My 4D's Seonbae - Episode #16 "Saat Satu Misi Berhasil Terselesaikan, Maka Akan Muncul Misi-Misi Baru."

06:37


"Saat Satu Misi Berhasil Terselesaikan, Maka Akan Muncul Misi-Misi Baru."



Senior kelas XII itu masih mengamati Luna yang menatapnya dengan sebuah seringaian samar di wajah ayunya. Ia bergidik ngeri. “Dasar psikopat!” Umpatnya sebelum pergi.
“Mwo?” Mulut Hami membulat mendengar umpatan seniornya itu.
“Udah biarin aja!” Luna menahan Hami.
“Kalian di sini rupanya!” Jaehwan datang bersama Jinyoung, Minhyun, dan Rania.
“Eh? Minhyun?” Hami bergumam. Dia heran melihat Minhyun menghampiri Luna.
“Dia kan tim penyelidik juga.” Mina berbisik lirih.
“Oh iya! Mian, aku lupa. Hehehe.”
“Taemin Seonbae minta kita kumpul!” Jaehwan sudah sampai di depan Luna. Ia mengembangkan senyum seluas samudra di wajahnya.
Luna terfokus pada Rania yang ada di antara Jaehwan dan Minhyun.
“Ini karena kami berada di arah yang sama. Aku memaksa Rania pulang bersamaku.” Jaehwan paham arti tatapan Luna dan segera memberi klarifikasi.
“Kalau ke cewek peduli banget kamu ya. Tanpa diminta Luna, udah kasih perhatian. Giliran Bae Jinyoung, harus ada intruksi dari Luna dulu.” Hami mengolok Jaehwan.
“Bukan gitu, Hami. Tapi, kan…”
“Nggak papa. Itu wajar kok. Manusiawi.” Hami memotong penjelasan Jaehwan.
“Astaga!” Kedua mata sipit Jaehwan tiba-tiba melebar. “Jangan-jangan kamu cemburu ya?”
“Hoek! Amit-amit! Kamu bukan tipeku tahu!”
Semua menertawakan reaksi Hami.
“Udah yuk! Kita ke ruang OSIS. Taemin Seonbae udah nunggu di sana.”

Rombongan itu pun berjalan bersama menuju ruang OSIS. Luna berjalan di depan bersama Hami dan Mina. Rania dan Jaehwan berada di belakangnya. Minhyun dan Jinyoung ada di barisan paling belakang.
Kecepatan langkah Luna berkurang ketika rombongan bergerak mendekati perpustakaan. Untuk sampai di ruang OSIS, mereka harus melewati perpustakaan. Kecepatan langkah Hami dan Mina pun turut berkurang. Begitu juga barisan yang ada di belakang Luna.
Luna mengerutkan dahi, memperhatikan seorang siswi yang sedang sibuk mengais isi tempat sampah. Sedang Jihoon berdiri di dekat siswi itu. Siswi itu sesekali mengusap pipinya yang berair. Gadis itu menangis.

“Park Jihoon? Ngapain dia? Cewek itu nangis?” Hami dengan suara lirih ketika langkahnya sudah benar-benar terhenti mengikuti Luna.
“Wah! Apa yang dilakukan pacarmu, Luna?” Jaehwan yang mengamati dekat di belakang Luna ikut berkomentar.
“Pacar??” Rania terkejut hingga menoleh menatap Jaehwan.
“He’em. Murid kelas X itu, Park Jihoon. Dia pacarnya Luna. Dia salah satu model sekolah kita tahun ini.”
“Wah…” Rania menoleh dan tersenyum pada punggung Luna.
“Tapi, ngapain dia sama cewek? Ceweknya nangis pula?” Jaehwan memiringkan kepala.
“Jangan-jangan Jihoon yang bikin siswi itu menangis?” Mina dengan suara lirih.
“Kamu mau bikin heboh lagi?” Tegur Jaehwan. “Masalah Jinyoung dan Lucy baru kelar lho!”
Di barisan belakang, Jinyoung dan Minhyun diam dan menyimak.

Luna tetap bungkam, walau teman-temannya mengoceh. Sebenarnya detub jantungnya sudah meningkat sejak ia menemukan Jihoon di depan perpustakaan. Wajahnya pun tiba-tiba memanas karena teringat bagaimana Jihoon mencium pipinya kemarin. Ia benci reaksi itu dan sedang berusaha keras meredamnya. Andai ada jalan lain, ia pasti akan memilih jalan lain itu untuk sampai ke ruang OSIS. Sayangnya, koridor itulah satu-satunya jalan yang bisa membawanya ke ruang OSIS.

“Tapi, kalau mendengar tentang kisah masa lalu Jihoon yang mengerikan itu, bisa jadi kan? Gadis itu menangis karena ulah Jihoon.” Hami mendukung kecurigaan Mina. “Ada monster bersembunyi di balik wajah imutnya.”
“Masa iya itu ulah Jihoon? Apa yang dilakuin siswi itu sampai Jihoon membuatnya menangis?” Mina meragukan kecurigaannya sendiri.
Di belakang Luna, Rania diam dan menyimak. Sama seperti Jinyoung dan Minhyun. Tapi, di wajahnya tergambar jelas ekspresi penasaran. Rania terus mengamati punggung Luna dengan wajah dihiasi ekspresi penasaran itu.
Luna menghembuskan napas pelan, lalu kembali berjalan. Seperti di komando, rombongannya pun ikut berjalan.
Jihoon menyadari kehadiran orang lain di koridor. Ia mengangkat kepala dan melihat rombongan murid dari arah kanan. Melihat Luna berada di barisan depan, di tengah-tengah Hami dan Mina, ia pun tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum.
Luna bisa melihat senyum dan wajah bersemu merah itu. Semakin dekat semakin jelas wajah Jihoon terlihat. Dan, itu membuat detub jantungnya semakin meningkat. Bahkan, ia mulai merasakan sesak di dadanya.
“Seonbae.” Jihoon menghadang langkah Luna. Senyum dan wajah bersemu merah itu kini tersaji dekat di depan Luna.
“Kenapa dia cute sekali.” Hami memuji lirih.
“Kenapa siswi itu menangis?” Jaehwan maju dan berdiri di samping kanan Mina yang berdiri di samping kanan Luna.
“Oh. Dia Han Joohee. Teman sekelas, juga teman satu kelompok dengan saya. Saat saya datang, dia sudah mengais isi tempat sampah sambil menangis. Saya sudah bertanya, tapi dia hanya diam dan terus bertingkah seperti itu.” Jihoon berbicara dengan sopan di depan para seniornya.
“Sopan lagi.” Hami lagi-lagi memuji. Sedang yang lain langsung terfokus pada Joohee.
“Hoobae, kamu kenapa? Apa kamu kehilangan sesuatu?” Jaehwan dengan suara selembut mungkin.
Hami merasa terganggu dengan suara itu dan langsung menoleh ke arah kanan. “Kim Jaehwan mengerikan sekali!” Ia bergidik ngeri.
Pintu perpustakaan terbuka dan Daehwi muncul. Ia kaget melihat ada gerombolan murid di depan perpustakaan. Ia mengamati dengan cepat satu per satu murid yang sedang bergerombol di depan perpustakaan itu. Kedua mata sipitnya melebar ketika tatapannya terhenti pada Han Joohee yang sedang mengais tempat sampah.
“Han Joohee! Apa yang kamu lakukan?” Bukannya menyapa para senior, Daehwi langsung menegur Joohee. Membuat semua murid yang sedang berkerumun di koridor itu menatapnya.
Daehwi yang menjadi pusat perhatian tiba-tiba merasa kikuk. Tatapannya bertemu pandang dengan Luna. “An-anu itu tadi Han Joohee mencari kuisioner untuk pelajaran Sastra Korea. Dia mendapat nilai jelek dan harus mendapatkan kuisioner itu untuk memperbaiki nilai. Sayangnya yang tersisa hanya satu kertas kuisioner yang sudah robek jadi dua. Dua orang siswa memperebutkan kertas itu hingga sobek. Dan, sialnya saya sudah membuangnya ke tempat sampah.”
“Lim Songsaengnim ya? Pantas jika Han Joo Hee berusaha keras. Lim Songsaengnim kan killer.” Jaehwan akhirnya paham alasan Joohee menangis.
Daehwi menggigit bibir bawahnya. Ia masih beradu pandang dengan Luna yang menatapnya. Gadis itu tak menunjukkan emosi apa pun. Ekspresinya datar dan dingin.
Joohee menegakkan badan. Kedua tangannya memegang dua buah kertas.  Ia tersenyum di sela tangisnya. Ia mengembalikan tutup tempat sampah dan membalikan badan.
Joohee berjingkat kaget melihat ada beberapa murid telah berkerumun di sekitarnya. Bukan hanya teman seangkatannya, Daehwi dan Jihoon. Tapi, ada beberapa senior juga di sana. Pipi Joohee yang basah berubah warna menjadi merah padam. Ia malu.
“Tanganmu kotor!” Luna memegang tangan kanan Joohee ketika gadis itu hendak mengusap wajahnya yang basah.
Bukan hanya Joohee yang terkejut karena tindakan Luna. Tapi, Luna tetap cuek. Ia mengeluarkan tissu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Joohee.
“Cuci tanganmu dulu.” Luna kemudian melanjutkan langkahnya.
Anggota rombongan Luna pun mengikuti langkah Luna. Rania tersenyum pada Joohee. Namun, senyum itu ia tarik ketika ia melewati dan menatap Jihoon.
Jihoon yang berdiri berdampingan dengan Daehwi sempat beradu pandang dengan Minhyun yang berjalan di barisan belakang bersama Jinyoung. Jihoon menghela napas ketika rombongan Luna menjauh pergi. Sedang Daehwi masih menatap Joohee yang berdiri tertunduk menatap tissu pemberian Luna di tangannya.
***

Hari Senin yang melelahkan. Luna berjalan pelan menuju rooftop-nya. Langkahnya terhenti saat ia melihat Daniel berdiri di persimpangan gang. Ia tak yakin jika Daniel menunggunya. Tapi, pemuda itu langsung tersenyum ketika ia muncul. Menepis keyakinan itu, Luna kembali berjalan dan menyapa Daniel.
“Kok di sini?” Luna berhenti di depan Daniel.
“Sengaja menunggu Seonbae.” Daniel tersenyum manis.
“Menungguku? Bogi kan sudah nggak ada. Aku bisa jalan pulang dengan tenang sekarang.”
“Aku ingin bertanya sesuatu pada Seonbae.”
“Penting banget ya? Sampai nungguin kayak gini. Kan kamu bisa kirim pesan.”
“Lebih enak nanya langsung.”
Luna diam. Mencerna pengakuan Daniel. Ia menepis perasaan aneh yang mulai menyelimuti dirinya. Jangan-jangan dia mau nanya soal kencanku sama Jihoon kemarin? Jangan-jangan Daniel liat pas Jihoon nyium aku? Kayak di drama-drama itu? Aduh! Gimana ini?
Daniel mengerutkan kening. Memperhatikan wajah Luna yang tiba-tiba dihiasi semburat pink. “Seonbae?”
“Eh? Iya?” Suara Daniel membawa kesadaran Luna kembali. Kedua mata bulatnya melebar ketika ia menatap Daniel yang fokus menatapnya. Wajahnya terasa panas. Ia yakin Daniel memperhatikannya ketika ia diam dan menduga-duga tadi.
“Kenapa wajah Seonbae tiba-tiba memerah seperti itu?” Kalimat itu meluncur lancar dari mulut Daniel.
Sialan! Kenapa anak ini frontal sekali sih? Nggak bisa apa dia nggak nanya soal perubahan warna mukaku! Luna mengumpat dalam hati. “Aku malu kalau kamu tanya-tanya soal aku dan Jihoon kemarin. Kenapa sih? Jalan bareng sama temen cowok kan wajar? Apalagi status kami couple!”
Daniel melongo menatap Luna. “Aku cuman mau nanya soal video bukti itu. Bukan soal Seonbae dan Park Jihoon.”
Luna merasa malu bertumpuk-tumpuk. Ia tak tahu lagi apa warna wajahnya sekarang. Ia hanya bisa merasakan panas yang teramat sangat berpusat di wajahnya. “Memangnya kenapa dengan video itu?” Berusaha mengalihkan rasa malunya, Luna pun mulai berjalan.
Daniel menyusul langkah Luna. “Itu keren! Siapa yang merekamnya? Pasti bukan hanya aku yang penasaran. Kebetulan sekali ya tempat ngumpulnya di kafe tempatku kerja paruh waktu. Tapi, sayang aku nggak masuk dalam video. Hehehe.”
“Kamu lupa kalau aku agen rahasia dari bulan?”
“Kucing ajaib ya?”
“Begitulah.”
“Seonbae, aku serius.” Daniel merengek. “Karena sangat sibuk, aku nggak bisa fokus memperhatikan Seonbae. Aku penasaran siapa tim rahasia Seonbae. Aku menduga itu Guanlin, tapi Guanlin bilang kemarin dia di rumah aja. Menyelesaikan tugas dari pelajaran tambahan Bahasa Korea.”
“Yang penting kan isi dari video itu. Kenapa kamu malah penasaran sama siapa yang rekam video itu?”
“Yakin yang lain nggak penasaran soal itu juga?”
Luna teringat pada squad Moon Kingdom-nya. Jisung, Sungwoon, Seongwoo, dan Woojin juga menanyakan tentang hal itu saat di sekolah tadi.
“Kebetulan banget ya lokasi pertemuannya di kafe tempatku kerja.” Daniel kembali bicara sebelum Luna menjawab pertanyaannya.
“Sebenarnya aku hanpir putus asa lho!”
“Putus asa?” Daniel menoleh ke arah kiri, memperhatikan Luna yang berjalan di sampingnya. “Kok gitu?”
“Putus asa karena nggak kunjung nemuin Lucy. Aku dan Hami sampai ngejar Lucy ke rumahnya dan ke rumah sakit. Untung aja Hami dengan suka rela membantu. Hari Sabtu, ia pergi sendiri mencari Lucy. Akhirnya dia ketemu Lucy di rumah sakit tempat nenek Lucy dirawat. Lucy bukannya menghindari kasus itu. Tapi, ponselnya nggak aktif dan dia nggak masuk sekolah karena neneknya dirawat di rumah sakit. Lucy menemukan neneknya nggak sadarkan diri saat pulang sekolah. Dia langsung membawa neneknya ke rumah sakit dan meninggalkan ponselnya di dalam tas hingga baterainya habis.
“Tanpa susah-susah membujuknya, Lucy langsung setuju ketika Hami mengusulkan pertemuan. Lucy sendiri merasa terbebani karena insiden itu. Sabtu malam, aku langsung menemui Hami dan Lucy di rumah sakit. Dari sana, kami menghubungi Jaehwan untuk membawa Jinyoung. Lalu, Mina pun setuju. Karena sudah ada janji sama Jihoon, aku nggak bisa membatalkannya. Malam itu juga aku menelpon Jihoon dan merubah tempat janjian. Untungnya Jihoon setuju. Usai nonton, kami nggak sengaja nemuin kafe tempat kamu kerja. Melihat tempatnya mendukung, aku langsung merubah tempat janjian. Kami sepakat bertemu di kafe tempatmu bekerja.
“Syukurlah semua bisa diselesaikan di sana. Membuat dua orang introvert untuk bertemu dan saling bicara itu ternyata nggak gampang. Cukup lama suasana kikuk itu berlangsung. Untung ada Hami dan Jaehwan. Mereka jadi moderatornya.” Luna menghela napas dan tersenyum.
Daniel ikut tersenyum. “Syukurlah. Aku ikut senang. Apa Seonbae orangnya selalu begitu?”
“Mm?” Luna menoleh ke arah kanan dan menatap Daniel. Pemuda itu tersenyum padanya. Senyum polos dan tulus yang selalu membuatnya kagum. “Begitu gimana?”
“Peduli pada orang lain. Padahal itu kan merepotkan.”
Luna kembali menatap lurus ke depan dan terdiam. Merenungkan ucapan Daniel. Benar yang dikatakan pemuda itu, rasa penasaran itu sungguh merepotkan. Ia paham akan hal itu, tapi ia tak paham kenapa ia tak mau berhenti dan menjadi tak peduli.
“Malam itu saat kami harus menginap di sekolah. Hari terakhir MOS.” Daniel mengubah topik pembicaraan. Luna tak membantah. Ia tetap diam, menunggu Daniel melanjutkan kalimatnya.
“Di koridor itu lampu menyala dan sedang dipenuhi ngengat.” Daniel menunjukkan ekspresi jijik ketika mengucap kalimat itu. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Tapi, tiba-tiba muncul gadis berambut panjang terurai itu. Aku berjingkat kaget. Kupikir dia hantu. Tapi, ternyata bukan. Gadis itu menatapku yang berhenti tak jauh dari lampu. Kami saling diam selama beberapa saat. Sampai akhirnya dia bertanya kenapa aku berdiri saja di situ.” Daniel tersenyum kecil.
“Aku bingung. Harus menjawab jujur atau tidak. Jujur kalau aku takut melewati lampu yang sedang dikerubungi ngengat itu. Takut jika aku nekat lewat, ngengat itu akan menempel bahkan menyerangku. Ingin aku bohong, tapi entah mulut ini malah mengucap alasanku yang sebenarnya. Aku siap jika gadis itu akan menertawakanku seperti kebanyakan orang yang tahu aku takut serangga. Aku siap jika gadis itu akan mengolokku, badan aja gede tapi takut sama serangga, seperti kebanyakan orang.
“Tapi, gadis itu hanya diam. Lalu, ia melepas handuk yang melingkar di lehernya dan menyelimutkannya pada kepalaku. Ia mengatakan, karena lampu-lampu itu dinyalakan secara otomatis dari pusat, kami tidak akan bisa menemukan saklar untuk mematikannya. Ia juga menambahkan, mematikan lampu tidak akan membuat ngengat-ngengat itu pergi. Jalan satu-satunya adalah melewati lampu menyala dan ngengat-ngengat itu.
“Gadis itu mengulurkan tangan dan membantuku melewati lampu penuh ngengat itu. Handuk yang ia selimutkan di kepalaku, melindungiku dari ngengat-ngengat itu. Aku berhasil melewati lampu itu dengan selamat.” Daniel tersenyum setelah menyelesaikan kalimatnya.
Luna menghentikan langkahnya dan memiringkan kepala. “Dan, gadis itu adalah aku? Bagaimana aku bisa melupakannya?” Ia menoleh dan menatap Daniel dengan wajah dihiasi senyum. “Maafkan aku, Daniel. Jadi, itu pertemuan pertama kita?”
Daniel yang berdiri di hadapan Luna tersenyum dan mengangguk.
“Malam itu beberapa anggota Klub Teater terpilih untuk ikut menginap karena harus mengisi acara hiburan dan demo klub. Aku termasuk menjadi anggota yang terpilih. Di basecamp, saat aku sedang membereskan kostum di atas lantai usai demo klub, tanpa sengaja Jaehwan menyenggol botol minuman. Isi dari botol itu tumpah ke kepalaku. Aku pergi ke toilet untuk membasuh rambutku yang lengket karena minuman rasa-rasa yang ditumpahkan Jaehwan. Maaf jika kemunculanku yang secara tiba-tiba membuatmu takut.”
Daniel merasa lega. Luna masih mengingatnya. Ia menatap Luna dengan tatapan teduh, lalu tersenyum dan mengangguk. “Terima kasih karena peduli dan mau membantuku. Terima kasih karena tidak menertawakan kelemahanku.”
“Rasa takut itu memang mengerikan. Seperti yang aku rasakan saat aku bertemu anjing. Rasa takut pada apa pun itu bukanlah hal yang seharusnya diolok dan ditertawakan. Aku juga heran pada tipe-tipe orang seperti itu.”
Daniel menatap tangga di belakang Luna. Tangga yang akan membawa Luna berpisah darinya untuk hari ini. “Sebenarnya lebih dulu mana? Seonbae bertemu denganku atau Park Jihoon?”
“Eh? Kok?”
“Hanya ingin tahu aja.”
“Aku bertemu Jihoon saat ia mendaftar untuk gabung Klub Teater.”
“Jadi, lebih dulu bertemu denganku ya? Andai saja aku punya keberanian lebih.”
Luna menatap Daniel yang juga balas menatapnya. “Memangnya kenapa?” Ia memberanikan diri bertanya.
Daniel lagi-lagi menunjukan senyum polosnya yang manis itu. “Gadis yang nggak takut serangga itu keren dan langka. Andai aku selangkah lebih berani dari Park Jihoon, apa itu mungkin sekarang aku yang berada di posisi Park Jihoon?”
Luna tertegun mendengar ungkapan Daniel.
“Peduli padaku, nggak takut serangga, juga nggak takut hantu. Dia gadis yang aku inginkan. Tipe idealku. Tapi…” Daniel tak melanjutkan ucapannya karena menyadari jika Luna tertegun menatapnya. “Selama ini aku merasa sendiri. Tidak ada yang peduli pada pemuda miskin sepertiku. Lalu, Seonbae datang. Tapi, aku takut mengakuinya sebagai sebuah kenyataan. Takut jika ini semua hanya mimpi. Jika saja aku lebih berani.”
Luna mengerjapkan kedua matanya setelah sempat tertegun selama beberapa menit. “Kang Daniel, apa ini artinya…” mulut Luna terbuka, kamu menyatakan rasa sukamu padaku? Ia menyelesaikan kalimatnya dalam hati saja. Ia mengatupkan bibirnya dan menunduk.
“Babo!” Luna mengangkat kepala. Kembali menatap Daniel. “Kamu takut aku nggak mau jadi temanmu? Ck! Bagaimana kamu bisa punya pikiran kayak gitu? Memangnya aku ini apa sampai nggak mau berteman sama kamu? Terkenal? Itu cuman alibi yang diciptakan orang-orang! Aku dan kamu, kita sama. Hanya manusia biasa yang berjuang untuk hidup lebih baik di dunia ini. Aku dan kamu, kita nggak ada bedanya.”
Daniel tersenyum melihat Luna yang terlihat salah tingkah. Ia tahu gadis itu tak bodoh. Ia yakin Luna paham jika ia menyukainya.
“Aku lelah sekali hari ini. Kamu juga, istirahatlah. Eh, sebentar lagi kerja ya? Hmm, jangan lupa makan. Tubuh kita butuh nutrisi untuk kerja keras. Aku pamit.” Luna tersenyun kikuk, lalu membalikkan badan membelakangi Daniel, berjalan menuju tangga dan menaikinya.
“Seonbae!”
Luna yang sudah berada di tangga ketiga menghentikan langkahnya dan menoleh pada Daniel.
“Maafkan aku. Terima kasih.” Daniel tersenyum manis dan tulus.
Senyum dan wajah polos itu tiba-tiba membuat dada Luna terasa sesak. Ia hanya tersenyum, lalu berjalan cepat menaiki tangga.
Daniel menatap Luna hingga gadis itu menghilang dari jangkauan pandangnya. Ia menghela napas, lalu pergi.
Luna mengintip dan menemukan jalan itu sudah kosong. Daniel sudah pergi. Ia menghela napas panjang, lalu menatap langit malam. “Wahai Penulis idolaku, kali ini apa?” Ia berbicara pada langit malam dengan menggunakan bahasa Indonesia. “Kisah apa yang ingin Kau tulis? Tolong abaikan aku! Tapi, bantulah teman-temanku. Sudah kukatakan Kau bisa menggunakan aku, kan? Menggunakan aku untuk membantu teman-temanku.”
Luna mendesah dengan kasar. Lalu, berjalan menuju rooftop-nya.
***

Onyet: Cue!!! Gimana hari pertama sekolah di Korea? Ketemu cowok mirip Eunwoo nggak?
Wirog: Doh! Monyet ini teriak-teriak bikin telinga sakit! Mana foto bareng Kucing?
Onyet: Iya nih! Mana selcanya? Penasaran Kucing pakek baju pink hasil jahitan Siput! Hehehe.
Cue: Nyet, lu pikir gue sekolah di Hanlim apa? Selcanya minta langsung ke Kucing aja noh!
Siput: Kucing nggak suka ya? Duh, maaf. Warna pink itu pilihan Cue yang diaminin Onyet sama Wirog.
Cue: Suka kok. Kaget iya sih dia. Tapi, suka. Udah japri bilang makasih ke elu kan, Put?
Wirog: Cing, lu ngapain ngintip-ngintip doang! Sok jual mahal nih!
Onyet: Speechless kali dia. Syok dapet rok pink. Wkwkwk.
Cue: Biar idupnya berwarna dikit. Nggak item putih mulu! Asal kalian tahu, dia nggak banyak berubah lho! Soal gaya pakaian. Casual as always.
Siput: Maklum, Cue. Kucing cewek ndiri di keluarganya.
Cue: Kan, ada mamahnya tuh! Tante feminim banget. Kalian tahu, kan?
Onyet: Yekan Kucing lebih banyak sama abang-abangnya. Setuju sama Siput gue. Btw, lagi ngumpul nih. Nobar. Mumpung Senin, nomat.
Cue: Tetep aja lu, Nyet.
Onyet: Tetep lah. Gue kan nggak gampang berubah. Seneng-seneng dengan hemat seru lho! Prinsip kita itu mah.
Wirog: Cing! Jangan ngintip aja. Keluar sini!
Onyet: Cing, cariin Cue cowok Korea. Kasian di Indo dia jomblo mulu. Wkwkwk.
Cue: Njir! Kayak lu paling laku aja, Nyet. Orang sama jomblo dari orok kayak gue!
Siput: Sama squad-nya Kucing tuh cakep-cakep. Hehehe.
Cue: Gua bungkusin buat kalian mau? Squad Moon Kingdom-nya Kucing. Hahaha.
Onyet: Emang belum pada sold out?
Cue: Kayaknya. Pilih dah mau yang mana. Ntar gue paketin buat kalian. Mau Yoon Jisung, Ha Sungwoon, Ong Seongwoo, apa Park Woojin?
Siput: Cue udah pernah ketemu? Langsung hafal namanya. Keren!
Cue: Ingatan gue nggak seburuk itu kali, Put. Inget lah nama-nama geng gebleknya Kucing.
Onyet: Geblek? Gua ngakak woy!
Wirog: KUCING!!! KELUAR LOE!!!
Onyet: Kucing lagi sibuk siapin bungkus kali tuh. Wkwkwk.
Cue: Senin woy Senin. Capek tau!
Onyet: Sama aja kayak Indo kan?
Wirog: KUCING! ADA CUE, LOE NGGAK NAPSU APA?
Cue: Woy! Tikus rabies. Loe kira gua apaan?
Onyet: Cue makanan favorit Kucing. Wkwkwk.
Wirog: Sehati sama Kucing suka manggil gua tikus rabies. Kalian berjodoh kali. Udah buruan resmiin hubungan sana!
Siput: Hahaha.
Onyet: Wkwkwk.
Cue: Kucing dah sold out!
Wirog: Jinja?
Onyet: Beneran?
Siput: Wah, selamat!
Wirog: Sama Prince ya?
Cue: Eh, gue ngarep bisa ketemu Prince tau. Suer penasaran gue!
Onyet: Jangan lupa fotoin kalau ketemu.
Siput: Aku juga penasaran sama Prince.
Wirog: CING! BIKIN KLARIFIKASI CEPET!

Luna rebahan di sofa sambil menyimak grup chat Pretty Soldier. Ia senyum-senyum membaca obrolan teman-temannya.
Luna menghela napas panjang, meletakkan ponsel di atas perutnya. Kedua matanya menatap langit-langit ruang tamu, namun tatapannya kosong. Ia melamun.
Momen bersama Jihoon dan Daniel bergantian muncul dalam ingatan Luna. Getaran ponselnya membawa kesadaraannya kembali. Luna menghembuskan napas dengan kasar. Bangkit dari tidurnya di sofa dan pindah ke kamarnya. Ia berusaha untuk tidur. Mengabaikan Jihoon dan Daniel yang terus muncul dalam benaknya.
***


Walau hari berganti Park Jihoon dan Kang Daniel masih bergantian wara-wiri dalam benak Luna. Bukan tanpa alasan, pesan Park Jihoon memenuhi ponsel Luna. Pemuda itu menuliskan pujiannya tentang usaha Luna untuk membuktikan bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah. Ia juga merasa senang karena bisa terlibat dalam misi penyelidikan itu walau hanya muncul dalam video saat pertemuan digelar di kafe.
Sama seperti Daniel, Jihoon juga penasaran pada siapa yang membantu Luna merekam video itu. Karena ia juga berada di lokasi. Tapi, walau sudah berusaha keras mengingat momen saat di kafe. Ia tidak bisa menemukan titik terang tentang sosok yang membantu Luna.
Karena adanya Jihoon dalam video itu, squad Moon Kingdom pun tak hentinya membicarakan hal itu di grup chat. Saat tiba di sekolah pagi tadi, Luna pun sempat mendengar bisik-bisik murid tentang dirinya dan Jihoon yang ada dalam video pertemuan untuk membuktikan bahwa Bae Jinyoung tidak bersalah.
Sedang tentang Daniel, seperti tempo hari. Pagi tadi pemuda itu sudah menunggunya untuk berangkat sekolah bersama. Walau ia dan Daniel berusaha bersikap biasa usai Daniel mengungkapkan isi hatinya semalam, rasa canggung itu tetap ada. Luna tidak menyukai hal itu.
“Luna. Kita ngapain sih di sini?”
Suara itu membuyarkan lamunan Luna. Ia pun menoleh ke arah kanan dan menemukan Sungwoon. Luna mengerjapkan kedua matanya. Bagaimana dia bisa ada di sini?
Sungwoon tersenyum lebar. “Nggak sengaja nemuin kamu berdiri sendirian di sini. Jadi, aku temenin. Hehehe.”
“Nggak sengaja nemuin apa emang membuntuti?”
“Hehehe.” Sungwoon menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Jangan bilang kamu lagi nungguin Jihoon?”
Luna mendelik menatap Sungwoon.
“Trus ngapain hayo? Berdiri di sini? Ini kan jalannya murid kelas X.”
“Kenapa kamu nggak ngilang aja sih bawel? Bukannya Klub Vokal ada pertemuan ya?”
“Iya. Eh, temenmu gabung Klub Vokal lho!”
“Temenku??”
“Rania. Sama-sama dari Indonesia. Jadi, temen kan? Tadi aku nerima formulir pendaftaran dia.”
“Oh…” Luna kembali menatap ke arah depan. Dia baru ingat kalau Ha Sungwoon selain menjadi ketua di kelasnya, juga terpilih menjadi ketua Klub Vokal yang baru.
Sungwoon masih bertahan di samping kanan Luna.
“Kenapa kamu masih di sini sih?” Luna merasa risih.
“Kamu ada misi baru ya? Sekali-kali ajak aku dong! Kemarin kenapa Park Woojin sih?”
“Kan dia satu klub sama Bae Jinyoung. Klub Basket.”
“Oh gitu ya. Tapi, kamu bisa minta bantuanku. Serius ini. Aku kan cukup luas pergaulan di sekolah ini.”
Luna memutar kedua bola matanya. “Premannya kelas XI, kan?”
“Hahaha. Nggak juga. Apa sih! Aku? Preman?”
“Aku tahu kamu preman budiman. Pembela kaum lemah.” Luna memberikan satu senyuman untuk Sungwoon.
“Senyumnya nggak tulus!”
Luna mengedikkan bahu.
“Karena aku cukup disegani di sekolah, aku bisa melindungimu dengan baik.”
Luna mengangguk-anggukan kepala.
“Jadi, jangan ragu untuk merekurt aku dalam timmu ya.”
“Bukannya kita udah jadi satu tim ya?”
Sungwoon memiringkan kepala, lalu tersenyum. “Iya juga. Hahaha. Moon Kingdom.”
Luna tiba-tiba menegakkan tubuhnya yang bersandar pada tembok. Membuat Sungwoon terkejut. Gadis itu pun berjalan mendekati seorang siswi yang keluar dari kelas yang sama dengan kelas Jihoon. Sungwoon tak mengikuti Luna. Ia tetap bertahan di tempatnya dan memperhatikan apa yang dilakukan Luna.
“Han Joohee!” Luna mengejar Joohee yang baru keluar dari kelasnya.
Joohee segera membungkuk memberi salam. “Seonbae mencari Park Jihoon? Dia sudah keluar dari tadi. Saya yang paling akhir karena harus piket membersihkan kelas dulu.”
“Kamu piket sendirian?”
“Tidak.” Joohee tersenyum canggung. “Teman-teman sudah pulang lebih dulu.” Ia menatap Luna ragu-ragu. Jika dia tidak mencari Park Jihoon, kenapa dia menahanku seperti ini?
Luna mengeluarkan sebuah kertas dari dalam tasnya dan memberikannya pada Joohee.
“Ap-apa ini Seonbae?” Joohee takut-takut.
“Kuisioner yang kamu cari. Belum terlambat, kan? Yang kemarin, pasti nggak bisa diperbaiki.”
Dengan sedikit gemetar Joohee menerima kertas itu. Kemarin ia memang menemukan kertas kuisioner yang sudah robek jadi dua yang dibuang Daehwi ke tempat sampah. Setelah ia memperbaiki kertas itu dan memfotocopy, hasilnya tetap buruk. Luna tiba-tiba muncul dan memberinya kertas kuisioner, benar-benar membuatnya terharu.
“Kamsahamnida, Seonbaenim. Jeongmal kamsahamnida.” Joohee membungkuk dalam-dalam di depan Luna.
“Eh, eh. Jangan gitu. Aduh. Aku jadi nggak enak.”
Joohee menegakkan badan, dengan mata berkaca-kaca ia menatap Luna.
“Eh? Joohee? Mau nang—“ Luna kaget karena Joohee tiba-tiba memeluknya. Ia pun tersenyum dan membalas pelukan Joohee.
Sungwoon yang menyaksikan adegan itu tersenyum.
“Daehwi merasa bersalah padamu. Semalam dia menghubungiku. Lalu, kami bersama-sama mencari bantuan. Bersyukur menemukan satu yang masih kosong. Kami menggandakannya.” Luna berbisik pada kalimat terakhir.
Joohee melepas pelukannya dan mengusap air mata yang tak bisa ia bendung lagi.
“Saat kelas X, aku juga jadi murid Lim Songsaengnim. Jadi, aku tahu betapa killernya beliau.”
“Tapi, pasti Seonbae tidak pernah mendapat nilai jelek sepertiku.”
“Siapa bilang? Aku juga pernah berebut kuisioner sepertimu. Walau aku murid asing, tidak ada dispensasi. Nilai mendekati batas minus, harus tetap mengerjakan tugas untuk menambah nilai. Semangat ya Han Joohee!”
“Kamsahamnida, Seonbaenim.”
“Tolong jangan lupakan Daehwi. Harusnya dia yang memberikan ini padamu. Tapi, dia tiba-tiba harus pergi. Ada keperluan mendadak katanya. Entah kenapa ia mempercayakan kertas ini padaku. Mungkin karena kertas ini sangat diburu murid kelas X sekarang.”
“Dan karena nilai Park Jihoon bagus. Jadi, tidak mungkin Seonbae memberikannya pada Park Jihoon.”
“Eh?”
“Maaf, Seonbae. Hanya bercanda.”
Luna tersenyum tulus. “Sekarang mau ke mana? Langsung pulang?”
Joohee mengangguk.
“Baiklah. Hati-hati di jalan.”
“Sekali lagi terima kasih Seonbae.”
“Nanti aku sampaikan pada Daehwi.”
“Kok?”
“Kan ini usaha dia. Daehwi yang nemuin satu kertas kuisioner ini. Eum, begini. Lebih tepatnya dia menyimpannya untukmu. Tapi. Kemarin situasinya nggak memungkinkan untuk ngasih kertas ini ke kamu karena masih banyak yang mencari. Dia nyimpen beberapa untuk teman-temannya. Kamu termasuk satu orang yang dia prioritaskan. Milikmu ini asli dari Lim Songsaengnim. Bukan hasil fotocopy.”
Joohee terdiam sejenak. Lalu, tersenyum. Ia tidak menyangka jika Daehwi begitu memperhatikannya. “Nanti kalau bertemu dia di perpustakaan, saya akan berterima kasih secara langsung.”
Good!
Joohee tersenyum, lalu pamit pergi.
Luna menghela napas, masih bertahan di tempatnya berdiri. Menatap punggung Joohee yang berjalan menjauhinya.
Sungwoon berjalan mendekati Luna. “Jadi, target berikutnya gadis itu?”
“Kepo!”
“Jangan pakai bahasa Indonesia dong! Itu tadi apa? Ngolok aku ya?”
“Kamu pengen tahu aja sih. Itu artinya kepo.”
“Kep, apa?”
“Udah. Nggak penting.” Luna berjalan meninggalkan Sungwoon.
“Luna!” Sungwoon mengejar Luna. “Aku bisa bantu apa untuk misi kali ini?’
Luna menghentikan langkah. Sungwoon pun ikut berhenti.
“Serius nih?”
“Iya.” Sungwoon mengangguk antusias.
“Rania masuk Klub Vokal kan?”
“Iya.”
“Lindungi dia.”
“Eh? Kenapa?”
“Kemarin dia ada sedikit masalah sama senior pembuat onar. Tahu kan siapa?”
“Lho?? Masa?? Di hari pertamanya??”
“Tanya Jaehwan atau Woojin deh kalau nggak percaya.”
“Wah…”
“Kenapa? Takut?”
“Nggak lah! Mereka cuman berempat walau badannya gede-gede. Gengku, ada sebelas orang. Ngapain aku takut.”
“Oke. Aku percayakan Rania ke kamu. Laksanakan tugasmu dengan baik Ha Sungwoon.” Luna kembali berjalan.
“Luna! Itu gampang. Tapi, aku mau jadi bodyguard kamu.” Sungwoon mengejar Luna. “Bisa kan?”
“Klub Vokal udah nungguin kamu. Aku nggak butuh bodyguard. Emang aku apaan?”
Suara cek-cok Luna dan Sungwoon memenuhi koridor yang sepi. Walau Luna menolaknya, Sungwoon tak mau menyerah. Ia tetap menawarkan diri untuk melindungi Luna.
***

“Jadi, aku harus melindungi Rania? Demi Luna? Kalau aku melakukan itu, apa Luna akan mau terima aku jadi bodyguard-nya? Kenapa aku malah nawarin diri jadi bodyguard sih?” Sungwoon berjalan sambil ngomel.
“Aku iri! Sepertinya Luna hanya perhatian sama Woojin. Jisung juga. Aku? Aku seperti nggak terlihat di depannya. Tapi, kenapa aku iri sih? Oh!” Sungwoon terkejut melihat Jaehwan dan Minhyun ada di depan basecamp Klub Vokal. Selain dua pemuda itu, ada satu gadis bersama mereka.
“Ini Rania?” Sungwoon menebak nama gadis yang sedang bersama Jaehwan dan Minhyun.
“Nee. Annyeong.” Rania memberi salam.
“Aku Ha Sungwoon. Ketua Klub Vokal yang baru. Terima kasih sudah mau bergabung dalam klub kami.”
“Mohon bimbingannya.” Rania kembali membungkuk.
Sungwoon menatap Rania dengan ekspresi berseri-seri.
“Apa arti tatapan dan ekspresimu itu?” Jaehwan menegur Sungwoon.
“Aku senang bisa ketemu Rania. Tadi, Luna memintaku menjaganya.”
Minhyun terkejut mendengar nama Luna disebut. Tapi, tak seorangpun menyadari perubahan mimik wajahnya.
“Luna memintamu menjagaku?” Rania bingung.
“Nee. Kubilang temannya gabung klubku dan dia memintaku menjaganya.”
“Temannya?” Pekik Minhyun tiba-tiba. Ia segera mendapat tatapan dari Jaehwan, Rania, dan Sungwoon.
“Iya. Sama-sama dari Indonesia kan?” Sungwoon menatap heran Minhyun. “Jadi, mereka teman karena berasal dari negara yang sama. Jika berada di tempat asing pasti akan berpikir seperti itu, kan? Jadi teman karena tempat asal yang sama.”
“Oh.” Minhyun tersenyum canggung.
“Kalian ngapain di sini?”
“Nganterin Rania ke basecamp Klub Vokal.” Jaehwan menuding pintu basecamp Klub Vokal yang tertutup.
“Minhyun juga?” Sungwoon berganti menatap Minhyun. “Tumben mau repot-repot begini? Biasanya kamu cuek sama murid asing.”
Rania ikut menoleh menatap Minhyun yang berdiri di samping kanannya.
Jaehwan melirik Minhyun yang tampak bingung. “Kami janjian pulang bareng. Karena aku nawarin diri nganter Rania, Minhyun jadi ikut.”
“Oh gitu.” Sungwoon manggut-manggut.
Minhyun kembali tersenyum kikuk. Saat tatapannya bertemu pandang dengan Rania, ia terlihat semakin canggung.
“Ya udah. Rania biar aku yang urus. Kalian bisa pergi.” Sungwoon mengambil alih tugas Jaehwan.
“Sungwoon.” Minhyun berhasil menghentikan gerak tubuh Sungwoon yang hendak membuka pintu basecamp.
“Apa lagi?”
“Kang Daerin.” Minhyun menyebut nama itu.
Alis Sungwoon bertaut. “Kenapa dengan Daerin?”
“Itu…” Minhyun melirik Rania.
“Ada apa sih?” Sungwoon tak sabar dan menuntut Minhyun segera menyelesaikan kalimatnya.
“Aku tahu!” Jaehwan mengangkat tangan kanannya. Sukses menyita perhatian ketiga temannya. Ia pun mendekat pada Sungwoon dan membisikkan sesuatu pada telinga kiri Sungwoon.
Minhyun dan Rania sama-sama menatap Jaehwan dan Sungwoon.
“Masa sih?” Sungwoon usai Jaehwan membisikkan sesuatu di telinganya. Ia kemudian menatap Minhyun.
“Hanya untuk jaga-jaga. Aku minta bantuanmu.” Minhyun tersenyum tulus.
“Oh gitu ya. Mm, baiklah. Aku baru tahu soal itu.” Kedua mata Sungwoon melebar. “Minhyun! Kamu dan Luna…”
“Kami pergi!” Minhyun menarik lengan Jaehwan dan menyeret pemuda itu pergi.
“Minhyun! Eh, ini apa!” Jaehwan berusaha berontak. Tapi, Minhyun menariknya dengan kuat. “Rania! Selamat bersenang-senang! Sungwoon! Tolong jaga Rania!” Jaehwan melambaikan tangan kirinya yang bebas.
Rania tersenyum dan membalas lambaian tangan Jaehwan. Ia kemudian kembali menghadap Sungwoon. Pemuda itu masih menatap Minhyun dan Jaehwan yang berjalan semakin menjauh.
“Apa Minhyun dan Luna udah baikan? Gara-gara kasus Bae Jinyoung?” Sungwoon masih menatap Minhyun yang berjalan semakin menjauhi dirinya.
Kening Rania berkerut. Ia memiringkan kepala dan tampak berpikir.
Sungwoon mengalihkan pandangannya pada Rania yang berdiri di hadapannya. Gadis itu sedang melamun. “Rania! Ayo masuk!”
Rania tersadar dari lamunannya. Tersenyum pada Sungwoon yang sedang membuka pintu basecamp Klub Vokal. Ia pun menyusul langkah Sungwoon yang masuk ke dalam basecamp. Di dalam ternyata tak begitu banyak murid yang berkumpul.
“Kok cuman ini yang dateng?” Sungwoon mengamati tujuh murid yang berada di dalam basecamp.
“Kamu minta kita kumpul di hari Selasa. Banyak yang nggak bisa. Bentrok sama jadwal pelajaran tambahan.” Siswi yang duduk di sofa tunggal berbicara tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.
“Kegiatan klub di hari Jumat, Sabtu, dan Minggu.” Sahut siswi lainnya. Ia duduk bersimpuh di atas lantai yang dilapisi karpet.
“Tapi, kita kan harus mulai membahas rencana untuk festival musim panas di sekolah nanti.” Sungwoon kemudian teringat pada Rania yang berdiri di samping kirinya. “Oiya, ini anggota baru kita. Rania.”
Tiga siswi dan empat siswa yang sebelumnya cuek kompak mengangkat kepala. Menatap Rania yang berdiri di samping kiri Sungwoon.
“Si copycat Shin Chae Kyong ya?” Gadis yang duduk di sofa mencibir.
“Hohoho. Si Gadis Celana Olah Raga.” Siswi yang duduk di atas karpet di dekat meja turut berkomentar.
“Selamat bergabung. Semoga betah. Jangan kaget sama mulut mereka. Kalau Daerin ada di sini, kamu bakal mendapat komentar yang lebih pedas dari itu.” Siswi yang mengingatkan jadwal kegiatan klub turut berkomentar.
“Terima kasih. Mohon bimbingannya.” Rania membungkuk di depan para seniornya di Klub Vokal.
“Bahkan anggota dari kelas X tidak ada yang datang.” Keluh Sungwoon. “Duduklah Rania. Buat dirimu nyaman.” Ia kemudian menuju satu meja di pojok ruangan dan entah sibuk dengan apa di sana.
“Rania! Sini!” Gadis yang sebelumnya duduk di atas sofa memanggil Rania. Ia sudah duduk di atas karpet dengan dua siswi lainnya.
Rania pun duduk bergabung. Kenapa dengan Minhyun dan Luna? Lalu, siapa Kang Daerin itu? Apa yang dibisikan Jaehwan pada Sungwoon? Apa ada hubungannya dengan Daerin? Pertanyaan itu terus berputar-putar di benak Rania.
Rania berusaha mendengarkan ocehan ketiga temannya di Klub Vokal dengan baik. Sambil sesekali ia melirik Sungwoon yang duduk di balik meja dan entah sibuk menulis apa. Ia menghela napas pelan. Lalu, kembali fokus pada ketiga teman barunya.
***

Jihoon menghela napas dan menggeleng pelan usai melihat Daehwi yang bertahan bersembunyi di bawah meja.
“Keluar dari sana! Tingkahmu itu menggelikan!” Jihoon mengalihkan pandangan dari Daehwi ke ponsel di tangannya.
“Ssh!!!” Daehwi meletakkan jari telunjuk tangan kanannya dibibirnya.
“Di sini hanya ada kita. Tidak ada kegiatan klub hari ini.”
“Ssh! Berisik banget sih kamu! Kalau Joohee ikut ke sini gimana? Aku bisa ketahuan!”
“Hagh!” Jihoon kembali menoleh, menatap Daehwi yang berada di sisi kanan darinya yang sedang duduk di atas sebuah bangku di dalam basecamp Klub Teater. “Kamu pikir Han Joohee tipe cewek yang demen ngintilin senior tenar yang baru sekali saja nyamperin dia?”
Daehwi sewot. “Bisa jadi, kan?” Ia pun keluar dari bawah meja dan duduk menyelonjorkan kaki di atas lantai. Ia meraih ponsel di sakunya dan memeriksanya.
“Omo! Ada pesan dari Seonbae!” Mata sipit Daehwi terbelalak menatap ponselnya.
Jihoon terkejut mendengar kalimat itu. “Seonbae kirim pesan?” Ia pun memeriksa ponselnya. Tapi, Luna belum membalas satu pun pesan yang ia kirim. Hal itu membuat ekspresinya berubah cemberut.
“Yey! Mission complete!” Daehwi berseru riang usai membaca pesan dari Luna.
Jihoon menghembuskan napas dengan kasar, bangkit dari duduknya, meraih tas punggungnya dan berjalan keluar. Meninggalkan Daehwi.
Melihat tingkah Jihoon, Daehwi pun turut bangkit dari duduknya. “Park Jihoon! Kamu mau ke mana?” Ia menyambar tasnya dan berlari kecil menyusul langkah Jihoon.
“Kamu, mau ke mana?” Daehwi berhasil mensejajarkan langkah dengan Jihoon.
“Menyusul Luna Seonbae!” Jihoon tetap berjalan dengan langkah lebar-lebar.
“Kalau Seonbae masih sama Joohee gimana?”
“Aku kan nggak minta kamu ikut!”
“Tapi, aku takut di basecamp sendirian.”
“Kalau gitu pulang aja!”
“Jihoon, kamu nggak marah kan? Aku udah bilang berulang kali ke kamu. Gadis yang aku sukai bukan Luna Seonbae. Kamu bilang, oke kamu paham. Tapi, kenapa kamu tiba-tiba kayak gini? Kamu marah ya? Tapi, ini kan skenario yang Luna Seonbae buat. Walau ya, demi aku.” Daehwi melirik ke arah kanan sambil terus berusaha mengimbangi langkah Jihoon.
“Maksudku, aku suka Luna Seonbae sebagai kakak. Aku anak tunggal, dan Seonbae baik dari pertama kami bertemu. Aku menyukainya layaknya adik ke kakak. Itu kenapa aku memilih cerita ke Seonbae. Tentang semua yang aku rasakan.” Daehwi kembali melirik Jihoon yang tetap bergeming.
Daehwi baru menyadari jika ekspresi Jihoon tiba-tiba berubah usai ia mengatakan Luna mengirim pesan padanya. Mulutnya terbuka, lalu ia katupkan lagi. Daehwi paham sekarang. Jihoon melihat ponselnya lalu beranjak pergi. Ia paham jika Jihoon menunggu balasan pesan dari Luna, tapi gadis itu mungkin tak membalas pesan yang dikirim Jihoon.
“Mungkin saja Seonbae…” Daehwi kembali bicara, tapi tak melanjutkan karena Jihoon tiba-tiba menghentikan langkah. Daehwi turut menghentikan langkah dan mengikuti arah pandangan Jihoon.
Daehwi ternganga. Ia melihat Luna sedang duduk di taman. Tapi, gadis itu tak sendirian. Ada Taemin yang menemani di sampingnya. Daehwi menoleh, menatap Jihoon. Wajah temannya itu berubah merah. Ia yakin Jihoon marah dan cemburu karena melihat Luna sedang berduaan saja dengan Taemin. Daehwi menggigit bibir bawahnya. Bingung tak tahu harus berbuat apa.
“Aku rasa apa yang kita lihat belum tentu seperti apa yang kita pikirkan.” Dengan hati-hati Daehwi mengucap kalimat itu.
Jihoon mengabaikan Daehwi. Ia kembali berjalan, menuju tempat Luna berada.
Daehwi menepuk keningnya. “Gawat! Park Jihoon!” Ia pun menyusul langkah Jihoon.
***



You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews