BLACK NOTE

06:02

BLACK NOTE

“Percayai mimpimu, ikuti petunjuknya dan temukan kebenaran.”

           Di dunia ini begitu banyak misteri. Hitam dan putih, maya dan nyata bersanding. Tentang kebenaran bukanlah hal mudah untuk di temukan. Saat alam sadar tak lagi bisa menuntunmu, akankah kau mempercayai mimpi-mimpimu dan meyakininya sebagai petunjuk?

***

NOTE #6
Sunee terlihat terburu-buru saat Hazel tiba memenuhi panggilannya. “Pergilah ke pusat kota Elsdon, dan berikan ini padanya.” Sunee selesai memasukan semua dalam tas. Bibirnya bergerak merapalkan mantra dan tas itu berubah dalam ukuran kecil, sesuai untuk Hazel. “Jangan ditunda lagi. berangkatlah tengah hari ini. Aku percayakan semua ini padamu, sahabatku.”
Hazel menangkap kekhawatiran dibalik wajah renta Sunee. “Sunee, aku… aku tak yakin apakah aku sanggup menjalankan misi ini. Aku hanya peri pembawa kekayaan dan kemakmuran, aku bukan peri pejuang yang tangguh.”
“Kenapa kau jadi rapuh? Kala kesempatan ini datang, semangatmu mengendur. Aku tak suka pada sikap ini.”
“Tapi, Sunee…”
“Kau sanggup.” Potong Sunee. “Aku yakin kau sanggup. Karena itu aku memilihmu. Walau kau hanya peri pembawa kekayaan dan kemakmuran, tapi kau adalah peri yang kuat dan tangguh. Kau pandai membaca situasi alam untuk menghindari bahaya. Kekuatan tak terhingga dari kasih sayangmu pada seorang sahabat, itu melebihi kekuatan apapun.” Hazel menatap Sunee. Ia terharu mendengar pujian Sunee. Sunee tersenyum tulus. “Saat kau bertatap muka dengannya, tolong sampaikan padanya jika aku sangat menyanyanginya. Walau dalam masa singkat ini kita bersama.”
“Nada bicaramu. Kau mengatakan hal itu seolah kau tak akan bertemu lagi dengannya. Kita akan bersama lagi, berkumpul di sini, hutan Orea.”
Sunee menerawang, menatap keluar jendela rumahnya yang terbuka. “Angin ini, sedikit tak bersahabat. Apa kau juga merasakannya?” Sambil melebarkan jendela yang tadinya terbuka sebagian. Hazel mengangguk dan menyangklet tas kecil pemberian Sunee, terbang keluar melalui jendela.
“Berjuanglah, sahabatku.” Sunee menutup jendela rumahnya.
***
Raja Landry Carney mengurut keningnya. Kekacauan terus terjadi di Wilayah Utara dan Wilayah Selatan Elsdon. Ksatria istana dan prajurit yang dikirim untuk mengalahkan monster pengacau, kembali pulang dengan membawa kekalahan. Dua wilayah itu sedang dikacaukan oleh ular raksasa dan raksasa berkepala banteng yang gemar memakan manusia.
“Monster-monster itu terlalu kuat, tidak ada pilihan lagi. Kita harus mengirimkan Empat Ksatria Utama, masing-masing dua ke Wilayah Utara dan Selatan. Hanya mereka yang bisa mengemban tugas ini. Jangan biarkan korban terus bertambah.” Raja Landry setelah beberapa menit terdiam.
“Yang Mulia, apakah ini keputusan yang bijaksana?” Panglima James Vincent tampak ragu.
“Istana ini masih memilikimu, Panglimaku. Juga pasukan muda terbaik. Aku tahu tanda-tanda kembalinya Ozora mulai bermunculan, termasuk kekacauan ini. Akan tetapi, aku juga tidak bisa diam melihat rakyatku di Wilayah Utara dan Selatan dilanda ketakutan. Jika Empat Ksatria Utama dapat menyelesaikan tugas ini lebih cepat, kemudian bergegas kembali ke istana, aku yakin situasi akan terkendali.”
Panglima James Vincent terdiam sejenak, menimbang permintaan Raja Landry. “Para Tetua juga menyetujui hal ini, dibawah instruksi Pendeta Agung Istana, dan Yang Mulia Raja mengabulkannya. Saya akan melaksanakan titah ini Yang Mulia.” Panglima James Vincent menyerah.
“Yakinklah pada kekuatan Elsdon, Panglimaku.” Panglima James Vincent pamit undur diri. Raja Landry menghela nafas, berusaha menepis kekhawatirannya.
***
Neva hanya mengaduk-aduk makanan dalam piring dihadapannya. Ini pertama kalinya Neva, Yocelyn makan siang satu meja bersama Lavina dan Winola. Bukan keinginannya, tapi karena ulah Kevin yang memaksa Lavina dan Winola bergabung. Sambil makan, Yocelyn terus menatap Winola. Ia heran, Winola hanya memakan buah-buahan, sesekali menyentuh sayuran namun mencium aromanya lebih dahulu. Winola sama sekali tak menyentuh daging.
“Kau tak suka pada hidangan ini? Kenapa kau mengendus masakan sebelum memakannya? Seperti… kucing. Bukankah itu tak sopan?” Yocelyn angkat bicara. Tak tahan melihat sikap Winola.
“Daging dan masakan yang mengandung unsur bernyawa lainnya, hanya akan membuat manusia semakin sulit mengendalikan diri dan berpikir jernih. Sulit mengikat nafsu yang tak jarang semakin memperbudak manusia.” Winola menjawab tanpa menatap Yocelyn, tetap menikmati apel merah ranum ditangannya.
“Kau penganut Budha?” Tanya Neva.
“Aku hanya meyakini ajaran itu dan menerapkannya.” Winola hendak minum, namun tiba-tiba gelas di tangan Winola pecah jadi dua. Air putih itu mengguyur baju Winola.
“Kau baik-baik saja?” Lavina membantu mengelap baju Winola.
“Bagaimana bisa pecah?” Yocelyn keheranan.
Neva terbelalak ketika Winola mengeluarkan kalung yang tergantung di lehernya, mengeringkan kalung itu. Neva seketika bangkit dari duduknya dan pamit pergi. Neva berjalan cepat dengan kepala tertunduk dan bibirnya terus bergumam. Neva menabrak seseorang.
“Oh, Pangeran Alden. Maaf.”
“Kau baik-baik saja? Wajahmu, pucat sekali.” Violin khawatir meilhat Neva.
“Aku baik, hanya sedikit terburu-buru.”
“Dimana Yocelyn?” Tanya Alden.
“Makan siang, di kantin, bersama Lavina, Kevin dan Winola.”
“Winola?” Bisik Alden berseri. Ia bergegas menyusul ke kantin.
“Harusnya kau tak menyebut nama ‘Winola’. Dia sepertinya benar tergila-gila pada gadis itu.” Violin kesal.
“Bagaimana mungkin?”
“Menurutnya Winola itu unik. Bagiku sangat aneh mendengarnya.” Keduanya kembali terdiam. Violin mengamati Neva. “Kau yakin jika kau baik-baik saja?” Neva mengangguk antusias. “Eum, semoga kau tak berbohong. Kita berpisah di sini.”
***
Neva berkutat dengan tumpukan buku-buku tebal yang ia harap dapat membantunya. Neva menghela nafas panjang dan menutup buku ketujuh. Nihil, Neva tak menemukan satupun petunjuk.
“Mendapat petunjuk? Maaf baru menemuimu sekarang.” Edsel duduk di depan Neva. “Kali ini, apa yang kau cari?”
Edsel diam, menatap Neva yang sedang menggambar. Gadis itu tak hanya hobi membaca, ia juga pandai menggambar. Neva menunjukan hasil gambarannya pada Edsel. Sebuah liontin berbentuk lengkungan tak putus, menyerupai angka delapan. Bagian atas lebih kecil dari bagian bawah, memiliki sisi runcing di bagian atas, di samping kanan dan kiri, menyerupai dua segitiga bersatu dan membentuk lingkaran oval di tengahnya. Bagian bawah memiliki bentuk lebih besar, hampir membentuk lingkaran sempurna dan di tengahnya terdapat batu hitam dengan kilatan cahaya membentuk bintang putih dengan lima sudut. Edsel mengamatinya.
“Pernah melihatnya?” Tanya Neva.
“Eum, tidak. Ini pertama kalinya aku melihat liontin dengan bentuk ini. Unik. Ada apa dengan liontin ini?”
“Seorang wanita misterius muncul dalam mimpiku, menitipkan bayi mungil itu padaku, bayi itu memakai kalung dengan liontin ini. Sangat terkejut melihat Winola memakainya.”
“Win-winola??”
“Iya. Kau tahu apa pesan wanita misterius itu?” Edsel menggeleng. “Sekarang aku percayakan dia padamu. Jagalah dia, bukan hanya untukku, tapi untuk Elsdon.”
“Untuk Elsdon??”
“Bantu aku Edsel. Aku mohon. Aku bisa gila karena ini semua.”
Edsel kembali mengamati gambar liontin itu. “Angka delapan atau tak terhingga? Apa liontin ini ada hubungannya dengan Parama Academy? Parama Academy identik dengan angka delapan. Batu ini kira-kira batu apa? Dan kilatan cahaya berbentuk bintang ini… apa maksudnya?”
“Jika benar, apa hubungan antara Winola dan Parama Academy? Untuk Elsdon?”
“Aku akan mencari tahu. Kau, cobalah bicara pada Winola. Kau harus bisa memancing Winola untuk bicara tentang kalung yang ia kenakan. Hanya itu jalan satu-satunya. Kalian tinggal dalam satu bilik, cobalah untuk memperbaiki hubungan. Hari ini Kevin cukup membantu bukan? Jujur aku sama sekali tak merasakan adanya energi negatif dari Winola. Semoga ini tak salah.”
“Baiklah. Akan aku coba.”
***
Winola terlihat murung sejak kejadian kemarin. Gelas yang tiba-tiba pecah bukanklah pertanda baik. Winola terus memikirkannya. Ia terdiam di taman, menatap senja. Neva menghampirinya. Duduk di samping Winola namun tetap diam. Setelah beberapa detik berjalan demikian, Neva memberanikan diri menunjukan gambar liontin yang ia buat kemarin pada Winola.
“Mimpi yang sangat berbeda. Berada di taman bunga yang indah, melihat satu keluarga yang terlihat bahagia. Lalu seorang wanita yang tak bisa aku lihat wajahnya menitipkan bayi mungil padaku, bayi itu memakai kalung dengan liontin ini. Dan kemarin, tanpa sengaja aku melihatmu, memakainya. Aku membaca beberapa buku, namun tak membantu. Edsel pun tak tahu banyak. Ia menyarankan agar aku bicara padamu.” Ungkap Neva.
Winola kembali mengeluarkan kalungnya. “Sejak kecil aku sudah memakainya. Nenek mengatakan padaku, dahulu menemukan aku terdampar di tepian sungai, dan kalung ini ada bersamaku. Mungkin inilah satu-satunya petunjuk. Walau aku tak mau, Nenek tetap mengirimku kemari untuk mencari jawabannya.”
“Kau sendiri tak tahu banyak tentang kalung ini?”
“Perak. Onyx hitam, api dan saturnus adalah elemennya. Pengendalian diri dan mengusir energi negatif. Itu saja yang aku tahu.”
“Lalu bentuk dari liontin itu, menurutmu apakah angka delapan atau… ah, ayolah. Aku yakin kau tak jauh beda dariku. Kau juga memiliki rasa penasaran yang tinggi. Tak mungkin kau tak tahu banyak tentang kalung itu. Kau pasti berpikir jika ini ada hubungannya dengan Parama Academy. Lalu, apa yang kau temukan?”
“Kau dan Putri Yocelyn, itu yang pertama. Kemudian Edsel.”
“Winola!”
“Kau bicara pada orang yang kau ragukan. Orang yang kau curigai.” Winola menoleh menatap Neva.
“It-itu… Winola, aku mohon maafkan aku. Ada banyak hal, misterius. Ini semua hampir membuatku gila. Maafkan aku. Kau mengalami hal yang sama denganku? Mimpi buruk. Itu yang membuatmu sering terjaga?”
“Yang ada padaku, lebih buruk dari itu. Aku tak bisa mengatakannya sekarang. Dia yang meninginkan ragaku, biasa muncul di senja hari. Ketika sore akan berganti malam.”
Neva tak paham, namun ia tahu diri Winola sudah memberi peringatan untuk tak bertanya lagi. Neva juga Winola dibuat kaget ketika tiba-tiba Alden menghampiri mereka. Alden terlihat gugup sedang Neva dan Winola diam menunggu.
“Maaf menyita waktu kalian. Aku, aku hanya ingin mengatakan ini. Kau, Amabel Winola, maukah kau pergi bersamaku ke pesta dansa?” Alden mengungkapnya cepat membuat Winola juga Neva terkejut.
Neva tersenyum sambil melangkah pergi. Ia kembali mengenakan kalung pemberian Winola. Kini ia membenarkan ucapan Edsel. Tak ada energi negatif pada Winola. Langkah Neva terhenti di depan aula musik. Permainan piano ini, Odell Bayanaka kah? Neva mengintip dari pintu yang sedikit terbuka. Joe Leverrett duduk di balik piano, terlihat serius memainkannya. Joe menghentikan gerak jari tangannya dan menoleh ke arah pintu. Neva terkejut, menarik dirinya dan mengendap-endap kemudian berlari pergi. Joe menyincingkan senyum, kembali memainkan pianonya.
***
 “Murid laki-laki menggila. Apa kalian juga menerima ajakan pergi ke pesta dansa? Aku menerima beberapa, namun aku menolak semua. Aku hanya ingin pergi dengan Edsel.” Yocelyn memulai obrolan. “Bagaimana denganmu Neva? Dan kalian? Ah, kalian kan tamu kehormatan. Pasti kalian punya pilihan sendiri.”
“Senior Alden Jason menwarkan diri untuk menjadi pasangan Winola. Ia meminta Winola pergi bersamanya di depanku.” Ungkap Neva.
“Ben-benarkah??” Lavina tak percaya. “Murid idola, Pangeran Elsdon. Dia menyukaimu? Aku tahu, ada yang berbeda dari caranya menatapmu. Aku melihatnya berulang kali saat kompetisi.”
“Kau mengabulkan permintaan kakakku, Winola?” Tanya Yocelyn yang sama sekali tak terkejut mendengarnya.
“Aku belum menjawabnya.”
Lavina khawatir Winola tak akan hadir. “Dia, phobia keramaian, sebenarnya begitu. Tak mahir dalam urusan pesta.”
“Ya ampun!” Yocelyn menepuk keningnya. “Sebagai tamu kehormatan kau juga harus berdansa.” Yocelyn bangkit dari duduknya. “Ayo. Kau harus belajar berdansa Winola.” Yocelyn mengulurkan tangan.
Lavina mendorong Winola hingga gadis itu berdiri. Yocelyn menyambut Winola dan mulai mengajarinya berdansa. Neva turut mengulurkan tangan pada Lavina. Lavina tersenyum lebar menyambutnya. Mereka berlatih berdansa dalam bilik 505. Untuk pertama kalinya terdengar canda tawa riang dari dalam bilik 505.
Di tengah asiknya berdansa, tiba-tiba terdengar bunyi sesuatu menabrak jendela. Benturan yang lumayan keras. Winola bergegas membuka jendela. Ia terlihat syok dan memungut sesuatu dalam telapak tangannya. Yocelyn dan Neva menatapnya penasaran. Lavina yang sudah berdiri di samping Winola menampakan ekspresi sedih membuat Yocelyn dan Neva makin penasaran ada apa sebenarnya.
“Ada apa? Apa yang kau ambil dari jendela?” Tanya Yocelyn melihat tangan Winola yang kosong.
“Sepertinya dia sangat kelelahan.” Kata Lavina.
“Dia??” Pekik Yocelyn.
“Ah, aku lupa kalian tak bisa melihatnya. Winola, lakukan sesuatu.”
Winola meminta Neva dan Yocelyn mendekat. Winola mengangkat tangannya yang terbuka lalu meniupkan ke arah Neva dan Yocelyn yang tepat berada di depannya. Neva dan Yocelyn berkedip, mengusap kedua mata mereka. Yocelyn ternganga ketika matanya kembali terbuka. Ia tak percaya pada apa yang di lihatnya. Neva menunjukan reaksi yang sama ketika membuka mata. Makhluk kecil bersayap hijau lembut seperti kupu-kupu itu terkulai lemas diatas telapak tangan Winola.
“Ini… peri?? Benar-benar peri??” Tanya Yocelyn masih tak percaya.
“Menempuh jarak dari hutan Orea kemari, apakah ini pertanda baik? Atau buruk?” Tanya Lavina.
“Kita harus menolong Hazel.” Winola terlihat panik.
***
 

-------TBC--------
 .shytUrtle.

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews