My Curious Way: [170319] Road To Ngadas

05:29



My Curious Way: [170319] Road To Ngadas



Rasanya masih seperti mimpi. Kemarin aku bisa berada di sana. Begitu dekat dengan Bromo.

Sebelum menulis cerita tentang perjalanan kemarin, aku mau ngucapin selamat Hari Jadi Sarang Clover yang ke 11 (sesuai tahun diresmikannya nama Sarang Clover) dan ke 18 (sesuai tahun mulai rutinnya penghuni Sarang Clover ngumpul). Happy 1118 Sarang Clover. Semoga makin jaya.

Ok! Mari berkisah tentang perjalanan kemarin. Perjalanan yang tak direncanakan. Perjalanan tak terduga. Perjalanan nekat.

Karena Selasa lalu tensiku drop lagi, aku disarankan rajin minum susu segar biar tensiku stabil. Jadi, nyusun rencana hari Minggu naik ke Gubugklakah untuk beli susu segar di Nusa Pelangi. Dari hari Rabu udah nyiapin fisik. Biar tensi naik dan bisa nyetir motor ndiri. Udah janjian juga sama Mbak Maimun.

Tanggal 17 Maret lalu Sarang Clover ultah. Dan, sebenarnya kami punya rencana ngumpul dan makan-makan di salah satu cafe yang lagi in di wilayah kami. Sayangnya aku tepar lagi dan banyak penghuni Sarang Clover yang nggak bisa ikutan. Gagalah rencana kumpul bersama. Maafin aku ya, people.

Hari Minggu tiba. Seperti biasa dimulai dengan membabu ria. Sampai bosen baca bagian ini ya. Hahaha. Maklum, bisa bersihin markas cuman seminggu sekali. Pas hari Minggu aja.

Penyakit psikisku belum 100% sembuh. Tapi, aku pun nggak mau ngalah. Aku terus berusaha melawannya. Aku terus berusaha untuk sembuh. Kemarin pun begitu. Sudah mandi, sudah keramas, sudah sarapan nasi. Eh, pusing melanda. Badan tiba-tiba rasanya nggak enak. What the!!!

Dapat info kalau jalur ke Bromo rame karena ada event, itu bapak-bapak tentara touring ke Bromo. Bagaimana ini? Memes sama Ebes pun mau besuk ke rumah sakit. Tangki jagiya pun bocor. Ya ampun!!!

Setelah rundingan sama Memes, akhirnya aku disuruh keluar dulu. Memes sama Ebes besuknya sore. Menghindari macet karena ada konvoi Arema. Dan, aku disuruh naik-naik sama si matic karena kondisi Jagiya yang nggak memungkinkan.

Duh, piye iku? Aku belum pernah naik-naik bawa matic. Kalau nglasa selalu bawa Jagiya. Ke mana-mana juga seringnya bawa Jagiya. Daku galau. Meragu. Waktu tahu Thata libur dan nggak jadi keluar, aku pun langsung minta tolong dia buat jokiin motornya. Kami pun berangkat pukul setengah sepuluh pagi. Jalurnya masih suka lewat Drigu. Di Sedaer rame. Ah! Kapan aku bisa tubing. Hiks!

Karena katanya jalur naik ramai, banyak polisi dan tentara. Aku pun memutuskan pakai helm juga. Biasanya cukup yang depan aja yang pakai helm. Kostum? Aku pakai kaos panjang dirangkepi jaket tipis yang biasanya aku pakek di rumah aja. Maklum itu jaket udah miris banget kondisinya XD

Masih tetep sandal jepit dan celana panjang doreng. Pikirku kan cuman ke Nusa Pelangi. Ngapain juga pakek kaos kaki dan kaos tangan. Kaos kaki dan kaos tangan nggak aku bawa. Bahkan, aku pun nggak pakek masker. Padahal kemarin itu cuacanya mendung.

Banyak bikers yang naik. Kawanan trail rider juga banyak. Rame dah pokoknya jalurnya.

"Ini langsung ke Nusa Pelangi tah?" tanya Thata di tengah perjalanan.
"Yo ojo tah. Aku kangen munggah. Lama nggak ke sana."
"Kalau gitu kita foto di belokan di atasnya Coban Pelangi aja gimana? Bagus lho di sana."
"Di belokan mana sih?"
"Pean kan udah pernah nyampek gapura itu. Udah nglewati belokan itu tah."
"Yang mana se Mbak Tha?"
"Ya udah. Kita ke sana ya."
"Ok!"

Semangat banget dah kalau di ajak ngalas. Hahaha.

Di Coban Pelangi juga ramai. Kami terus naik. Thata sebenernya takut. Dia belum pernah naik jadi joki. Tapi, aku terus nyemangatin dia. Akhirnya, bismillah. Kami pun naik.

Sampai di belokan yang di maksud Thata, lumayan ramai orang berhenti di sana. Kami memutuskan lanjut.

"Katanya mau ke Ngadas. Udah ke sana?" tanya Thata.
"Belum. Sekarang aja ayok! Mumpung bawa vario. Inshaa ALLOH kuat."
"Berani a aku?"
"Berani! Berani! Selama jalannya aspal, aku yakin sampean bisa ngatasi."
"Yowes. Bismillah!"

Lanjut naik. Sampai di gapura Selamat Datang Wisata Bromo Tengger Semeru. Aku bilang ke Thata, nanti aja fotonya kalau turun. Ada dua sejoli lagi poto-poto di sana juga. Khawatir menganggu. Hahaha.

"Aduh! Bawa duit nggak?" Thata mendadak panik.
"Bawa. Kenapa emang?"
"Bawa berapa? Itu di depan sana nanti ada tarikan. Aku kapan hari ditarik tujuh puluh lima ribu lho."
"Masak sih? Tenang. Tujuan kita kan ke Ngadas."
"Tetep aja nanti kita lhak di berhentiin. Soalnya kita pakek helm dobel."
"Percaya sama aku. Udah, sampean tenang aka nyetirnya. Kalau harus bayar, aku bawa duit kok."

Benar. Ada pos pemberhentian. Di sana ada petugas yang duduk di pinggir jalan. Ada banyak motor trail juga berhenti di sana. Petugasnya langsung berdiri begitu melihat kami mendekat. Kawanan trail yang berhenti itu juga turut menatap kami.

"Mau ke mana Mbak?" tanya petugasnya dengan nada, maaf ya, ketus. Petugasnya cowok.
Aku senyum. "Mau ke Ngadas, Mas."
"Ke Ngadas ke siapa?" ini mas petugasnya masih ketus nadanya. "Ke Bidan xxxxx, Mas."
"Oh, ya. Monggo! Monggo! Silahkan." nadanya agak melunak.
"Monggo." aku kembali tersenyum.

Anggota kawanan trail liatin kami yang melintas santai di depan mereka yang lagi berhenti entah registrasi atau ngapain.

"Itu tadi anak trail." kata Thata.
"Iya."
"Tapi, males ah. Banyak ceweknya. Nggak ramah juga kayaknya. Mungkin mereka bukan asli anak trail. Tapi, nyewa trail buat naik."
"Hahaha." aku tergelak. "Ya, mungkin. Nanti aja kalau ketemu kawanan trail yang ramah kita ajak foto bersama. Biasae kalau beneran anak trail ramah-ramah kok. Temen-temenku di Facebook sih gitu."
"Emang berani minta foto?"
"Entahlah. Yo sampean ae yang minta. Hahaha."

Awalnya, setelah pos pemberhentian di Coban Trisula itu jalannya masih, apa ya. Kayak batako. Cor gitu. Tapi, setelah itu udah aspal alus. Jalan raya Wates aja kalah. Hehehe.

Di persimpangan Jarak Ijo-Ngadas ada bapak-bapak tentara lagi jaga. Kami pun menyapa. Lalu lanjut naik. Kanan tebing, kiri jurang. Hutan. Dan, hanya ada motor kami. Hanya ada kami. Sepanjang perjalanan aku berdoa agar perjalanan kami lancar. Dan, agar tak ada hewan buas yang melintas.

Serius itu masih hutan. Walau udah nggak seseram kayak pas aku pertama kali ke sana di tahun 2003 kalau nggak salah. Jalannya juga udah lebar dan aspal alus.

Salah satu bidan senior yang dulu pernah dinas di Ngadas cerita ke aku. Katanya dulu pas beliaunya turun dari Ngadas. Nyetir motor sendiri. Di tengah jalan ada ular jatuh dari pohon. Ularnya gede banget. Ibu Bidan Cantik itu udah pasrah pas itu ular melata tak jauh di depannya. Pasrah kalau dimakan hidup-hidup, katanya. Beliau gemeteran, di atas motornya yang berhenti. Bahkan, ini menurut pengakuan beliau ya, beliau sampai, maaf, ngompol karena saking ketakutannya. Pasti itu ularnya super gede. Serem.

Iya, di markas aku dikenal nggak takut sama ular. Tapi, kalau ularnya segede itu. Mungkin nasibku pun bakal sama kayak ibu bidan. Ketakutan sampai ngompol. Apalagi aku yang sekarang nggak kayak aku yang dulu. Kata Ai, "Wes tuwek!" Hahaha.

Kenapa aku jadi keinget cerita itu pas di tengah hutan sih!!! Dan, begonya, aku ceritain kisah itu ke Thata. Babo, Jara!!!

"Kalau sekiranya motornya nggak kuat, bilango yo. Aku tak turun." kataku.
"Kuat kalo matic ini."
Setelah ngomong kayak gitu, ada perempuan jalan sendirian.
"Siapa itu? Orang Ngadas kah?" tanya Thata.
"Bukan. Mungkin motornya nggak kuat. Jadi, yang dibonceng jalan kaki."

Benar! Sampai di puncak jurang ada motor yang nungguin. Mungkin kalau bawa Jagiya, nasibku pun akan sama kayak ibu-ibu itu.

Sepanjang perjalanan, aku mengumpulkan sisa ingatanku tentang perjalanan pertamaku ke Bromo. Waktu itu aku naik ambulance. Diajak almarhum Pakde Matali. Jalannya masih sempit. Papakan sama motor aja susah. Apalagi sama mobil. Waktu itu ambulance yang kami tumpangi papakan sama truk. Aku udah ketar-ketir aja waktu mobil di minggirin ke kiri. Itu sebelah kiri curah. Kalau kesenggol dikit, habislah kami jatuh ke curah. Tapi, Pakdhe Matali menenangkan kami dan juga sopir truk yang ragu jalan itu cukup untuk di lalui.

Ambulance kami berhenti. Pakdhe Matali mempersilahkan truknya lewat. Selama proses itu truk lewat super dekat dengan ambulance, aku tahan napas dan terus berdoa. Posisiku duduk di depan, di samping Pakdhe Matali. Tahu kenapa? Karena aku mabukan, makanya disuruh duduk di depan. Hahaha.

Begitu berhasil, napasku langsung kembali. Lega rasanya. Pakdhe Matali emang keren.

Mobil juga sempat berhenti lagi waktu ada bunga edelweiss yang tumbuh liar di tebing di sisi kanan jalan.

"Itu lho bunga edelweiss. Kalau mau metiko nggak papa. Kalau beli di Bromo mahal." kata Pakdhe Matali.

Tapi, aku menolak. Eman kalau dipetik. Mereka terlihat cantik di habitat aslinya. Kalau aku petik dan aku sia-siain kan kasian. Jadi, aku cuman say hello aja ke bunganya.

"Dulu di sini banyak bunga edelweiss-nya lho! Sekarang kok nggak ada ya?" kataku sambil mengamati tebing di sisi kanan jalan.
"Udah dipetiki mungkin." jawab Thata.
"Eman ya. Padahal dulu banyak tumbuh liar."

Kami mulai memasuki lahan yang sudah di olah warga. Banyak warga yang sedang bekerja di ladang mereka. Aku tersenyum, mereka balas senyum. Senangnya.




Aku sama sekali nggak ingat gimana kondisi Ngadas dulu ketika aku pertama kali berkunjung ke sana. Ngadas yang sekarang keren. Rumahnya udah bagus-bagus. Hampir sama ma Batu lah. Aku terkesima.

Sampai di persimpangan. Aku lupa, ndak minta nupe Mbak Bidan. Mau WA Memes nanya numz Mbak Bidan, sinyal naik turun. Sampai-sampai data seluler pun aku matikan.

Akhirnya kami lanjut ke arah kanan. Ke jalur menuju Jemplang, Bromo. Aku mah udah nggak ingat sama sekali sama jalur ini xD

Itu jalan keren juga serem. Kanan-kiri curah. Thata sampai nggak berani noleh. Takut ketinggian dia. Tantangan baru dimulai. Jalannya sempit dan meliuk-liuk kayak gerakan ular putih.

Kalau papakan sama jeep, Thata selalu agak goyah dan ngomel sendiri. Dia takut sama ban mobil jeep yang gede. Lucu ya XD

Pas naik, aku yang nyantai. Thata yang bolak-balik ngomel. Pas tiba di tikungan yang cukup aje gile, ada bapak-bapak tentara berjaga di sana. Begitu melihat kami muncul, kami yang hanya berdua saja dan naik motor matic, salah satu dari beliau-beliau itu menyemangati.

"Ayo! Mbak, mbak, cewek, cewek, pasti bisa!" kata salah satu bapak tentara sambil bertepuk tangan.

Aku cuman bisa senyum singkat. Jalannya cukup bikin deg-deg ser. Begitu kami bisa melewatinya, kami bersorak! Hurray!!! Bapak-bapak tentara yang ada di belakang kami itu pun bertepuk tangan. Thata sampai terbahak-bahak. Senang bisa melalui tikungan sulit itu dengan selamat. Sekaligus senang juga merasa lucu mendapat perlakuan dari bapak-bapak tentara itu. Langsung aku jitak helm dia. Hahaha.

Terima kasih bapak-bapak tentara yang udah menyemangati kami.

Sepanjang perjalanan aku nggak bisa berhenti terkagum-kagum dan bolak-balik berkata, "Woa!!!" Dari masuk area Coban Pelangi udah disambut pohon berbunga kuning yang sedang lebat-lebatnya. Naik lagi, banyak bunga-bunga kec berwarna ungu bermekaran. Makin naik banyak bunga ungu berukuran sedang bermekaran. Entah bunga apa. Mirip dahlia. Sumpah cantik banget!



"Aku kedinginan. Nggak ada warung a? Beli kopi." kata Thata.
"Aku aja berasa beku. Apalagi sampean yang nyetir. Ada mungkin. Di depan sana."
"Kalau ada berhenti ya. Sumpah dingin banget. Aku butuh kopi."
"Ok! Aku pun harus minum."

Kami sampai di rest area di Jemplang. Aku ternganga. Biasanya baper kalau liat kawanan trail rider, kan? Ngakunya gitu kan? Nah, di sana, di rest area itu. Banyak motor trail terparkir. Banyak kawanan trail rider yang juga ngaso.


"Rame." suara Thata membuyarkan lamunanku. "Yang mana?"
"Itu pojokan sepi. Ke sana aja."

Thata parkir motor di depan warung. Begitu turun dari motor, aje gile. Dinginnya minta ampun. Aku pakek jaket tipis dan tanpa kaos kaki dan kaos tangan juga masker. Thata masuk pesan kopi dan teh panas. Aku langsung duduk. Gerak-gerakin kaki, gosok-gosok tangan.


"Sampean nggak papa a?" Thata mengamatiku.
"I'm fine." Aku segera membuka air mineral bekalku, dan meminumnya beberapa teguk.
"Aku nggak percaya aku bisa nyetir sampai sini." Thata terlihat masih keheranan.
"Faktanya, umak berhasil. Umak memang jagoan. Aku yakin selama jalannya aspal, umak pasti bisa. Umak keren."
"Kita udah sampai. Itu turun udah Bromo."
"Tapi, aku gamau turun. Aku masih trauma kalau harus ke Bromo."

Kunjungan pertamaku ke Bromo memang menyenangkan. Tapi, saat sampai di puncak. Aku sesak napas. Tubuhku kaku, nggak bisa digerakan. Dadaku sesak. Leherku tercekik. Aku ketakutan setengah mati. Untung Memes sigap. Memes ambil air putih di tas punggungku, dan aku disuruh neguk sebanyak yang aku bisa. Alhamdulillah. Aku selamat.

Pas di padang savana ada pendaki bule yang minta air. Mau aku kasih, sama Pakdhe Matali nggak boleh. "Nanti kamu butuh banyak kalau naik ke gunung," kata beliau.

Beruntung air bekalku yang hanya tujuh gelas itu nggak jadi aku kasih ke pendakinya. Aku sendiri menghabiskan beberapa gelas untuk menetralkan kondisiku. Turun dari gunung, aku teler sampai pulang. Untung ada Memes bersamaku. I love you, Mom. You are my hero!!!

"Aku nggak mau turun." aku menggelengkan kepala. "Nggak ada persiapan. Nggak kuat dinginnya aku."
"Aku lho belum tidur sama sekali ini. Kemarin kan aku jaga malam. Pasiennya rame. Jadi, nggak bisa tidur."
"Tapi, umak seterong. Ini di doping kopi. Hehehe."

Denger Thata ngomong gitu, aku jadi inget diriku yang dulu. Diriku yang tetep seterong walau tiga hari melek, ndak tidur sama sekali. Hiks!

Kopi dan teh panas pesanan kami datang. Aku langsung memegang gelas teh dengan kedua tanganku. Hangat. Tapi, kakiku masih beku rasanya.

Saat kami asik ngopi dan ngeteh, ada motor trail berhenti di dekat warung tempat kami singgah. Dua orang cowok turun dan masuk ke warung tempat kami berada. Kayaknya orang situ aja. Akrab banget sama yang punya warung. Mas yang tinggi besar ngajak kami ngobrol.

"Mau ke mana, Mbak? Ke Bromo?"
"Tadi sih nggak sengaja ke sini."
Mas berkulit hitam dan agak pendek tertawa mendengar jawabanku. "Nggak sengaja ke sini, tapi nyampek sini." oloknya. Mas yang tinggi ikutan nertawain.
"Iya, nggak sengaja. Tujuannya ke Ngadas. Ke rumah Bu Bidan xxxxx." aku meralat.
"Oh, Bu Bidan." sahut mbak pemilik warung.
"Iya. Kalau hari Minggu gini apa ada ya? Kan kalau weekend biasanya pada turun."
"Iya, Mbak. Kalau hari Minggu kan libur. Biasanya ndak ada. Pulang buat keluarga. Setahuku kalau hari Rabu pasti ada." jawab mbak pemilik warung.
"Teman sampean?" sahut mas berpostur tinggi.
"Yap. Adik kelas dulu semasa sekolah. Tapi, masih nyambung sampai sekarang. Waktu dia pindah dinas sini, aku disuruh main ke sini. Sempetnya baru hari ini."
"Tak kira sampean yang dinas sini."
“Hehehe. Bukan." Tunggu! Aku dikira bidan?? Astaga!!
"Turun aja Mbak sekalian. Udah deket. Eman lho udah nyampek sini."
"Nggak. Nggak. Nggak berani saya. Nggak kuat dinginnya juga."
"Kalau habis hujan gini nggak dingin. Beneran. Ya, kalau pas ketigo (musim kemarau) gitu dingin banget."
"Iya, Mbak. Eman kalau nggak mudun. Sampean udah nyampek sini. Udah deket." sahut mbak pemilik warung.
"Jalannya udah bagus kok, Mbak. Aman walau sampean pakai motor matic. Apalagi vario ini. Ngatasi. Turun o wes. Itu turun udah padang savana. Trus bukit teletubies."
"Nggak, deh. Kapan-kapan aja balik kalau udah bawa persiapan lengkap."
"Kalau ada hujan gini bagus, Mbak. Padang savananya hijau. Nggak kering."
Ya. Pas aku pertama kali ke Bromo, padang savananya kering kerontang.
"Kapan-kapan aja." aku tetep kukuh nggak mau turun. Nggak berani ambil resiko.

Lalu kami saling bertukar cerita tentang pengalaman pertama ke Bromo. Mas yang berpostur tubuh pendek cerita, dia pertama kali ke Bromo bawa pick up dan selip. Ketemu hartop ndak ditolong. Malah diolok dengan kalimat, "Alon-alon ae Mas. Tak enteni karo rokokan."

Tega ya. Aku pun, cerita saat kami bawa ambulance. Selip juga di segoro wedhi. Ketemu hartop juga. Dan, nggak ditolongin juga. Yang ada ditolongin sama bapak ojek yang bawa motor trail.

Lalu mas yang berpostur tubuh tinggi, ngobrol sama bapak-bapak. Minta diantar entah ke mana jalan kaki. Pokoknya jalur baru gitu. Dia balik duduk usai si bapak bilang sanggup ngantar. Kata masnya ada klien yang minta di antar entah ke bukit dan gunung apa namanya kemarin. Aku lupa. Minta jalan kaki dan aksinya itu di rekam pakai drone. Wuik! Pasti keren banget tuh. Masnya juga bilang keren seandainya beneran jadi.

Kopi dan teh kami habis. Kami membayar dan pamit pergi duluan. Sebelum lanjut, aku ke toilet dulu. Thata nemenin. Motor masih dititipin di depan warung.

Tarif ke toilet Rp. 5000,-

Mahal ya? Mahal emang. Tapi, murah lah daripada peper di hutan. Hehehe. Kata Memes air di sana sulit. Mungkin itu yang bikin mahal.

Gara-gara tarif toilet yang mahal ini, Thata sampai punya rencana bangun toilet di sana. Biar cepet kaya katanya. Hahaha. Ada-ada aja itu anak. Mau nyewa tanahnya sapa juga buat toilet. Ada-ada ae Thata. Tapi, emang bisnis yang menjanjikan itu. Hehehe.

Toiletnya lumayan bersih. Tapi, airnya kecil banget ngalirnya. Dan, dinginnya kayak lelehan es. Sumpah dingin banget.

Habis dari toilet makin kedinginan. Aku sampai loncat-loncat. Gerak-gerakin badan biar nggak dingin. Alhamdulillah matahari muncul disaat aku berjuang melawan dingin. Aku pun bersorak kegirangan.

Saat balik buat ambil motor. Warung tempat kami ngopi tadi udah ramai disinggahi satu kawanan trai rider. Untung kami udah hengkang.

Saat menunggu Thata ambil motor, seorang bapak-bapak berwajah oriental menghampiriku.

"Mau turun ke Bromo, Mbak?" tanya bapak berwajah oriental itu.
"Iya? Oh! Nggak. Nggak berani. Nggak bawa persiapan. Hehehe."
"Berdua saja?"
"Iya."
"Bawa matic?"
"Iya."
Bapaknya geleng-geleng kepala.
"Ayo!" Thata memanggilku.
"Permisi. Kami duluan." aku berpamitan dan membungkukan badan.
"Oya! Silahkan. Hati-hati ya."
"Iya. Mari." aku berjalan menghampiri Thata.
"Siapa?"
"Gatau. Tiba-tiba ngajak ngobrol."

Thata melajukan motor dan berhenti di dekat pos sebelum jalan menurun menuju Bromo. Itu persimpangan. Kalau ke kiri ke Bromo. Kalau ke kanan ke Ranupani. Ah! Ranupani. Aku pengen ke sana.

Rasanya seperti mimpi. Selama ini aku hanya bisa membayangkan, tapi kemarin, aku benar-benar berada di sana. Berdiri di sana dan menikmati keindahan lukisan-Nya.





Subhanallah. Indah sekali. Aku pun mulai mengabadikannya dalam kamera ponselku.

 Saat sedang asik foto-foto, ada dua motor trail menghampiri kami dan parkir tak jauh dari kami.

"Tak fotoin, Mbak." kata salah satu trail rider yang baru saja memarkir motornya. "Nggak tak bawa kabur kok hapenya."

Aku hanya tersenyum menanggapinya. Setelah motoin Thata, gantian Thata motoin aku. Itu trail rider masih ngimbrung aja di belakang Thata. Bahkan, satu trail rider lainnya sempet ikut ke foto pas aku pose ala gwiyomi. Lucu hasilnya. Sayang nggak sengaja ke hapus sebelum di upload. Babo jara!

Akhirnya Thata minta tolong trail rider yang sedari awal menawarkan bantuan untuk memotret kami berdua. Di tengah sesi pemotretan (?), teman-teman satu kawanan trail rider itu datang. Tak membuang kesempatan, Thata meminta mereka untuk foto bersamaku.

"Wah, itu yang aku tunggu dari tadi. Foto bersama." kata trail rider yang sebelumnya membantu memotret kami.
"Trus, aku piye?" kata Thata yang dapat tugas motret.
"Nanti gantian tak fotoin." jawab salah satu trail rider.

Aku pun foto bersama empat orang trail rider dari satu kawanan itu. Lalu gantian aku dan Thata bersama tiga orang trail rider. Usai sesi pemotretan, kami pun mengucap terima kasih.








Saat asik menikmati indahnya pemandangan, trail rider yang dari awal parkir udah nawarin bantuan memotret menghampiriku.

"Mbak, fotomu yang ini bagus." dia menunjukan fotoku di ponselnya.
"Eh? Itu aku?"
"Iya. Bagus ya."
"Iya, bagus. Aku minta. Gimana? Bluetooth ya."
"WA aja!"
"Eung?? WA??"
"Iya, WA. Ada kan?"
"Ada."
"Ya udah mana nomernya. Nanti aku kirim di WA."
"Mbak Tha, tolong kasih nomerku. Aku ndak apal."
Thata kasih tahu nomerku.
"Ok. Aku simpen. Namanya mbak siapa?"
"Ayu." jawabku dan Thata kompak.
"Ok. Apa mau nomerku?"
"Nggak usah wes. Kan nomerku udah sampean simpen."
"Ok. Tapi, nanti ya aku kirimnya. Di sini nggak ada sinyal. Dan, aku masih mau lanjutin perjalanan."
"Ok. Makasih ya."
"Sama-sama."

Kawanan trail rider itu melanjutkan perjalanannya. Aku terbengong-bengong.

"Kenapa?" tanya Thata.
"Kok aku bego banget sih?"
"Bego apa?"
"Kok aku langsung kasih nomerku? Kenapa tadi aku ndak bilang Facebook atau BBM aja?"
"Aku juga heran liat sampean bisa ngobrol, ramah tamah sama orang asing."
"Babo jara! Kura-kura bego!!!"

Dan ternyata, salah satu anggota kawanan itu masih ada di dekat kami. Tersenyum kepada kami. Aku pun tersenyum kikuk.

"Aku ndak ikut, Mbak. Ndak sanggup aku lewat jalur itu. Balik pulang aja aku." kata trail rider yang masih ada di dekat kami itu. "Jalur itu yang nantinya tembus Lumajang itu lho, Mbak. Nggak sanggup aku. Mending balik ae wes." imbuhnya.
Aku tersenyum. "Njenengan aslinya mana?" tanyaku.
"Wajak."
"Oh, deket ya."
"Lha sampean mana?"
"Kulo Wates."
"Wah! Luwih cedek sampean, Mbak. Yawes, aku turun dulu ya, Mbak. Monggo. Assalamualaikum." trail rider itu pamit.
"Wa'alaikumsalam." jawabku dan Thata bersamaan.
"Bener kata pean. Mereka ramah-ramah." komentar Thata.
Aku tersenyum. "Andai tadi Lexi ya."
"Hadeh!!! Lexi lagi."
"Hahaha."
"Udah puas? Balik sekarang a?"
"Ok!"

Kami pun bersiap turun. Di jalan ketemu lagi sama trail rider yang pamit tadi. Kami duluan. Trus beliaunya duluan lagi.

Kalau pas naiknya Thata yang tegang dan aku cengingas-cengingis. Pas turunnya gantian. Thata yang hepi, aku tegang sampai kakiku sakit. Saking tegangnya, aku pegang erat pundak Thata sampai dia mengeluh kesakitan. Heuheuheu... Maafin aku ya, Dek. Suer pas turun itu aku tegang.

Mesin motor dimatiin sama Thata. Kalau jalan menurunnya agak curem (?) gitu. Berasa kayak terbang. Seru seru serem.

Pas jalan menanjak motor kan mesinnya mati. Jadi, berhenti sebentar buat nyalain mesinnya. Ada satu motor, Win, yang barengan kami. Ikutan berhenti. Mungkin dikira motor kami macet apa gimana gitu ya. Kalau mogok kasian gitu kali ya. Yang bawa motor dua cewek soalnya. Kami dikasih jalan, lalu kami duluan.

Alhamdulillah perjalanan lancar. Mampir di rest area Gubugklakah buat pipis doang. Soalnya ciloknya nggak ada. Thata tuh yang nyari cilok.

Dari rest area, ke Nusa Pelangi. Beli susu segar. Ada es krimnya juga lho sekarang di sana.

Turun. Makan siang di Kedai Mie Cetar.


Well, itulah cerita hari Minggu si Kurayui. Hehehe. Makasih Thata. Kapan-kapan lagi ya. Aku juga pengen naik ngajak Jagiya. Kasian hari Minggu kemarin dia aku selingkuhin. Hiks! Maaf ya, Jagiya.

Maaf jika ada salah kata. Terima kasih.
Tempurung kura-kura, 20 Maret 2017.
.shytUrtle.


.
 

You Might Also Like

0 comments

Search This Blog

Total Pageviews