My 4D's Seonbae - Episode #18 "Misi Menyatukan Dua Hati"

05:57


Episode #18 "Misi Menyatukan Dua Hati"





Daniel dan Guanlin duduk di seberang meja. Berhadapan dengan Jihoon. Sejak masuk ke dalam rooftop, tiga pemuda itu saling diam. Tak bicara satu sama lain. Sedang Luna dan Hami, sibuk di dapur. Memasak mie instan buatan Indonesia yang dijanjikan Luna.
Jihoon merasa kecewa ketika melihat Luna sampai bersama teman-temannya. Informasi yang diberikan Seongwoo tidak salah. Luna tidak ada kegiatan tambahan di sekolah. Gadis itu mengatakan akan langsung pulang pada Seongwoo. Tapi, tidak mengatakan jika akan pulang bersama Daniel, Guanlin, dan Hami. Ia tak bisa menyalahkan Seongwoo. Dialah yang salah. Karena tak menghubungi Luna lebih dahulu.
Daniel menyibukkan diri dengan membaca sebuah buku yang tergeletak di atas meja ruang tamu. Ia membolak-balik buku itu.
“Itu novel. Tapi, bahasa Indonesia.” Guanlin memecah keheningan.
“Akhirnya ada suara juga!” Hami berbicara dari dapur. “Kalian kan seangkatan. Kenapa hening sekali? Yang aku tahu, cowok juga gemar bergosip.”
“Edward, bisa tolong bawakan minuman ini ke meja?” Gantian Luna yang berbicara.
“Aku saja!” Hami kembali bicara. Tak lama kemudian ia muncul dengan membawa satu nampan berisi botol-botol minuman.
Guanlin tersenyum menyambut Hami. “Kenapa aku tidak boleh pergi?”
“Biasanya cowok enggan beranjak kalau sudah keenakkan duduk dan bergosip.” Hami meletakkan nampan di atas meja. “Jadi, biarkan Noona cantik ini yang merawat kalian.” Hami mengembangkan senyum terbaiknya. Walau ada Daniel dan Jihoon, Hami fokus pada Guanlin.
“Terima kasih Noona Cantik.” Guanlin mengambil sebotol minuman yang disajikan Hami.
“Kalian, silahkan minum juga.” Hami mempersilahkan Daniel dan Jihoon. “Daniel, emang kamu bisa bahasa Indonesia?” Hami menatap Daniel yang masih sibuk dengan buku di tangannya.
“Nggak.” Daniel nyengir. “Hanya penasaran.” Ia menunjukkan novel di tangannya.
“Itu novel horor berdasarkan kisah nyata.” Guanlin usai meneguk minuman di tangannya.
“Horor berdasarkan kisah nyata?” Jihoon tertarik.
“Iya. Jadi, semua yang ditulis di dalam buku itu, pernah terjadi di dunia nyata. Luna mendapatkannya dari salah satu followernya di Instagram.”
“Wah, beruntung sekali anak itu. Banyak yang mencintainya.” Hami bergumam.
“Katanya sih itu penulisnya. Makanya ada tanda tangannya, kan?”
Daniel kembali membuka halaman depan dan menemukan tanda tangan yang disebutkan Guanlin.
Luna muncul membawa panci berisi mie instan panas. “Hami, tolong peralatan lainnya.” Ia meminta bantuan.
“Oke!” Hami bangkit dari duduknya dan kembali ke dapur.
Guanlin dan Daniel merapikan meja. Luna meletakkan panci di atas meja tepat berada di tengah-tengah. Hami kembali ke ruang tamu dengan membawa peralatan makan.
“Ini rasa kari. Kesukaan Edward. Aku harap kalian juga suka.” Luna tersenyum tulus.
“Aku belum pernah makan mie rasa kari.” Daniel membalas senyum.
Jihoon dibuat kesal melihat adegan itu. “Ini pedas tidak? Aku pernah melihat di Instagram Seonbae, tentang mie kari pedas.”
“Oh resep itu. Aku nggak berani kasih ke orang lain. Takut kalian sakit perut setelah makan. Jihoon, nggak tahan pedas kan?”
Jihoon tersenyum dan mengangguk. Daniel menyunggingkan senyum melihat tingkah monster berwajah cute itu.
“Ini hanya mie instan rasa kari dicampur telur dan sayuran. Tanpa cabe. Atau ada yang mau aku buatkan sesuai resepku?” Luna menatap satu per satu pemuda di hadapannya. “Lain kali aja.” Ia menjawab pertanyaannya sendiri. “Maafkan kalau rasanya nggak enak. Tapi, mie instan buatan Indonesia pasti bikin ketagihan. Silahkan makan!”
Satu per satu mulai mencicipi mie instan masakan Luna.
“Aku dan Amber ketagihan sama mie instan rasa kari ini. Setiap kali kami kemari, selalu minta Luna masakin buat kami. Enak kan?” Guanlin sambil mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Daniel memasukan suapan pertama ke dalam mulutnya dan mulai mengunyah. Merasakan mie instan buatan Luna. “Wah... enak! Ini pertama kalinya aku makan mie rasa kari. Ternyata enak.”
Luna tersenyum mendengar pujian Daniel. Ia kemudian beralih pada Jihoon yang duduk di samping kirinya. “Bagaimana?” Ia bertanya pada Jihoon yang mulai memakan mie instan yang ia masak.
“Mmm!” Gumaman itu terlontar dari mulut Jihoon yang masih mengunyah makanan. “Enak. Walau baunya tadi sangat tajam, tapi rasanya sangat enak.”
“Ah bego!” Luna tiba-tiba mengumpat dalam bahasa Indonesia. Hanya Guanlin yang memahami umpatan itu.
“Kenapa?” Guanlin penasaran.
“Harusnya aku videoin. Reaksi orang Korea makan mie instan buatan Indonesia. Kan bagus tuh kalau diunggah.” Luna kembali menggunakan bahasa Korea.
“Dasar Luna! Mikirnya Youtube terus!” Hami mengolok.
“Biarin!”
“Oya, yang bantuin ambil video waktu itu Guanlin ya? Video pertemuan sama Bae Jinyoung dan Lucy.” Hami mengganti topic obrolan.
“Bukan.” Guanlin menjawab dengan mulut penuh.
“Bukan? Amber?”
“Bukan. Sebenarnya hari itu Luna meminta bantuanku dan Amber. Tapi, kami sama-sama nggak bisa.”
“Trus, siapa dong?” Hami menatap Luna. Begitu juga Daniel, Jihoon, dan Guanlin.
“Emang penting banget ya? Kenapa sih kalian ribut soal siapa yang ambil video?” Luna kemudian memakan suapan pertamanya.
Squad Moon Kingdom? Bukan, kan? Minhyun? Yakin bukan dia. Taemin Seonbae apa lagi. Nggak mungkin. Oya, kamu ngapain kapan hari itu berdua-duaan sama Taemin Seonbae di taman.”
Jihoon terbatuk-batuk karena hampir tersedak saat mendengar pertanyaan terakhir yang dilontarkan Hami. Luna segera memberinya tissu dan botol minuman.
“Eh? Maaf ya Jihoon. Aku denger desas-desus murid-murid tuh. Gitu aja udah jadi gosip.”
Daniel melirik Jihoon yang baru saja selesai meneguk minuman.
“Tapi, kamu nggak usah khawatir Jihoon. Luna sama Taemin Seonbae nggak ada hubungan apa-apa kok. Tentang Luna menolak Taemin Seonbae, itu juga cuman rumor. Gosip belaka. Iya kan, Luna?”
“Aku juga heran rumor itu asalnya dari mana. Padahal Taemin Seonbae nggak pernah nyatain cintanya ke aku.” Luna membenarkan.
“Sialnya, kamu di bully gara-gara itu. Syukur para setan itu udah lulus. Dan, antek-anteknya udah mulai males gangguin kamu. Terlebih setelah tahu kamu jadian sama Jihoon. Aku jadi lega.”
Di bully? Pertanyaan itu muncul di benak Daniel. Ia menatap Luna yang sibuk mengunyah makanan di dalam mulutnya.
Jihoon tersipu. Mendengar pernyataan Hami. Ada rasa bahagia dan bangga menyeruak di dadanya. Ia merasa telah berhasil membuat Luna aman.
“Sekarang Luna lebih kuat, kan? Dia bahkan bisa membantu Bae Jinyoung dengan kasusnya yang boleh dibilang menyeramkan itu.” Guanlin memecah keheningan.
“Butuh banyak waktu untuk menyusun rencana balas dendam itu tahu! Sudah-sudah! Lanjutkan makannya. Banyak yang harus kita kerjakan setelah ini.”

Selesai makan bersama, Hami dibantu Guanlin mencuci semua peralatan masak dan makan di dapur. Luna menyiapkan keperluan untuk nonton bersama. Daniel, Guanlin, dan Hami berbondong-bondong ikut pulang ke rooftop Luna untuk nonton film bersama. Persiapan sebelum nonton bersama saat EC minggu depan.
Daniel membersihkan meja yang usai digunakan makan bersama. Jihoon membantunya.
“Maaf soal kejadian waktu itu.” Jihoon memulai obrolan. Suaranya lirih. Hingga tak terdengar oleh Hami, Guanlin, dan mungkin saja Luna.
Daniel yang sedang mengelap meja tersenyum. “Iya. Nggak papa. Maaf juga karena aku nggak sengaja dengar itu semua.”
“Walau awalnya hubungan kami adalah pura-pura, tapi semua bisa aja berubah. Kamu pasti ingat tentang postingan Luna Seonbae, kan? Bahwa cinta itu bisa ditumbuhkan dengan kebiasaan.”
Daniel menghentikan aktivitasnya dan menatap Jihoon. “Apa pun tentang kalian, bukan urusanku. Tapi, apa pun tentang Luna Seonbae adalah urusanku.”
Jihoon menatap tajam pada Daniel. Daniel balas menatap Jihoon, lalu mengendikan bahu dan tersenyum. Senyum yang membuat rasa tak suka memenuhi dada Jihoon.
Luna tiba-tiba datang bergabung. Mencari DVD di dalam tas Guanlin. Daniel dan Jihoon kembali pada aktivitas membersihkan meja. Daniel dan Jihoon bergantian melirik Luna yang mengacuhkan mereka.

Di dapur, Guanlin dan Hami mencuci peralatan masak dan makan bersama. Hami mencuci dan Guanlin membantu menatanya ke atas rak di dekat tempat cuci piring.
“Guanlin.” Hami sibuk menyabun peralatan makan memulai obrolan.
“Iya?” Guanlin yang sibuk menata peralatan makan di rak pun menoleh ke arah kiri.
“Kenapa sih Luna selalu manggil kamu Edward? Aku belum pernah tanya soal ini kan?”
“Itu nama internasionalku. Edward Lai.”
“Oh gitu. Jadi, di sini aku yang paling tua sendiri ya? Kamu, Daniel, Jihoon, dan Luna kan seumuran.”
“Aku yang paling muda. Tapi, sudah kebiasaan di luar sekolah aku memanggil langsung nama Luna.”
“Di negara asal kalian biasa ya seperti itu?”
“Nggak juga. Dulu Luna nggak mau aku panggil dengan embel-embel kakak. Amber juga nggak mau.”
“Hah... aku benar-benar merasa tua.”
“Noona nggak tua kok. Kita beda dua tahun aja, kan?”
Hami melirik Guanlin lalu tersenyum. “Jangan membuatku besar hati. Kalau aku jatuh hati ke kamu bagaimana?”
“Ya nggak papa. Aku suka Noona.”
“Eh? Serius?” Pipi Hami tiba-tiba memerah.
“Mm.” Guanlin menganggukkan kepala. “Aku suka cewek yang cute, lebih tua dariku, dan punya rambut panjang lurus. Noona punya semua ciri itu. Noona juga perhatian padaku. Jika Noona jatuh hati padaku, aku dengan senang hati akan menerimanya.”
Rasa panas itu berpusat di wajah Hami. Ia membilas peralatan makan sambil tersenyum tersipu. Sedang wajahnya sudah berubah merah bak tomat.
“Aku tidak cute tahu!” Hami menyelesaikan cucian terakhirnya dan memberikan pada Guanlin.
“Kenapa wajah Noona jadi merah gitu?” Guanlin melongo menatap perubahan warna wajah Hami. “Jadi, Noona beneran suka aku?”
“Edward, apa-apaan ini?” Terdengar teriakan Luna.
“Kenapa?” Guanlin menjawab dari dapur. “Sebentar lagi kami selesai.”
Hami mengeringkan tangannya dengan lap yang tergantung di dekat tempat cuci piring. Lalu, buru-buru meninggalkan Guanlin. Sejenak Guanlin termangu. Ia lalu tersenyum dan meletakkan peralatan makan ke rak dan mengeringkan tangannya dengan lap. Ia pun menyusul Hami.

“Ada apa sih teriak-teriak?” Hami sudah sampai di ruang tamu.
Luna mengangkat DVD di tangannya. Guanlin sampai dan berdiri di samping kanan Hami.
“Film horor?” Hami menuding DVD di tangan Luna.
“Kenapa?” Guanlin menatap Hami lalu Luna.
“Kenapa film horor?” Luna menggoyang DVD di tangannya.
“Bukannya kamu suka? Liat aja bacaanmu!” Guanlin menggerakkan kepala, menunjuk buku yang sebelumnya dimainkan Daniel.
“Baca tuh beda sama nonton! Karena harus denger dialognya, aku kan nggak bisa tutup telinga!” Luna sewot.
“Yah. Trus gimana dong?” Guanlin merasa bersalah.
“Kita tonton aja. Guanlin udah susah-susah nyari DVD film tanpa terjemahan lho.” Daniel menyela.
“Emang kamu nggak takut hantu?!” Luna menoleh ke arah kiri dan menatap tajam Daniel.
“Ak-aku...” Daniel melirik sekelilingnya. “Nggak! Nggak takut! Itu kan cuman film.” Ia pun meringis.
“Oke. Kalau gitu kita nonton.” Luna beranjak untuk mulai memutar DVD yang dibawa Guanlin.
Daniel tercenung di tempatnya berdiri. “Lalu, apa maksudnya teriak-teriak tadi?” Ia kebingungan.
Jihoon menyeringai melihat reaksi Daniel. Ia pun membantu Luna mempersiapkan film.
“Aku takut hantu.” Hami bergumam.
“Tenang. Ada aku.” Guanlin tiba-tiba merangkul Hami.
“Jangan mencuri kesempatan!” Hami berjalan menuju sofa. Membuat tangan Guanlin jatuh dari pundaknnya.
Guanlin tersenyum menatap Hami yang berjalan menjauhinya.

Guanlin, Hami, Daniel, Luna, dan Jihoon duduk berjajar di atas karpet. Mereka menonton bersama film horor barat yang dibawa Guanlin. Hami beberapa kali menjerit karena kaget bercampur takut. Dengan sabar Guanlin merangkul dan menenangkannya.
Daniel berulang kali menunjukkan ekspresi cute saat ia terkejut. Luna yang duduk di samping kanannya menutup mata saat terkejut. Hanya Jihoon yang menonton dengan tenang. Sesekali ia tersenyum karena melihat reaksi teman-temannya.
Hami tak hentinya mengomel usai menonton film bersama. Ia terus mengeluhkan tentang rasa takutnya saat nonton hingga usai nonton film barat itu.
“Sekarang udah malam. Gimana aku pulang?” Hami menutup acara mengomel yang ia gelar sejak film usai. Ia sudah berada di teras rooftop bersama Luna, Guanlin, Daniel, dan Jihoon.
“Baru juga jam delapan.” Luna dengan santainya. “Apa perlu aku antar?”
“Kan ada aku. Tenang aja, aku antar Hami Noona sampai rumah. Aku jamin Noona akan selamat sampai di rumah.” Guanlin bersedia mengantar Hami.
“Tuh, Edward mau nganterin. Kalau takut bobok sendirian, sekalian aja suruh Edward nginep.”
“Luna!” Hami menatap sebal pada Luna yang segera tergelak.
“Sudah ya. Kami pulang dulu.” Guanlin pamit.
“Sampai ketemu besok, Hami. Sampaikan salamku—”
“Udah! Stop!” Hami yang sudah berjalan dengan Guanlin berbalik dan menuding Luna. Ia tahu jika Luna akan mengganggunya dengan berkirim salam pada hantu.
Luna tersenyum dan melambaikan tangan. “Edward, jaga Hami baik-baik kalau terjadi sesuatu padanya, aku akan membunuhmu!”
Guanlin melambaikan tangan tanpa membalikkan badan.
“Aku juga mau pulang.” Daniel turut berpamitan setelah Guanlin dan Hami hilang menuruni tangga.
“Aku minta maaf tentang kejadian di ruang fotocopy.” Jihoon mengulangi permintaan maafnya pada Daniel di depan Luna.
Daniel terkejut dibuatnya. Ia melirik Luna yang tetap bersikap datar. “Oh, itu. Iya, nggak papa. Aku juga minta karena nggak sengaja denger obrolan kalian.”
“Tolong rahasiakan tentang kebenaran hubungan kami.”
Daniel menyeringai samar. Ia paham jika Jihoon sedang berusaha menarik simpati Luna.
“Nggak perlu kamu minta, Daniel pasti nggak akan buka mulut. Nggak penting juga buat dia ngebongkar rahasia kita.” Luna menyahut.
Jihoon menoleh. Menatap Luna yang berdiri di samping kirinya. Lalu, ia menyunggingkan sebuah senyuman. “Jangan tertipu dengan tampang polosnya.”
“Aku tahu. Seperti penilainku padamu. Walau orang bilang kau ini monster berwajah imut, aku nggak terpengaruh.”
Daniel menunduk dan tersenyum mendengar Luna memakai julukannya untuk Jihoon, monster berwajah imut.
“Baiklah. Aku pulang. Selesaikan hal yang harus kalian selesaikan berdua.” Daniel menatap Luna dan tersenyum, lalu ia meninggalkan rooftop Luna.

Jihoon menatap punggung Daniel hingga pemuda itu menghilang menuruni tangga. Saat kembali menoleh ke arah kiri, ia menemukan Luna sedang menatapnya dengan kedua tangan bersedekap. Jihoon mengerjapkan kedua matanya, lalu mengamati sekitarnya.
“Katakan saja.” Luna tanpa mengalihkan fokusnya dari Jihoon.
“Nee?” Jihoon bingung.
Luna berdecak. “Jangan berakting lagi! Kamu, ada apa ke sini?”
Jihoon tersenyum dan maju untuk lebih dekat pada Luna. “Maaf. Karena aku terlalu kekanak-kanakan dan cemburu pada Taemin Seonbae.” Ia bertutur dengan lembut dan menatap teduh Luna.
Luna terkejut melihat sikap lembut Jihoon. Tapi, sepertinya Jihoon tak menyadari ekspresi samar itu. “Aku juga minta maaf. Karena seenaknya aja bicara tentang hubungan kita di sekolah. Sampai Daniel mengetahuinya. Kamu nggak perlu khawatir soal dia.”
Jihoon menganggukkan kepala. “Tapi, maaf.”
“Mm? Untuk apa lagi?”
“Aku nggak bisa kalau nggak harus libatin perasaanku dalam hubungan kita.”
“Park Jihoon?” Luna menurunkan kedua tangannya yang bersedekap.
Jihoon mengulas sebuah senyuman. Kedua tangannya bergerak dan memegang kedua lengan Luna. “Karena, aku telah melibatkan perasaanku jauh sebelum Seonbae menawarkan kerjasama itu.”
“Mwo?? Bagaimana bisa??”
“Buktinya bisa.”
“Kamu... suka seseorang jauh sebelum kamu ketemu orang itu?”
“Nggak juga.”
“Lalu?”
Jihoon mendesah. Lalu, menuntun Luna untuk duduk di bangku di teras rooftop. Mereka duduk berhadapan. “Akan aku katakan semuanya, sekarang. Seonbae harus dengar baik-baik. Karena tujuanku menemui Seonbae tidak hanya untuk meminta maaf. Tapi, juga mengatakan semua.”
“Baiklah! Katakan!” Luna masih dengan ekspresi datar itu.
Jihoon tersenyum melihat semburat pink di wajah Luna. Walau gadis itu bersikap sok angkuh, wajahnya tidak bisa berbohong. “Musim semi di Simni Cherry Blossom Road  Hadong-gun, Gyeongsangnam-do.” Jihoon kembali bicara.
Mendengar kalimat itu, ekspresi wajah Luna berubah. Ia tak menduga jika Jihoon menyebutkan tempat wisata untuk melihat bunga sakura yang ia kunjungi saat liburan musim semi sebelum tahun ajaran baru dimulai.
“Aku pertama kali melihat Seonbae di sana.” Jihoon balas menatap Luna yang diam menatapnya. “Gadis yang sedang berusaha menangkap kelopak-kelopak bunga sakura yang terbawa angin. Dengan senyum dan wajah penuh kekaguman itu. Entah kenapa, aku seperti terbius ketika menatapnya. Hingga aku nggak bisa mengalihkan tatapanku dari pemandangan itu.
“Aku bertanya, kenapa dia? Padahal banyak gadis muda lainnya di sana. Dia sama sekali tak seperti tokoh anime yang bisa membius siapa saja yang melihatnya. Sebelumnya aku juga nggak pernah tertarik sama orang asing. Tapi, kenapa dengan gadis asing itu?” Jihoon tersipu hanya karena mengenang pertemuan pertamanya dengan Luna.
“Aku berpikir, apa karena aku sedang berada di Simni Cherry Blossom Road? Jalan yang sering disebut sebagai jalan pernikahan, karena konon bahwa setiap pasangan yang berjalan sepanjang jalan itu pada musim semi, saat bunga sakura bermekaran, akan saling jatuh cinta satu sama lain. Tapi, aku dan gadis itu bukan pasangan.
“Ketika gadis itu melanjutkan perjalanannya, aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak mengikutinya. Aku terus berjalan di belakangnya, mengikuti langkahnya. Hingga taksi itu membawanya pergi dariku. Aku pikir perasaan itu akan sirna setelah kami berpisah. Tapi, aku terus memikirkannya. Aku terus meyakinkan diriku jika itu hanya rasa penasaran. Tapi, otakku tak henti memikirkan gadis itu.
“Tahun ajaran baru dimulai. Aku memulai masa SMA ku di SMA Hak Kun. Dari semua klub, aku tertarik pada Klub Teater. Sebelumnya aku tak berpikir apa-apa tentang Klub Teater, tapi di hari seleksi penerimaan anggota baru, saat aku melihatnya, aku baru sadar. Jika aku tertarik Klub Teater, karena ada dia di sana. Ya, gadis itu. Gadis yang aku temui di Simni Cherry Blossom Road. Keyakinanku menguat. Ini adalah jalan yang ditulis Tuhan untuk kami.”
Luna tiba-tiba merasa merinding mendengar Jihoon menyebut nama Tuhan.
“Tapi, dia sangat cuek dan angkuh. Hampir semua gadis dibuat tersipu ketika bertemu dan harus berinteraksi denganku. Tidak dengannya. Aku tidak kecewa. Justeru semakin penasaran dibuatnya. Apa dia sama sekali nggak tertarik padaku?”
Luna tersenyum mendengarnya. Tapi, memilih tak berkomentar agar Jihoon menyelesaikan ceritanya.
“Sampai hari itu, saat kami nggak sengaja di pertemukan di basecamp Klub Teater karena sama-sama menghindari... kejaran fans? Ya, dia menyebutnya seperti itu.” Jihoon kembali tersenyum mengenangnya.
“Lalu, seperti air mengalir. Kami saling bercerita tentang masalah bersama fans. Ide gila itu muncul di otaknya, dan tanpa ragu dia mengutarakannya padaku. Aku terkejut mendengar ide itu. Dia menawarkan kerjasama yang besar kemungkinan akan menguntungkan kami berdua. Hatiku pun tak ingin menolaknya. Dari sanalah kisah kita dimulai.” Jihoon tersenyum dan menatap teduh Luna.
Melihat bagaimana Jihoon menatapnya, detub jantung Luna meningkat. Ia tak menyukainya. Tapi, itu di luar kuasanya. Ia berusaha meredam detub jantungnya yang semakin meningkat itu.
“Aku menerima tawaran kerjasama Seonbae bukan murni karena aku ingin mendapatkan keuntungan seperti yang kita harapkan. Tapi, juga karena perasaan sukaku pada Seonbae. Aku percaya itu jalan yang Tuhan berikan untukku agar bisa dekat dengan gadis yang aku temui di musim semi. Karenanya, aku menerima tawaran Seonbae untuk berpura-pura menjadi sepasang kekasih. Jadi, maaf. Aku nggak bisa hanya menggunakan logikaku saja. Perasaanku udah terlibat jauh sebelum Seonbae memberikan tawaran kerjasama itu.”
Luna dibuat speechless. Ia hanya bisa memandangi Jihoon tanpa bisa berkomentar. Senyum manis dan tulus itu terkembang di wajah tampan Jihoon.
“Aku sudah selesai. Sekarang aku merasa lebih ringan. Maaf jika tindakanku keterlaluan, tapi itu bukan akting. Sekarang istirahatlah. Aku pamit.” Jihoon bangkit dari duduknya dan mulai berjalan.
“Jihoon aku…”
“Istirahat aja. Aku mempercayai apa yang Seonbae tulis. Cinta bisa tumbuh karena terbiasa. Sebenarnya cinta itu bisa tumbuh di hati siapa saja. Atau, kita bisa menanam benihnya di hati siapa saja. Asal kita sabar dan telaten menyiraminya dengan kebiasaan-kebiasaan yang manis. Aku berharap benih cinta yang sudah aku tanam di hati Seonbae bisa tumbuh dengan baik. Selamat malam.” Jihoon berjalan cepat dan menuruni tangga. Hilang dari jarak pandang Luna yang masih berdiri tertegun di tempatnya.
***

Luna duduk termangu di kamarnya. Sejak berhasil menyelesaikan masalah Bae Jinyoung, ia merasa dirinya ditimbun oleh beban berat. Beban yang muncul dari ungkapan perasaan Daniel dan Jihoon.
Saat menawarkan kerjasama pada Jihoon, hanya keuntungan bagi dua belah pihak yang ada dalam pikiran Luna. Keuntungan baginya juga Jihoon. Jika mereka pura-pura menjadi sepasang kekasih, Luna bisa lepas dari murid-murid lelaki yang sering membuatnya terganggu. Ia telah mengumpulkan informasi tentang Jihoon. Dibalik prestasinya yang gemilang, wajahnya yang tampan dan cute, pemuda itu menyimpan kisah kelam yang membuat banyak orang merasa kagum sekaligus takut. Luna memanfaatkan image Jihoon untuk bisa membuatnya aman.
Dirinya pun punya reputasi yang bisa membuat para gadis merasa sungkan untuk bersaing dengannya. Karena alasan itu, Luna menawarkan kerjasama yang langsung disetujui Jihoon. Kerjasama itu bekerja efektif. Sejak rumor Luna dan Jihoon pacaran tersebar, keduanya bisa bergerak sedikit saja lebih bebas. Dunia mereka yang terbatas tak memberikan keduanya kebebasan mutlak seperti yang mereka inginkan. Karena tak semua mendukung hubungan mereka.
Sedang Daniel adalah orang yang sama sekali tidak pernah ada dalam perhitungannya. Bukan! Pemuda itu tidak muncul secara tiba-tiba dalam hidupnya. Ia hanya tak menduga jika pemuda itu akan masuk lebih jauh dalam kehidupannya. Bahkan ia sempat melupakan pemuda itu.
Luna menghela napas. Ia bingung pada apa yang ia rasakan. Saat Jihoon tiba-tiba menciumnya, ia merasakan reaksi aneh pada dirinya. Ketika Daniel mengungkapkan perasaannya, ia pun merasakan sensasi aneh dalam dirinya. Saat Jihoon membeberkan perasaannya, ia pun kembali merasakan reaksi aneh itu. Semua itu belum pernah terjadi sebelumnya padanya. Bahkan, ketika ia dekat dengan Minhyun saat ia SMP.
“Sebenarnya, apa yang terjadi padaku?” Luna berbicara pada dirinya sendiri. Tepat setelah ia melontarkan pertanyaan itu, ponselnya bergetar. Ia pun memeriksa ponselnya. “Mas Aro?” Ia segera menerima panggilan video dari kakak sulungnya itu.
“Belum tidur?” Aro mendekatkan wajah ke layar saat panggilan tersambung. “Muka kamu kucel banget, Dek. Kamu baik-baik aja?”
Luna tersenyum manis. “Baik aja. Cuman capek aja. Jadi agen rahasia dari bulan ternyata bikin capek.”
Aro tersenyum. “Udah beres masalahnya?”
“Udah, Mas. Makasih ya udah mau bantu.”
“Aku nggak ngapa-ngapain kok.”
“Soal informasi ritual manggil arwah itu. Untung masalah udah beres tanpa harus bener-bener manggil arwah korban pemerkosaan yang ditolong Bae Jinyoung.”
“Syukurlah kalau udah beres. Masih mau lanjut jadi agen rahasia dari bulan? Kali ini misi apa?”
“Mak comblang.”
“Wah, bagus dong! Udah berhasil?”
“Doain aja. Btw, cuman mau ngajak ngobrol gini aja?”
Aro tersenyum. “Ada ritual yang harus kamu lakuin.”
“Ha?? Ritual?? Ritual apaan?? Emang aku kenapa, Mas? Kena santet?”
“Ngawur! Cuman buat nyembuhin kamu aja.”
“Aku nggak sakit lho, Mas!”
“Yakin?”
Luna terdiam sejenak lalu nyengir. “Hehehe. Pikiranku yang sakit.”
“Nah, udah tahu gitu. Ini buat ningkatin energi positif kamu aja. Karena hidup sendiri di sana pasti nggak mudah buat kamu. Kamu kudu kuat.”
“Trus, aku kudu ngapain?”

Aro mengakhiri panggilan videonya. Luna menghela napas panjang. “Aku harus gimana? Emang bisa di Korea lakuin semua itu? Ah! Mbuh lah!”
Luna menjatuhkan punggungnya ke atas kasur, menarik selimut dan berusaha untuk tidur.
***

Daniel menunggu Luna di ujung tangga terbawah. Semalam ia meninggalkan gadis itu berdua saja dengan Jihoon. Sialnya, ia merasa penasaran dengan apa yang terjadi setelah ia pergi. Berulang kali ia berkata dalam hati, Harusnya semalam aku tetap tinggal. Tapi, ia tahu itu bukan sikap yang baik. Ia yakin, Luna pasti tidak akan menyukainya.
Daniel menyambut Luna dengan sebuah senyuman. “Kenapa lesu gitu?” Ia menarik senyum di wajahnya dan berubah khawatir. “Semalam, Park Jihoon dan Seonbae, berantem lagi?”
“Nggak kok.” Luna sampai di tangga terbawah. Ia pun berjalan beriringan dengan Daniel.
Daniel masih penasaran, kenapa ekspresi Luna lesu pagi ini. “Seonbae ingin mengatakan sesuatu padaku?”
“Anee. Aku hanya berpikir, mungkin ini rahasia di balik ajakan Sungwoon ke kebun kakeknya.”
“Nee?” Daniel menoleh ke arah kiri. Menatap Luna dengan ekspresi tak paham.
“Semalam oppa tertuaku menelpon. Ada hal yang harus aku lakukan. Aku berpikir keras, apa bisa aku melakukam itu di Korea?”
Daniel memiringkan kepala. “Melakukan apa? Kalau Seonbae berputar-putar begini, aku mana paham. Kalau bisa, aku ingin membantu.”
“Nggak ah. Aku malu.”
“Trus, kalau ke Ha Sungwoon Seonbae nggak malu?”
“Mwo?” Luna menoleh ke arah kanan. Ia bertemu pandang dengan Daniel.
Daniel tersenyum dan menggendikkan bahu.
“Anu, itu. Apa bisa menemukan tujuh jenis jeruk di Korea?”
“Nee?”
“Setahuku beberapa jenis buah kan sulit didapatkan di Korea.”
“Buat apa nyari tujuh jenis jeruk?”
“Buat mandi.”
“Mwo? Seonbae nggak sedang bercanda kan?”
“Nggak lah. Aku serius! Semalaman mikirin itu.”
“Kita terbang ke Jeju aja. Di sana ada Museum Jeruk.”
“Ha?? Masa?? Mahal kan kalau harus terbang ke sana.”
“Begitulah.”
Daniel dan Luna berjalan dalam keheningan selama beberapa detik.
“Memangnya Ha Sungwoon Seonbae bisa bantu?” Daniel kembali memulai obrolan.
“Nggak tahu. Hari Minggu nanti dia ngajak squad Moon Kingdom main ke kebun kakeknya di Ilsan.”
“Kalau di sana kebun biasanya ditanami sayuran. Seperti cabe misalnya.”
“Yah, berarti nggak ada harapan dong?” Luna berhenti di halte. Daniel berdiri di samping kanannya. Ketika bus datang, keduanya segera naik ke dalam bus.
“Buru-buru ya?” Daniel duduk di samping kiri Luna.
“Kalau bisa secepatnya. Tapi, Sabtu nanti aku nggak bisa pergi. Hari Minggu juga. Ah! Ribetnya!”
Daniel diam dan berpikir. “Nanti aku bantu.”
“Nee?” Luna menoleh ke arah kanan, terkejut dan menatap Daniel dengan.
“Kalau Seonbae mau cerita ke yang lain, nyari tujuh jenis jeruk buat mandi sih nggak papa. Siap-siap aja di berondong banyak pertanyaan.”
“Iya juga sih.” Luna menghela napas dan menatap keluar jendela.
“Nanti aku tanya ommaku. Ommaku pasti bisa bantu.”
Luna kembali menatap Daniel. Wajahnya berseri, mata bulatnya berkilat-kilat penuh semangat. “Yakin?”
“Mm.” Daniel mengangguk mantab. “Ommaku bukan tipikal orang yang ingin tahu banyak tentang orang kok. Aku jamin Seonbae nggak akan ditanya sampai mendetail.”
Luna tersenyum lebar. “Baiklah.” Ia pun setuju Daniel membantunya. “Terima kasih.”
“Terima kasihnya nanti saja. Kalau misi sudah selesai.”
Daniel dan Luna sama-sama tersenyum.
***

Sedikit terburu-buru, Luna keluar dari rooftop-nya. Selesai mengunci pintu, ia berjalan cepat menuruni tangga. Ia yang berjalan terburu-buru mendadak menghentikan langkahnya ketika melihat seorang pemuda yang berjalan mendekat padanya.
“Ha Sungwoon?” Mata bulat Luna melotot ketika melihat Sungwoon berjalan ke arahnya. Pemuda itu berlari kecil mendekatinya. Wajahnya berseri-seri dihiasi senyuman.
“Hai, Luna!” Sungwoon berhenti dekat di depan Luna.
“Kamu, ngapain ke sini?” Luna bingung melihat Sungwoon tiba-tiba muncul di komplek tempat tinggalnya.
“Nemuin kamu lah. Emang ada temenku yang lain yang tinggal di sini?”
“Tahu tempat tinggalku dari siapa?”
“Woojin pernah ke sini kan? Tadi kami mau ke sini berdua. Tapi, Woojin tiba-tiba nggak bisa. Katanya Bae Jinyoung ngajak dia keluar.”
“Jinyoung??” Luna merasa tak percaya dengan apa yang ia dengar. Tapi, kemudian dia tersenyum. “Syukurlah.”
“Sama Jaehwan dan Minhyun juga katanya.”
Luna masih tersenyum manis. “Akhirnya. Aku seneng dengernya.”
“Berkat kamu.”
“Nggak lah. Kemauan Bae Jinyoung sendiri.”
“Tetep aja perantaranya kamu.”
Luna diam, hanya menatap Sungwoon.
“Mau ke mana? Klub Anak Rantau ada acara malam ini?”
“Anee… itu…” Sebuah mobil sedan hitam mendekat. Membuat Luna tak melanjutkan ucapannya.
Mobil itu berhenti dekat di samping Luna dan Sungwoon. Jihoon keluar dari dalam mobil. Senyum berseri di wajah Sungwoon sirna ketika melihat Jihoon menghampiri Luna.
“Kalian mau kencan ya?” Sungwoon menatap Jihoon lalu Luna.
Jihoon tersenyum kecil pada Sungwoon. “Rencana kacau.” Ia sudah menghadap pada Luna.
“Kacau??”
“Anggota kelompok yang lain nggak bisa dateng.”
“Wah! Kok gitu? Kita kekurangan orang dong? Temen-temenmu kenapa gagalin janji di hari H gini sih!” Luna menggigit bibir bawahnya.
“Mianhae, Seonbae. Aku udah berusaha bujuk salah satu dari mereka. Tapi, tiga-tiganya nggak bisa pergi.”
Luna dan Jihoon kompak mengalihkan pandangan. Menatap Sungwoon yang ada bersama mereka.

Jihoon yang duduk di kursi belakang cemberut. Ia menoleh ke arah kiri, menatap Sungwoon yang duduk dengan wajah masih dihiasi senyum. Ia mengalihkan pandangan ke kursi depan. Memandang bagian belakang tubuh Luna yang duduk di samping kanan sopir pribadinya.
Harusnya Luna yang duduk di sampingnya di kursi belakang. Tapi, gadis itu menolaknya dengan dalih ia sedang tak enak badan dan bisa mabuk darat kalau duduk di kursi belakang. Gadis itu memilih duduk di kursi depan, menemani sopir pribadinya. Jihoon menghela napas karena kesal, lalu menatap keluar jendela mobil.
***

Jihoon, Luna, dan Sungwoon menyusuri jalanan Hongdae yang ramai di Sabtu malam. Jika Jihoon dan Luna fokus ke depan sambil terus berjalan. Sungwoon sesekali mengamati sekitar dengan senyum takjub.
“Ini pertama kalinya kamu ke sini ya Sungwoon?” Luna memecah kebisuan.
“Nggak sih.” Sungwoon masih dengan wajah yang dihiasi senyum.
“Ekspresi kamu gitu banget. Aku yang orang asing biasa aja.” Luna mengolok.
“Aku seneng karena bisa jalan-jalan di sini sama kamu. Walau nggak berdua sih.”
Jihoon menyunggingkan sebuah senyum, mencibir ketika mendengar pernyataan Sungwoon. “Seonbae ada di sini kan karena kebetulan.”
“Dan, keberuntungan.” Sungwoon menambahkan. “Itu nggak bisa dilawan.”
“Aku harap Seonbae benar-benar bisa membantu misi kali ini.”
“Misi kali ini apa sih?” Sungwoon menatap Luna dengan ekspresi sangat ingin tahu.
“Mak comblang.” Luna menggunakan bahasa Indonesia.
“Apa itu?”
“Misi menyatukan dua hati.” Jihoon menyahut. “Itu dia.” Ia berlari kecil mendekati seorang gadis yang berdiri di dekat pintu masuk sebuah gedung karaoke.
“Lho! Gadis yang waktu itu ya?” Sungwoon menuding gadis yang sedang disapa Jihoon. “Menyatukan dua hati? Hati siapa dan siapa?” Ia memiringkan kepala. Masih berjalan di samping kiri Luna. “Nggak mungkin hatiku dan hatimu kan Luna?” Sungwoon kemudian tergelak karena leluconnya sendiri.
Luna hanya menggelengkan kepala. Tersenyum pun tidak.
“Nggak lucu ya? Mian. Jangan marah. Aku cuman bercanda.”
“Hai, Joohee!” Luna menyapa Joohee bersama Sungwoon yang berdiri di samping kirinya.
“Terima kasih, Seonbae.” Joohee membungkuk di depan Luna. “Karena, Seonbae mau datang untuk menemaniku.”
“Dan, sayangnya tiga teman kalian nggak datang.”
“Iya. Maaf ya Seonbae.”
“Nggak papa. Begini lebih enak. Aku nggak kenal juga sama tiga teman kalian yang nggak jadi dateng itu. Oya, ini teman satu kelompokku. Ha Sungwoon.” Luna teringat jika ada Sungwoon bersamanya dan segera memperkenalkannya pada Joohee. “Dia ketua di kelasku. Ketua Klub Vokal juga.”
“Wah. Senang bertemu dengan Seonbae.” Joohee tersenyum manis dan membungkukkan badan memberi salam pada Sungwoon.
“Hai! Senang bertemu denganmu.” Sungwoon balas menyapa Joohee.
“Aku masuk untuk sewa tempat dulu ya.” Jihoon pamit lalu masuk ke dalam gedung karaoke.
“Jihoon, bawa Joohee dan Sungwoon juga.” Luna menahan langkah Jihoon.
Joohee menatap Luna dengan ekspresi heran. Tapi, ia hanya diam. Tak berani bertanya.
“Emang kenapa kami harus masuk duluan? Ada yang belum datang ya?” Sungwoon bertanya tanpa sungkan.
Joohee tersenyum samar. Seniornya itu sudah mewakilinya untuk bertanya.
“Iya. Joohee tahu kan kalau Daehwi mau gabung juga?” Luna menatap Joohee.
“Nee??” Joohee terkejut. Ia menatap Luna, lalu Jihoon.
“Itu…” Jihoon yang mendapat tatapan tiba-tiba dari Joohee kelincutan.
“Jihoon ngajak aku di depan Daehwi. Saat kami ngumpul bareng di basecamp Klub Teater. Tahu mau pergi rame-rame ke tempat karaoke, Daehwi merasa iri. Dia nggak ada acara Sabtu malam ini. Jadi, aku membujuk Jihoon agar mengizinkan Daehwi bergabung. Jihoon akhirnya setuju. Maaf ya.” Luna menyahut untuk memberi penjelasan.
“Nah, iya begitu.” Jihoon membenarkan penjelasan Luna. Tapi, gerak tubuh dan senyumnya terlihat canggung.
“Maaf ya Joohee. Nggak papa kan Daehwi gabung?” Luna mengulangi permintaan maafnya.
Joohee yang sebelumnya terkejut pun akhirnya tersenyum. "Iya, Seonbae. Tidak apa-apa.”
Jihoon dan Luna sama-sama tertegun melihat reaksi Joohee. Mereka pun sempat saling beradu pandang dengan ekspresi terkejut itu.
“Ya udah, ayo kita masuk dulu.” Jihoon mengajak Joohee untuk masuk dan menyewa tempat.
Joohee pamit dan mengikuti Jihoon masuk ke dalam gedung karaoke.
Sungwoon diam di tempatnya, menatap Luna yang sudah beralih ke samping kiri pintu masuk.
“Udah tunggu di dalam sana!” Luna mengusir Sungwoon.
Sungwoon tersenyum manis pada Luna, lalu menyusul Jihoon dan Joohee.
“Kenapa ekspresinya gitu banget sih. Dia jadi aneh kalau nggak bawel.” Luna menggerutu sendiri. Ia kemudian mengamati orang yang berlalu-lalang di depannya. Ia menunggu Daehwi yang belum muncul.

Lima menit kemudian Daehwi muncul menemui Luna.
“Aku sebenernya udah datang sebelum Joohee datang. Tapi, aku sembunyi dulu. Gimana?” Daehwi usai menyapa Luna.
“Berjalan lancar. Reaksinya mengejutkan.”
“Mengejutkan gimana?”
“Dia bilang nggak papa.” Luna tersenyum. “Sepertinya rencana kita berhasil.”
“Yang bener?”
“Selangkah lagi. Kamu bawa semua perlengkapannya?”
“Iya ini.” Daehwi menurunkan tas punggungnya, mengeluarkan sebuah gulungan kertas dan memberikannya pada Luna.
Luna menerima gulungan itu dan menyimpannya di dalam tas punggungnya. Kemudian ia menelpon Jihoon untuk bertanya mereka ada di ruang nomer berapa. Selesai dengan itu semua, ia pun menyusul masuk ke dalam gedung karaoke bersama Daehwi.

Saat Luna dan Daehwi masuk, Jihoon dan Joohee duduk manis di atas sofa. Sedang Sungwoon sedang menyanyikan sebuah lagu. Luna duduk di samping kanan Jihoon dan Daehwi duduk di samping kanannya. Daehwi tak lupa menyapa Joohee yang duduk di samping kiri Jihoon. Empat orang itu kemudian menonton Sungwoon yang sedang bernyanyi.
“Woa. Suaranya merdu juga.” Luna memuji kemampuan bernyanyi Sungwoon.
“Cocok ya jadi ketua Klub Vokal.” Daehwi merespon komentar Luna.
“He’em.” Luna setuju.
“Seonbae mau nyanyi lagu apa?”
“I Promise You Wanna One.” Jihoon menyela.
“Ye, itu lagu favoritmu. Kamu aja yang nyanyi!” Daehwi menunjukkan ekspresi tak suka.
“Wah, Jihoon suka lagu itu? Aku nonton video Luna Seonbae nyanyiin lagu itu dalam versi bahasa Indonesia. Seonbae keren!” Joohee yang mulai merasa tak canggung turut menyumbang komentar dalam obrolan.
“Keren apaan! Hancur iya.” Luna tersipu.
“Seonbae nyanyiin lagu itu karena tahu aku suka lagu itu.” Jihoon merasa bangga.
“Iya kah?” Joohee dengan wajah berbinar.
“Masa sih? Nggak percaya!” Daehwi meragukan pernyataan Jihoon.
“Lagu itu mewakili kisah kami.”
“Sok nyambung-nyambungin ah!” Daehwi masih tidak mempercayai ucapan Jihoon.
“Aku pertama kali bertemu Luna Seonbae pada musim semi tahun ini. Sebelum tahun ajaran baru dimulai. Di Simni Cherry Blossom Road. Saat itu Seonbae berusaha menangkap kelopak bunga sakura yang berterbangan di udara. Pemandangan yang sangat indah dan membuatku langsung jatuh hati.”
Daehwi ternganga. Melihat Luna tiba-tiba menundukkan kepala, ia yakin Jihoon menceritakan kejadian yang sebenarnya.
“Itu kenapa aku sangat menyukai lagu I Promise You dari Wanna One.”
“Wah, romantis sekali. Kalian seperti tokoh utama dalam novel romantis. Ternyata, hal yang seperti itu ada ya di dunia nyata.” Joohee menatap Jihoon dan Luna dengan takjub.
“Walau pertemuan kita nggak seromantis pertemuan Luna Seonbae dan Jihoon, kita juga bisa kok mengukir kisah romantis.” Daehwi tiba-tiba berujar. Mengomentari pernyataan Joohee. Ketika menyadari kalimatnya terlalu frontal, Daehwi menggigit bibir bawahnya. Ia merasa kikuk. Tak berani menoleh ke arah kiri.
Joohee tercenung mendengar ucapan Daehwi. Sedang Luna dan Jihoon sama-sama tersenyum. Kompak menertawakan ulah Daehwi yang spontan.
“Aku bernyanyi, kalian ribut sendiri.” Sungwoon membalikkan badan, menghadap keempat rekannya yang duduk di sofa. Ia kemudian mendesah. Desahannya terdengar keras karena mikrofon yang ia pegang. Ia cemberut menatap Luna yang duduk berdekatan dengan Jihoon.
Kenapa aku sebel liat Luna deketan sama Jihoon? Mereka kan emang pacaran. Wajar kalau duduknya deketan. Sungwoon bergumam dalam hati. Tatapannya masih terfokus pada Luna.
“Ayo, Seonbae!” Daehwi bangkit dari duduknya. “Kita nyanyi!” Ia hanya ingin mengalihkan rasa malunya pada Joohee.
“Sama Jihoon aja. Sana duet sana Daehwi.” Luna meminta Jihoon berdiri.
“Aku nggak bisa nyanyi. Suaraku jelek.” Jihoon menolak dengan wajah malu-malu.
“Jihoon pernah nyanyi di kelas. Suaranya bagus kok.” Joohee membantah pengakuan Jihoon.
“Kapan?” Jihoon berkedip pada Joohee.
“Waktu pelajaran kesenian.”
“Itu bukan aku.”
“Lalu siapa?”
“Sisi lain dari Park Jihoon.” Luna bangkit dari duduknya.
Jihoon tersenyum tersipu. Joohee turut tersenyum. Sungwoon cemberut.
Daehwi dan Luna sibuk memilih lagu. Sungwoon memilih duduk di samping kiri Joohee.

Alunan musik BLACKPINK - As If It's Your Last mulai terdengar. Luna pun mulai bernyanyi. Jihoon dan Joohee menatap Luna dan Daehwi dengan senyum terkembang di wajah mereka. Sungwoon bersorak memberi dukungan untuk Luna. Luna dan Daehwi bernyanyi secara bergantian.
Sungwoon ternganga ketika Luna mengikuti Daehwi menari di sela nyanyian mereka. Ia kembali bersorak ketika Daehwi menyanyikan bagian rap Lisa. Jihoon dan Joohee menonton sambil bertepuk tangan mengikuti alunan musik. Suasana begitu hidup di dalam bilik mereka. Sungwoon bangkit dari duduknya dan ikut menari. Membuat tawa Jihoon dan Joohee pecah karena menonton ulah konyolnya.
Selesai berduet dengan Luna, Daehwi kembali memilih-milih lagu. Ia membuka playlist lagu milik FT. Island.
“FT. Island?” Pekik Luna. “Aku suka! Aku suka!” Ia penuh semangat.
“Kenapa suka FT. Island?” Sungwoon penasaran.
“Karena mereka band!” Luna antusias.
Mereka yang ada di bilik itu—kecuali Daehwi yang masih sibuk memilih lagu—menatap Luna dengan ekspresi tak paham.
“Korea dunia hiburannya mayoritas boyband dan girlband. Jarang ada band, kan? Beda sama Indonesia. Di Indonesia boyband jarang sekali. FT. Island band Korea pertama yang aku kenal. Aku langsung suka sama mereka.”
“Ooo…” Sungwoon bergumam.
“Seonbae ingin bikin band gitu?” Jihoon ikut bersuara. “Kan bisa main gitar.”
“Nggak ah. Ntar jadi saingannya Mas Dinar. Lagian, aku kan amatiran.”
“Aku mau nyanyi lagu ini.” Daehwi menetapkan pilihan.
You Are My Life?”Gantian Joohee yang memekik.
“Kenapa Joohee?” Sungwoon yang berada di samping kirinya sampai kaget.
“Lagu kesukaanku.”
“Karena itu Daehwi menyanyikannya untukmu.” Luna dengan santai. Ia mengabaikan ekspresi terkejut Joohee.
Jihoon yang duduk dekat di samping kiri Luna menyikut pelan lengan Luna sambil tersipu.
Daehwi pun tersipu. “Ini untukmu Han Joohee. Semoga kamu suka.” Ujarnya sebelum bernyanyi.
Joohee merasakan panas di wajahnya. Ia langsung menundukkan kepala.
“Jangan menunduk. Nikmati penampilannya juga. Jangan hanya mendengar suaranya.” Sungwoon menggoda Joohee.
Daehwi pun mulai bernyanyi. Semua pun diam, menonton dan mendengarkan Daehwi bernyanyi. Senyum kagum terkembang di wajah Joohee yang dihiasi rona pink sepanjang gadis itu menyaksikan pertunjukkan solo Daehwi. Ia merasa tersanjung karena Daehwi menyanyikan lagu favoritnya.
***

Setelah satu jam berkaraoke, Luna dan teman-temannya makan malam bersama di Hongdae. Selesai dengan itu, mereka berjalan-jalan menyusuri jalanan Hongdae yang selalu ramai di akhir pekan. Mereka berhenti di depan salah satu stan musisi jalanan yang sedang melakukan konser di salah satu tepian jalan Hongdae.

“Hey, bagaimana kalau kita mencobanya?” Sungwoon menuding satu stan peramal.
“Seonbae mau meramal apa?” Daehwi yang pertama memberi respon.
“Apa aja. Kamu duluan Daehwi!” Sungwoon mendorong punggung Daehwi, maju mendekati stan peramal. Ia dan Daehwi duduk berdampingan di dua kursi yang disediakan berhadapan dengan kursi peramal.
Jihoon, Luna, dan Joohee menyusul. Mereka berdiri di belakang Sungwoon dan Daehwi yang duduk di kursi. Peramal di stan itu seorang wanita paruh baya. Penampilannya biasa saja. Dibalut kostum serba hitam dan riasan gothic. Wanita itu menyambut ramah kehadiran mereka.
“Jiwa-jiwa yang penuh semangat. Apa yang ingin kalian ketahui?” Peramal itu mulai memainkan kartu di tangannya
“Tolong ramal teman saya ini.” Sungwoon merangkul Daehwi yang duduk di samping kirinya. “Tolong ramal tentang kehidupan cintanya.”
“Seonbae!” Daehwi menegur tapi Sungwoon mengabaikannya. Seniornya itu tetap tersenyum lebar sembari fokus pada peramal.
“Anak muda. Kenapa selalu percintaan yang menarik perhatian kalian?”
“Masa depan biarlah menjadi rahasia. Hehehe.” Sungwoon meringis.
“Untuk apa diramal lagi? Gadis yang dia suka memiliki perasaan yang sama. Tinggal menunggu waktu untuk mengungkapkan rasa itu. Rasanya sebentar lagi.”
Daehwi ternganga mendengar ramalan yang dilontarkan secara santai oleh peramal yang duduk di seberang meja berhadapan dengannya. Jihoon pun terkejut. Ia menatap peramal, lalu beralih pada Joohee yang kepalanya tertunduk. Hanya Luna yang ekspresinya tak berubah. Sedang Sungwoon menatap takjub sang peramal.
“Saranku, kalau suka sama suka, jangan dipendam lagi. Ungkapkan dan nikmati waktu kalian bersama. Masa indah saat remaja tidak akan pernah kembali. Jadi, nikmati saja.” Peramal itu kembali bicara. Tatapannya kemudian beralih pada Luna. “Kamu bukan orang Korea?”
“Saya?” Luna menuding hidungnya sendiri.
“Mm.” Peramal itu mengangguk.
“Saya dari Indonesia.”
“Mau aku baca sesuatu tentangmu?”
“Oh, tidak. Terima kasih.” Luna langsung menolak.
“Ada langit yang menaungi, juga bintang terang yang menemani. Tapi, kenapa kamu selalu merasa sendirian?” Peramal itu menelengkan kepala.
Luna menarik senyumnya. Tak hanya Jihoon dan Joohee, Daehwi dan Sungwoon kini pun menatapnya.
“Anee! Kamu tidak seperti itu. Tapi, kamu orang yang lebih menyukai kesendirian. Berpetualang sendiri. Meneliti, berpikir, dan memilah semua yang ada di kepalamu. Sendiri. Cara berpikirmu ini sangat unik. Walau penyendiri, kamu bukan orang yang kaku atau kikuk saat harus berhadapan dengan orang banyak. Kamu juga sangat peduli pada orang lain.”
Luna merasa risih karena peramal itu menguliti kepribadiannya. Namun, ia sungkan untuk meminta wanita itu diam.
Jihoon tersenyum. Menatap Luna dengan kagum.
“Semua yang kamu lakukan itu, memang baik adanya. Tapi, ingat! Tidak semua orang bisa menerimanya. Berhati-hatilah, Anakku. Kamu gadis yang baik.” Peramal itu tersenyum manis pada Luna.

Mereka hanya diam setelah meninggalkan stan peramal. Hanya Daehwi dan Luna yang diramal. Luna dan Joohee berjalan berdampingan di depan Jihoon, Sungwoon, dan Daehwi.

“Joohee katanya mau bilang terima kasih pada Daehwi.” Luna memecah kebisuan.
“Eh, iya.” Joohee menghentikan langkah dan membalikkan badan. Menghadap pada Daehwi yang berada di belakangnya.
Luna ikut berhenti dan membalikkan badan. Jihoon, Sungwoon, dan Daehwi turut menghentikan langkah.
“Lee Daehwi, terima kasih atas bantuanmu. Kuisioner waktu itu. Aku sangat berterima kasih. Nilaiku tertolong karena kamu.” Joohee membungkukkan badan di depan Daehwi.
Saat Joohee membungkuk, Jihoon mengajak Sungwoon pindah ke dekat Luna. Jihoon berdiri di samping kanan Luna, dan Sungwoon di samping kiri Luna. Luna sibuk mengeluarkan gulungan dari dalam tasnya, memeriksa isi gulungan, lalu membagikannya pada Jihoon dan Sungwoon.
“Bukannya waktu itu udah bilang makasih ya? Maaf tidak memberikannya secara langsung padamu. Hingga kamu mengais-ngais isi tempat sampah. Ah! Kita jadi mengulang adegan ini.” Daehwi sambil curi-curi pandang pada apa yang dilakukan Jihoon, Luna, dan Sungwoon di belakang Joohee.
Joohee tersenyum. “Itu bukan salahmu. Pikiranku kacau. Saat itu yang ada hanya menemukan, lalu memperbaiki kertas itu dan memfotocopynya.”
Daehwi tersenyum tulus. Ia kembali menatap ketiga rekannya yang berdiri di belakang Joohee. “Han Joohee.”
“Nee?”
“Apa kamu suka waktu tadi aku nyanyi buat kamu?”
“Mm.” Joohee mengangguk. “Aku suka. Suaramu merdu. Kenapa kamu nggak gabung Klub Vokal aja?”
“Rasanya aku nggak ada harapan di sana. Hehehe.”
“Kan belum dicoba.”
“Lalu, tadi kamu juga udah dengar ramalan tentang percintaanku, kan?”
Joohee mendadak membeku. Menatap canggung Daehwi yang berdiri dekat di depannya.
“Gadis yang aku suka adalah kamu.” Daehwi dengan lancar mengucapkan kalimat itu. Membuat Joohee semakin canggung di hadapannya.
“Aku tidak tahu apa Han Joohee juga menyukaiku, tapi jika ramalan tadi benar adanya, Han Joohee pasti juga punya rasa yang sama seperti yang aku rasakan. Tolong lihat ke belakang sebentar.” Daehwi menuding ke belakang punggung Joohee.
Joohee pun menoleh. Ia menemukan Jihoon, Luna, dan Sungwoon berdiri berjajar di belakangnya. Jihoon membawa kertas bertuliskan huruf I berwarna pink, Luna membawa kertas bergambar hati berwarna merah, dan Sungwoon membawa kertas bertuliskan huruf U berwarna pink. Gambar hati berwarna merah yang dipegang Luna memiliki mata yang mengerling dan bibir yang tersenyum.
Orang-orang yang berlalu lalang di sekitar lima remaja SMA itu memberi perhatian. Beberapa sampai berhenti di sekitar mereka. Saling berbisik mengomentari momen menyatakan cinta yang dibuat Daehwi untuk Joohee.
Daehwi berjalan maju dan berdiri di samping kanan Joohee. “Aku tahu ini terlalu umum. Tapi tulisan itu, aku sendiri yang membuatnya. Aku menyukaimu Han Joohee. Mau kah kamu jadi pacarku?”
Pengunjung yang berhenti di sekitar Daehwi bersorak. Memberi dukungan pada Daehwi. Jihoon, Luna, dan Sungwoon kompak tersenyum menatap Daehwi dan Joohee. Joohee menutup separuh wajah dengan kedua tangannya.
“Maafkan aku Han Joohee. Tapi, aku tidak bisa menahannya lagi. Setelah beberapa waktu berpikir, aku memutuskan untuk mengungkapkan perasaanku padamu.” Daehwi kembali bicara. “Kamu nggak harus menjawabnya sekarang. Yang penting, kamu udah tahu tentang perasaanku.”
“Terima! Terima!” Sungwoon tiba-tiba bersuara untuk mendukung Daehwi.
Orang-orang yang berkerumun untuk menonton menirukan ucapan Sungwoon. Bersama-sama mereka mendesak Joohee untuk menerima Daehwi sebagai pacar.
Daehwi merasa sungkan pada Joohee. Ia meminta kerumunan massa itu untuk berhenti mengucapkan yel-yel 'terima' yang dicetuskan Sungwoon. Ia yang berdiri dekat dengan Joohee tiba-tiba mendengar Joohee bergumam.
“Han Joohee?” Daehwi mendekatkan wajahnya pada Joohee yang tertunduk.
“Aku mau, jadi pacar kamu.” Joohee perlahan mengangkat kepala. Wajahnya yang memerah tersenyum pada Daehwi.
“Han Joohee menerimaku!” Daehwi berseru riang.
“Yey!” Sungwoon senang mendengarnya.
Orang-orang yang berkerumun pun bersorak dan bertepuk tangan.
Luna tersenyum melihat Daehwi dan Joohee yang masih terlihat canggung satu sama lain. Ia terkejut ketika tangan itu tiba-tiba menggenggam tangan kanannya. Ia pun menoleh ke arah kanan. Tempat Jihoon berada. Pemuda itu tak mengalihkan pandangannya dari Daehwi dan Joohee. Tapi, tangan kirinya menggenggam erat tangan kanan Luna.
***


You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews