My 4D's Seonbae - Episode #17 "Jika Ini Hanya Permainan, Kenapa Ada Rasa Cemburu?"

05:17

Episode #17 "Jika Ini Hanya Permainan, Kenapa Ada Rasa Cemburu?"




Rasa kesal itu masih menyelimuti dada Jihoon. Sejak kencan pertama di hari Minggu, ia belum bertemu secara pribadi dengan Luna. Kemarin, ia berharap bisa ngobrol sejenak dengan Luna usai gadis itu membantu Daehwi memberikan lembar kuisioner pada Joohee.
Jihoon menunggu dengan sabar, Luna tak membalas satu pun pesannya. Tapi, gadis itu malah berkirim pesan pada Daehwi. Namun, bukan pesan Luna pada Daehwi yang membuatnya kesal dan marah. Keberadaan Luna dan Taemin di taman lah yang membuat amarah di dadanya membludak.
Jihoon sudah bertekad bulat untuk menegur Luna yang memilih duduk berduaan di taman bersama Taemin daripada menemuinya yang sudah lama menunggu di basecamp Klub Teater bersama Daehwi. Namun, Daehwi mencegahnya. Myungsoo dan Hyuri sampai lebih dulu di tempat Luna berada.
Bukannya ia menyerah begitu saja pada Daehwi. Tapi, logikanya masih bisa mengambil alih dan menguasai emosinya. Akan berdampak tak baik bagi semua jika Jihoon tak bisa menguasai diri di depan para seniornya yang terkenal di sekolah itu. Terlebih ia telah bertekad untuk menghapus 'monster' yang bersembunyi di dalam dirinya.
Semalam ia pun sudah meluapkan kekesalannya pada samsak yang tergantung di ruang olah raga di rumahnya. Tapi, pagi ini Jihoon belum berhasil meredakan rasa kesal di hatinya. Ia bahkan tak menghubungi Luna sama sekali. Sialnya, Luna pun tetap tak membalas pesan-pesannya.
Jihoon menghembuskan napas dengan kasar. Ia menatap kertas-kertas yang keluar dari mesin fotocopy. Ia sedang berada di ruang fotocopy. Sendirian. Ia tak bisa konsentrasi di kelas saat pelajaran berlangsung. Ketika guru di depan kelas meminta bantuan untuk menggandakan lembaran materi, Jihoon menawarkan diri.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunan Jihoon. Belum sempat ia menjawab, pintu itu terbuka. Membuat kedua mata cantik Jihoon melebar. Ia terkejut karena yang muncul dari balik pintu adalah Luna. Ada rasa senang menyeruak di dadanya. Tapi bersamaan dengan itu, rasa kesal itu pun kembali menguat.
“Tumben kamu mau melakukan pekerjaan suka rela kayak gini.” Luna berdiri di samping mesin fotocopy yang masih bekerja. “Wah, masih lama ya.” Ia mengamati tulisan pada monitor mesin fotocopy.
Jihoon diam saja. Tak merespon.
Luna melirik kertas yang menumpuk di sisi kiri mesin fotocopy. “Apa perlu aku bantu merapikannya?”
“Kemarin, ngapain di taman sama Taemin Seonbae?” Kalimat itu meluncur cepat dari mulut Jihoon.
Luna memutar tubuhnya, menghadap pada Jihoon. “Nggak ngapa-ngapain. Aku lagi duduk nungguin Hyuri Seonbae yang tiba-tiba minta bertemu. Taemin Seonbae lewat dan menghampiriku. Lalu, duduk menemaniku. Dia berterima kasih soal Bae Jinyoung dan Lucy. Kalau kamu tahu kami di sana, kenapa kamu nggak gabung aja?”
Jihoon menatap wajah Luna yang berdiri tak jauh di depannya. Ekspresi gadis itu santai. Tidak menunjukkan keterkejutan sama sekali walau ia bertanya soal keberadaan Taemin kemarin. Tapi, ia tak paham kenapa wajah gadis itu dihiasi semburat warna pink.
Luna masih menatap Jihoon yang bungkam. Lalu, ia menyadari sesuatu. “Jihoon, jangan katakan kalau kamu cemburu?” Ia mengatakan dugaannya.
Kedua mata cantik Jihoon melebar mendengarnya. “An-anee…” ia membantah tuduhan Luna. Seketika wajahnya terasa panas.
Luna tersenyum dan berkacak pinggang. “Park Jihoon, di awal kita membuat kesepakatan, kita telah berjanji untuk tidak melibatkan perasaan masing-masing, kan? Bagaimanapun juga, hubungan kita ini hanya pura-pura. Hanya sebuah permainan. Kebetulan sekali, sebenarnya aku pun ingin menegurmu soal tindakanmu hari Minggu lalu. Saat kamu mengantarku pulang. Kamu sudah bertindak terlalu jauh Park Jihoon. Aktingmu keterlaluan.”
Gemuruh itu memenuhi ruang di dalam dada Jihoon hingga membuatnya merasa sesak. Ia mulai tak bisa mengontrol dirinya. Napasnya mulai menderu. Ia tidak suka mendengar Luna menegurnya seperti itu. “Apa Seonbae bukan manusia? Apa Seonbae robot?”
Luna memiringkan kepala. Mengamati ekspresi Jihoon yang berubah. “Bukankah yang aku katakan benar adanya? Hubungan kita hanyalah permainan yang kita buat dan kita sepakati. Karenanya, jangan libatkan perasaan.”
“Iya. Seonbae benar! Hubungan kita hanya pura-pura! Sebuah kesepakatan yang kita buat demi melindungi satu sama lain. Tapi, nggak bisakah hubungan itu jadi hubungan nyata?”
Konsentrasi Luna yang mendengarkan ocehan Jihoon terbagi. Walau deru mesin fotocopy memenuhi ruangan, ia merasa mendengar sesuatu dari balik pintu yang tertutup. Ia berjalan pelan mendekati pintu.
Jihoon yang sedang dipuncak emosi memperhatikan tingkah Luna. “Seonbae!” Ia meraih tangan kanan Luna.
Kedua mata bulat Luna melebar. Terkejut karena Jihoon tiba-tiba memegang tangan kanannya. Ia meletakkan jari telunjuk tangan kirinya di bibirnya. Meminta Jihoon diam. Perlahan Jihoon pun melepas pegangan tangannya pada lengan Luna.
Luna membuka pintu dan benar terkejut. Ia menemukan Daniel yang berdiri di depan pintu dengan memegang sebuah kertas. “Daniel?”
Jihoon mengerutkan kening melihat Daniel berada di depan pintu yang terbuka. Ia menyeret Daniel masuk ke dalam ruang fotocopy dan menutup pintu. Kemudian ia menyambar seragam Daniel dan mencengkeramnya. “Apa yang kau lakukan di luar sana?! Menguping?”
Daniel terkejut karena Jihoon tiba-tiba menyerangnya. Ia terhuyung ke belakang dan tubuhnya menabrak mesin fotocopy yang sudah berhenti bekerja. Melihat adegan hampir berkelahi yang tersaji di depannya sama sekali tak membuat Luna panik. Ia berjalan mendekati Jihoon dan Daniel. Meraih tangan Jihoon yang meremas seragaman Daniel. Meminta pemuda itu melepaskannya. Jihoon berontak. Matanya merah dan berkilat penuh amarah.
“Hentikan.” Luna berkata dengan lembut. Ia berusaha membuat tangan Jihoon melepaskan Daniel. “Park Jihoon…”
Napas Jihoon terengah-engah. Matanya yang penuh amarah menatap Luna yang balas menatapnya dengan tenang.
“Jebal, geumanhae.” Luna memohon.
Genggaman Jihoon pada seragam Daniel mulai merenggang dan akhirnya terlepas sepenuhnya. Daniel yang terlepas dari cengkeraman Jihoon menghela napas. Ia benar-benar syok karena ulah Jihoon.
Luna tersenyum manis pada Jihoon. Kemudian ia mengumpulkan kertas hasil fotocopy milik Jihoon dan menyerahkannya. “Semua akan baik-baik saja. Kembalilah ke kelas. Jangan membuat masalah. Mm?” Ia membujuk Jihoon.
Jihoon yang masih berusaha menguasai emosinya melirik Daniel yang berdiri di dekat mesin fotocopy.
“Aku akan mengurusnya. Atau, nanti kita bisa bertemu dan membicarakan masalah ini bertiga. Di luar sekolah. Aku bisa menjamin jika Daniel tidak akan berbuat macam-macam.”
Jihoon mengalihkan pandangannya pada Luna. Gadis itu masih terlihat tenang seolah sebelumnya tak terjadi apa-apa. Ia mengerutkan kening. Tapi, kemudian menyerah. Ia mengambil alih kertas di tangan Luna dan keluar dari ruang fotocopy. Meninggalkan Luna dan Daniel.
***


“Kamu baik-baik aja?” Luna menghampiri Daniel usai Jihoon pergi.
Daniel hanya bisa menganggukkan kepala. Ia masih syok usai menerima perlakuan mengejutkan dari Jihoon.
“Kamu terburu-buru? Kalau iya, kamu boleh pakai mesinnya dulu.”
Daniel tercenung. Kenapa dia setenang itu? Ia membatin.
“Daniel?”
“Eng, anu. Seonbae bisa pakai dulu. Kan aku datang belakangan.” Daniel terbata dan bergerak minggir.
Luna pun menggunakan mesin fotocopy. Daniel berdiri diam memperhatikan Luna yang sibuk dengan mesin fotocopy.
“Maafkan Park Jihoon ya.” Luna bersamaan dengan mesin fotocopy yang mulai bekerja menggandakan kertas yang dibawanya.
“Eng, iya. Nggak papa.” Daniel kikuk.
Luna tersenyum manis. Melihat senyum itu, tiba-tiba Daniel merasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya. Mendadak ia merasa takut pada Luna. Senyum dan wajah itu mengingatkannya pada sosok psikopat dalam film yang pernah ia tonton.
“Aku lega karena kamu yang ada di balik pintu.” Luna berdiri menghadap pada mesin fotocopy yang sedang beroperasi.
“Leg-lega?” Daniel menatap Luna yang berdiri tertunduk di depan mesin fotocopy.
“Kamu pasti mendengar semuanya, kan? Karenanya kertas di tanganmu tiba-tiba jatuh dan membuat bunyi itu.  Aku mendengarnya dan membuka pintu.”
Daniel menelan ludah. Sejeli itu kah telinga Luna Seonbae? Ia bertanya dalam hati.
Luna mengangkat kepala, menoleh ke kiri, dan tersenyum pada Daniel. “Aku percaya padamu, Kang Daniel.”
Luna mengumpulkan kertas hasil fotocopy, membawanya dalam dekapannya. “Silahkan. Aku sudah selesai.” Ia memberi ruang pada Daniel. Ia pun keluar dari ruang fotocopy.

Hening di dalam ruang fotocopy. Daniel masih berdiri terdiam di tempatnya. Saat ia sampai di depan ruang fotocopy, ia hendak membuka pintu. Tapi, samar-samar ia mendengar suara dua orang yang sedang adu mulut dari dalam ruang fotocopy. Ia pun mendekatkan telinga pada daun pintu. Bukan bermaksud menguping, hanya ingin memastikan siapa yang sedang berada di dalam ruang fotocopy. Suara cek-cok itu berbaur dengan suara mesin fotocopy hingga Daniel tak bisa mengenali suara siapa itu.
“Apa Seonbae bukan manusia? Apa Seonbae robot?”
“Bukankah yang aku katakan benar adanya? Hubungan kita hanyalah permainan yang kita buat dan kita sepakati. Karenanya, jangan libatkan perasaan.”
“Iya. Seonbae benar! Hubungan kita hanya pura-pura! Sebuah kesepakatan yang kita buat demi melindungi satu sama lain. Tapi, nggak bisakah hubungan itu jadi hubungan nyata?”

Suara siswa dan siswi itu bergantian terdengar. Kertas di tangan Daniel tiba-tiba terlepas, terjatuh, dan membentur lantai. Menciptakan bunyi yang tak begitu keras. Walau begitu, ia buru-buru menjauh dari pintu dan memungut kertas itu. Ketika ia kembali menegakkan badan, tiba-tiba pintu terbuka. Ia terkejut karena yang muncul dari balik pintu adalah Luna. Dan, di dalam ruang fotocopy ada Jihoon.
Daniel menghela napas. “Luna Seonbae dan Park Jihoon hanya pura-pura? Apa maksudnya?” Ia kembali menghela napas. Lalu, segera menggandakan kertas yang ia bawa.
***

Mulut Daehwi membulat karena terkejut. Ia membawa satu tumpuk buku untuk dibawa ke meja petugas dan hampir membalikkan badan ketika mengetahui Joohee masuk ke dalam perpustakaan.
“Lee Daehwi!” Karena Joohee memanggil namanya, Daehwi urung membalikkan badan dan terus berjalan menuju meja petugas.
“Hi, Joohee!” Daehwi meletakkan tumpukan buku yang ia bawa ke atas meja sambil menyapa Joohee. “Mau pinjam buku lagi? Ini ada buku baru. Tapi, buku ensiklopedia. Bukan novel. Hehehe.”
Joohee menatap tumpukan buku di atas meja. Buku dengan dasar warna putih dan gambar warna-warni. Buku yang cantik dan menarik perhatian calon pembaca itu membuat Joohee tersenyum ketika menatapnya.
“Terima kasih ya.” Joohee mengucapkan kalimat itu dengan lancar. Hari ini ia pun tak terlihat malu-malu di depan Daehwi.
“Untuk kuisioner itu ya? Maaf ya untuk sebelumnya. Aku nggak nyangka kamu sampai mengais tempat sampah kayak gitu. Sampai ketahuan para seonbae juga.”
“Nggak papa kok.”
“Sekarang udah beres kan?”
“Udah. Tepat sehari sebelum dateline yang diberikan Lim Songsaengnim.”
“Syukurlah.”
“Aku jadi sungkan pada Luna Seonbae.”
“Eh? Nggak papa kok. Seonbae udah kayak kakakku sendiri. Dia yang terbaik yang aku miliki di sekolah ini.” Daewhi berseri.
Joohee turut tersenyum. “Ya udah, aku mau nyari buku dulu.” Ia pun pamit.
“Iya. Iya. Silahkan.”
Joohee pun pergi dari hadapan Daehwi. Ia berjalan menuju salah satu lorong yang terbentuk oleh deretan rak buku.
“Huft…” Daehwi menghembuskan napas panjang. Kemudian ia duduk di balik meja petugas. Meraih ponselnya dan segera mengetik pesan pada Luna. Ia kembali menghela napas dan tersenyum lebar.
Ponsel Daehwi bergetar. Ia segera melihatnya. Ada pesan balasan dari Luna. “Tumben cepat sekali?” Ia pun membuka pesan itu.

Aku tidak bisa menghubungi Jihoon. Apa dia bersamamu?

“Jihoon?” Daehwi pun teringat kejadian kemarin. Saat ia dan Jihoon menemukan Luna sedang berduaan dengan Taemin. “Ya ampun! Pasti gara-gara kemarin.” Ia pun segera mengirim pesan balasan pada Luna.

Aku sedang bertugas di perpustakaan. Ada Joohee. Sebentar aku tanyakan.

Daehwi pun bangkit dari duduknya untuk mencari Joohee.
***

Luna menyunggingkan sebuah senyuman. “Dasar! Ambil aja kesempatannya! Ini memang waktumu!” Ia berbicara pada ponselnya. Ia sedang berada di taman dan duduk di bangku favoritnya.
“Lalu, waktuku kapan?”
Luna tersentak kaget. Kedua mata bulatnya melebar. Menatap Sungwoon yang duduk menopang dagu dengan kedua tangannya. Pemuda itu tersenyum lebar padanya. “Sejak kapan kamu di sana?”
“Ada apa?” Sungwoon menggerakkan kepalanya. Menuding ponsel di tangan Luna. “Misi baru ya? Gadis yang kemarin?”
“Kepo!”
“Aku tahu artinya lho! Sok tahu, kan?”
Luna cemberut dan menghela napas dengan kasar. “Ngapain sih kamu di sini?”
“Tadinya mau pulang. Eh, liat kamu duduk sendirian di sini. Nunggu siapa?”
“Jihoon.”
Senyum di wajah Sungwoon sirna saat Luna menyebut nama cowok yang saat ini diketahui banyak orang sebagai pacar Luna. “Tumben.” Gumamnya.
Luna kembali menaruh perhatian pada Sungwoon. “Tumben?”
“Iya, tumben. Sejauh aku ngenal kamu, nggak pernah kamu nyebut nama Jihoon seyakin itu.”
“Seyakin itu? Maksudmu?” Luna memiringkan kepala.
“Kupikir hubungan kalian nggak nyata. Tapi, di video itu ada Jihoon. Jadi, kalian benar pacaran? Biasanya kalau ditanya, kamu nggak pernah kasih jawaban serius. Jadi, kupikir kamu dan Jihoon itu cuman pura-pura.”
Jantung Luna seolah lepas dari tempatnya ketika Sungwoon mengutarakan pendapatnya. Ia bungkam dan hanya menatap Sungwoon.
“Tapi, mau beneran atau pura-pura, aku nggak peduli. Yang penting Luna tetap ada dekat denganku.” Sungwoon kembali mengembangkan senyum manisnya.
“Iya lah dekat. Kita kan sekelas. Satu kelompok pula!” Luna ketus.
“Hehehe. Oya, aku dan teman-teman squad Moon Kingdom mau main ke kebun kakekku. Ikut yuk!”
“Ngapain?”
“Ya main lah! Kakek kangen sama aku. Jisung dan Woojin mau ikut. Seongwoo belum kasih kepastian sih. Kamu ikut juga ya!”
“Aku? Cewek sendiri?”
“Terserah kamu mau ngajak siapa. Eh, atau aku ajak Rania aja?”
“Rania?”
“Iya. Dia teman kita juga kan? Kamu minta aku jagain dia. Trus, kemarin Minhyun juga minta aku jagain dia.”
“Minhyun?? Minta kamu jagain Rania?” Luna benar-benar terkejut.
“Nggak secara langsung sih. Jadi, kemarin itu Jaehwan dan Minhyun nganter Rania ke basecamp Klub Vokal. Minhyun khawatir Rania digangguin Daerin.”
“Daerin?? Kang Daerin??”
“Iya. Kamu nggak tahu sih. Anak itu kalau ngomong serem. Pedes kayak cabe.”
Luna tersenyum.
“Jadi, kita ajak Rania?”
“Kalau dia mau, why not?”
“Oke!” Sungwoon bersemangat. “Hari Minggu nanti? Bagaimana? Kamu nggak ada jadwal kan?”
Luna membuka mulutnya, hendak bicara. Tapi, ia melihat Daehwi sedang berjalan ke arahnya. Tak sendirian, ada Joohee di samping. “Mereka itu… ngapain? Mau ke sini?” Ia bergumam. Membuat Sungwoon menoleh.
“Seonbae.” Daehwi sampai di bangku taman tempat Luna dan Sungwoon duduk. Joohee yang berdiri di sampingnya menundukkan kepala, memberi salam.
“Seonbae mencari Jihoon? Kata Joohee, dia tidak kembali ke kelas usai menawarkan diri untuk memfotocopy materi.” Daehwi menjelaskan maksud kedatangannya bersama Joohee.
Eksrpesi Luna berubah. Wajahnya sedikit merengut. “Nggak balik ke kelas?” Ia memastikan.
“Iya, Seonbae. Anu, sebenarnya dia kembali ke kelas untuk mengantar hasil fotocopy. Lalu, saat pelajaran berganti, Jihoon keluar sebelum guru pelajaran berikutnya masuk. Jihoon tidak kembali ke kelas sampai jam pulang.”
Luna diam sejenak, lalu tersenyum. “Begitu sampai menyeret Joohee ke sini.”
“Anee.” Daehwi menggoyang kedua tangannya. “Joohee sendiri yang menawarkan diri untuk ikut."
Luna tersenyum jahil pada Daehwi. Membuat pemuda itu semakin kikuk. “Gomawo, Han Joohee.” Luna beralih menatap Joohee.
“Hari ini Park Jihoon terlihat berbeda. Anu, dia memang jarang berinteraksi dengan teman sekelas. Tapi, hari ini dia terlihat murung.” Joohee menambahkan informasi tentang Jihoon yang dia tahu.
“Begitu ya? Bagaimanapun terima kasih.”
“Kalau begitu saya pamit.” Joohee membungkukkan badan, lalu pergi.
Daehwi menatap punggung Joohee yang berjalan menjauh. Setelah gadis itu memasuki koridor, ia pun duduk di samping Sungwoon. “Park Jihoon marah ya? Cemburu karena kemarin melihat Seonbae di sini bersama Taemin Seonbae. Aku yakin soal itu.”
“Wah, gawat!” Sungwoon menyimak cerita Daehwi. Ia kemudian menatap Luna.
“Bagaimana ini Seonbae? Rencana kita bisa gagal tanpa Jihoon.” Daehwi mendadak panik.
Luna berdecak. “Kamu sama sekali nggak kasihan padaku? Begini masih memikirkan diri sendiri.”
“Buk-bukan begitu.” Daehwi menggoyang kedua tangannya. “Aku juga mengkhawatirkan Seonbae dan Jihoon. Seonbae udah minta maaf?”
“Ngapain aku minta maaf? Aku kan nggak salah!”
“Tapi, kemarin Seonbae berduaan di sini sama Taemin Seonbae! Jihoon cemburu karenanya.”
“Trus, kalau hari ini dia liat aku sama Sungwoon di sini, lalu dia cemburu. Aku harus minta maaf juga?”
“Sungwoon Seonbae beda sama Taemin Seonbae!”
“Beda apanya? Sama-sama cowok kok!”
“Ah! Luna Seonbae kan tidak bodoh! Sungwoon Seonbae tidak terlibat gosip sama Luna Seonbae. Tapi, Taemin Seonbae ada skandal sama Luna Seonbae!”
“Gosip? Skandal?”
“Jangan pura-pura bodoh gitu! Luna Seonbae menolak cinta Taemin Seonbae. Itu rahasia umum di sekolah!”
Luna tercenung sejenak. Lalu, ia tertawa kecil. “Ya ampun! Kalian percaya? Taemin Seonbae nggak pernah nembak aku tahu!”
Bukan hanya Daehwi yang kaget. Sungwoon pun menunjukkan reaksi yang sama.
“Masa sih?” Daehwi tak percaya.
Ponsel Luna bergetar. Ia pun memeriksanya. Sebuah panggilan dari Hami. “Astaga! Aku lupa! Hari ini kan ada jadwal EC!”
Luna bangkit dari duduknya dan meraih tasnya. “Aku pergi! Bye bye!” Ia meninggalkan Daehwi dan Sungwoon di taman.
“Aku harus menemui Park Jihoon! Dia nggak boleh ngambek ke Luna Seonbae dan mengacaukan rencana kami!” Daehwi pun bangkit dari duduknya. Pergi tanpa pamit pada Sungwoon.
Sungwoon kebingungan mengamati sekitar. “Nggak pernah nolak Taemin Seonbae? Jihoon terbakar api cemburu? Rencana kami? Kali ini apa lagi?” Ia bergumam sendiri.

Saat Luna sampai di kelas tempat pelajaran tambahan EC digelar, pelajaran sudah dimulai. Ia mengetuk pintu dan meminta maaf pada guru yang mengajar di depan kelas. Lalu, ia bergegas menuju meja kelompoknya.
Sejak bergabung di pelajaran tambahan English Conversation (EC), Luna menjadi satu kelompok dengan Daniel, Guanlin, dan Hami. Karena itu, setiap kelas berlangsung, ia duduk bersama tiga rekannya itu. Guanlin duduk berdampingan dengan Hami. Dan, ia duduk berdampingan dengan Daniel.
Hari ini kelas tak di tata membentuk lingkaran. Tapi, empat meja di satukan. Masing-masing kelompok duduk mengitari meja-meja itu. Luna duduk di bangku kosong di samping kiri Daniel.
“Ke mana aja kau!” Hami langsung menegur saat Luna duduk di bangku seberang, berhadapan dengan Guanlin.
“Mau tahu aja!” Luna menyiapkan buku-bukunya.
“Kupikir Seonbae absen hari ini.” Guanlin ikut berkomentar.
Luna hanya menanggapi komentar Guanlin dengan sebuah senyuman. Sedang Daniel yang duduk di sampingnya tetap diam. Tak menyapa pun tak memberi komentar perihal keterlambatan Luna. Kemudian, kelompok itu pun serius mendengarkan penjelasan guru di depan kelas.
***

Saat memasuki kelas untuk pelajaran tambahan English Conversation (EC) Daniel hanya menemukan Hami. Ia berpikir mungkin Luna absen. Mengingat kejadian di ruang fotocopy, ia yakin gadis itu memilih untuk menyelesaikan masalahnya dengan Jihoon.
Kenapa aku nggak dihubungi? Daniel bertanya dalam hati. Sembari duduk di bangku yang sudah disiapkan Hami untuk kelompoknya.
“Luna Seonbae belum datang?” Guanlin yang sudah duduk di samping kanan Hami memulai obrolan.
“Nggak tahu nih! Biasanya dia nggak pernah telat.” Hami mengangkat kedua bahunya.
Tak lama kemudian guru bimbingan tiba. Kelas pun dimulai. Tapi, Luna tak kunjung muncul.
Guanlin memperhatikan Hami yang sibuk dengan ponsel yang disembunyikan di bawah meja. “Mungkin Luna Seonbae memang absen hari ini.”
“Dia selalu ngasih kabar kok misal nggak bisa dateng. Tapi, ini nggak. Aku khawatir terjadi sesuatu sama dia.” Hami masih sibuk dengan ponselnya.
“Emang pernah kayak gitu?”
“Pernah.”
Ekspresi Daniel berubah mendengar obrolan Guanlin dan Hami. Melihat begitu khawatirnya Hami, pasti Luna pernah mengalami hal yang buruk.
“Kalian pikir Luna itu selalu dipuja? Kalian salah! Sebenarnya ia nggak mau dibikin tenar kayak gitu. Kalian pasti paham maksudku apa.”
Mendengar penjelasan Hami, Daniel jadi mengkhawatirkan Luna. Bagaimana jika Jihoon, si monster berwajah imut itu berbuat sesuatu yang buruk pada Seonbae? Orang yang diliputi rasa cemburu seringnya tidak bisa berpikir jernih.
Daniel mulai gusar. Lalu, ia teringat bagaimana ekspresi Luna yang membuatnya merasa ngeri. Dia pasti baik-baik saja. Ya, dia pasti baik-baik saja. Atau, aku coba hubungi dia?
Daniel meraih ponselnya dan mencari nama Luna. Hendak menghubungi gadis itu. Tapi, ia urungkan. Sebaiknya aku mencarinya saja.
Daniel menyimpan kembali ponselnya. “Guanlin, bagaimana cara minta izin ke toilet dalam bahasa Inggris?” Ia meminta bantuan Guanlin.
“Nee?” Guanlin menatap Daniel dengan ekspresi tak paham.
“Aku mau ke toilet. Di kelas ini, saat berkomunikasi dengan guru, harus menggunakan bahasa Inggris, kan?”
“Oh. Gini…” Guanlin tak melanjutkan kalimatnya karena terdengar suara ketukan pintu. Lalu, pintu itu terbuka. Luna muncul dari pintu yang terbuka. Masuk ke dalam kelas, berjalan menemui guru.
Perhatian seluruh murid tertuju pada Luna. Termasuk Daniel. Senyum samar terkembang di wajahnya. Ia lega melihat Luna muncul dan baik-baik saja. Daniel memperhatikan Luna hingga gadis itu duduk di sampingnya. Hami langsung mengintrogasi Luna. Tapi, gadis itu tak mau memberi penjelasan perihal keterlambatannya. Selanjutnya, mereka mengikuti kelas EC dalam keheningan.

Daniel, Luna, Guanlin, dan Hami berjalan pulang bersama. Hami terus mengoceh tentang materi hari ini. Ia juga mengeluh tentang pertemuan berikutnya. Guru pembimbing akan mengajak seluruh anak didiknya menonton film berbahasa Inggris tanpa terjemahan. Hami merasa frustasi dengan hal itu.
Mereka berhenti di depan gerbang. Lalu, memisahkan diri. Hami dan Guanlin pergi bersama. Sedang Luna bersama Daniel. Seperti tempo hari. Yang berbeda adalah keduanya berjalan dalam keheningan. Luna dan Daniel tak saling berbicara sejak kelas usai.
Sebelum duduk menunggu di halte, bus sudah datang. Luna naik lebih dulu. Daniel menyusul di belakangnya. Mereka duduk di satu bangku kosong yang tersisa.
Sejak Luna bergabung di kelas, Daniel diam-diam memperhatikan. Gadis itu telah kembali sebagai Luna yang ia kenal. Gadis sederhana yang ramah. Bukan gadis dengan ekspresi datar dan seringaian mengerikan yang membuatnya bergidik ngeri.
“Kenapa kita jadi saling diam begini?” Daniel memulai obrolan. Ia sudah tidak tahan dengan keheningan itu.
“Sepertinya aku terlalu banyak menggunakan energiku. Aku merasa sangat lelah.” Luna tanpa mengalihkan pandangannya yang lurus ke depan.
Daniel yang sudah menoleh dan menatap Luna sejak memulai obrolan tersenyum. “Bersandar saja di bahuku. Istirahatlah.” Ia menggerakkan bahu kanannya.
Luna melirik dan tersenyum mengejek. “Kepalaku berat tau!”
“Nggak papa. Ada yang bilang, aku ini orang kuat. Jadi, sepertinya aku kuat menyangga kepala berat itu.”
Luna tersenyum lebih tulus. “Gomawo.”
“Mm?”
“Seperti yang aku bilang tadi, aku bersyukur karena yang ada di balik pintu adalah kamu. Kalau orang lain, entah bagaimana nasib kami.”
Daniel diam sejenak, lalu tersenyum. “Seonbae yakin aku tidak akan menyebarkan rahasia Seonbae dan Jihoon?”
“Memangnya kalau kamu sebarin, kamu bakalan dapat untung?”
Daniel memiringkan kepala, lalu tersenyum. “Tetap saja itu sangat mengejutkan. Bagaimana bisa? Kalian hanya pura-pura?”
“Kita manusia adalah makhluk sosial. Tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain. Aku pun begitu. Apa yang kami lakukan adalah simbiosis mutualisme. Saling menguntungkan. Tadinya aku pikir begitu.”
“Tadinya?”
Luna mendesah dengan kasar. “Seharusnya laki-laki hanya menggunakan logika saja. Nggak usah pakek perasaan. Yang seperti itu kan anak perempuan!” Luna menyilangkan tangan di dada. Menyamankan posisi duduknya, lalu menoleh ke arah kanan. Menatap keluar jendela bus.
Daniel memperhatikan tingkah Luna. Lalu, mengehela napas pelan. Ia tak mengucap sepatah katapun. Situasi pun kembali hening di antara dirinya dan Luna.
***

Seorang pelayan perempuan mengantar Daehwi. Keduanya sampai di sebuah ruangan olah raga. Di dalam sana, Jihoon sedang memukuli samsak.
“Tuan Muda belum berhenti sama sekali sejak tiba.” Wanita paruh baya itu berbisik pada Daehwi.
Daehwi memperhatikan Jihoon yang masih memakai seragam sekolahnya. Ia menghela napas.
“Saya akan membawakan minuman dan cemilan.” Wanita paruh baya itu mohon diri.
“Nee. Kamsahamnida, Imo.” Daehwi berterima kasih. Ia kemudian masuk ke dalam ruangan dan duduk di atas lantai. Menunggu Jihoon yang masih sibuk memukul-mukul samsak.
Daehwi yang bertekad menemui Jihoon pun memenuhi keinginannya. Selesai dengan tugasnya di perpustakaan, ia langsung menuju rumah Jihoon. Ia duduk bersila, menonton Jihoon. Pemuda itu dipenuhi peluh. Membuat Daehwi menelan ludah saat melihatnya. Menurutnya, Jihoon yang seperti itu tampak seksi dan macho. Tapi, juga mengerikan.
Merasa ada yang memperhatikan, Jihoon pun menghentikan aktivitasnya. Ia menemukan Daehwi sudah duduk bersila di atas lantai tak jauh dari tempatnya berada. Rekan satu klubnya itu tersenyum ketika ia menatapnya.
“Kenapa kamu ke sini?” Jihoon memeluk samsak yang bergerak-gerak di depannya.
“Kamu suka olah raga boxing?” Daehwi tak menjawab pertanyaan Jihoon, tapi justeru mengajukan sebuah pertanyaan.
Jihoon mengatur napasnya yang terengah-engah. “Kamu datang untuk wawancara?”
“Anee. Aku bukan anggota Klub Jurnalistik.” Daehwi menggeleng.
Jihoon menghela napas dan berkacak pinggang. “Apa maumu?”
“Ngobrol?”
“…”
“Mendekatlah! Kalau jauhan gini, kita kayak sepasang kekasih yang lagi berantem aja!”
Jihoon mendelik menatap Daehwi.
“Kenapa?”
Jihoon menghembuskan napas dengan kasar. Ia berjalan mendekati Daehwi sambil melepas sarung tangan tinju yang menbungkus kedua tangannya. Ia melemparkan sepasang sarung tangan itu ke samping kiri Daehwi. Lalu, ia duduk menyelonjorkan kaki di depan Daehwi.
Daehwi mengamati Jihoon. Rambut dan wajah pemuda itu basah keringat. Seragam yang dikenakannya pun menempel ke tubuhnya karena keringat. “Begini membuatmu lebih baik?”
Jihoon bergeming. Ia fokus mengatur napasnya yang masih tak beraturan.
“Nggak kan?”
“Wae?! Kamu khawatir aku nggak akan bantu kamu karena aku dan Luna Seonbae sedang berantem?”
Mulut Daehwi membulat. “Kalian berantem?” Ujarnya setelah berhasil menguasai diri dari keterkejutan. “Gara-gara yang kemarin itu?”
Jihoon kembali bungkam.
“Bagaimana kalian bisa sehati sih?”
Jihoon pura-pura cuek.
“Tadi aku menemui Luna Seonbae. Dia nanya apa kamu ada sama aku. Kayaknya dia nyariin kamu. Aku bilang, kamu nggak ada sama aku. Saat aku nemuin dia, dia juga curiga aku takut kamu nggak mau bantu aku lagi. Buat rencana itu. Ah, apa sepasang kekasih itu memang selalu seperti itu ya? Sehati?”
“Luna Seonbae, mencariku?” Jihoon tertarik dan ingin kepastian.
Daehwi mengeluarkan ponselnya, menunjukkan pesan Luna pada Jihoon.
Membaca pesan itu, ada rasa hangat menyeruak di dalam dada Jihoon. Seonbae mencariku? Seonbae mengkhawatirkanku? Ia bergumam dalam hati. Tiba-tiba ia merasakan wajahnya memanas.
Daehwi menangkap senyum samar di wajah Jihoon. Ia pun tersenyum dan menyimpan kembali ponselnya. “Jangan kekanak-kanakan gini! Nempelengi samsak nggak akan bikin perasaan kamu membaik. Temui Seonbae. Bicarakan dengannya secara baik-baik. Luna Seonbae tidak pernah ditembak Taemin Seonbae. Jadi, penolakan itu cuman rumor.”
Jihoon masih betah untuk bungkam.
“Kalau kamu nuruti rasa cemburu, hari ini pun pasti kamu terbakar api cemburu! Luna Seonbae berduaan dengan Sungwoon Seonbae di bangku yang sama.”
Jihoon merenungi semua perkataan Daehwi. Benar yang dikatakan temannya itu, di sekolah lebih banyak murid laki-laki. Jika setiap kali melihat Luna berdua saja dengan murid laki-laki, ia merasa cemburu. Ia bisa hancur sendiri. Kening Jihoon berkerut. Tiba-tiba teringat pada Daniel. Teman satu angkatannya itu telah mengetahui rahasianya. Mendadak ia kembali merasakan emosi dan amarah itu, hingga ia mengepalkan tangannya.
“Iya, kamu benar. Aku khawatir karena salah paham ini kamu nggak mau bantuin aku. Melanjutkan rencana. Tapi, aku juga khawatir kalau kamu dan Luna Seonbae nggak berbaikan. Jujur aku suka kalian.”
Jihoon menatap Daehwi. Menaruh perhatian penuh pada rekan satu klubnya itu.
“Luna Seonbae adalah sesuatu yang nggak gampang buat didapetin. Setelah kamu bisa meraihnya, masa iya mau kamu lepas cuman gara-gara salah paham? Dia gadis yang baik. Kalian pasangan yang serasi.”
“Ya! Kamu coba merayuku? Tenang aja. Aku udah janji bantu kamu. Jadi, aku akan bantu.”
“Itu karena Luna Seonbae, kan? Itu karena Seonbae yang meminta. Jalan yang mempertemukan kita, perantaranya adalah Luna Seonbae. Kalau bukan Seonbae yang memintamu, aku yakin kamu nggak akan mau bantu walau aku memohon.”
Jihoon menghela napas.
“Saat kamu marah, ingatlah hal-hal indah saat bersamanya. Aku rasa itu bisa jadi obat yang mujarab.”
Jihoon bungkam.
“Sudah. Aku sudah selesai dengan unek-unekku. Sekarang aku mau pergi. Silahkan kalau mau lanjut pukul-pukul lagi.” Daehwi meraih tasnya dan bangkit berdiri. “Maaf sudah mengganggu waktumu. Aku pergi.” Ia pun pamit dan keluar dari ruang olah raga. Meninggalkan Jihoon yang termenung.
“Semoga aja apa yang aku lakukan ini benar.” Daehwi menyusuri koridor rumah Jihoon untuk pulang.
***

Semalaman Jihoon memikirkan semua yang dikatakan Daehwi. Benar yang dikatakan Daehwi, ia memang cemburu pada Taemin. Cemburu karena alasan rumor jika sebelumnya Taemin pernah menyatakan cinta pada Luna namun ditolak.
Mengingat kejadian di ruang fotocopy sebelum ia terlibat cek-cok dengan Luna, ia pun yakin jika Luna tidak berbohong tentang alasan kenapa gadis itu ada di taman bersama Taemin. Sejauh ia mengenal Luna, gadis itu selalu berkata jujur padanya.

Saat kamu marah, ingatlah hal-hal indah saat bersamanya. Aku rasa itu bisa jadi obat yang mujarab.

Suara Daehwi menggema di telinga Jihoon. Membuatnya tersenyum samar karena teringat saat-saat manis bersama Luna. Saat gadis itu memainkan gitar dan bernyanyi di depannya. Saat mereka nonton film berdua. Saat ia tanpa berpikir panjang, memberikan sebuah kecupan di pipi Luna.
Jihoon merasakan panas di wajahnya. Kini ia benar-benar tersenyum. Ia meraih ponsel di dalam saku celananya. Lalu, ia kembali menonton video Luna saat bermain gitar dan bernyanyi untuknya.
“Kamu yang membuatku terkejut karena tawaran itu. Aku setuju bukan karena alasan saling menguntungkan bagi kita. Aku setuju karena aku telah melibatkan perasaanku jauh sebelum kamu menawarkan kerjasama itu.” Jihoon berbicara pada Luna yang sedang bernyanyi di dalam ponselnya.
“Kita ini kan sebenarnya seumuran. Hanya saja, karena kamu dari Indonesia, di sini kamu jadi seniorku. Harusnya kita bisa saling memanggil nama, kan? Hi, Luna!” Jihoon melambaikan tangan pada ponselnya.
Jihoon menghela napas panjang. Ia melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. “Baiklah. Sebaiknya kita saling bicara. Akan aku katakan, semuanya, padamu.”
Jihoon bangkit dari duduknya. Meraih tas punggungnya dan berjalan pergi meninggalkan ruang kelasnya yang sudah kosong sejak tiga puluh menit yang lalu. Ia menyusuri koridor sekolah yang kosong dan bergegas menuju mobilnya yang sudah menunggu di area parkir sekolah.
Jihoon memasuki mobilnya dan meminta sopir pribadinya melajukan mobil. Membawanya ke tempat tinggal Luna. Ia bertekad untuk menemui Luna dan berbicara dengan gadis itu. Ia harus meluruskan kesalahpahaman di antara mereka.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tinggal Luna, Jihoon menonton video Luna di ponselnya. Ia menggunakan headset agar hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar suara Luna yang sedang bernyanyi.
Mobil Jihoon sampai. Ia meminta sopirnya untuk parkir lebih jauh agar Luna tak bisa melihat mobilnya. Ia sudah mendapat informasi dari Seongwoo tentang apa yang akan dilakukan Luna hari ini sepulang sekolah. Jadi, ia memilih pergi diam-diam dan menunggu Luna.
Jihoon menaiki tangga, lalu duduk di bangku panjang yang berada di teras rooftop tempat tinggal Luna. Dengan sabar ia menunggu Luna kembali. Hal yang membosankan memang. Tapi, ia tetap menjalaninya dengan sabar.
Setengah jam berlalu, Jihoon mendengar suara perempuan sedang mengobrol yang semakin dekat padanya. Ia pun bangkit dari duduknya. Jantungnya tiba-tiba berdetub lebih kencang. Ia akan bertemu Luna sebentar lagi. Ia senang, tapi juga gugup. Ia sudah melatih diri untuk berbicara dan meminta maaf pada Luna. Sebentar lagi Luna akan muncul di hadapannya. Hal itu benar-benar membuatnya gugup.
Jihoon tercenung. Luna muncul, tapi tak sendiri. Ada Hami, Guanlin, dan Daniel bersama gadis itu.
“Oh! Park Jihoon?!” Hami lebih dulu menyadari keberadaan Jihoon di teras rooftop Luna.
Luna, Daniel, dan Guanlin kompak menatap Jihoon. Senyum di wajah Jihoon sirna. Keningnya sedikit berkerut. Sedang tatapannya fokus pada Daniel yang berdiri tepat di belakang Luna.
***

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews