Sepanjang perjalanan pulang Rue
memikirkan kejadian di sekolah. Kesurupan massal, munculnya Malaikat Maut di
tengah kesurupan massal, rapat dadakan dan kesepakatan yang dicapai. Ia
bertanya-tanya, apakah pembina ekstrakurikuler Metafisik juga melihat
keberadaan Malaikat Maut. Sebenarnya ia ingin bertanya langsung, namun urung.
Menurutnya situasi sedang tidak pas.
Hongjoon menyambut Rue seperti tempo
hari ketika gadis itu pulang. Ia mengerutkan kening melihat wajah lesu Rue.
“Ada masalah di sekolah?” Tanya
Hongjoon.
Rue menjatuhkan tubuh lelahnya di
sofa. Ia memejamkan mata dan memijat keningnya.
Walau penasaran, Hongjoon tak
bertanya lagi. Ia berdiri tak jauh dari Rue dan menunggu.
Rue membuka mata, mendesah, lalu
bangkit dari duduknya dan beranjak menuju kamar mandi.
Hongjoon yang memperhatikannya
mengerucutkan bibir. “Apa dia sudah kehilangan kemampuan untuk melihat dan
mendengarkan aku?” Gerutunya.
Rue keluar dari kamar mandi.
Kepalanya terbungkus handuk. Hongjoon yang duduk di ruang tamu memperhatikannya.
Ekspresi Rue terlihat lebih santai. “Hari ini terjadi kesurupan massal di
sekolah.” Ujar Rue sembari mengeringkan rambutnya yang basah.
“Ap-apa?? Kesurupan massal??”
“Iya. Di kelasmu. 23 siswi
kesurupan. Merepotkan sekali.”
“Esya bagaimana?”
“Dia baik.”
“Yano? Axton?”
“Semua baik.”
“Syukurlah.” Hongjoon lega. “Sebelumnya
pernah kejadian kayak gitu?”
“Ini yang pertama.”
“Kenapa bisa gitu ya?”
“Pasukan setan. Ingat tidak? Itu
ulah mereka. Itu kenapa aku melarangmu ke sekolah. Bahaya.”
Hongjoon diam. Membayangkan situasi
di sekolah yang sedang genting.
“Kami akan melakukan ritual
pembersihan.”
“Kami?? Rigel??”
“Semua yang punya kemampuan diminta
bergabung. Pembina ekstrakurikuler Metafisik yang akan memimpin ritual.”
Hongjoon menatap Rue dalam diam. Ia
merasa khawatir. “Kapan itu? Boleh aku pergi bersama Noona?”
“Kamis malam. Nggak boleh. Aku nggak
akan bisa lindungin kamu.”
“Selama ini Noona selalu menjagaku!”
Rue terkejut mendengar pengakuan
Hongjoon. Ia menatap Hongjoon dalam diam.
“Anu, maksudku saat jurit malam
itu.”
“Ini berbeda. Kau tetap di sini
saja. Tunggu aku kembali. Jangan menyusulku ke sekolah. Paham?”
Hongjoon diam.
“Kalau kau sampai nekat pergi, maka
aku akan menganggapmu tidak ada. Selamanya!”
“Kejam sekali. Selamanya itu kan
lama sekali.”
Rue mengabaikan protes Hongjoon. Ia
berjalan menuju kamar tidurnya. Hongjoon mengerucutkan bibir karena kesal.
“Hongjoon.” Rue kembali membuka
pintu.
Hongjoon mengangkat kepala dan
menatap Rue.
“Selama kau di sini, apa kau pernah
melihat sosok pemuda dengan kostum serba hitam?”
“Itu ya? Beberapa kali muncul. Aku
melihatnya seperti sedang menunggu Noona
saat Noona hendak berangkat ke
sekolah. Dia siapa?”
“Jadi, kau juga melihatnya. Dia
tidak mengajakmu bicara?”
Hongjoon menggelengkan kepala.
Rue diam sejenak, lalu kembali
menutup pintu kamarnya.
“Aneh sekali dia hari ini.” Hongjoon
menelengkan kepala.
***
Sehari pasca kesurupan massal muncul
gosip di antara murid. Gosip tentang penyebab kesurupan massal itu adalah Rue.
Bahkan, ada pula hasutan dan provokasi agar tak memilih Rue sebagai ketua Dewan
Senior yang baru.
Rue tak terlalu ambil pusing. Tapi,
Dio dan Byungjae yang tersulut mendengar gosipan-gosipan itu. Hanjoo dan Nath
terus menenangkan keduanya.
“Kamu lupa apa kata Goong? Kalau
kamu nggak jadi ketua yang baru, akan gawat kan?!” Byungjae terus membujuk Rue
untuk melakukan serangan balik.
Byungjae dan Dio yakin jika
pelakunya adalah Pearl. Memanfaatkan kejadian luar biasa di sekolah yaitu
kesurupan massal untuk menyerang Rue.
“Ritual akan dilakukan besok malam,
dan statusku saat ini masih ketua Dewan Senior. Percayalah! Gosipan dan hasutan
itu tidak akan bekerja pada kita.” Rue meyakinkan Byungjae.
“Iya ya. Ritualnya besok.” Byungjae
memiringkan kepala.
“Sekarang fokus saja pada ritual
besok. Tidak menutup kemungkinan akan terjadi perang antara kami dan pasukan
setan itu. Seperti yang dibahas kemarin, untuk tahu apa yang sebenarnya
terjadi, kita harus mengalahkan mereka dan mengintrogasi mereka.”
Mendengarnya, Nath, Dio, Byungjae,
dan Hanjoo merasa ngeri. Jika melihat kekhawatiran Rue belakangan ini,
keempatnya yakin yang disebut sebagai pasukan setan pastilah berjumlah luar
biasa.
“Katanya para alumni yang mendengar
tentang ini akan turut membantu. Semoga saja besok berjalan dengan lancar.” Nath
mengucap harapan yang segera diamini Dio, Byungjae, Hanjoo, dan Rue.
Kelimanya yang sedang duduk
berkumpul di depan UKS melihat Pearl, Ruby, dan Linde yang baru kembali dari
kantin. Pearl sudah tak lesu lagi. Bahkan ia tertawa-tawa seolah sedang sangat
bahagia ketika lewat di jalan yang berada di depan ruang UKS.
“Sungguh aku pengen jambakin dia
lagi.” Dio geram.
“Byungjae.” Panggil Rue.
“Iya?” Byungjae menaruh perhatian
pada Rue.
“Tolong unggah video di Gedung
Kematian. Setelah selesai, bagi link-nya di grup chat Rigel. Lalu, tolong
kerjasamanya untuk membagikan link. Tapi, esok saja kita serempak membagikan
link nya.”
“Wah... wah... serangan balik ya?” Dio
tersenyum puas.
“Walau kita tidak menyebutkan Pearl,
aku yakin Orion yang bersekolah di sini bisa menebak pelakunya adalah Pearl.
Jangan-jangan kalian sudah merencanakannya.” Nath menyipitkan mata ketika
menatap Dio, lalu Rue.
Dio dan Rue kompak tersenyum.
***
Malam ini Rue akan pergi ke sekolah
untuk ritual. Gadis itu mengatakan mungkin ia akan menginap. Hongjoon merasa
khawatir. Ia ingin Rue tak pergi saja. Tapi, ia tahu gadis itu tidak akan
mendengar usulnya untuk tetap tinggal. Tanggung jawabnya sebagai ketua Dewan
Senior mengharuskannya untuk tetap pergi.
“Kenapa ritualnya harus Kamis malam
sih? Ah ya! Mereka bilang itu malam yang sakral. Apa aku bisa pergi? Tidak!
Tidak! Aku nggak mau Kak Rue menganggapku tidak ada selamanya. Aku tidak tahu
sampai kapan aku akan seperti ini. Dia satu-satunya yang aku punya sekarang.
Aku nggak mau kehilangan dia.” Hongjoon berjalan mondar-mandir di teras rooftop.
“Aku sudah bilang jangan pergi.
Tapi, dia nggak bisa tinggal. Apa Esya, Yano, dan Axton juga datang? Ah! Nggak
mungkin! Itu kan ritual diam-diam. Tidak semua murid diberi tahu.”
“Terima kasih sudah memintanya tetap
tinggal.”
“Astaga!” Hongjoon kaget ketika
tiba-tiba mendengar suara. Suara seorang pemuda. Ia pun membalikkan badan dan
menemukan sosok pemuda dengan kostum serba hitam. Dia... dia kan yang ditanyakan Noona kemarin. Ia membatin sambil mengamati pemuda itu dari atas ke
bawah.
Pemuda yang biasa disebut Rue dengan
panggilan Malaikat Maut itu tersenyum. “Kau jangan khawatir. Rue adalah gadis
yang hebat.”
“Iiiyaaa aku tahu itu. Tapi, kau
siapa? Apa sama sepertiku?”
“Rue sering menyebutku Malaikat Maut
atau Dewa Kematian.”
“Apa?” Pekik Hongjoon. “Lal-llu
untuk apa kau datang ke sini?” Hongjoon terdiam sejenak, lalu mendelik. “Kau
datang untuk menjemputku?”
Malaikat Maut tersenyum. “Nggak. Aku
datang untuk menemani Rue.”
Kedua mata sipit Hongjoon semakin
membelalak. “Noon-noona?? Kau datang
untuk menemaninya?”
“Air doa ini berat!” Gerutu Byungjae
yang keluar dari dalam rooftop.
Hongjoon dan Malaikat Maut kompak
menatap pada Byungjae.
“Angkat sampai bawah aja. Om Toni
bakalan ikut kita. Ayo!” Dio menepuk pundak Byungjae.
“Bantuin napa!”
“Kamu kan cowok. Masa nggak kuat!”
“Ayo.” Hanjoo menghampiri Byungjae.
Lalu, bersama-sama membawa satu tas plastik berisi beberapa botol air doa yang
disiapkan Rue.
Hongjoon dan Malaikat Maut
memperhatikan aktivitas ketiga teman Rue.
“Turuti apa yang Rue katakan.
Tetaplah di sini.” Malaikat Maut kembali berbicara.
“Tapi, apa maksudmu kau akan pergi
mendampinginya, anu menemai Rue?”
Rue keluar lalu mengunci pintu.
Menyita perhatian Hongjoon dan Malaikat Maut. Hongjoon bergegas mendekati Rue.
“Noona,
jangan pergi!” Hongjoon meminta Rue untuk tinggal.
“Nggak bisa. Aku haru pergi. Ritual
ini, aku nggak bisa lakuin dari jarak jauh.” Rue melirik Malaikat Maut, sambil
terus berjalan menuju tangga.
“Tapi, Noona. Itu cukup berbahaya.” Hongjoon mengejar Rue. “Noona! Ada yang ingin aku katakan
padamu!”
“Tunggu sampai aku kembali. Kita
akan membahasnya nanti!” Rue berlari kecil menuruni tangga.
Hongjoon pasrah melihat Rue pergi.
Ia membalikkan badan, namun Malaikat Maut sudah menghilang.
***
Toni mengantar Rigel menuju SMA
Horison. Hening setelah mobil melaju selama beberapa menit. Suasananya terasa
canggung.
“Aku akan tinggal. Turut bergabung
dalam ritual.” Toni memecah keheningan.
“Wah! Bunda Berta yang meminta Om
menemani Rue?” Dio yang duduk di samping kiri Toni memberi respon.
“Keinginanku sendiri. Tapi, Berta
mendukung. Ia pun akan membantu. Jadi, Rue jangan ragu. Walau yang memimpin
ritual bukan kamu, tapi mereka menganggap kamu lah pemimpinnya. Kau harus yakin
dan percaya diri dalam membawa pasukanmu ke medan perang.”
“Kita beneran perang?” Tanya
Byungjae.
“Kalau pelajaran sejarah kamu nyimak
nggak sih? Emangnya ada penjajah yang mau pergi secara suka rela saat diusir
sama rakyat dari negeri yang mau mereka jajah?” Dio yang merespon pertanyaan
Byungjae.
“Iya juga sih. Hehehe.” Byungjae
meringis.
“Kalian bantu doa aja. Itu kekuatan
yang luar biasa.” Toni mengingatkan tugas Dio, Byungjae, dan Hanjoo.
Mobil Toni sampai di SMA Horison. Ia
membawa mobil masuk ke area sekolah dan memarkirkannya di area parkir yang
biasa digunakan guru. Rombongan Rue—termasuk Toni—langsung menuju ruang UKS. Di
sekolah lumayan ramai. Walau didominasi anggota ekstrakurikuler PMR dan
Metafisik, ada beberapa anggota eksul yang sengaja datang dan menginap di
sekolah demi menonton jalannya ritual.
Beberapa anggota Dewan Senior dan
MPK juga hadir. Nicky dan Kevin ada di antara anggota Dewan Senior dan MPK yang
hadir. Alumni yang hadir pun bukan dari ekstrakurikuler Metafisik saja,
beberapa alumni PMR juga hadir.
Bekerja sama, anggota
ekstrakurikuler PMR dan Metafisik mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan
untuk ritual. Anggota Dewan Senior dan MPK yang hadir turut membantu. Karena
mendapat izin untuk merekam jalannya ritual, Rigel pun mulai mempersiapkan
kamera mereka.
Setelah semua persiapan selesai,
orang-orang yang akan terlibat dalam ritual berkumpul di tengah lokasi ritual
yang digelar di tanah lapang di taman belakang sekolah. Dio, Byungjae, dan
Hanjoo siap dengan kamera masing-masing. Menyebar di pinggir area ritual. Toni
ada bersama Byungjae.
Rue terus memanjatkan doa. Ia merasa
lebih gugup dari sebelumnya. Walau ia bukan satu-satunya gadis yang akan turut
andil dalam ritual pengusiran, ia merasakan gugup yang lebih dari saat ia
beraksi bersama Rigel.
“Rue.” Nicky menghampiri Rue.
“Tolong hati-hati.”
Rue tersenyum dan menganggukkan
kepala. Ia kembali melihat Malaikat Maut tak jauh di belakang Nicky. Rue
menarik napas dan menghembuskannya. Ia pun berjalan masuk ke dalam area ritual.
***
Pembina ekstrakurikuler yang
memimpin jalannya ritual membagi tugas. Ada yang bertugas membuat pagar gaib
untuk melindungi siapa saja yang berada di taman belakang sekolah. Semua yang
ada di sekolah malam itu diminta mendekat ke lokasi agar lebih mudah untuk
membuat pagar perlindungan.
Tim kedua bertugas membuat pagar
gaib untuk melindungi orang-orang yang akan melaksanakan ritual. Orang-orang
yang akan maju untuk melawan secara langsung pasukan setan yang sudah sejak
lama bersiaga di taman belakang sekolah. Rue berada dalam tim inti, orang-orang
yang akan maju melawan pasukan setan. Ia satu-satunya gadis yang berada di
dalam tim inti yang berjumlah tujuh orang itu.
Ketika ritual dimulai, angin dingin
yang cukup kencang tiba-tiba muncul. Tim pembuat pagar gaib tetap fokus untuk
membuat benteng pertahanan. Sedang tim inti mulai siaga. Setelah angin dingin
yang cukup kencang, tiba-tiba muncul kabut. Tujuh orang tim inti melihatnya
dengan jelas. Termasuk Rue. Kabut tebal itu perlahan mulai pecah. Samar-samar
terlihat pasukan setan yang pernah dilihat Rue. Pasukan yang berisi berbagai
jenis buto dengan satu pimpinan seorang buto dengan wajah mengerikan.
Raja Buto yang memimpin pasukan
setan bertubuh sangat besar dan memiliki wajah yang mengerikan. Wajahnya putih
dengan dua mata lebar melotot berwarna merah. Hidung dan mulutnya besar dengan
empat gigi taring besar yang mencuat keluar. Rambutnya berwarna coklat panjang
dan acak-acakan. Tubuhnya kekar berwarna abu-abu.
Pemimpin ritual meyakinkan agar
pasukannya tak merasa gentar. Karena, bagaimanapun manusia adalah makhluk Tuhan
yang paling sempurna.
Walau yang kedua kalinya melihat
pasukan buto, Rue masih dibuat terperangah. Ia meyakinkan dirinya sendiri bahwa
ia mampu menghadapi mereka. Dalam hati ia terus memanjatkan doa. Meminta
bantuan dan perlindungan Tuhan. Ia juga meminta restu pada ibunya, kakek, dan
leluhurnya. Rue memantapkan hati. Ia pasti bisa melawan pasukan buto itu.
Angin dingin berhembus semakin
kencang. Raja Buto mulai melancarkan serangan. Sadar ia dan pasukannya akan
diusir, ia pun memulai serangan.
Tim yang melakukan ritual
pembersihan kukuh. Ketika pasukan buto mulai maju dan menyerang, mereka pun
bertahan dan melakukan perlawanan. Tim inti pun berpencar untuk membantu tim
perlindungan melakukan pertahanan dan perlawanan.
Terdengar bunyi ledakan. Lingkaran
api muncul mengitari Rue dan dua tim inti lainnya. Melihat Rue dan dua
anggotanya dikepung lingkaran api, pemimpin ritual meminta anggota yang bebas
dari tugas memadamkan api. Beruntung mereka telah menyiapkan beberapa tong
berisi air di lokasi ritual. Tim pun bergerak cepat untuk memadamkan api.
“Rue diseret ke alam mereka!” Seru
seorang pria yang turut terjebak dalam lingkaran api bersama Rue.
“Rue!” Mendengarnya, Nicky hendak
mendekati lingkaran api. Kevin dengan sigap, menahannya dan memintanya tetap
tenang.
“Kita harus percaya pada mereka.
Tolong percayalah pada Rue.” Kevin menenangkan Nicky.
Nicky melihat pada Dio, Byungjae,
Hanjoo. Tiga anggota Rigel itu tetap pada posisi mereka walau mendengar bahwa
Rue diseret ke alam gaib. Sedang dari balik kobaran api, samar-samar ia melihat
tubuh Rue yang duduk dengan kepala tertunduk. Sepertinya tak sadarkan diri.
Nicky menguatkan dirinya. Ia hanya bisa berdoa agar Rue baik-baik saja.
“Buat pagar perlindungan untuk Rue!”
Pemimpin ritual berseru. Memberi perintah tim untuk membuat perlindungan gaib
untuk Rue.
Rue duduk di atas permadani di ruang
tamu. Punggungnya bersandar pada sofa. Di samping kanannya, Hongjoon pun berada
dalam posisi yang sama. Sudah beberapa menit berlalu, tapi tidak ada percakapan
di antara keduanya. Rue menoleh ke arah kanan, namun tak berniat memulai
obrolan. Ia memilih menunggu.
“Rasanya sangat aneh setelah melihat
ragaku, Nenek, Esya, Mama, dan Paman Darwin. Aku tidak tahu perasaan apa ini.” Hongjoon
akhirnya bersuara.
Rue diam. Mendengarkan.
“Rasanya kosong, hampa. Ada sesal dan
sedih. Kenapa?”
Rue masih menatap Hongjoon yang
berbicara tanpa menatapnya.
“Kenapa aku harus berada di fase
ini.” Hongjoon menundukkan kepala semakin dalam. Lalu, kembali terdiam.
Ada rasa iba di hati Rue. Namun, ia
tidak bisa memberikan penghiburan apa pun untuk Hongjoon. Ia pun tetap diam,
namun tak beranjak dari sisi Hongjoon.
***
Rue terkejut. Ketika ia sampai di
tangga terbawah, sosok Malaikat Maut sudah menyambutnya. Ia mengerutkan kening,
lalu lekas beranjak untuk berangkat ke sekolah.
Saat sampai di sekolah, Rue
merasakan sesuatu hal yang tak biasa, hal aneh yang tak bisa ia pahami apa
sebabnya. Ia membagi apa yang ia rasakan pada Hanjoo. Namun, ia tidak bisa
menjelaskan atau memberi alasan spesifik tentang apa yang ia rasakan.
Hari Senin berjalan seperti biasa.
Setelah upacara bendera, pelajaran pun dimulai. Semua berjalan lancar hingga
jam pelajaran usai. Rue merasa lega. Walau rasa tak nyaman itu masih ada,
setidaknya tak terjadi apa-apa di sekolah.
Keesokan harinya pun sama. Saat
keluar dari rooftop, Rue menemukan
Malaikat Kematian sudah berdiri di dekat tangga. Rue melewatinya dengan kepala
tertunduk, lalu buru-buru menuruni tangga.
Di sekolah, rasa aneh yang kemarin
ia rasakan kembali memeluk Rue. Namun, lagi-lagi ia belum paham rasa apakah itu.
Ia berusaha menepis rasa tak nyaman itu dan berkosentrai mengikuti pelajaran.
Saat sedang fokus mengikuti
pelajaran di dalam kelas, Rue mendengar suara ribut-ribut di luar. Bukan hanya
dirinya yang merasa penasaran, namun seluruh murid di kelasnya. Guru terpaksa
menghentikan aktivitas mengajar karena suara ribut-ribut dari luar. Beberapa
murid bahkan bangkit dari duduknya demi melihat apa yang terjadi di luar kelas.
Seorang siswa datang ke kelas Rue.
Menemui guru yang sedang mengajar. Siswa itu menyampaikan maksud kedatangannya.
Lalu, guru memanggil Rue untuk maju.
Kesurupan massal di aula.
Mendengar kabar itu, Rue langsung
minta izin meninggalkan kelas bersama siswa yang menjemputnya. Keduanya segera
keluar dari kelas dan berjalan cepat menuju aula.
Kelas X-8 sedang melakukan kegiatan
di aula. Guru Bahasa menggiring mereka ke aula untuk mempraktikan pertunjukkan
dramatisasi puisi. Namun, tiba-tiba banyak siswi yang jatuh pingsan kemudian
menjerit-jerit. 23 murid perempuan di kelas X-8 mengalami kesurupan massal.
Murid yang bisa menyembuhkan
kesurupan dipanggil ke aula. Termasuk Rue. Ketika ia sampai, terlihat kacau di
dalam aula. Murid-murid yang kesurupan berada di tengah-tengah aula. Murid yang
berani membantu memegangi murid yang kesurupan. Tidak hanya murid kelas X-8
yang ada di sana. Beberapa anggota Dewan Senior dan MPK juga ada di dalam aula.
Juga beberapa guru.
Dio, Hanjoo, dan Byungjae
menghampiri Rue yang sedang mengamati murid-murid yang kesurupan. Ketika
menemukan Yano sedang memegangi satu siswi yang kesurupan, Rue segera
menghampirinya.
“Menjauh dari sini.” Rue menatap
Yano dengan ekspresi khawatir.
Dio, Byungjae, dan Hanjoo menyusul
Rue. Turut mengerubuti siswi kesurupan yang dipegang oleh Yano, Axton, dan
Esya. Axton dan Esya yang ada bersama Yano turut menatap Rue dengan bingung.
“Kalian, tolong bawa Yano pergi.” Pinta
Rue pada Axton dan Esya.
Tak membantah, Axton dan Esya pun
menuruti perintah Rue. Hanjoo dan Dio segera mengambil alih tugas keduanya.
“Tapi, kenapa?” Tanya Yano.
“Kamu udah pernah kesurupan. Itu
sedikit berbahaya.” Byungjae turut menggiring Yano. “Itu juga alasan kenapa aku
nggak mendekat. Padahal selama ini aku hanya hampir kesurupan. Rue nggak mau
kita celaka. Itu aja.”
Mendengar penjelasan Byungjae, Yano
pun akhirnya menurut. Ia pergi agak menjauh bersama Byungjae, Esya, dan Axton.
Rue menyembuhkan siswi yang
kesurupan. Setelah siswi itu sadar, anggota PMR yang berjaga segera memberinya
air doa yang sengaja di sediakan Rue di UKS. Rue, Dio, dan Hanjoo bangkit dan
beralih pada siswi lainnya. Satu siswi lagi berhasil di sembuhkan dari
kesurupan.
Murid-murid yang penasaran mulai
berdatangan ke aula. Dengan sigap anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di
dalam aula menghadang murid-murid yang ingin masuk ke dalam aula. Beberapa guru
dan staf sekolah yang berada di aula turut membantu. Karena kejadian luar biasa
itu, aktivitas belajar mengajar dihentikan. Semua fokus ke aula, untuk membantu
murid-murid yang kesurupan.
Walau ada beberapa siswi yang
gampang disembuhkan, ada beberapa yang sulit. Bahkan, ada yang sudah sembuh kesurupan lagi. Murid-murid
yang bisa menyembuhkan pun mulai kuwalahan dan panik. Tak terkecuali Rue.
Pearl, Ruby, dan Linde tiba di aula.
Mereka diizinkan masuk karena Ruby dan Linde adalah anggota Dewan Senior.
Ketiganya hanya menonton. Tak membantu. Linde memberi tahu Pearl jika Yano ada
bersama Byungjae. Namun, Pearl bersikap acuh.
“Rue, kalau kayak gini terus,
persediaan air doa nggak bakalan cukup.” Nadia menghampiri Rue.
“Sisa berapa?” Tanya Rue.
“Di aku satu botol.”
“Ya udah. Nanti disadur aja dulu.
Campur sama air yang belum didoai.”
“Oke.” Nadia pun pergi.
“Rue, kalau gini kita yang susah. Kenapa
kayak nggak ada habisnya?” Siswa kelas XII yang juga anggota PMR yang bisa
menyembuhkan siswa kesurupan menghampiri dan mengeluh pada Rue. “Bantuan juga
belum datang. Kamu ada ide?”
Rue mengamati sekitar dengan cepat.
Setelah menemukan anggota eskul metafisik yang ia cari, ia pun bergegas
mendekati siswa itu.
Kebetulan siswa yang Rue cari ada
bersama Nicky. Melihat Rue datang, Nicky pun tersenyum senang, namun Rue
mengabaikannya. “Kak.” Rue langsung menyapa siswa yang ia cari. Nicky sedikit
kecewa dibuatnya.
“Kita harus melakukan sesuatu.” Rue
mengutarakan maksud kedatangannya.
“Aku juga sedang memikirkannya.” Siswa
itu memiliki pemikiran yang sama.
“Lainnya menyembuhkan, lainnya lagi
membuat pagar pelindung. Sampai bantuan datang. Bagaimana?” Rue memberi usul.
“Ide bagus. Jadi, bisa menghalau
mereka yang berusaha merasuki siswi lain.”
Rue menganggukkan kepala. “Kita
harus membatasi area ini. Dan, meminta semua untuk tetap siaga. Kakak tahu kan
kalau jumlah mereka banyak sekali?”
Nicky bergidik mendengar pertanyaan
Rue. Dengan mengusuk tengkuk, ia mengamati sekelilingnya.
“Iya. Banyak sekali. Karena itu kami
meminta bantuan. Tadi coba di telepon nggak bisa. Karenanya, ada yang berangkat
jemput pembina dan senior yang bisa dijangkau.” Siswa kelas XII itu membenarkan
pertanyaan Rue. “Aku akan kumpulkan anggota yang mumpuni dan mari kita buat
pagar pelindung.” Ia pun pergi meninggalkan Rue dan Nicky.
“Rue.” Nicky memanggil Rue ketika
gadis itu akan pergi.
“Eh! Kak Nicky.” Rue baru menyadari
keberadaan Nicky.
Nicky menatap wajah Rue yang
dipenuhi peluh. Ia pun merasa kasihan. “Hati-hati ya.” Akhirnya hanya kata itu
yang bisa keluar dari mulutnya.
Rue tersenyum dan kemudian pergi.
Rue dan beberapa murid yang dipilih
untuk membuat pagar pelindung siaga di sekeliling area murid kesurupan. Ada
delapan murid yang bekerja sama membuat pagar gaib untuk menghalau makhluk-makhluk
astral yang datang untuk memanfaatkan raga siswi-siswi yang kesurupan.
Guru menggiring murid yang menonton
untuk kembali ke dalam kelas. Mereka di ajak untuk melakukan doa bersama.
Bahkan, para guru sepakat untuk memulangkan murid lebih awal demi menghindari
masalah yang lebih serius.
Pearl melipat tangan di dada.
Menonton jalannya proses perlindungan dan penyembuhan. Ruby dan Linde masih
setia di sisinya.
Karena Axton, Esya, dan Yano kembali
ke kelas bersama murid kelas X-8 yang tak kesurupan sesuai perintah guru,
Byungjae pun bergabung dengan anggota Dewan Senior dan MPK yang berada di dalam
aula. Beberapa guru yang paham tentang kesurupan pun turut membantu murid.
Nicky ada bersama Byungjae. Berdiri
tak jauh di belakang Rue. Keduanya sama-sama fokus pada Rue. Sedang Dio dan
Hanjoo masih sibuk membantu murid-murid yang berusaha menyembuhkan murid yang
kesurupan.
Rue menggerakkan kepala ke kanan dan
ke kiri. Otot lehernya terasa tegang karena terus berkonsentrasi untuk membuat
pagar pelindung. Keringat mengucur di seluruh tubuhnya hingga membuat
seragamnya terasa lengket. Dari 23 siswi yang kesurupan, kini tersisa 13 orang
saja.
Rue menghela napas dan berjongkok.
Membuat pagar pelindung gaib lebih menguras energinya dibanding menyembuhkan
siswi yang kesurupan. Ia tersenyum lega ketika bantuan datang. Pembina ekskul
metafisik dan tiga orang alumni itu pun segera membantu. Mereka membenarkan
tindakan membuat pagar itu dan meminta terus melakukannya hingga proses
penyembuhan seluruhnya selesai.
Rue mengusap peluh di keningnya.
Ketika ia sejenak mengalihkan pandangan, ia melihat sosok Malaikat Maut berdiri
tak jauh dari Pearl. Saat itulah konsentrasinya buyar dan salah satu siswi yang
kesurupan menyerangnya.
Siswi kesurupan yang berhasil lepas
dari pegangan dua orang siswa itu mendorong tubuh Rue yang berjongkok hingga
Rue jatuh terpelanting ke belakang. Nicky dan Byungjae segera menangkap tubuh
Rue dan menahannya.
Siswi kesurupan hendak menyerang
lagi, Goong tiba-tiba menghadang di depan Rue. Membuat siswi itu mundur, namun
tetap siaga. Hanjoo dan dua siswa langsung menangkap siswi itu.
“Tetap pada kesadaranmu, Rue!” Goong
mengingatkan. “Kau tidak boleh kalah! Kau pasti bisa!”
“Dia sama lemahnya seperti kalian
yang ada di sini! Sebentar lagi kalian pasti kalah dan tunduk pada kami!
Hahaha.” Siswi yang kesurupan itu sumbar.
Mendengarnya, Rue tak terima. Ia
membenahi posisinya, dari terduduk kembali jongkok. Ia menggelung rambutnya
yang dikuncir ekor kuda dan dikepang.
Nicky tetap mengawasi Rue dari
belakang. Ia tak paham pada apa yang dimaksud Byungjae.
“Kalau dia sudah menggelung
rambutnya seperti itu, tandanya Rue marah. Ia pasti akan menghajar makhluk
astral itu.” Byungjae melanjutakan.
Nicky yang masih memperhatikan Rue
menelan ludah.
Rue menyeringai, lalu mendekati
siswi yang kesurupan. Ia berlutut di depan siswi yang kesurupan, lalu
menyatukan jari tengah dan jari telunjuknya. Ia mengarahkan kedua jarinya itu
lurus pada titik pusar siswi kesurupan, lalu ia pun merapalkan mantra.
Siswi kesurupan menjerit-jerit. Ia
meronta kesakitan. Namun, Rue tak memberinya belas kasihan. Ia terus menyerang
dengan mantra. Untuk memberi pelajaran makhluk astral yang sombong itu.
***
Murid-murid SMA Horison di pulangkan
lebih awal. Setelah melalui proses yang lumayan panjang, seluruh siswi yang
kesurupan pun bisa disembuhkan.
Untuk melepas lelah, Rue memilih
duduk tak jauh dari basecamp PMR. Berdiam di bawahnya rindangnya rerimbunan
pohon bambu membuatnya merasa sejuk. Ia tak sendiri, ada Goong bersamanya.
Goong menceritakan apa yang ia tahu sebelum kesurupan massal terjadi.
“Kami sudah berusaha menghalau. Tapi
karena kekuatan mereka lebih banyak dan lebih besar, pada akhirnya kami tidak
bisa berbuat apa-apa.” Goong menyesal tidak bisa membantu Rue lebih dari itu.
“Terima kasih. Goong-nim[1]
sudah menyelamatkan aku.”
Goong yang lesu pun tersenyum. “Kami
ingin mereka pergi, Rue. Kami tidak mau dijajah. Kamu liat sendiri kan?
Bagaimana brutalnya mereka. Jika dibiarkan, mereka bisa melakukan lebih dari
itu Rue.”
“Rue!” Hanjoo muncul dan berjalan
menuju Rue. Goong diam.
“Kita diundang dalam rapat dadakan
untuk membahas kejadian hari ini.” Hanjoo saat sampai di dekat Rue.
Goong bangkit dari duduknya. “Aku
ikut!” Ia antusias.
Rue menatap Goong dengan heran.
“Aku ingin tahu apa yang akan kalian
bahas. Ayo pergi!” Goong melayang, mendahului Rue dan Hanjoo.
Rue menghela napas dan bangkit dari
duduknya.
“Kenapa?” Tanya Hanjoo.
“Aku lelah sekali.”
“Aku aja yang cuman bantu pegang
lelah, apalagi kamu.”
Keduanya pun berjalan menuju kantor
Dewan Senior. Menurut Hanjoo, rapat akan digelar di sana.
Walau menggunakan kantor Dewan
Senior, tak semua anggota Dewan Senior dan MPK yang diundang dalam rapat. Kevin
dan Nicky yang dipercaya memilih siapa saja anggota yang di ajak rapat. Selain
beberapa anggota Dewan Senior dan MPK, ada perwakilan guru, pembina eksul PMR
dan Metafisik, dan beberapa anggota ekskul Metafisik. Sekitar 20 orang yang
menghadiri rapat dadakan dan tertutup itu.
Bukan Kevin atau Nicky yang memimpin
rapat, tapi ketua dari ekstrakurikuler Metafisik. Siswa yang saat di aula
ditemui Rue untuk bekerja sama membuat pagar gaib itu langsung membuka rapat
dan menjelaskan tujuan diadakannya rapat itu.
Rapat siang itu membahas tentang
kejadian luar biasa yang tiba-tiba saja menyerang SMA Horison. Sepanjang
sejarah tidak pernah ada kesurupan massal. Fenomena itu baru pertama kali
terjadi.
Siswa kelas XII yang memimpin rapat
juga menjelaskan hasil pengamatan pembina ekstrakurikuler Metafisik. Menurutnya,
kesurupan massal itu terjadi karena serangan mendadak dari makhluk astral yang
jumlahnya sangat banyak. Bahkan, si pembina sempat berbicara sendiri.
Menyampaikan apa yang dia lihat.
“Apa Rue sama sekali tidak bisa
merasakannya?” Tanya Pembina Ekskul Metafisik pada Rue setelah ia berbicara
panjang lebar di depan forum. “Padahal kita sempat membahasnya saat salah satu
anggotaku kesurupan kala itu ya.”
Rue diam. Ia mengamati sekeliling
dengan cepat. Selain melihat Goong yang turut dalam rapat, ia juga menemukan
Malaikat Kematian. Ia menelan ludah. Masih merasa ragu untuk mengungkapkan apa
yang ia lihat.
“Sebenarnya Rue sempat melihat
pasukan setan.” Dio tiba-tiba angkat bicara. Walau ia telah dicoret dari daftar
anggota Dewan Senior, Kevin tetap mengundangnya untuk rapat. Dio hadir sebagai
anggota PMR.
Suasana menjadi sedikit ribut.
“Waktu itu,” Dio kembali bicara demi
mendapat perhatian anggota rapat, “saat ada murid bernama Yano kesurupan. Rue
pergi mengejar makhluk astral yang menggunakan raga Yano. Hanjoo mengikutinya.
Lalu, Rue melihatnya. Pasukan setan itu. Di taman belakang sekolah.”
Pembina ekstrakurikuler Metafisik
menghela napas usai mendengar penjelasan Dio. Anggota rapat kembali
berkasak-kusuk.
“Rue berpikir mungkin saja itu
migrasi besar-besaran. Tapi, secara pribadi saya beranggapan bahwa pasukan itu
sengaja dikirim ke SMA Horison untuk menebar teror.” Dio menambahkan hasil
penilaiannya.
“Murid-murid yang kesurupan juga
selalu mengutarakan ancaman dan peringatan. Apa pun itu, entah migrasi
besar-besaran atau sengaja dikirim, saya secara pribadi sangat setuju jika
teror ini segera dihentikan.
“Sekolah kita sedang masuk nominasi
untuk mendapatkan penghargaan sekolah terbaik. Walau image sekolah memang
terkenal angker, tapi kejadian hari ini cukup mencoreng citra sekolah. Jika
dibiarkan berlarut-larut, saya khawatir nantinya akan timbul kejadian yang
lebih serius.” Kevin mengutarakan pendapatnya.
“Pihak sekolah tentu mengharapkan
yang terbaik. Apa pun itu, asalkan bisa membuat sekolah kembali stabil, kami
akan setuju.” Salah satu perwakilan guru turut menyampaikan pendapat.
“Baiklah. Kalau begitu kita akan
bergerak. Secepatnya!” Pembina esktrakurikuler Metafisik mengambil kesimpulan
yang disetujui sebagai kesepakatan bersama.
Rue sama sekali tak berkomentar. Ia
menatap Goong yang turut antusias. Lalu, beralih pada Malaikat Maut. Tatapannya
bertemu pandang dengan tatapan Malaikat Maut. Untuk pertama kalinya Rue tak
segera menghindari kontak mata itu.