran akan pergi setelah disempurnakan. Om Toni belum bisa menemukan bagaimana motif roh orang koma bisa kembali ke raganya. Bukan karena telah menyelesaikan urusannya yang tertunda atau sejenisnya. Om Toni menyimpulkannya lebih pada faktor takdir dan pertolongan Tuhan.”
“Kalau begitu malah sulit ditebak ya.” Byungjae mengetuk-ngetukan jari telunjuk tangan kanan ke dagunya.
“Mengejutkan sekali ya hari ini. Yano adalah calon ketua Dewan Senior dari kelas X.” Dio mengalihkan topik. “Sepertinya dia terpengaruh pada ucapan kita ya Byungjae.”
“Iya. Untung publik nggak tahu kalau Yano adik tiri Rue. Kalau tahu, bisa makin heboh.”
“Dan, Pearl makin frustasi. Tahu nggak, tatapannya ngeri banget. Aku tadi papasan sama dia. Beneran dia kayak frustasi banget. Aku sampai bergidik.” Dio mengusuk lengannya sendiri.
“Aku juga kepikirian Pearl terus. Apa dia bakalan baik-baik aja pasca kita pojokin dia di sidang. Setelah mengancam, begitu hening. Aku khawatir dia sedang menyusun rencana yang lebih heboh buat serangan balik.” Rue mengutarakan kekhawatirannya.
“Jangan berlebihan.” Byungjae menenangkan Rue. “Tapi, bener sih yang dibilang Hanjoo waktu itu. Orang cemburu itu bisa berubah sangat mengerikan.”
“Semoga aja dia nggak senekat itu. Semoga aja pikirannya masih waras. Tapi, tetep aja kita kudu siaga. Kalau dia tahu fakta Hongjoon kecelakaan setelah menemui Rue, bisa gawat.” Dio mengucap harapan sekaligus membagi pemikirannya.
“Besok kalian mau ikut? Aku mau nemenin Rue besuk Hongjoon.” Tanya Hanjoo.
“Udah dapat alamat rumah sakitnya?” Byungjae balik bertanya.
“Udah. Sekalian besok mau mengunjungi makam sopirnya Hongjoon.”
“Boleh lah. Aku ikut. Aku nyantai kok.” Byungjae setuju ikut. “Dio?”
“Ikut lah. Aku penasaran sama keluarga Hongjoon.” Dio pun setuju ikut.
***


“Selamat datang! Oh!” Hongjoon terkejut melihat Rue datang bersama Dio, Byungjae, dan Hanjoo.
“Nggak usah kaget gitu. Mereka udah biasa mampir. Kau lupa ini markas Rigel?” Rue berjalan melewati Hongjoon yang berdiri tertegun.
Hongjoon menepi ketika Dio, Byungjae, dan Hanjoo menyusul masuk. Ia khawatir tiga seniornya itu akan menabraknya. Hongjoon terkejut ketika Hanjoo tiba-tiba berhenti di dekatnya. Pemuda itu diam sejenak, kemudian berlalu.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo duduk di atas permadani di ruang tamu. Rue keluar dari kamar dengan membawa laptop dan bergabung dengan ketiga temannya.
“Rasanya lega bisa lepas dari kesibukan di sekolah.” Dio meregangkan badannya.
“Kamu yakin bakalan unggah video di Gedung Mati tanpa mengeditnya lebih dahulu?” Byungjae sibuk dengan laptop milik Rue.
“Iya. Tapi, tidak dalam waktu dekat ini.” Rue menyanggupi.
“Kenapa gitu?”
“Pokoknya tunggu aja.”
“Rue.” Dio berbisik. “Hongjoon di sini?”
“Iya.”
Dio mengamati sekitar. “Di mana?”
“Lagi berdiri tuh. Liatin kita.”
Dio, Byungjae, dan Hanjoo kompak menatap titik yang ditunjuk Rue dengan gerakan kepalanya.

Dio, Byungjae, dan Hanjoo sudah pulang. Rue pun sedang mandi. Hongjoon duduk di sofa, menunggu Rue menyelesaikan ritual membersihkan diri. Rue keluar dengan kepala terbungkus handuk. Ia langsung menuju dapur dan sibuk di sana. Hongjoon tetap dalam posisinya. Mengamati setiap gerak Rue dari ruang tamu. Rue berjalan ke ruang tamu dengan membawa sebuah mug yang mengepulkan asap di tangan kanannya. Lalu, meletakannya di atas meja. Hongjoon menatap mug itu.
“Kesukaanmu?” Tanya Rue.
“Semua orang pasti suka coklat panas.” Hongjoon membasahi bibirnya.
Rue tersenyum. “Besok kita pergi.”
“Kemana?” Hongjoon antusias.
“Menjenguk ragamu.”
Binar antusias di wajah Hongjoon sirna. Ia berubah murung.
“Sekalian mengunjungi makam Paman Darwin. Kamu pasti ingin mengucap selamat tinggal, kan?”
Hongjoon yang tertunduk menganggukkan kepala.
“Aku tahu ini berat buatmu. Tapi, ini adalah salah satu fase yang harus kamu jalani dalam hidupmu. Jadi, bersemangatlah. Aku yakin kau orang yang tegar dan kuat.”
Hongjoon tersenyum mendengarnya. Ia merasa lebih baik. Ia pun mengangkat kepala dan memperhatikan Rue yang sedang menyeruput coklat panas. “Boleh aku tanya sesuatu?”
“Silahkan.”
“Kenapa aku jadi pakai baju ini ya? Seingatku, waktu kecelakaan aku nggak pakek baju ini.”
Rue mengamati penampilan Hongjoon. Pemuda mengenakan kostum serba putih dengan atasan berkerah Shanghai. “Memangnya kenapa dengan kostum ini?”
Hongjoon tersenyum malu-malu. “Ini baju favoritku. Oleh-oleh dari Mama. Entah kenapa setiap kali aku memakai baju ini, aku merasa diriku seperti pangeran.” Ia berseri-seri.
Rue tersenyum mendengarnya. “Tingkahmu masih kayak bocah tau! Pangeran negeri dongeng?”
Hongjoon tersipu dan mengangguk.
“Mungkin karena itu adalah baju favoritmu. Makanya kamu jadi muncul dengan penampilan ini. Ah, aku benar-benar nggak tahu tentang roh koma.”
Hongjoon tersenyum mengamati Rue.
***


Sabtu pagi Rue, Hanjoo, Dio, dan Byungjae tiba di rumah sakit tempat Hongjoon dirawat. Keempatnya berdiri di depan bangunan megah dari rumah sakit termahal di kota tempat mereka tinggal.
“Nggak main-main, Hongjoon pasti anak orang berada.” Dio terkagum-kagum.
“Rue, di rumah sakit sebagus ini apa ada penampakan?” Byungjae memberikan tanggapan lain.
“Yang namanya rumah sakit pasti gudangnya penampakan!” Rue berjalan mendahului.
Hanjoo tersenyum dan menyusul langkah Rue.
“Pertanyaanmu konyol!” Maki Dio pada Byungjae. Kemudian, ia menyusul Rue dan Hanjoo.
“Kali aja rumah sakit bagus dan megah kayak gini nggak ada penampakan.” Byungjae menyusul dan berjalan di samping kanan Dio.

Hongjoon berjalan di samping kiri Rue. “Ini rumah sakit keluarga.”
“Rumah sakit keluarga?” Rue menoleh ke arah kiri.
“Mm.” Hongjoon mengangguk. “Nenek punya saham terbesar di rumah sakit ini. Beberapa saudara juga bekerja di sini.”
“Kau mendapatkan yang terbaik.”
Hongjoon tersenyum dan mengangguk.
Bersama Dio, Byungjae, dan Hanjoo, Rue dan Hongjoon masuk ke dalam rumah sakit. Saat memasuki rumah sakit, penampakan-penampakan makhluk tak kasat mata menyambut Rue. Ia berusaha mengabaikannya.
Dio bertanya pada resepsionis tentang lokasi ruang ICU. Setelah mendapatkan informasi, mereka pun menuju lokasi ruang ICU.
“Kenapa aku gugup ya?” Hongjoon meletakkan tangan kanan di atas dadanya.
“Wajar. Selain bakalan liat raga kamu, ntar kamu juga bakalan ketemu sama keluarga kamu.”

Rombongan Rue tiba di depan ruang ICU. Sekali kunjungan hanya diizinkan dua orang saja. Itu pun tak langsung masuk ke dalam ruang rawat. Hanya menengok dari luar dinding kaca. Karena itu Dio meminta Rue dan Hanjoo untuk masuk lebih dulu.
Rue dan Hanjoo masuk lebih dulu. Hongjoon yang tak kasat mata ikut masuk. Mereka pun sampai di depan ruang ICU tempat Hongjoon dirawat. Rue dan Hanjoo berdiri menatap dan menatap ke dalam dinding kaca. Di dalam sana Hongjoon sedang terbaring koma. Banyak alat medis yang ditempelkan ke tubuh pemuda itu.
Rue menoleh ke arah kiri, menatap Hongjoon dengan iba. “Kau baik-baik saja?” Dengan hati-hati ia pun bertanya.
Hongjoon menatap raganya yang sedang terbaring di dalam ruang ICU. Ia menganggukkan kepala sebagai jawaban dari pertanyaan Rue.
“Masuklah. Nggak papa. Lihat dirimu lebih dekat.”
“Nggak. Dari sini aja udah cukup.”
“Kak Hanjoo? Kak Rue?”
Suara seorang gadis mengejutkan Hongjoon, Rue, dan Hanjoo. Membuat ketiganya kompak menoleh ke arah kanan.
“Esya!” Hongjoon berlari menghampiri Esya. Tapi, gadis itu mengabaikannya dan terus berjalan mendekati Rue dan Hanjoo.
Rue dan Hanjoo tersenyum menyambut kedatangan Esya.
“Kakak berdua ke sini, saya tidak percaya. Ini nyata?” Esya merasa apa yang dilihatnya adalah ilusi.
“Kami nyata.” Jawab Hanjoo.
“Terima kasih sekali. Bagaimana kakak berdua tahu kalau Hongjoon dirawat di sini?”
“Axton dan Yano.” Jawab Rue.
“Ah! Pantas saja mereka ngeyel bertanya. Kupikir mereka yang akan kemari.” Esya tersenyum lebar. Rona bahagia terpancar dari wajahnya.
“Esya sendirian?” Tanya Rue.
“Nggak. Ada Nenek sama Tante.” Esya diam sejenak. Menyadari jika ada yang ganjil dalam pertanyaan Rue. “Kak Rue kemari bukan hanya sekedar untuk menjenguk Hongjoon ya?” Esya memberanikan diri untuk bertanya. Mendadak ia merasa takut.

Esya dan neneknya menemui Rue, Hanjoo, Dio, dan Byungjae di kantin. Saat Esya menyampaikan tentang kunjungan Rue, neneknya langsung mengajaknya pergi. Hanya berdua, tanpa ibu Hongjoon yang juga kebetulan ada di ruang istirahat bagi keluarga pasien VIP.
Nenek Hongjoon mengamati Rue, lalu tersenyum. “Terima kasih sudah menjenguk cucuku. Kau pasti sempat bertemu dengannya sebelum ia mengalami kecelakaan.”
“Saya minta maaf, Nyonya. Saat Hongjoon datang ke tempat tinggal saya, saya sedang tidak berada di rumah.” Rue meminta maaf.
Nenek Hongjoon terkejut, sedetik kemudian ia tersenyum. “Begitu ya. Jadi, kalian belum sempat bertemu.”
“Tapi, saya menerima bingkisan dari Hongjoon. Ia menitipkannya pada saudara saya. Saya sangat berterima kasih untuk bingkisannya.”
Nenek Hongjoon kembali tersenyum. “Apa pun alasanmu datang hari ini, aku sangat berterima kasih.”
Hongjoon yang turut berada di kantin mengerutkan kening. “Nenek! Bukankah itu kata yang kurang pas!” Protesnya.
“Alasan saya kemari adalah karena Hongjoon. Saya harus berterima kasih padanya. Sekaligus meminta maaf. Seandainya malam itu dia tidak menemui saya, mungkin kecelakaan itu tidak akan terjadi.”
Hening selama beberapa detik. Nenek Hongjoon kembali tersenyum. “Itu bukan salahmu. Aku lah yang menyuruhnya pergi malam itu. Walau Hongjoon mengatakan, mungkin kau tidak akan ada di rumah, aku tetap memaksanya untuk pergi.”
Terlihat sebuah penyesalan di wajah renta Nenek Hongjoon. Ia berusaha tetap tersenyum. “Takdir memang tidak bisa diubah, Nak. Itu bukan salahmu.”
Rue hanya bisa diam. Ia tak mampu untuk menyampaikan bahwa Hongjoon ada bersama mereka. “Saya membawa pesan dari Paman Darwin.” Ia pun menyampaikan alasan utama yang mendorongnya datang.
Nenek Hongjoon menatap Rue dengan ekspresi terkejut. Begitu juga Esya.
“Sedikit tak masuk akal memang, tapi beliau menemui saya. Beliau sangat menyesal karena menyebabkan Hongjoon mengalami kecelakaan. Beliau meminta maaf untuk hal itu. Beliau juga sangat berterima kasih karena Nyonya mengurus beliau dengan baik, hingga akhir.”
Pertahanan Nenek Hongjoon tumbang. Ia pun menangis. Esya merangkul neneknya. Membiarkan wanita tua itu menangis dalam pelukannya.
***


Hening selama perjalanan menuju komplek pemakaman tempat jasad Paman Darwin disemayamkan. Suasana di rumah sakit cukup membuat Rigel turut merasakan keharuan. Namun, mereka lega karena keluarga Hongjoon telah memaafkan Darwin.
Usai meletakkan karangan bunga, Rue bergabung bersama Hanjoo, Dio, dan Byungjae yang berdiri di depan makam Darwin. Mereka berdoa untuk Darwin. Hongjoon berdiri di samping kanan makam. Menatap makam itu dengan sedih.
Hanjoo, Dio, dan Byungjae meninggalkan makam lebih dulu. Rue tetap tinggal, menemani Hongjoon. Dengan sabar ia menunggu Hongjoon. Rue sedikit terkejut ketika melihat Darwin muncul. Pria itu berdiri di sisi kiri makam. Berhadapan dengan Hongjoon.
“Hongjoon.” Rue memanggil Hongjoon agar pemuda itu menyadari kehadiran Darwin.
Saat mengangkat kepala, Hongjoon dibuat kaget karena sosok Darwin sudah berdiri di seberang, berhadapan dengannya. “Paman!” Bulir bening itu jatuh menuruni pipi Hongjoon.
Darwin tersenyum. “Saya sangat menyayangi Tuan Muda. Terima kasih untuk segalanya.”
“Paman!”
Darwin menatap Rue sejenak, masih dengan senyum yang menghiasi wajahnya. “Terima kasih, Nona. Tolong jaga Tuan Muda dengan baik.”
Rue hanya diam menatap Darwin.
Darwin kembali menatap Hongjoon. Ia tersenyum lebih lebar. “Selamat tinggal, Anakku.”
“Paman! Paman!” Hongjoon panik melihat tubuh Darwin bercahaya. “Paman!” Ia semakin panik ketika cahaya itu semakin menyilukan dan perlahan tubuh Darwin berpendar, lalu melebur dengan cahaya yang mengelilinginya dan hilang.
Rue menundukkan kepala.
Hongjoon menjatuhkan lutut dan menangis di dekat pusara Darwin.
***

 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews